Friday, May 23, 2008

Tajsimu al-A'mal: Karma Dalam Islam

Sabtu (17/5) saya diajak Chairudin hadir di pengajian Kang Jalal, di Islamic Cultural Center, Buncit Raya, Jakarta Selatan. Materi yang disampaikan oleh Kang Jalal adalah tajsimu al-a'mal, yang kalau diartikan kira-kira karma dalam Islam.

Anda pasti sudah tahu kata karma. Karma yang biasa digunakan adalah karma dalam konsep teologi Hindhu: kebaikan akan berbuah kebaikan, keburukan akan dibalas keburukan. Bedanya, dalam konsep Hindhu, karma menimpa hanya kepada dirinya, keluarganya, dan keturunannya. Dalam konsep Islam, tajsimu al-a'mal, amal baik maupun amal buruk, berakibat bukan saja kepada dirinya, keluarganya dan keturunannya, tetapi juga dapat menimpa warga bumi lainnya.

Kang Jalal mencontohkan kisah nabi Musa dan nabi Khidir membangun rumah yang bobrok dalam Al-Qur'an, sebagai contoh bagaimana amal baik berbuah kebaikan. Rumah itu adalah rumah anak yatim dan di bawah rumah itu tertimbun harta benda yang harus dilindungi dan dimanfaatkan oleh anak yatim itu. Menurut para mufassir, anak yatim itu adalah keturunan (ada yang berpendapat anak) dari seorang yang sangat shaleh di jaman sebelumnya. Dalam hal ini, yang berbuat baik adalah kakek bahkan mungkin kakeknya kakek, tetapi anak yatim itu turut menikmati buah kebaikan leluhurnya.

Contoh perbuatan buruk yang berakibat pada musibah atau bencana yang menimpa manusia lainnya dalam Al-Qur'an dan dalam kehidupan nyata cukup banyak, di antaranya (1) anjuran dalam Al-Qur'an untuk berdoa agar terhindar dari musibah yang diakibatkan oleh kejahatan orang lain yang tidak saja menimpa mereka yang berbuat jahat tetapi juga menimpa penduduk bumi lainnya, (2) ayat yang berbunyi "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yg benar). --QS Ar-Ruum 41. (3) ulah beberapa gelintir koruptor di Indonesia yang telah menyengsarakan rakyat banyak, (4) kebijakan publik oleh segelintir orang yang berakibat pada rusaknya lingkungan; dan banyak lagi contohnya.

Akan tetapi, tidak semua amal manusia itu dibalas secara langsung di dunia ini; ada sebagian yang ditangguhkan pembalasannya di akhirat kelak.
Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun[1262] akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. --QS Fathir 45.
Menurut Kang Jalal, amal-amal kita, yang bentuknya abstrak ini, di alam kubur kelak berubah menjadi wujud yang nyata, seperti kita melihat benda-benda di dunia ini. Jika amal baik maka ia akan berwujud sesuatu yang baik, indah dipandang, dan bisa diajak bercakap-cakap. Jika amal buruk maka ia akan berwujud sesuau yang menakutkan dan setiap kali melihatnya dapat menjadi siksa dan penyesalan bagi pelakunya.

Maka itu, berbuat baiklah agar mendapat teman yang baik-baik di akhirat kelak:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya. QS Fushshilat 8.

Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yg besar. QS Asy-Syura 22.

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hormatilah tamumu! (Hadis)

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah menyakiti tetangga! (Hadis)

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah putuskan silaturahmi! (Hadis)

Friday, May 16, 2008

Doaku Dikabul

Tahun 2006, aku menawar sebidang tanah dan rumah yang persis berada di belakang rumahku. Aku berniat membelinya karena aku ingin rumahku menghadap ke dua jalan sekaligus, jalan Kalibata Utara I (d/h gang Masjid) dan jalan Duren Tiga Selatan (d/h gang Haji Maun) di bilangan Kalibata. Rumah yang sekarang menghadap ke selatan, ke Kalibata Utara I.

Saat itu, aku sepakat membeli tanah seluas 160 m2 itu dengan harga Rp 600 juta. Pembayaran akan dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan sejak kesepakatan dibuat, menunggu uang saya yang dipinjam Mr X dikembalikan. Ndilalah kersaning Allah, pada bulan b-nya, Mr X tidak bisa mengembalikan uang saya sesuai janji, bahkan hingga sekarang.

