Sudah cukup lama, sejak 25 Juni 2007, saya memiliki buku terbitan LP3ES berjudul Eki Syachrudin Moral Politik Sebuah Refleksi. Buku ini berisi tulisan-tulisan Bang Eki almarhum, yang jumlahnya 125 tulisan. Selama ini saya hanya membaca secara sporadis, hanya beberapa tulisan yang menarik yang saya baca. Melalui buku tersebut, saya ingin berguru kepada Bang Eki bagaimana menjadi politisi yang baik, politisi yang bermoral. Untuk itu, saya ingin membaca secara utuh, dari awal sampai akhir, kumpulan tulisan tersebut yang memakan 751 halaman.
Saya merasa, dalam banyak hal saya sejalan dengan pemikiran beliau. Satu contoh saja, Bang Eki menganggap bahwa kebulatan tekad para menteri adalah sesuatu yang tidak etis. Bang Eki melihat kepada fungsi dan kedudukan para menteri, yang menyebabkan mereka tidak patut untuk membuat sebuah kebulatan tekad untuk mengangkat atau menjatuhkan presiden.
Sementara itu kita sekarang ini berkali-kali menyaksikan, bagaimana partai-partai yang sudah mengikat kontrak dalam sebuah kabinet dengan mudah melawan kebijakan kabinet, tanpa menarik menterinya keluar dari kabinet tersebut. Dengan dalih “pro rakyat” partai-partai itu berseberangan dengan kebijakan pemerintah tanpa menarik menterinya karena takut kehilangan sumber kekuasaannya. Kita disuguhi adegan-adegan politisi rakus: ingin dapat simpati rakyat sekaligus kursi menteri yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan buat partainya.
Tontonan paling akhir adalah kebanggaan sejumlah partai yang menggunakan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Dengan bangga mereka memperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa UU bisa mereka injak seenaknya kapan saja mereka mau. Bahkan ada partai yang mengatakan: “Partai kami dari awal tidak setuju dengan ketentuan UU tersebut.” Kalau masih mau berpegang pada pendapat sendiri-sendiri, lalu buat apa menyusun dan mengesahkan UU? Lalu bagaimana kita akan menjelaskan kepada generasi muda kita tentang perlunya tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan? Mengapa tidak diubah terlebih dulu undang-undangnya?
Saya jadi teringat pandangan M. Natsir pada penerapan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi kemasyarakatan sesuai UU Keormasan No 8/1985. Beliau termasuk yang menganjurkan agar ormas Islam menerima asas tunggal Pancasila pada saat itu. Padahal kita tahu, Pak Natsir adalah orang yang tidak pernah lelah memperjuangkan Piagam Jakarta. Antara melaksanakan UU dengan perjuangan terhadap sebuah pandangan harus bisa dibedakan dan ditempatkan sesuai dengan koridornya masing-masing. Bukan karena ia pro Piagam Jakarta lantas menolak pelaksanaan UU Keormasan No 8/1985.
Moral atau fatsoen politik seperti diperihatkan M. Natsir dan Bang Eki saat ini menjadi sesuatu yang sangat langka. Demi kekuasaan, partai apapun, ideologi apapun, kini bisa berbuat seenaknya tanpa perlu memperhatikan batas-batas moral yang seharusnya dijunjung bersama.
Dengan membaca tulisan-tulisan Bang Eki secara utuh, saya berharap kalau kelak terpilih sebagai anggota dewan, tidak akan lupa tentang perlunya moral politik dalam setiap langkah saya sebagai politisi Senayan. Pun kalau saya tidak terpilih, saya bisa mengingatkan teman-teman saya yang insya Allah, pada tahun 2009 ini, akan berbondong-bondong menuju kursi Senayan dari berbagai penjuru partai.
Saya merasa, dalam banyak hal saya sejalan dengan pemikiran beliau. Satu contoh saja, Bang Eki menganggap bahwa kebulatan tekad para menteri adalah sesuatu yang tidak etis. Bang Eki melihat kepada fungsi dan kedudukan para menteri, yang menyebabkan mereka tidak patut untuk membuat sebuah kebulatan tekad untuk mengangkat atau menjatuhkan presiden.
Sementara itu kita sekarang ini berkali-kali menyaksikan, bagaimana partai-partai yang sudah mengikat kontrak dalam sebuah kabinet dengan mudah melawan kebijakan kabinet, tanpa menarik menterinya keluar dari kabinet tersebut. Dengan dalih “pro rakyat” partai-partai itu berseberangan dengan kebijakan pemerintah tanpa menarik menterinya karena takut kehilangan sumber kekuasaannya. Kita disuguhi adegan-adegan politisi rakus: ingin dapat simpati rakyat sekaligus kursi menteri yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan buat partainya.
Tontonan paling akhir adalah kebanggaan sejumlah partai yang menggunakan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Dengan bangga mereka memperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa UU bisa mereka injak seenaknya kapan saja mereka mau. Bahkan ada partai yang mengatakan: “Partai kami dari awal tidak setuju dengan ketentuan UU tersebut.” Kalau masih mau berpegang pada pendapat sendiri-sendiri, lalu buat apa menyusun dan mengesahkan UU? Lalu bagaimana kita akan menjelaskan kepada generasi muda kita tentang perlunya tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan? Mengapa tidak diubah terlebih dulu undang-undangnya?
Saya jadi teringat pandangan M. Natsir pada penerapan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi kemasyarakatan sesuai UU Keormasan No 8/1985. Beliau termasuk yang menganjurkan agar ormas Islam menerima asas tunggal Pancasila pada saat itu. Padahal kita tahu, Pak Natsir adalah orang yang tidak pernah lelah memperjuangkan Piagam Jakarta. Antara melaksanakan UU dengan perjuangan terhadap sebuah pandangan harus bisa dibedakan dan ditempatkan sesuai dengan koridornya masing-masing. Bukan karena ia pro Piagam Jakarta lantas menolak pelaksanaan UU Keormasan No 8/1985.
Moral atau fatsoen politik seperti diperihatkan M. Natsir dan Bang Eki saat ini menjadi sesuatu yang sangat langka. Demi kekuasaan, partai apapun, ideologi apapun, kini bisa berbuat seenaknya tanpa perlu memperhatikan batas-batas moral yang seharusnya dijunjung bersama.
Dengan membaca tulisan-tulisan Bang Eki secara utuh, saya berharap kalau kelak terpilih sebagai anggota dewan, tidak akan lupa tentang perlunya moral politik dalam setiap langkah saya sebagai politisi Senayan. Pun kalau saya tidak terpilih, saya bisa mengingatkan teman-teman saya yang insya Allah, pada tahun 2009 ini, akan berbondong-bondong menuju kursi Senayan dari berbagai penjuru partai.
No comments:
Post a Comment