Wednesday, April 23, 2014

Dicoret dari DPP Gerindra

Tulisan ini sudah saya upload ke Notes Facebook pada 14 April 2013, jam 11:31pm


***
Awalnya adalah sebuah sms yang saya terima sekitar tahun 2010/2011. Sms itu datang dari kawan yang aku kenal lewat milis Muhammadiyah Society. Kawan itu mengirimkan surat yang isi persisnya sudah tidak kuingat. Kalau direkonstruksi, isi sms tersebut kurang lebih:

"Saya sangat berharap pada kepemimpinan Prabowo pada 2014 nanti. Saya mendukung program-program kerakyatannya. Tetapi saya sedikit kecewa dg tayangan tv tentang Prabowo semalam. Tidak seharusnya niatan membantu orang miskin dilakukan dengan cara memperlihatkan kemewahan, seperti kuda yang harganya miliaran, pesawat jet pribadi, ruang kantor yang mewah, dan pengawalan super ketat yg memperlihatkan jarak dg warga. Mungkin maksudnya baik, bahwa membela orang miskin tidak harus orang miskin atau hidup dalam kemiskinan. Tetapi apa yang diperlihatkan semalam di tv justru tidak menunjukkan empati kepada orang miskin. Mudah-mudahan ke depan kalau membuat program tv bisa diperhatikan hal-hal sensitif spt itu."

Menurut saya, sms itu berisi kritik yang bagus. Sms yang tulus dari pendukung Prabowo Subianto yang tidak ingin ada kesalahan dalam pencitraan. Sms itu bukan mengkritik Prabowo, tetapi mengkritik program tv tentang Prabowo, yang mungkin saja dibuat oleh sebuah tim yang ada di sekitar Prabowo. Karena isinya kuanggap bagus, sms itu aku forward ke banyak pihak di dalam internal Gerindra.

Apa yang terjadi kemudian? Dalam sebuah acara partai, Prabowo dari podium berteriak "ada pengurus DPP, orangnya gendut, dia menjelek-jelekkan saya melalui sms, dikirim ke mana-mana.... Dan seterusnya"

Akhir cerita, setelah KLB Gerindra di Hambalang pada 12 Pebruari 2012, KLB yang layak dicatat MURI karena selesai dalam hitungan jam bukan hari, Prabowo mendapat mandat sepenuhnya menjadi formatur tunggal untuk menyusun kepengurusan DPP yang baru.

Maka sudah bisa ditebak, dalam daftar pengurus yang baru, nama sayapun dicoret dari DPP, karena dianggap tidak loyal sama sang jenderal. Ternyata sang jenderal yang mengaku dirinya sebagai orang yang demokratis itu tidak tahan kritik.

Sumber: https://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/dicoret-dari-dpp-gerindra/10151453565383778

Pemimpin Harapan Bangsa

Tulisan ini pernah dimuat di tabloid internal Gerindra dan diupload ke Notes Facebook pada 31 Agustus 2012 jam 7:08pm

***
Indonesia Raya membutuhkan pemimpin yang berani melawan dominasi kepentingan asing yang sudah lama bercokol di republik ini. Itulah yang saya percayai sejak lama, justru setelah saya pulang dari Amerika Serikat sesudah menyelesaikan studi saya di bidang engineering di sana. Dan sudah sejak awal 1990-an, saya melihat sosok Prabowo Subianto sebagai personifikasi pemimpin yang saya impikan mampu membawa Indonesia keluar dari rantai kolonialisme yang masih terus berlanjut di republik ini melalui institusi-instusi baru mereka seperti World Bank dan IMF, setelah kolonialisme dalam bentuk negara ditabukan dalam hubungan internasional.

Dalam gagasan itulah saya bertemu dengan Prabowo Subianto, dan saya rela menjadi pendukung rasionalnya. Fakta politik memperlihatkan, dalam perjalanannya ada beberapa isu yang membelit tokoh harapan saya ini, terutama isu penculikan yang sampai sekarang masih saja dianggap belum selesai meski secara militer dan hukum sudah selesai sejak lama. Masih ada pihak-pihak yang mencoba mengungkit kasus itu hanya untuk sekedar menjadi alat untuk menjatuhkan. Semua itu tidak menyurutkan saya dalam memberikan dukungan dan harapan akan munculnya pemimpin ideal bagi republik ini.

