Monday, March 17, 2014

Ketika Junino Hendak “Dipalak” Anggota DPR


Seiring dengan dimulainya kampanye terbuka Pemilu Legislatif 2014, redaksi sengaja menghadirkan sepak terjang "tidak terhormat" wakil rakyat sebagai pengingat bagi para pemilih agar lebih hati-hati memilih wakilnya dan bagi para caleg agar lebih amanah menjalankan tugasnya bila kelak terpilih.

Korupsi kadang menghadirkan kisah lucu sekaligus menusuk kalbu, dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya rakyat, yang semula diharapkan bisa memperjuangkan nasib bangsa. Kali ini Redaksi ILUNI Online mengajak pembaca menyimak bagaimana para Anggota DPR RI berusaha “memeras” Junino Jahja, alumnus UI yang ketika itu menjabat Direktur Utama Perum Peruri.

Junino Jahja dikenal sebagai mantan aktivis militan yang pernah jadi ‘tahanan kampus’ dan nyaris dipecat sebagai mahasiswa UI karena dinilai sebagai otak ‘provokator’ demo besar-besaran menolak NKK/BKK. Meskipun kuliahnya sempat molor, setelah lulus kuliah, pria yang akrab disapa Nino ini memiliki karir profesional yang cermerlang hingga sempat menduduki jabatan Direktur PT Indosat. Meskipun bekerja di BUMN, militansinya sebagai aktivis tidak pernah pudar. Sejak awal gejolak gerakan Reformasi 1998, Nino aktif mendukung mahasiswa UI mendobrak kebekuan politik Orde Baru.

Tahun 2004, Nino meninggalkan Indosat dan malah terjun ke “zona berbahaya” ketika dirinya dipercaya sebagai Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi anti rasuah yang baru berdiri ketika itu dan harus berhadapan dengan para koruptor baik petinggi negara maupun konglomerat.

Setelah mengabdi di KPK, Junino diminta menjadi Direktur Utama Perum Peruri. Dari sinilah berawal kisah “lucu” yang membuat geram dari tingkah polah anggota DPR RI. Untuk lebih lengkap, mari kita simak hasil liputan Majalah GATRA edisi 19/01, terbit Kamis 8 Nopember 2012:

Ponsel Junino Jahja berdering. Setelah diangkat, dari seberang, si penelepon menyampaikan pesan sederhana: meminta kesediannya hadir dalam pertemuan dengan beberapa anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Mata Uang yang sedang digodok di Komisi XI DPR. Saat itu, hari Senin 21 Maret 2011. Junino adalah Direktur Utama (Dirut) Perum Percetakan Uang RI (Peruri) ketika itu. Sejak 31 Oktober 2012, ia tidak lagi menjadi dirut.

Junino diajak makan malam di Restoran Poke Sushi, Hotel Crowne Plaza, Jakarta. Junino mengiyakan ajakan itu. Pada saat makan malam, ia ditemani Slamet Haryono, Sekretaris Perusahaan Peruri. Menjelang senja, ia telah menunggu di tempat yang sudah diatur. Pukul tujuh malam, datanglah lima anggota pansus. Mereka adalah Achsanul Qosasi (Partai Demokrat), Mustofa Assegaf (Partai Persatuan Pembangunan), Edison Betaubun (Partai Golkar), I Gusti Agung Rai Wirajaya (PDI Perjuangan), dan Muhammad Hatta (Partai Amanat Nasional).

Sembari menunggu pesanan disajikan, tim pansus mengutarakan ihwal masih adanya dua pasal dalam RUU itu yang belum disepakati. Yaitu pasal yang berkaitan dengan kewenangan mencetak uang dan membeli kertas. Tim pansus menjelaskan, ada kemungkinan pansus menyetujui wewenang mencetak dan membeli kertas jatuh pada Peruri. Selama ini, kewenangan Peruri hanyalah mencetak. Sedangkan hak membeli kertas dan mengedarkan uang hasil cetakan Peruri ada pada Bank Indonesia (BI).