Setelah direnungkan lebih dalam lagi, kesepakatan waktu itu sepertinya terlalu terburu-buru. Saya terlalu bernafsu untuk memiliki tanah tersebut. Apalagi, ada sedikit niatan ingin manas-manasin sejumlah kawan yang waktu itu mufaraqah meninggalkan saya dalam perkongsian bisnis. Saya ingin menunjukkan, tanpa mereka, saya juga bisa tetap eksis :) :)

Apalagi, sebelah timur tanah itu ada kuburan keluarga pemilik tanahnya berukuran 4x10 m2. Istriku sedikit keberatan karena itu. Walhasil, singkat kata singkat cerita, traksaksi itupun batal.

Namun demikian, setiap saya duduk di teras belakang, rasa ingin memiliki tanah yang menghadap Jl Duren Tiga Selatan masih terus saja menyala. Belakangan, keinginan membeli tanah itu bergeser ke tanah sebelahnya yang ada di sisi barat. Kebetulan, posisi tanah tersebut, tanah belakangnya bersinggungan dengan tanah belakang saya sepanjang 4 meter.

Setiap melihat tembok pembatas sebelah barat tersebut, saya selalu berandai-andai, sekiranya tanah itu bisa menjadi milik saya, tembok sebelah barat bisa saya jebol sehingga dua tanah ini tersambung. Kelak saya bisa memasuki rumah saya dari dua pintu, bisa dari pintu selatan Jl. Kalibata Utara I atau dari pintu utara Jl. Duren Tiga Selatan.

***
Tidak ada angin tidak ada hujan, 3 minggu lalu datanglah pak RT ke rumahku. "Pak Haji, saya diberi kuasa untuk menjual tanah yang di belakang. Tapi saya ingin pak Haji yang membeli," kata pak RT. Buru-buru saya memotong, saat ini saya sedang tidak punya uang. Bayangan saya, tanah itu pasti dijual di atas Rp 900 juta karena luasnya 270 m2.

Pak RT buru-buru menambahkan, "Harga jual terserah saya. Saya mau jual Rp 500 juta biar cepat laku, ditambah biaya pengurusan surat-surat ke Kelurahan dan Kecamatan sekitar Rp 25 juta." Saya cukup kaget mendengar harga yang ditawarkan: Rp 500 juta untuk tanah seluas 270 m2 di Kalibata? Saya langsung membandingkan dengan harga tanah yang persis di belakang rumahku, Rp 600 juta untuk tanah seluas 160 m2, itupun harga 2 tahun yang lalu.

"Tetangga sebelah rumah mau membeli, cash, tapi saya maunya Pak Haji aja nyang beli," kata Pak Daus, RT saya itu, dengan aksen Betawinya. "Harganya emang murah, tapi saya gak ada duit pak RT," jawabku cepat. "Pembayaran gampang, terserah pak Haji aja deh gimana baiknya," bujuk pak RT. Merasa didesak, akhirnya saya minta waktu 2 hari buat berpikir. Gambaran terdekat, saya terlebih dulu harus menjual tanah saya yang di Bumiayu dan di Serpong, baru kemudian cari tambahan di Jakarta.

Setelah 2 hari, pak RT datang lagi ke rumahku. Aku sampaikan kepada dia, bisa membeli tapi dengan 2 kali pembayaran. Pertama membayar DP sebesar Rp 200 juta dan biaya untuk pengurusan surat-surat, sisanya saya minta waktu 4 sampai 6 bulan untuk melunasinya. Pak RT langsung setuju. Kamipun bersalaman.

Setelah saya membayar DP Rp 200 juta, malamnya saya tidak berhenti untuk terus memanjatkan puji syukur kepada Tuhan. Luar biasa, Tuhan Maha Mendengar. Ini adalah sebuah doa yang terkabul. Memang saya tidak pernah secara spesifik berdoa agar bisa membeli tanah di belakang rumah itu. Tetapi, setiap saya melihat tembok pembatas, hati saya selalu berharap, seandainya tanah ini menjadi milikku. Kini, meski belum lunas, tanah itu benar-benar telah menjadi milikku. Bahkan, aku bisa membelinya dengan harga yang relatif sangat murah, jauh di bawah NJOP. Sungguh luar biasa.

Puji Tuhan! Alhamdulillah.

