Monday, December 04, 2006

Problem Kepemimpinan di Indonesia

Pada kolom Analisis Ekonomi, Kompas 4/12/2006, Rhenald Kasali mengutip perkataan orang bijak mengatakan, orang pintar lebih fokus pada angka-angka. Orang seperti ini cocoknya menjadi manajer. Sedang pemimpin lebih fokus pada perubahan perilaku.

Pemimpin di Indonesia selama ini dilahirkan oleh TNI, organisasi sosial dan politik (orsospol), dan organisasi kader (mahasiswa dan pelajar). Belakangan baru muncul dari jalur mantan artis, meniru Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger :). Masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

TNI cenderung melahirkan pemimpin yang tegas –semacam varian dari otoriter yang paling bisa diterima publik. Satu-satunya pengecualian mungkin hanyalah SBY yang dikenal sebagai si peragu :). Soal kecerdasan tentu sangat relatif. Seorang Adi Sasono sering mengatakan pemimpin dari TNI cenderung kurang cerdas. Tidak jarang pula orang berkomentar, bahwa tentara ternyata pintar-pintar.

Contoh paling aktual bisa dilihat pada sosok Sutiyoso, Gubernur DKI sekarang ini. Ia adalah purnawirawan jenderal yang tegas dalam memimpin DKI. Idenya soal bussway pada akhirnya bisa diterima bahkan disukai warga DKI meski pada awalnya banyak menuai protes dari para pemerhati sosial politik. Penebangan pohon pelindung di jalur hijau pun terus dilakukan meski diprotes banyak orang. Monorel terus saja ditunda pembangunannya meski sudah jelas kontraktor yang ditunjuk tidak mampu menunjukkan uangnya hingga dua kali batas waktu yang telah ditentukan. Semua dilakukan dengan tegas karena mungkin ada satu keyakinan, kelak masyarakat akan menerima dan menikmatinya. [Yang pasti, dengan banyaknya proyek di DKI, birokrat dan pemimpinnya --termasuk anggota DPRD yang terhormat-- telah menikmati duluan :)]

Orsospol cenderung melahirkan pemimpin yang egois, yang hanya memikirkan keselamatan diri dan kelompoknya. Itulah sebabnya di republik ini pada prakteknya kekuasaan itu dari partai oleh partai untuk partai. Itu pula sebabnya, orang tidak segan-segan untuk berinvestasi hingga miliaran rupiah untuk bisa tampil menjadi pemimpin lewat patai politik khususnya. Toh investasi itu kelak akan dengan mudah kembali begitu kekuasaan bisa direngkuh. Kepentingan rakyat? No way Jose.

Ada ketua umum sebuah partai berkomentar atas masih campur-tangannya ketua umum yang lama: ”Saya khan sudah membayar tunai (dalam arti sesungguhnya, membayar dengan uang). Ibarat mobil, BPKB sudah balik nama atas nama saya. Kok dia masih mau ikut-ikut mengatur jalannya partai. Saya dong yang berhak menentukan sekarang ini!” Cerita ini sanad-nya dari Fuad Bawazier langsung, yang saya dengar sendiri semalam (3/12) di rumahnya. Bayangkan, jika kepemimpinan sudah dianggap sebagai barang dagangan, si pemimpin sudah keluar uang untuk membeli, maka si pemimpin akan berpikir harus kembali mendapatkan uangnya. Cerita ini tentu melengkapi cerita aroma money politics dalam setiap proses pemilihan pemimpin yang sudah banyak diketahui masyarakat, dari pemilihan Ketua Umum Golkar hingga pemilihan kepala daerah.

Organisasi kader cenderung melahirkan orang yang ”merasa dirinya pemimpin”. Doktrin kaderisasi organisasi semacam HMI, PMII, PMKRI, IMM, IPM, PII, dan banyak organisasi kader lainnya, tentu saja untuk melahirkan pemimpin bangsa. Setiap organisasi memiliki berbagai jenis dan jenjang training kepemimpinan (leadership training). Karena organisasi kader hampir semuanya merekrut anak sekolahan, tidak heran banyak orang pintar keluar dari rahim organisasi kader tersebut. Orang pintar ini lantas melanjutkan kariernya sebagai dosen, pengamat, profesional, dan tidak jarang yang menjadi bikrokrat. Kader yang kurang pintar biasanya tenggelam, mereka menjadi pedagang dan lari ke partai politik atau organisasi sosial.

Lalu banyak orang pintar yang lahir dari organisasi kader merasa dirinya layak menjadi pemimpin. Padahal, mereka sebenarnya hanya layak menjadi seorang manajer. Telah banyak pejabat politik dan pejabat tinggi birokrasi yang ditunjuk memiliki latar belakang aktifis organisasi kader. Tapi, hingga saat ini kita belum menyaksikan ada di antara mereka menawarkan perubahan. Yang ada adalah kebijakan pembangunan untuk hanyut mengikuti perubahan arus global –untuk tidak mengatakan didikte oleh aktor-aktor global. Orang bilang, begitu mereka bergabung dengan birokrasi, mereka hanyut di dalamnya dan kalah oleh derasnya deru mesin birokrasi. Yang terjadi sebenarnya bukanlah mereka terhanyut, tetapi mereka memang bukan pemimpin, mereka hanyalah seorang manajer --yang merasa dirinya pemimpin :).

Kepemimpinan dari jalur mantan artis belum bisa dinilai karena Marissa Haque yang mengatakan dirinya kebal hukum kalah dalam pilkada Banten. Kita tunggu sampai mimpinya politisi PAN Dede Yusuf menjadi pemimpin di Jawa Barat kesampaian. :)

No comments: