Saturday, August 30, 2008

Politisi Rela Berkorban

Dari hiruk pikuk pemberitaan Konvensi Partai Demokrat di Amerika kemarin, potongan informasi yang menarik bagi saya adalah kerelaan Barack Obama untuk berkorban. Menjadi politisi adalah sebuah pengorbanan. Obama telah mengorbankan kesempatannya untuk berkarier dan tenggelam di dunia profesional yang membuatnya berpotensi menjadi miliuner. Alih-alih memilih bekerja di perusahaan-perusahaan besar, ia memilih menjadi pekerja sosial sebagai langkah awal karier politiknya. Terus terang saya jadi sedikit malu pada diri sendiri. Kontras dengan Obama, saya memilih membangun karier dulu baru terjun ke politik :(

Memang situasi ekonomi, sosial, dan politiknya berbeda. Di Amerika, pengorbanan Obama bukanlah pengorbanan untuk hidup susah, tetapi untuk hidup sederhana. Di negara itu, ada minimum wage yang membuat semua orang bisa hidup dengan layak. Yang dikorbankan oleh Obama adalah kesempatan mendapatkan gaji ratusan ribu bahkan jutaan dollar setiap tahunnya.

Dengan menjadi politisi, ia memilih hidup dengan standar puluhan ribu dollar saja setiap tahunnya. Ia terjun ke politik bukan untuk memperbaiki nasib ekonomi pribadinya, tetapi untuk memperbaiki masyarakatnya. Beruntung Obama hidup di Amerika, di mana sistem donasi kampenye sudah berjalan dengan baik. Politisi di sana tidak perlu menjual tanah untuk biaya kampanyenya :)

Saya jadi teringat pada anjuran Cak Nur kepada anak-anak muda untuk bisa menunda kesenangan. Apa yang dilakukan oleh Obama saya kira bisa disebut sebagai upaya "menunda kesenangan".

Sunday, August 24, 2008

Moral Politik Eki Syachrudin

Sudah cukup lama, sejak 25 Juni 2007, saya memiliki buku terbitan LP3ES berjudul Eki Syachrudin Moral Politik Sebuah Refleksi. Buku ini berisi tulisan-tulisan Bang Eki almarhum, yang jumlahnya 125 tulisan. Selama ini saya hanya membaca secara sporadis, hanya beberapa tulisan yang menarik yang saya baca. Melalui buku tersebut, saya ingin berguru kepada Bang Eki bagaimana menjadi politisi yang baik, politisi yang bermoral. Untuk itu, saya ingin membaca secara utuh, dari awal sampai akhir, kumpulan tulisan tersebut yang memakan 751 halaman.

Saya merasa, dalam banyak hal saya sejalan dengan pemikiran beliau. Satu contoh saja, Bang Eki menganggap bahwa kebulatan tekad para menteri adalah sesuatu yang tidak etis. Bang Eki melihat kepada fungsi dan kedudukan para menteri, yang menyebabkan mereka tidak patut untuk membuat sebuah kebulatan tekad untuk mengangkat atau menjatuhkan presiden.

Sementara itu kita sekarang ini berkali-kali menyaksikan, bagaimana partai-partai yang sudah mengikat kontrak dalam sebuah kabinet dengan mudah melawan kebijakan kabinet, tanpa menarik menterinya keluar dari kabinet tersebut. Dengan dalih “pro rakyat” partai-partai itu berseberangan dengan kebijakan pemerintah tanpa menarik menterinya karena takut kehilangan sumber kekuasaannya. Kita disuguhi adegan-adegan politisi rakus: ingin dapat simpati rakyat sekaligus kursi menteri yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan buat partainya.

Tontonan paling akhir adalah kebanggaan sejumlah partai yang menggunakan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Dengan bangga mereka memperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa UU bisa mereka injak seenaknya kapan saja mereka mau. Bahkan ada partai yang mengatakan: “Partai kami dari awal tidak setuju dengan ketentuan UU tersebut.” Kalau masih mau berpegang pada pendapat sendiri-sendiri, lalu buat apa menyusun dan mengesahkan UU? Lalu bagaimana kita akan menjelaskan kepada generasi muda kita tentang perlunya tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan? Mengapa tidak diubah terlebih dulu undang-undangnya?