Saturday, May 10, 2008

Saat-saat Menjelang Ajal Menjemput Muhammad SAW


Dengan suara yang lemah dan terbata-bata, pagi itu Muhammad saw, rasul terakhir, memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya:
"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al-Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti ia mencintai aku. Dan bersamaku kelak, orang-orang yang mencintaiku, akan masuk ke dalam surga bersama-sama.”
Sesudah mengakhiri khutbahnya, dengan tatapan yang teduh dan penuh kasih, Muhammad menatap wajah sahabatnya satu per satu. Bertahun-tahun Rasulullah melakukan kebiasaan mengabsen sahabatnya di pagi hari. Tetapi tatapan di pagi hari itu, lain dari biasanya.

Ada perasaan yang begitu berat mengganjal di hatinya. Ada perasaan tidak ingin hidup terpisahkan dari mereka. Siapa yang sanggup, berpisah dengan orang-orang terkasih, yang telah menemani dalam suka dan duka, selama lebih dari 22 tahun? Ia seperti ingin terus berada di tengah-tengah para sahabatnya, yang telah rela mengorbankan apa saja yang menjadi milik mereka, demi tegaknya risalah yang diemban rasul-Nya.

Suasana senyap. Para sahabat merasa, waktunya telah tiba. Sesudah haji wada, yang juga menyiratkan berakhirnya risalah kenabian Muhammad, para sahabat masih terus menunggu, kapan tiba waktunya. Dan kini mereka merasa, mungkin inilah saatnya.

Abu Bakar mamandang Rasulullah. Matanya menatap nanar dan berkaca-kaca. Umar yang gagah dan pemberani, sesak dadanya, berusaha menahan tangis sekuat daya. Utsman terpaku dalam diam. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Semua yang hadir tidak mampu megeluarkan kata-kata. Manusia tercinta itu sudah berada di ujung yang paling akhir dari perjalanannya. Usai sudah Muhammad menunaikan tugasnya.

Tatkala Rasulullah berjalan limbung turun dari mimbar, Ali dan Fadhal dengan sigap segera menangkapnya. Rasulullah segera dipapah masuk ke dalam rumahnya, yang hanya berjarak beberapa meter dari mimbarnya, di Masjid Nabawi yang mulia. Para sahabat semakin yakin, saatnya telah tiba.

Mereka terus berkumpul, di sekitar rumah Rasulullah, menunggu detik-detik berlalu. Matahari sudah meninggi, tetapi pintu rumah Nabi masih saja tertutup. Manusia agung yang mampu hidup lebih mewah dari segala raja, memilih tidur beralaskan tikar, terbaring lemah di dalamnya, bersama keluarganya yang mulia. Keringat yang mengucur dari keningnya membasahi pelepah kurma yang menjadi bantalnya.

Dari arah luar, tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berseru, "Assalamu'alaikum!" Fatimah, putri Nabi, keluar menemuinya. "Boleh saya masuk?” tanya laki-laki itu. Fatimah tidak memberinya izin, karena ayahandanya sedang terbaring lemah. “Maafkanlah, ayahandaku sedang demam,” kata Fatimah sambil membalikkan badan dan segera menutup kembali pintunya.

Fatimah kembali menemani ayahnya. Rasulullah sudah membuka matanya saat Fatimah datang menghampiri. Ia bertanya pada putrinya, “Siapakah tadi yang datang wahai putriku?” Fatimah menjawab, “Aku tidak tahu, baru sekali ini aku melihatnya." Lalu Rasulullah menatap wajah putrinya dalam-dalam, layaknya seorang ayah yang hendak pergi meninggalkan anaknya untuk jangka waktu yang cukup lama.

“Ketahuilah wahai putriku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan kita di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Mendengar itu, meledaklah tangis Fatimah, yang selama ini ditahannya.

Saat malaikat maut datang menghampiri, Rasulullah bertanya, mengapa Jibril tidka ikut bersamanya. Jibril sedang bersiap di atas langit untuk menyambut datangnya kekasih Allah, pamungkas para nabi dan Rasul, penghulu dunia ini. Lalu dipanggilah Jibril turun ke bumi mendekat kepada Rasulullah.

Dengan suaranya yang lirih Rasulullah bertanya, "Wahai Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Jibril menjawab, "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti kedatangan ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu."