Obrolan itu, menurut Junino, kemudian berputar-putar tanpa arah yang jelas. Ia menjadi jengah. "Saya berterima kasih kalau begitu, tetapi maksud kongkretnya apa, ya?" tanya Junino. "Kalau pasal ini diloloskan, Peruri yang untung. Ya, share keuntungan dengan kamilah," jawab salah satu anggota tim pansus, seperti ditirukan Junino.

Junino berkilah tidak memiliki dana untuk itu. Seorang di antara mereka menyarankan Peruri meminta duit ke supplier-nya untuk menalangi pembayaran kepada tim pansus itu. Tarik-menarik permintaan upeti ini berakhir saat Mustofa Assegaf, yang tidak begitu mengenal Junino, bertanya. "Sebelum di Peruri, Anda di mana?" Tanpa pikir panjang, Junino menjawab, "Saya sebelumnya Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Pak."

Pembicaraan mengenai dua pasal di RUU Mata Uang itu pun terhenti seketika. Achsanul yang pertama meminta izin keluar dari ruangan dengan dalih ada panggilan telepon masuk. Edison dan Mustofa menyusul keluar. Alasannya, ditunggu orang lain di tempat lain. Tinggal Gusti Agung dan Hatta, yang mau tidak mau menemani Junino makan malam karena pesanan keburu diantarkan.

Yang tidak diketahui anggota tim pansus itu, pembicaraan mereka sedari awal direkam oleh KPK. Namun, karena belum sampai menyebut harga dan belum terjadi tindak pemerasan, persoalan ini tidak sampai bergulir ke muka hukum.

Tim Pansus RUU Mata Uang menampik tudingan adanya upaya memperdagangkan pasal ke Peruri itu. "Nggak ada gitu-gituan," kata Achsanul kepada GATRA. "Mau ngapain kami cari-cari uang begitu. Ini kan menjelekkan nama baik kami. Apalagi menjelang pemilu seperti ini. Mereka mencoba menjatuhkan kami aja," ia menambahkan.

Meski begitu, Achsanul membenarkan adanya pertemuan dengan Junino di Hotel Crowne Plaza itu. Pertemuan itu, kata dia, hanya menanyakan kesiapan Peruri mencetak uang di dalam negeri sendiri. "Masak kita mencetak uang di Australia, di mana-mana. Makanya, kami tanya, mereka siap nggak mencetak di sini. Itu aja," katanya.

Selama Junino menjadi dirut BUMN, permintaan upeti dari pihak luar, baik itu anggota DPR, pemerintah daerah, supplier, maupun masyarakat, jamak terjadi. "Kalau DPR, umumnya datang sendiri meminta sumbangan untuk dibagikan ke daerah asal pemilihan mereka," kata Junino kepada Fitri Kumalasari dari GATRA. "Atau membawa supplier agar dimenangkan dalam proses tender proyek Peruri," katanya. Mereka yang datang biasanya dari Komisi VI yang membidangi BUMN.

Junino menyarankan kepada direksi BUMN agar tak takut menghadapi upaya pemalakan itu. "Kalau mau ketemu, ya, temui saja. Kalau merasa ada ancaman, lapor ke aparat penegak hukum seperti KPK, polisi, atau kejaksaan," ujarnya.

Sumber tulisan: http://iluni.net/berita/165-ketika-junino-hendak-dipalak-anggota-dpr



Deklarasi untuk Indonesia | Oleh: Jaleswari Pramodhawardani

KOMPAS.com - SEMUA pertanyaan dan spekulasi itu terjawab sudah. Tanpa perayaan, jauh dari hiruk-pikuk simbol kepolitikan Jakarta, PDI Perjuangan mengumumkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden 2014.