Dalam berbagai forum, terutama forum-forum di dunia maya yang sudah saya ikuti sejak tahun 1990an, seperti mailing-list (milis) Apa Kabar dan Isnet, dan belakangan di tahun 2000an muncul milis-milis dari dalam negeri seperti milis Kahmi_Pro yang beranggotakan alumni HMI Profesional dan milis Muhammadiyah Society, saya kerap menghadapi berbagai hujatan yang dialamatkan kepada sosok harapan saya itu. Tanpa ragu, saya sering tampil menjelaskan duduk perkaranya, serta memberikan pembelaan dari perspektif saya.

***
Ketika tahun 2008 beberapa rekan aktifis mengajak saya bergabung mendirikan Partai Gerindra, tanpa ragu saya bergabung. Menghadapi tantangan mendirikan partai yang harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah dalam waktu yang singkat, selama 6 bulan harus mampu mendirikan sejumlah DPD dan DPC yang disyaratan undang-undang, saya tidak ragu dan yakin mampu memberikan bantuannya, meski pada saat itu banyak pihak-pihak yang meragukan –alhamdulillah yang awalnya meragukan itu kini sudah bisa ikut bersama-sama menikmati partai Gerindra.

Karena itu, terasa sangat lucu ketika tiba-tiba ada vonis kepada saya sebagai “orang yang tidak loyal” terhadap Prabowo Subianto dan Gerindra. Saya merasa ada yang salah dengan kalimat “loyal” di situ. Saya justru berpandangan, loyalitas harus dilandaskan pada sesuatu yang lebih prinsipil, seperti cita-cita, ide dan gagasan. Seperti sering disampaikan oleh Prabowo Subianto sendiri, loyalitasnya adalah kepada merah putih –sebagai gagasan—bukan kepada rezim berkuasa.

Jika kita loyal terhadap rezim, maka bisa saja terjadi penyelewenangan. Apalagi kita semua tahu, power tend to corrupt, kekuasaan cenderung korup atau disalahgunakan. Banyak penguasa tampil dengan cita-cita mulia, akan tetapi setelah duduk bukan cita-cita mulianya yang mengarahkan jalannya kekuasaan yang telah diraihnya, tetapi ambisi kekuasaan yang disulut oleh bumbu para pembisiknya itulah yang menentukan. Tetapi jika kita setia kepada cita-cita, ide, dan gagasan, maka kita akan senantiasa berada pada jalan yang benar.

sumber: https://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/pemimpin-harapan-bangsa/10151080985513778

Cara Jokowi Membangun Kepercayaan by Rhenald Kasali (@Rhenald Kasali)


KOMPAS.com — Tak dapat dimungkiri, perubahan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dari ketika dijalankan, Anda bukan hanya berhadapan dengan kaum resisten, melainkan juga mereka yang bakal kalah pamor.

Ya, kalau Anda gigih dan berhasil menaklukkan resistensi, maka akan ada kelompok-kelompok lain yang menjadi terlihat “tidak bekerja”, “asal bunyi”, atau “provokator”. Seperti kata George Carlin, mereka menggenggam ayat yang bunyinya begini, “Jika engkau tak bisa menaklukkannya, buatlah orang lain membencinya.” Mereka berkampanye agar tidak percaya pada apa yang mereka lihat.

Jadi inti dari perubahan sebenarnya: Mendapatkan kepercayaan. Obat resistensi itu, pertama-tama, adalah kepercayaan. Jujur dan berani adalah satu hal. Tetapi, ini tidak cukup bila pemimpin gagal memberikan hope melalui kemenangan-kemenangan kecil pada tahun pertamanya. Diperlukan pendekatan khusus untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab, provokator juga hanya "mati" di tangan mereka yang sangat dipercaya publik.

Mengubah resistensi itu sendiri ibarat membuka hati manusia yang terluka. Kita tak bisa “menjebol batin” mereka yang terluka untuk membersihkan nanah-nanahnya, kecuali mereka mengizinkannya. Nah, "minta izin membuka hati" ini ada caranya: terlalu lembut tidak tembus, kekerasan hanya membuat mereka jatuh ke tangan para penyamun.

