Wednesday, July 16, 2008

Kesantunan Mohammad Natsir

Sebagai pengagum M. Natsir, saya harus mengutip sebuah tulisan dari Majalah TEMPO Edisi. 21/XXXVII/14 - 20 Juli 2008 tentang beliau dalam blog ini. Dari berbagai kesaksian atas kepribadian Pak Natsir, tidak diragukan lagi beliau adalah orang yang sangat santun.

Kesantunan bukanlah sikap politik pak Natsir semata, tetapi sudah menjadi bagian dari kepribadiannya yang tidak terpisahkan. Artinya, ia tidak berlaku santun hanya karena ia seorang politisi, kesantunan yang dipakai sebagai sebuah tipuan politik belaka yang dalam kehidupan sehari-harinya ternyata sangatlah kontradiktif. Sebagai politisi, guru, atau pendakwah, pak Natsir tetap bisa menunjukkan kesantunannya. Terhadap kawan maupun lawan, kesantunannya tidaklah pernah surut dari sikapnya.
***
Berikut tulisannya:

Politik Santun Mohammad Natsir

MOHAMMAD Natsir seakan ber­asal dari negeri yang jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang te­guh ideologi partai masing-masing. Beradu argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat menghadapi penjajah Belanda.

Indonesia di awal kemerdekaan, ketika Mohammad Natsir berkecimpung menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khayalan. Ketika itu beda pendapat dan pandangan sudah biasa. Para politikus tak merasa perlu memamerkan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup bersahaja.

Sebagai Menteri Penerangan, Natsir tak malu mengenakan kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak dengan cara halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka. Padahal di rumahnya yang sederhana hanya ada sebuah mobil DeSoto rom­beng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan anak-anak.

Di awal kemerdekaan itu sebuah negara baru sedang bangkit. Para politikus berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Tanah Air. Mereka patriot-pejuang, beberapa di antara­nya pernah mendekam di bui atau menjalani pembuangan di tempat terpencil di masa penjajahan Belanda. Mereka meng­hidupkan politik, bukan mencari hidup dari politik. Ten­tu saja di masa itu ada beberapa politikus yang berpe­rilaku miring, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Maka tak salah bila Daniel Lev (almarhum), seorang In­donesianis kenamaan, berkali-kali mengingatkan ge­ne­ra­si muda Indonesia. Bila ingin mempelajari sema­ngat berde­mokrasi serta kehidupan politikus yang bersih dan bersahaja, tak perlu menoleh jauh-jauh ke Eropa atau Ame­rika. “Pelajari saja masa demokrasi pada 1950-an,” katanya suatu kali.

Politik santun itu perlu dikembalikan ke zaman ini, le­bih dari 60 tahun setelah Indonesia merdeka. Terutama ketika dunia politik terasa pengap oleh skandal beruntun. Sejumlah politikus melakukan korupsi berkawanan, meminta imbalan materi atas aturan hukum yang mereka buat, ada yang terlibat kejahatan seksual.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat pelatar­an kantornya bak ruang pamer mobil mewah dengan mengen­darai kendaraan luar biasa mahal­ justru di saat kebanyakan rakyat hidup miskin. Mereka berlomba mengejar popularitas demi mendaki tangga karier politik sendiri, sesuatu yang jauh dari kepentingan rakyat pemilihnya. Santun, bersahaja, dan semangat berkhidmat menjadi barang langka. Begitu jauh jarak yang terbentang antara para politikus dan rakyat yang diwakili­nya.

Sejauh ini minim sekali teguran dari partai politik kepada anggotanya yang berperilaku rendah. Hampir tak ada partai yang menggariskan pedoman jelas kepada anggotanya untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan mayoritas rakyat. Surat teguran dan recalling, dalam sejarah Dewan, hanya akan terbit justru bila terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan pemimpin partainya.

Barangkali sistem perwakilan politik perlu diperbaiki total. Perlu sebuah sistem dengan aturan jelas yang membuat para politikus terikat dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat. Mungkin Indonesia tak bisa lagi membayangkan para politikus akan berperilaku santun dan bersahaja seperti Natsir dan kawan-kawan di masa lalu. Tapi dengan perbaikan sistem, mungkin keadaan baik itu bisa ditiru.

Nasib negara seyogianya memang tak diserahkan kepada kebajikan orang per orang, tapi pada sistem yang baik. Saat ini segemas apa pun masyarakat pemilih terhadap perilaku para wakilnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak punya kekuatan untuk segera menghukum para politikus lancung itu.