Melalui perintah harian yang ditulis tangan oleh Megawati Soekarnoputri, yang disampaikan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Jumat (14/3), Megawati selaku pemegang mandat melalui Kongres III PDI-P 2010 untuk memilih capres partainya menyerahkan kembali mandat tersebut kepada rakyat Indonesia untuk memastikan Jokowi menjadi presiden RI melalui Pemilu 2014. Walaupun sudah diduga sebelumnya, pernyataan ini tetap jadi kejutan politik, setidaknya bagi kubu lawan yang masih berharap Megawati diajukan menjadi capres. Bukan untuk mendukung, melainkan menyisakan harapan bagi kemenangan mereka.

Selain itu, di luar dugaan orang, cara deklarasi capres ini dilakukan dengan tidak menggunakan cara-cara konvensional. Ketika banyak partai tampil dengan banyak warna, penuh gambar, penuh gaya, dan kebesarannya, PDI-P justru sebaliknya. Ia tampil dengan dominasi warna putih, simbol Jokowi, yang memancarkan kemurnian dan daya tarik universal. PDI-P mengesankan tidak sedang menawarkan apa pun atau tidak sedang berupaya menjejali publik dengan kemegahan kampanye deklarasi.

Pilihan untuk sederhana, tak mengandalkan media utama—dan menabrak kaidah-kaidah marketing dan advertising sekaligus—menjadikan kesederhanaan sebagai sesuatu yang hebat dan bermanfaat bagi banyak orang. Hal ini terbukti dengan ajakan mereka untuk mengunduh, menggunakan, dan memanfaatkan simbol-simbol Jokowi melalui lamannya untuk disebarluaskan. Kesukarelaan dan kegotongroyongan ingin didorongkan di sini. Bahkan, ketika deklarasi capres tersebut dibacakan, Jokowi menerima mandat tersebut ketika blusukan di daerah Marunda saat di Masjid Si Pitung.

Menyelami politik Megawati

Jika mencermati isi pidato ataupun pernyataan politik Megawati selama ini, ia memiliki sikap politik yang jelas sejak awal. Ia telah melewati hamparan sejarah panjang, melewati fase-fase kritis pergulatan Indonesia sebagai bangsa dan PDI-P sebagai kekuatan politik. Bersama PDI-P yang ia pimpin, Mega telah mengalami evolusi, penajaman dan kontekstualisasi dari gagasan dasar Bung Karno mengenai nasionalisme kerakyatan, pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dan Tri-Sakti. Jalan ideologis yang dipilih partainya sebagai hasil pergulatan politiknya selama ini.

Namun, di sisi lain harus diakui, sungguh tak mudah jadi pemimpin perempuan di tengah mayoritas budaya masyarakat patriarkis dan feodalisme yang belum sepenuhnya luntur dari kultur Indonesia. Kedua hal ini sering memberikan stigmatisasi terhadap keputusan dan gaya politiknya yang dianggap tidak sesuai dengan arus utama selama ini.

Melalui deklarasi ini pula memperlihatkan banyak pihak cabut lotre yang salah tentang dirinya. Tuduhan bahwa ia masih menginginkan jabatan presiden untuk dirinya sendiri tak terbukti. Prasangka bahwa ia menyiapkan penggantinya berdasarkan ”darah biru” trah Soekarno, sebagai bagian dari politik dinasti, terpatahkan sudah. Megawati bukan tidak tahu kritikan pedas yang ditujukan kepadanya. Partainya kerap dituduh beraroma feodalisme yang hanya menyandarkan suara pada fanatisme pemilihnya dan hubungan darah Soekarno. Di beberapa forum, ia bahkan bertanya balik: apa yang salah dengan politik dinasti? Mengapa fanatisme pemilih dianggap buruk?

Ia mengatakan, tentu tak semua politik dinasti bu¬ruk. Beberapa di antaranya membangun keberlangsungan mereka pada me¬ri¬tok¬rasi dan dukungan rakyat yang nya¬ta. Di sisi lain Megawati juga paham ekses buruk dari politik dinasti, yaitu jebakan peluang untuk korupsi, kolusi dan ne¬po¬ti¬sme. Menurut Mega, kejahatan itulah yang perlu diwaspadai dan dicarikan mekanisme untuk pencegahannya.