Demikian juga dalam merespons para penyamun yang menghalangi perubahan, selalu ada psikologinya. Nan S Russel, dalam Psychology Today (2012), memberikan tipsnya: tetap respek, hindari komunikasi membalas dengan menyalahkan, sadar diri, jauhkan arogansi, jaga kehormatan dan go beyond yourself (utamakan kontribusi pada publik).

Diplomasi makan malam

Jauh sebelum Jokowi memimpin Jakarta, saya pernah diberitahu pendekatan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam mengatasi berbagai masalah. Semua urusan bisa diselesaikan di meja makan. Dan kalau perut sudah disentuh, hati manusia akan adem. Tetapi, di Tokyo, ternyata juga sama. Bahkan, pekerja-pekerja Jepang hingga larut malam masih menjinjing tas kerja dan jas hitamnya bersama atasan mereka di bar-bar di sepanjang daerah Ginza atau Shinjuku. Dalam ocehan yang terucap, mereka mengatakan, “Kita menanggung sama-sama.”

Saat diserang calo tanah dan warga yang tak mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan (dari area waduk Ria-Rio), kita membaca, Jokowi ternyata juga melakukan cara yang sama. Prosesnya begitu cepat. Bahkan jauh lebih cepat dari yang ia lakukan di Solo saat memindahkan PKL dari tengah kota.


“Saat itu saya ajak PKL makan siang dan makan malam 54 kali,” ujarnya. “Setelah itu baru saya sampaikan bahwa mereka akan dipindah. Dan mereka diam semua. Saya katakan, kalau begitu setuju ya... dan mereka menjawab, 'Iya, Pak...'."
Ia memberikan refleksinya sebagai berikut:

Pertama, PKL adalah businessman, sama seperti yang lainnya. Mereka itu pasti berhitung untung ruginya.

Kedua, pada awalnya, setiap diundang makan malam ke Balaikota mereka tahu bahwa mereka akan digusur, karena itulah mereka datang dengan LSM dan advokat-advokat. "Karena itu, saya tak bicara apa-apa, saya hanya mengajak mereka makan malam meski mereka kecewa tak ada omong-omong," ujarnya.

Ketiga, mereka khawatir, di lokasi baru bisnis mereka akan rugi atau diperlakukan tidak adil.
Di Jakarta, saat menghadapi warga-warga yang tinggal di bawah waduk Ria Rio, Jokowi mengatakan, “Saya tak ingin berhadap-hadapan dengan rakyat, rakyat tak boleh ditindas.” Itu sebabnya, ia memilih melayani mereka di meja makan, dan mereka pulang dengan enteng. Jokowi benar, jika perubahan membutuhkan koalisi perubahan, maka berkoalisilah dengan rakyat.

Diplomasi Sentuhan 
Blusukan adalah satu hal, tetapi di balik branding Jokowi itu ada diplomasi sentuhan yang luput dari perhatian para elite. Jangan lupa setelah Gen C (connected generation), kita tengah menghadapi Gen T (touch generation).

Bila mesin saja baru terlihat smart kalau disentuh, apalagi hati manusia. Rakyat yang selalu menjadi korban dalam perubahan, merindukan pemimpin-pemimpin yang tak berjarak, yang bisa mereka sentuh. Saya ingin menceritakan kejadian ini.

Suatu ketika Fadel Muhammad bercerita saat ia menemani kandidat cagub DKI dari Partai Golkar yang datang ke sebuah masjid di daerah Kwitang dengan kawalan voorijder. Pedagang di jalan harus minggir, dan cagub tersebut bertemu Habib sebentar, lalu pergi. Setelah itu datanglah cagub incumbent. Kali ini bukan hanya voorijder, melainkan juga camat, lurah, dan hansip sehingga semua PKL tak bisa berjualan. Jalan raya tiba-tiba berubah menjadi lengang dan benar-benar bersih.