Salah satu usul perbaikan sistem politik itu adalah mempersingkat masa tugas anggota Dewan—seperti dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tiga tahun saja, bukan lima tahun seperti sekarang. Dengan masa jabatan yang pendek, konstituen bisa lebih cepat menghukum wakil pilihannya bila menyeleweng. Mereka yang berprestasi bisa dipilih kembali, yang kerang-keroh tak akan dipilih lagi.

Sistem seperti itu akan membuat demokrasi berpihak dan melayani seluruh rakyat. Para aktor politik di dalamnya tetap boleh mengejar kepentingan pribadi, kelompok, atau partainya, tapi dengan cara yang menguntungkan publik.

Dengan sistem yang diperbaiki itu, bukan mustahil perilaku santun, bersih, bersahaja akan kembali mewarnai panggung politik negeri. Siapa tahu kelak kita akan bertemu dengan politikus yang sekaliber atau malah le­bih baik daripada seorang Mohammad Natsir.

Tuesday, July 15, 2008

Jam Tangan Baru

Salah satu kegemaranku adalah mengoleksi jam tangan. Sebenarnya sih bukan koleksi, karena jumlah yang aku miliki juga tidak seberapa. Setidaknya bisa disebut, asesoris yang paling aku sukai adalah jam tangan.

Saat ini aku memiliki 4 jam tangan dengan merk Raymond Weil W1 Chronograph Limited Edition (2001), Nautica Chronograph (2002), Cerruti 1881 Automatic (2004), dan Tissot Men's T-Sport PRS200 Chronograph (2007). Jika Anda mengenal merk-merk jam, maka Anda akan tahu, jam yang saya miliki bukanlah jam tangan mewah yang harganya di atas 10 atau 20 juta. Jam tangan yang aku miliki harganya hanya berkisar antara 2 - 8 juta.

Aku tidak suka dengan cincin batu mulia + berlian yang biasa dipakai para pengusaha, pejabat, atau politisi kaya baru (pkb) --politisi yang saat dilantik menjadi anggota dewan berangkat dengan kijang doyok, tetapi tidak lama setelah dilantik berhias dengan barang-barang mewah entah dengan uang siapa. Aku juga tidak suka dengan asesoris pria lainnya yang terbuat dari emas dan berlian. Mungkin karena sedari kecil sudah dididik, bahwa laki-laki tidak boleh bersolek dengan barang-barang yang terbuat dari emas dan sutra.

Dua minggu lalu, jam tangan merk Nautica, yang aku beli 6 tahun lalu seharga 2 juta itu, diminati seorang teman. Dia ingin membeli jam yang aku pakai. Aku menganjurkan untuk membeli yang baru saja. Katanya, ia sudah datang ke toko jam di Plasa Senayan. Setelah ia tengok, harga-harga jam Nautica sekarang berkisar antara Rp 3 juta. Sebenarnya ia ingin membeli jam tangan baru, apa daya kantong tak sampai. Akhirnya, untuk memenuhi hasrat memiliki jam tangan yang bagus tetapi dana pas-pasan, ia merayu agar aku mau menjual jam tangan Nautica yang aku pakai.

Karena kasihan melihat teman ingin memakai jam bagus, akhirnya aku lepas jam tangan itu dengan harga Rp 1,5 juta. Dari sisi harga jam bekas, mungkin itu cukup tinggi. Tetapi jika aku harus membeli yang baru untuk tidak mengurangi jumlah koleksiku, aku rugi karena harus nomboki.

Untuk mengganti koleksi jam tanganku, selama beberapa hari aku melakukan survei, hingga ketemu jam Cerruti 1881 Roma Chronograph warna hitam dengan pengikat terbuat dari karet (lihat gambar). Jam tangan warna hitam dengan pengikat dari karet seperti itu sebenarnya sudah aku cari selama 3 bulan terakhir ini, tetapi belum ada yang cocok. Awalnya, aku tertarik dengan jam tangan berpengikat karet setelah melihat jam tangan Casio milik Bima, yang saya lihat cukup cantik bertengger di atas pergelangan tangannya. Jam tangan yang aku miliki sebelum ini semuanya memiliki pengikat stainless steel.

Kebetulan, jam Cerruti 1881 Roma Chronograph yang harganya Rp 2,6 juta ini mirip dengan jam tangan Tag Heuer 300M Aquaracer Diver Watch --yang pengikatnya juga terbuat dari karet-- milik Ivan yang harganya di Indonesia di atas Rp 12 juta.

Tanpa pikir panjang akhirnya aku membeli jam Cerruti 1881 type Roma Chronograph tersebut sebagai pengganti jam Nautica yang sudah dibeli oleh temanku itu.