Saya jadi teringat pandangan M. Natsir pada penerapan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi kemasyarakatan sesuai UU Keormasan No 8/1985. Beliau termasuk yang menganjurkan agar ormas Islam menerima asas tunggal Pancasila pada saat itu. Padahal kita tahu, Pak Natsir adalah orang yang tidak pernah lelah memperjuangkan Piagam Jakarta. Antara melaksanakan UU dengan perjuangan terhadap sebuah pandangan harus bisa dibedakan dan ditempatkan sesuai dengan koridornya masing-masing. Bukan karena ia pro Piagam Jakarta lantas menolak pelaksanaan UU Keormasan No 8/1985.

Moral atau fatsoen politik seperti diperihatkan M. Natsir dan Bang Eki saat ini menjadi sesuatu yang sangat langka. Demi kekuasaan, partai apapun, ideologi apapun, kini bisa berbuat seenaknya tanpa perlu memperhatikan batas-batas moral yang seharusnya dijunjung bersama.

Dengan membaca tulisan-tulisan Bang Eki secara utuh, saya berharap kalau kelak terpilih sebagai anggota dewan, tidak akan lupa tentang perlunya moral politik dalam setiap langkah saya sebagai politisi Senayan. Pun kalau saya tidak terpilih, saya bisa mengingatkan teman-teman saya yang insya Allah, pada tahun 2009 ini, akan berbondong-bondong menuju kursi Senayan dari berbagai penjuru partai.

Friday, August 22, 2008

17 Tahun Pernikahan

Pukul 10.00 WIB tanggal 22 Agustus tahun 1991, di hadapan penghulu desa Winong, Pati, saya membacakan ijab kabul. Hari itu saya menikahi gadis cantik asal Pati bernama Oktonik Muji Rahayu. Tidak terasa, 17 tahun sudah, tepat hari ini, saya menikah dengan dirinya.

Dari pernikahan itu saya sudah dikaruniai 3 anak: Shemissa Shita Fachrudin (P) yang sekarang duduk di kelas 1 SMA Cendrawasih Jakarta Selatan, Shadra Shiraz Fachrudin (L) yang sekarang duduk di kelas 1 SMP Cendrawasih, dan Raisa Munira Fachrudin (P) yang sudah bisa mengikuti playgroup di TK Cendrawasih.

Kepada seluruh sahabat, mohon doanya agar saya bisa mempertahankan pernikahan ini dalam kurun waktu yang lebih lama lagi, sampai kakek-nenek, sampai kami dipanggil Yang Maha Kuasa. Amin.

Dan 3 hari lagi, tanggal 25 Agustus, saya juga akan memasuki usia yang ke-40. Life begins at forty. Kehidupan baru saja dimulai, seiring dengan pilihan saya untuk terjun ke dunia politik secara serius, di samping hasrat mengembangkan bisnis yang juga semakin menyala :)

Memilih Partai

Memilih partai di Indonesia saat ini saya akui cukup sulit kriterianya. Kalau ditanya kenapa memilih parpol itu, sudah pasti saya tidak bisa menjawabnya. Setidaknya, saya tidak bisa menjawab secara ilmiah, apalagi pakai analisa politik yang canggih. Yang pasti, perasaan saya tidak mungkin bisa memilih bergabung dengan Golkar atau PDIP. Mungkin karena darah Masyumi yang mengalir di tubuh saya masih terlalu kental, masih terlalu puritan :(

Jika melihat sejarah keikutsertaan saya pada pemilu di Indonesia, 3 kali pemilu di jaman Orde Baru 1987, 1992 dan 1997, sejujurnya saya katakan, saya selalu memilih PPP. Tahun 1999 saya memilih partai saya sendiri, Partai Bulan Bintang (PBB). Tahun 2004 saya memilih PKS untuk pemilu legislatif dan Amien Rais untuk Capres tahap 1, dan golput untuk Capres tahap 2. Dari sejarah pilihan politik saya tersebut, para ahli mungkin bisa menganalisa, corak politik saya kira-kira seperti apa :)

Pada saat saya bergabung dengan PBB pada tahun 1999, sebenarnya saya punya pilihan untuk bergabung juga dengan PAN. Saya bahkan orang yang pertama membuat website untuk PAN dengan alamat http://www.amanat.org atas ijin dari Amien Rais pada tahun 1998.

Saat itu, teman-teman saya terbelah ke dalam 2 partai itu, sebagian ke PAN sebagian lagi ke PBB. Darah Muhammadiyah saya mengajak ke PAN, tetapi darah Masyumi saya mengajak ke PBB. Akhirnya saya memilih bergabung ke PBB karena lebih banyak teman di partai itu.

Sejujurnya, saya tidaklah pernah terlalu serius dalam berpartai. Maksud saya, partai lebih untuk menyalurkan gairah politik dan bersilaturahmi saja, tidak pernah tergoda dan bermimpi untuk harus mendapatkan kekuasaan. Saya ingin terlibat tetapi saya lebih suka tampil di level ke-2, level yang tidak dilihat oleh orang.

Saya selalu teringat nasehat abang saya, Loode Masihu Kamaluddin, saat mengatakan kepada saya, "Kamu harus kaya secara materi terlebih dulu sebelum terjun ke politik, agar kamu tidak bisa dibeli." Jadi, karena saya masih belum memiliki fondasi ekonomi yang kuat, keterlibatan saya dalam lingkungan politik lebih sebagai upaya untuk menjaga spirit saja, agar tidak dilalaikan oleh urusan ekonomi.

Saya segera keluar dari PBB ketika terjadi keributan antara Fadli Zon dan Yusril Ihza Mahendra, kira-kira beberapa bulan setelah pemilu 1999 usai. Pasalnya sederhana, Yusril tidak bisa mempertanggungjawabkan dana politik yang diberikan oleh BJ Habibie kepada PBB. Saya menjadi malu; malu sekali. Bagaimana bisa, partai pewaris Masyumi berperkara dalam soal uang seperti itu? Bagaimana mau meniru kesederhanaan M. Natsir, kalau tokohnya sangat mudah tergoda oleh materi seperti itu?

Selepas dari PBB, saya lebih sibuk mengurusi bisnis sendiri. Aktifitas politik saya banyak terlibat di lapis ke-2 bersama M Yunus (sekpri Amien Rais saat itu), Nasrullah (sekpri Fuad Bawazier yang sekarang menjadi staf khusus Mendiknas Bambang Sudibyo) dan Ahmad Muzani (saat itu aktif di CPDS dan sekarang Sekjen Partai Gerindra), mendukung Amien Rais for President 2004.

Pada musim parpol 2009 ini, kembali saya diajak masuk ke partai politik oleh Ahmad Muzani. Ia bersama Fadli Zon beserta sejumlah nama lainnya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya. Yang paling saya suka dari partai ini adalah namanya. Ada kata-kata Indonesia Raya yang membuat hati saya tersentuh. Ini sejalan dengan kritik saya selama beberapa tahun terakhir ini di berbagai milis, bahwa politisi di negeri ini sudah sangat sedikit yang memiliki kesadaran untuk membangun kejayaan Indonesia Raya.

Memang partai ini cukup sensitif, terutama karena ada dua nama yang konroversial di mata kawan-kawan saya yang aktif di LSM, yaitu Muchdi PR dan Prabowo Subianto. Tapi saya pikir, adakah partai yang bersih dari tokoh-tokoh yang tidak terlibat kasus di republik ini? Saya lebih fokus pada spirit yang dibawa partai ini, yaitu untuk membangun kembali kejayaan Indonesia. Cita-cita luhur partai ini bisa saya terima dan sejalan dengan saya yang pernah punya keinginan untuk membuat Yayasan Kesadaran Indonesia sejak tahun 1996. Itu saja.

Memasuki usia yang ke-40 pada tahun ini, saya pikir saatnya saya kembali menekuni dunia politik sebagai sarana untuk mengabdi kepada masyarakat untuk memakmurkan rakyat. Saya katakan kepada istri saya, "Sudah cukup materi yang kita peroleh, saatnya saya berbakti kepada masyarakat."

Ya, memakmurkan rakyat adalah janji Masyumi dulu. Di bawah Masyumi rakyat hidup makmur ... demikian salah satu bait lagu mars Masyumi yang sering dinyanyikan almarhum ayah saya dengan penuh semangat. Janji ayah dan kakek saya kepada republik ini harus saya lanjutkan. Saya tidak boleh berpangku tangan berdiam diri menikmati materi yang aku peroleh. Saya harus segera terlibat dalam upaya-upaya untuk memakmurkan rakyat Indonesia sekarang ini.

Dan saya teringat pada bait pertama lagu mars Masyumi tersebut:

Bismillah sudah mari memilih ...

Ya, memasuki usia yang ke-40 ini, bismillah sudah saya memilih masuk Partai Gerindra untuk kejayaan Indonesia Raya!

:)

Catatan:
Saya akan maju menjadi caleg daerah pemilihan IX Jawa Tengah, daerah kelahiran saya Brebes-Tegal.