Lantas bagaimana saat Jokowi datang? Ia datang tanpa pengawal, menyalami pedagang dan peziarah di sepanjang jalan sehingga agak lama baru sampai di pelataran masjid. Peziarah terkesima karena Jokowi sama seperti mereka, berpakaian seperti rakyat biasa, tak berjarak. Pemimpin yang tak berjarak menyentuh tangan dan pundak rakyatnya, sedangkan pemimpin yang berjarak justru menghindarinya. Bagi mereka, blusukan hanyalah pencitraan, bukan sentuhan hati. Padahal, di situ ada pertautan kepercayaan.

Jadi, kepercayaanlah dasar dari setiap karya perubahan. Dan, pemimpin yang pandai akan memisahkan ilalang dari padi-padi yang harus dipelihara agar menghasilkan buah. Inilah tugas penting para pembuat perubahan di tengah-tengah low trust atau bahkan a distrust society.
Maka, daripada menjegal Jokowi, mengapa tidak bergabung saja dan salami dia sebagai role model. Kalau Anda cinta perubahan, orang-orang seperti ini justru harus diberi apresiasi. Seperti kata Jim Henson, "If you can not beat them, joint them."

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/28/1122576/Cara.Jokowi.Membangun.Kepercayaan

Tuesday, April 01, 2014

Kenangan Masa Lalu: berpolitik.com Menjawab

Saya temukan tulisan ini di internet, tersimpan rapih di: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/08/07/0011.html

[INDONESIA-VIEWS] BERPOLITIK.COM Menjawab

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Mon Aug 07 2000 - 17:23:26 EDT

From: "Fami Fachrudin" <fami@berpolitik.com>
To: <miriamabd@yahoo.com>
Cc: <apakabar@radix.net>
Subject: Berpolitik.com Menjawab
Date: Mon, 7 Aug 2000 08:31:39 +0700
Organization: PT Jaring Jagat Jimbar


Salam,

Yth. Ibu Miriam Abdullah
(Maaf kalau keliru)


Menanggapi tulisan Ibu mengenai berpolitik.com bersama ini saya, selaku
Pemimpin Umum media berpolitik.com, menyampaikan hal-hal yang telah Ibu
sampaikan ke milis Apakabar sebagai berikut:


1. Berpolitik.com bukan MILIS tetapi media berita dan analisa politik.
Perlu kami sampaikan, berpolitik.com dibuat dan didesain oleh Fami
Fachrudin (sekarang PU berpolitik.com) dan Reza Anwar (kami berdua lulusan
the University of Arizona, satu kampus satu jurusan) sebagai realisasi
dari cita-cita kami untuk mewujudkan media berita dengan paradigma baru
jurnalisme: open source journalism. Dalam paradigma baru ini, berita tidak
dimonopoli oleh wartawan, apalagi pemodal bisnis media.


2. Tidak benar berpolitik.com dibiayai oleh Habibie dan Setiawan Djody
melalui anaknya. Untuk menjalankan gagasan kami itu, kami mengajak orang
yang dapat mempercayai kami untuk bersedia mengeluarkan modal guna
pengembangan berpolitik.com --tentu saja ini proses alamiah, modal akan
diberikan kepada orang yang dipercayainya. Pemodal itu bukan lah dari
pihak Habibie juga bukan dari pihak Setiawan Djody. Kami berdua (Fami dan
Reza) waktu itu, dalam memilih pemodal tidak melihat siapa orang tua dan
keluarga pemodal. Yang kami lihat, ia bersedia mengeluarkan modalnya untuk
pengembangan sebuah sit us yang akan mengembangkan model jurnalisme
terbuka dan dia bersedia untuk tidak mencampuri urusan redaksi. Bahwa dari
para pemodal itu ada hubungan saudara --bahkan ada hubungan darah dengan
FOUNDING FATHER dan PROKLAMATOR bangsa-negara Indonesia-- kami tidak
mempersoalkan selagi terbukti ia dengan setia tidak pernah mencampuri
urusan redaksi. Dan hingga kini mereka masih disiplin untuk tidak
mencampuri urusan redaksi.