Jawaban itu tidak memuaskan Rasulullah. Di wajahnya masih terlukis kecemasan. “Apakah engkau tidak suka mendengar kabar ini, wahai kekasih Allah?” Jibril bertanya dengan heran. Nabi menukas, "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku sepeninggalku!"

“Engkau tidak perlu khawatir, wahai Rasul Allah. Pernah Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” ujar Jibril menghibur.

Waktu semakin memburu. Malaikat maut didesak waktu. Ia harus segera menunaikan tugasnya. Apabila ajal telah tiba, tidak ada yang bisa menahan barang sedetik, tidak juga ada yang mampu mengulurnya, demikian janji Allah kepada seluruh manusia. Perlahan-lahan Israil menarik ruh Rasulullah dari jasadnya yang semakin melemah. Rasulullah bersimbah keringat di sekujur tubuhnya. "Aduhai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini."

Rasulullah mengaduh perlahan. Suaranya lirih. Mata Fatimah Az-Zahra terpejam. Ali tertunduk dalam diam di sampingnya. Malaikat pengantar wahyu tak kuasa melihat penderitaan kekasih Allah, dibuangnya mukanya jauh-jauh.

"Apakah engkau jijik melihatku, hingga kau palingkan wajahmu dariku?" tanya Nabi kepada Jibril. "Siapa yang mampu melihat penderitaan kekasih Allah direngut nyawanya?" ujar Jibril.

Tak kuasa menahan sakit, Rasulullah memekik. "Ya Allah, betapa sakitnya maut ini. Timpakan semua siksa maut ini kepadaku. Jangan kau berikan kepada ummatku." Sekujur tubuh Rasulullah, dari kaki hingga dada, sudah mulai terasa dingin. Di penghujung ajalnya, ketika nafas tinggal satu-satu meninggalkan rongga dadanya, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin mengatakan sesuatu. Menantu Rasulullah yang berada di sampingnya segera mendekatkan telinganya, mendengar dengan sangat seksama. "Uushiikum bis-shalah, wa maa malakat aimanukum." Itulah kalimatnya yang keluar. "Peliharalah shalat, dan santunilah budak-budak di antaramu."

Di luar rumah, suara tangis para sahabat mulai terdengar bersahutan. Di sisa terakhir tenaganya yang tertinggal, Rasulullah masih berupaya mengucapkan sesuatu. Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai membiru. "Ummatii, ummatii, ummatiii..." "Umatku, umatku, umatku..."

Nyawapun meregang, lepas dari jasad Rasulullah. Tangispun meledak. Semua sahabat merasa telah kehilangan manusia yang paling mereka cintai, manusia yang memiliki sebaik-baik akhlaq, yang sejak muda bergelar Al-Amin, Yang Terpercaya.

***
Muhammad Rasulullah adalah manusia yang dicintai dan dirindukan banyak orang, sudah barang tentu orang Islam, di seluruh dunia, sejak dulu hingga kini. Seperti dilukiskan Taufik Ismail dalam syairnya yang dinyanyikan Bimbo:
Rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terperi
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja

Rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terperi
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja

Rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terperi
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
Lagu ini tersedia di YouTube, sila klik Rindu Rasul di sini. Perlahan aku turut menyanyikan lagu ini. Tak terasa, air mataku meleleh, turut menangis ....

Allahumma shalli wa sallim wa barik 'ala Muhammad, wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'iin.

Catatan:
Tulisan ini saya dapatkan dari sebuah blog --juga tersedia di puluhan blog lainya dengan isi tulisan yang sama-- yang kemudian saya "ketik ulang" sesuai dengan selera penuturan saya. Menurut Yudi Helfi, ada buku dengan penuturan serupa berjudul "Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah" Karya Firdaus AN, seorang tokoh Sarikat Islam (SI) dari Sumatera Barat. Jika ada yang tahu sumber aslinya, sila menambahkan di ruang Komentar. Suwun.