Transformasi kepemimpinan

Deklarasi yang meloloskan Jokowi melenggang dalam Pilpres 2014 memunculkan interpretasi menarik. Pertama, inilah kemenangan politik Megawati sesungguhnya. Sejak Kongres III PDI-P 2010, Megawati senantiasa menyosialisasikan pentingnya menegaskan dan mengukuhkan kembali ideologi sebagai jalan perjuangan partai. Untuk menguatkan hal itu, Megawati dan PDI-P rela menapaki jalan sunyi sebagai partai politik oposisi satu dekade untuk konsolidasi dan mematangkan basis partai. Ia memiliki kesempatan untuk melakukan perekrutan dan kaderisasi partai di semua level.

Kedua, Jokowi merupakan representasi dari transformasi kepemimpinan baru, sekaligus memperlihatkan keberhasilan kaderisasi di tubuh partai. Ia diharapkan jadi pelopor kepemimpinan kaum muda, yang kuat dan teguh di tengah tantangan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan yang terus membengkak; di tengah-tengah frustrasi sosial masyarakat yang tak berdaya melihat masa depan yang lebih baik. Tantangan ini jelas tidak ringan. Ia perlu mengembangkan demokrasi matang yang mampu me¬m¬be¬ri arah kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, ia selalu menegaskan, unsur kepemimpinan sangat penting dimiliki seorang presiden. Menjadi presiden mudah, jadi pemimpin jauh lebih sulit.

Ketiga, melalui deklarasi ini Megawati membangun kepolitikan baru dengan menunjukkan bahwa parpol bertanggung jawab menghasilkan kader-kader terbaiknya mengelola bangsa dan negara ini. Partai tak bisa lagi berpangku tangan, tetapi ikut bertanggung jawab terhadap sepak terjang kader partainya. Karena itu, ideologi kerja menjadi bagian dari praktik keseharian pengelolaan partai dan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan negara. Hal itu merupakan wujud kerangka hubungan dinamis antara negara dan rakyat yang membuat penguatan partai menjadi agenda krusial dan sebuah keharusan.

Deklarasi capres PDI-P mungkin hanya langkah kecil dari perjalanan panjang Jokowi menuju RI-1. Tentu akan banyak pertanyaan yang diajukan publik kepadanya tentang komitmen dan kerja nyata untuk kebaikan bangsa ini. Yang jelas, Jokowi dan PDI-P tidak boleh gagal mencoba mempertahankan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya. Jokowi akan dihadapkan pada tuntutan tentang pemerintahan baru, yang membutuhkan inovasi, imajinasi, kebijakan, dan visi baru mengelola bangsa dan negara ini.

Perjalanan 16 tahun reformasi membutuhkan sebuah kepemimpinan bukan sekadar keahlian diplomasi, dan satu-satunya tes yang valid dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin, yaitu memimpin dengan penuh semangat dan tidak cepat berpuas diri dalam kerja nyata untuk rakyat. Singkatnya, Jokowi akan dihadapkan pada tantangan pembuktian kepemimpinan generasi baru untuk mengatasi masalah-masalah baru dan peluang baru. Jokowi tentu saja tidak sendiri. Di seluruh dunia, khususnya di negara-negara baru, banyak orang muda yang merengkuh puncak kekuasaan, yang tidak terikat oleh tradisi masa lalu, yaitu orang-orang yang tidak dibutakan oleh kekhawatiran dan membenci persaingan, orang muda yang dapat membuang slogan lama; delusi dan kecurigaan. Jokowi memang harus membuktikan bahwa pilihan dan mandat Megawati terhadapnya tepat.

Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Sumber tulisan:  
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/03/15/1219105/Deklarasi.untuk.Indonesia

Analisa Pencapresan Jokowi dari Perspektif bukan Pendukung PDIP | oleh: Dwi Samudra

Sengaja saya tekan kata-kata “bukan pendukung PDIP” untuk menegaskan keinginan agar analisa ini tidak dipahami sebagai keberpihakan atau hujatan pada salah satu partai atau kandidat capres. Kajian sederhana ini adalah hasil diskusi dengan sebagian teman. Saya mencatat ada beberapa hal yang patut di simak.

LANGKAH PDIP

Pertama, strategi pemilihan waktu yang brilian. PDIP kembali menunjukkan kelas nya sebagai partai yang berpengalaman. Pemilihan waktu yang tepat, saat banjir DKI mereda, sedang kebakaran hutan di Riau, memberi keuntungan sendiri pada Jokowi. Meredakan hujatan karena sebab banjir. Plus, KPK sedang seru seru nya menelisik kader kader partai lain yang tersangkut berbagai kasus. Semua itu memberi ruang keuntungan pada pencapres an Jokowi.

Kedua, pencapresan Jokowi meruntuhkan citra, bahwa ketua partai adalah jenjang menuju capres. Megawati sukses menaikkan citra dirinya dan PDIP sebagai partai yang memberi kesempatan pada kadernya. Tidak ada lagi semacam citra keharusan trah Soekarno.

Ketiga, Jokowi adalah capres yang relatif termuda dibandingkan yang lain. Kembali, PDIP dengan cerdik menawarkan faktor pembeda dengan lainnya. Sementara yang lain nyamenawarkan stock lama daur ulang semua.

Keempat, PDIP sukses menjadikan tawanan bagi mereka yang bukan pendukung PDIP tetapi pendukung Jokowi. Barang siapa menginginkan Jokowi sebagai presiden, maka mau tidak mau harus memilih PDIP agar lolos presidential threshold.

Kelima, PDIP sadar penuh realita di lapangan. Banyak swing voter dan golput. Banyak yang kecewa pada parpol dan direpresentasikan dengan hujatan pada DPR. Realitanya, seperti kasus Risma, banyak yang lebih menyukai tokoh daripada partai. Maka PDIP menyajikan tokohnya, bukan partainya. Reaksi beberapa teman yang tadinya siap Golput kontan berubah: Sekarang saya punya pilihan, Jokowi!

SIAPA PENDUKUNG DAN PENGHUJAT JOKOWI?

Menarik disimak, bahwa pencapresan Jokowi disambut gembira dan juga disambut hujatan. Menurut saya, tidak bisa sesederhana itu hanya membuat 2 kategori: Pendukung dan Penghujat.

Pendukung Jokowi terdiri dari beberapa kategori: (a) pendukung PDIP, (b) murni pendukung Jokowi dan (c) “terpaksa” mendukung Jokowi. Pendukung Jokowi golongan (b) ini, terdiri dari mereka yang tinggal di Jakarta dan non Jakarta. Yang tinggal di daerah non Jakarta, biasanya mereka yang kecewa dengan kinerja pemerintah di daerahnya dan berharap mereka dapat imbas perbaikan pemerintahan kalau Jokowi jadi presiden.

Yang menarik pendukung golongan (c): Mereka sebenarnya bukan fans Jokowi, tetapi karena tidak ada pilihan yang lebih baik, maka mereka mendukung Jokowi. Lha, bagaimana lagi, masak harus pilih Rhoma Irama?

Penghujat Jokowi terdiri dari beberapa kategori (a) pendukung dari partai lain, (b) mereka yang memang tidak suka Jokowi, meski bukan pendukung partai manapun dan (c) mereka yang merasa patah hati dengan pencapresan Jokowi

Penghujat golongan (c) yang patah hati, adalah para pemilih Jokowi 2 tahun yang lalu. Mereka yang justru mengapresiasi kerja Jokowi sebagai gubernur dan berharap Jokowi bisa menuntaskan kerjanya. Dan sekarang mereka kecewa karena Jokowi dianggap tidak menuntaskan amanahnya.