3. Berpolitik.com tidak terlibat dengan IPS. Keterlibatan Sdr. Ahmad
Muzani sebagai Pemimpin Redaksi tidak terkait dengan IPS maupun Fadli Zon.
Bahwa Ahmad Muzani berteman dengan Fadli Zon, ada dan banyak Pemred media
lainnya (salah satunya media paling top di negeri ini), yang juga berteman
dengan Fadli Zon. Dan perlu Anda ketahui, Sdr Ahmad Muzani juga berkawan
dengan Bp H Suryopratomo, Pemred Kompas sekarang ini. Pemilihan kami
terhadap Ahmad Muzani lebih karena kesediaan. Sebagai media baru yang
belum jelas masa depannya waktu berpolitik.com d idirikan, tidak banyak
wartawan yang bersedia gambling berkarir di berpolitik.com. Ahmad Muzani
adalah orang yang bersedia untuk gambling dan bergabung dengan
berpolitik.com.


4. Berpolitik.com sahabat AJI. Kami tidak berperang (mission
dissinformation) melawan AJI. Wakil Pemred kami, M Thoriq, adalah salah
satu penandatangan Deklarasi Sirnagalih, deklarasi pendirian AJI. Redaktur
kami, Sdr Shodiqin Nursa, saat ini adalah Pemred Reporter Jakarta (dwi
mingguan) yang diterbitkan oleh AJI Jakarta.


5. Berpolitik.com didukung wartawan dari berbagai kalangan. Wartawan kami
berasal dari berbagai latar belakang, baik dari kalangan aktifis Islam
(modernis-tradisional) hingga aktifis PRD. Semua itu untuk menjaga balance
di dalam diri kami sendiri.
 
6. Kami sangat menyesali sikap Ibu yang percaya hanya dari sumber satu
pihak saja. Kenapa bisa mempercayai sebuah informasi tanpa ada cross check
terlebih dulu?


7. Kami berharap, usaha-usaha disinformasi terhadap berpolitik.com seperti
yang Ibu lakukan bisa dihentikan --juga oleh kalangan lainnya. Marilah
kita mengembangkan jurnalisme yang lebih jujur dan terbuka, sebagai bagian
dari cita-cita untuk mewujudkan In donesia Baru yang lebih demokratis.


8. Sebagaimana doa Ibu, saya JUGA yakin dan percaya Allah swt akan
menuntun kita untuk melihat kebenaranNya dan untuk mempraktekkan amal
ditengah-tengah umat manusia di dunia ini.


Salam,
-Fami Fachrudin

>Date: Fri, 4 Aug 2000 11:44:16 -0700 (PDT)
From: miriam abdulah <miriamabd@yahoo.com>
Subject: PREJUDICENYA MILIS DUNIA ISLAM
To: apakabar@Radix.Net

HATI-HATI DENGAN PREJUDICENYA DUNIA ISLAM

 ...

----- End of forwarded message from Fami Fachrudin -----


Rahasia di Balik Polling SMS TV One dan Metro TV

Tulisan ini diambil dari blog Dwiki Setiawan.

***

Di milis Kahmi Pro Network, rekan saya Fami Fachrudin yang mantan caleg DPR-RI dari Partai Gerindra, menulis catatan ringan mengenai kegiatan polling short message servive (sms) saat berlangsung acara Debat Capres dan Cawapres beberapa waktu lalu.

Dari penuturannya, barulah saya tahu, “Oh begini tho ‘pertempuran’ yang terjadi dibalik kegiatan polling sms untuk saling dongkrak-mendongkrak perolehan hasil akhir yang selama ini tidak diketahui publik.”

Rekan Fami Fachrudin ini pendapatnya saya kutip lengkap untuk tulisan ini, karena dia punya kapasitas untuk bicara soal polling sms dimaksud. Saat ini ia Presiden Direktur PT ASMINDO. Sebuah perusahaan berkantor di Jakarta yang bergerak di bidang content provider, telekomunikasi dan teknologi informasi. Pembaca yang ingin tahu banyak soal sosok satu ini, silakan klik situsnya di http://www.masfami.com.

Di milis tersebut, Fami yang asli Bumiayu Jawa Tengah itu menuturkan bahwa ia menggunakan SMSCaster untuk ‘membom’ empat digit nomor tujuan pengiriman sms. Program SMSCaster ini, katanya pula bisa dicari di internet lewat Mesin Pencari Google.