BAGAIMANA STRATEGI CAPRES PARTAI LAIN ?

Mengumumkan capres sebelum pileg, sungguh suatu perjudian. Perolehan suara di legislatif bisa naik dan juga bisa turun. Hingga saat ini, belum semua partai mendeklarasikan capres nya, dengan berbagai alasan. Sebagai contoh, sebagian kader Golkar menyesali penetapan Ical karena diyakini akan menurunkan suara perolehan.

Demokrat, disayangkan tidak juga menetapkan hasil konvensi. Mungkin mereka masih yakin bahwa suara rakyat lebih condong ke partai, bukan ke tokoh. Tokoh tidak membawa gerbong suara saat pileg. Padahal, kalau saja mereka menyebut nama popular seperti DI dan Anies misalnya, maka suara akan terkatrol.

PKS, tetap saja berkutat dengan gaya akademik yang prosedural. Melalui Pemira, yang muncul malah nama nama yang kurang diapresiasi masyarakat. Seandainya mereka menyebut nama-nama populer di masyarakat seperti Ridwan Kamil sebagai yang dipertimbangkan sebagai capres, maka bukan mustahil akan membantu.

Setahu saya, hanya PKS, PPP dan Golkar yang nama partainya terpisah dari nama tokoh, meski akhirnya harus menelan kenyataan digerogoti oleh kelakuan tokohnya. Sisanya bisa dibilang bernama partainya Surya Paloh, partainya SBY, partainya Megawati dsb

SIAPA CAWAPRESNYA?

Menarik disimak, Mega tidak mengumumkan nama cawapresnya. Cerdik, tidak semua kartu langsung dikeluarkan. Sekaligus untuk menyiapkan rencana B. Seorang teman berpendapat, bahwa pertempuran capres selesai sudah, sedang pertempuran cawapres dimulai.

Tentu bukan mustahil, PDIP akan menyodorkan cawapre nya dari PDIP pula kalau mereka menang besar di pileg. Teman saya yang pendukung golongan (c) bilang, kembali kita jadi tawanan PDIP. Boleh tidak suka cawapresnya, tapi kalau pingin Jokowi jadi presiden ya mau gimana lagi, terpaksa tetap dipilih. Pendukung golongan (b) dan (c) ini berpendapat, bahwa PDIP tidak punya stock tokoh lain lagi yang pantas dijadikan cawapres.

Ada lagi yang berpendapat, alangkah baiknya kalau wapresnya dari partai lain, sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik. Dalihnya, presiden dan wapres akan didukung suara mayoritas karena berasal dari 2 partai besar.

Apabila dituruti prediksi di atas, maka timbul pertanyaan, siapa yang pantas jadi cawapresnya dan kapan saatnya mereka berkoalisi? Pendapat liar seorang teman, seumpama terjadi koalisi dengan Demokrat yang mengajukan DI, atau Golkar mengajukan JK atau Gerindra mengajukan Prabowo sebagai cawapres, maka pemilu sudah selesai hari ini.

KONKLUSI

Hulu dari segala kegalauan di atas, adalah kegagalan partai politik melahirkan para kader pemimpin. Stock pemimpin yang layak pilih semakin berkurang. Nama “Pemilu” pantas dipertanyakan, karena tidak memberikan para calon yang layak pilih. Ibarat mangga busuk satu keranjang, apanya yang akan dipilih?

Sebagian penghujat Jokowi, juga kesulitan untuk memberi alternatif siapa capres yang layak pilih. Publik semakin terperangah dengan ide-ide absurd seperti PKB mengusung Rhoma Irama, PPP mengusung Suryadharma Ali dst. Nama-nama yang kelihatan bersinar, justru mereka yang munculnya bukan dari partai politik, seperti Risma, Ridwan, Abraham Samad, Dahlan Iskan dll.