Berikut catatan Fami Fachrudin mengenai sepak terjang dibalik kegiatan Polling SMS Debat Capres dan Cawapres selengkapnya:

Karena debat capres-cawapres sudah usai, mungkin perlu sedikit diungkap secara singkat bagaimana kegiatan polling di TV One dan Metro TV.

Saya sedih dan geli, ketika para pakar dan juru bicara Tim Kampanye Nasional dengan “serius” membahas hasil polling tersebut, termasuk our newly crowned as professor yang pada debat cawapres ke-1 jadi komentator di Metro TV. Padahal, bersama Ami Geis, Dian, dan Tatat di OhLaLa (belakangan datang Medrial, Hamid, dan IJP) saya kirim ribuan sms dari laptop saya untuk menyodok suara dukungan sms utk Prabowo hingga 32%. Saya geli saat pengamat kita membahas hasil polling tersebut dengan segala argumennya.

***

Saat debat capres pertama usai, paginya Mega-Prabowo Media Center membahas soal perolehan suara Mega pada polling sms kedua TV tersebut yang sangat rendah. Mereka mengeluh karena kesulitan mengirimkan sms dukungan ke 3030 (TV One) maupun 6876 (Metro TV).

Sebagai orang yang menggeluti bisnis content provider, saya mengerti betul bagaimana teknis yang ada di belakang mesin 3030 dan 6876 bekerja. Lalu saya sampaikan kepada kawan-kawan (di Tim Sukses Mega-Prabowo), sediakan saya pulsa senilai 10 juta rupiah, saya akan bekerja menaikkan angkanya.

Singkat kata, seusai debat cawapres 1, suara Prabowo di Metro TV mencapai 32, Boediono 45, dan Wiranto 20. Itu berkat 2 buah modem dan pulsa senilai Rp 10 juta.

Mungkin merasa kecolongan (Boediono di bawah 50%), pada debat capres ke-2, atau seri debat ke-3 dari serial debat itu, pengiriman memakai modem dipersulit. Puji Tuhan, ada orang Metro TV yang teledor kirim sms ke nomor yang dipakai untuk “menggempur” berbunyi:
“Tolong jangan jadi spammers –Metro TV“.

I got you! Rupanya aliran sms yang masuk ke mesin 6876 ‘diplototin’ sama mereka sehingga nomor yang berkali-kali masuk bisa ketahuan. Sms itu adalah bukti bahwa aliran sms yang masuk “dikontrol” oleh mereka. Pikiran kotor saya berpendapat, mereka mau mengontrol agar suara SBY-Boediono tetap di atas 50%.

Ini jelas tidak fair. Pertama, sms yang saya kirim isinya sesuai dengan petunjuk. Kedua, jumlah sms yg saya kirim tidak melanggar aturan karena presenter bilang: kirim sebanyak-banyaknya !

Malam itu hasilnya mengecewakan. Paginya Media Center mengadakan jumpa pers untuk sedikit menyentil praktek tersebut.

Pada seri ke-4 atau debat cawapres ke-2, saya sediakan 5 modem dan pulsa senilai 3p 20 juta. Hasilnya, suara Prabowo di TV One merangsek hingga 36% (Boediono 48). Hanya di Metro TV yang saya dapati masih “dipermainkan”. Sejak pukul 18.00 hingga 21.00 wib, seluruh sms berisi “Cawapres 1″ yg dikirim ke 6876 mental dan dapat jawaban “layanan tidak tersedia”. Anehnya, jam 21.00 Metro TV tetap mengumumkan hasil pollingnya.

Seri debat terakhir saya pulang kampung jadi tidak ikutan polling. Hasilnya Mega mendapat 14% di TV One dan 9% di Metro TV.

Tahukah Saudara bagamana SBY-Boediono menangani polling ini? Mereka membayar sebuah perusahaan content provider (namanya saya rahasiakan) dan menyiapkan seluruhnya 50 modem.

*****
http://dwikisetiyawan.wordpress.com/2009/07/04/rahasia-di-balik-polling-sms-tv-one-dan-metro-tv/