Saturday, May 03, 2008

Mbah Badri

Mbah Badri adalah nama panggilan almarhum kakekku. Pada batu nisannya tertulis nama: Badri bin H. Abdul Gani. Ia meninggal tahun 1966, dua tahun sebelum aku lahir. Praktis, saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Tetapi, saya sering mendengar dari nenek dan ayah cerita seputar kakek. Beberapa cerita yang sering saya dengar di antaranya:
  1. Kakek pernah memelihara sejumlah jin. Setelah kakek mengenal Muhammadiyah, ia buang seluruh jin yang ia pelihara. Tetapi, ada satu jin yang tidak mau dibuang. Atas kehendak sendiri, konon, jin tersebut ingin terus bersama keluarga dan anak cucu Mbah Badri. Jin itu biasa dipanggil dengan nama Mbah Gombal. Akhirnya kakek mengijinkan dengan syarat tidak akan menganggu dan mengajak anak cucunya pada kesesatan.

  2. Suatu hari ada tetangga menyelenggarakan pesta di rumahnya. Saya dulu lupa bertanya, itu acara perkawinan atau sunatan, dua acara yang biasanya dipestakan di rumah. Pada acara itu ada orkes yang dipanggil untuk menghibur para tamu. Karena suaranya cukup bising, kakek saya meminta agar orkes tersebut ditutup menjelang maghrib, tidak boleh sampai malam.

    Ternyata, tetangga ini tidak menghiraukan seruan kakek. Sesudah maghrib, suara musik kembali bergema dengan keras di kampung itu. Mendengar masih ada suara musik yang cukup keras, kakek langsung masuk kamar. Tidak lama kemudian, listrik di rumah pemilik hajatan seketika padam. Mereka panik karena selepas isya masih ada acara walimah. Mereka segera menghubungi pihak PLN. Setelah dicek petugas PLN, tidak ditemukan satupun adanya kerusakan.

    Setelah semua panik dan ribut, akhirnya ada yang teringat pada himbauan kakek saya. Orang yang memiliki hajat tersebut lantas menemui kakek dan meminta maaf serta berjanji akan menghentikan suara musiknya yang keras itu. Tidak lama sesudah itu, lampu di rumah orang tersebut kembali menyala seperti sedia kala.

  3. Setelah menjadi warga Muhammadiyah, kakek saya betul-betul memerangi khurafat. Salah satu aksi yang ia lakukan adalah mendatangi sebuah candi (pohon besar), namanya Candi Pancurawis, yang sering dijadikan warga sebagai tempat untuk memberi sesajen dan memohon sesuatu. Di sana ia mengencingi tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Bumiayu tersebut.

    Sepulang dari mengencingi tempat itu, saat kembali ke rumah tiba-tiba kemaluannya membengkak, seperti habis terkena sengatan binatang. Ia merasa ditantang oleh "penghuni" tempat keramat tersebut. Setelah menyembuhkan sakitnya selama seminggu, ia kembali datangi tempat itu, dan kembali ia kencingi tempat keramatnya. Sepulang dari candi itu, kembali kemaluannya membengkak. Setelah sembuh, kembali ia ke tempat itu dan mengencinginya sekali lagi.

    Setelah yang ketiga kalinya mengencingi, tidak ada lagi tantangan dari "penguasa" candi tersebut. Kemaluan kakek tidak lagi membengkak seperti sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan kakek kepada warga Bumiayu bahwa tempat itu tidak keramat akhirnya tersebar ke masyarakat.

  4. Kakek tidak pernah berbohong meski kepada anak kecil. Misalnya, ia tidak membolehkan nenek, Mbah Nirah, menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu agar si anak tidak rewel atau segera tidur.

    Kakek juga tidak pernah su'udhon dengan orang. Suatu ketika orang gunung yang dititipi kambing datang dan memberitakan seluruh kambingnya mati terkena penyakit. Mendengar berita itu, kakek percaya begitu saja. Tidak terbersit sama sekali bahwa ini akal-akalan orang gunung tersebut untuk kembali mendapatkan uang dari kakekku. Padahal, kata ayahku, belum tentu kambingnya mati. Mungkin kambingnya dijual atau bahkan masih hidup semuanya di atas gunung sana, di lereng gunung Slamet. Kakekku tidak marah dan tidak juga berusaha langsung mengecek kebenaran matinya seluruh kambing tersebut. Sebaliknya, kakek malah memberi uang untuk membeli sejumlah kambing baru agar dipelihara orang gunung tersebut.

  5. Setiap hari Jumat, kakek memiliki dua kebiasaan: (1) memotong seekor kambing dan (2) sesudah shalat Jumat mengundang Kyai dari Masjid Agung Baiturrahim untuk makan di rumah. Tradisi yang pertama ia lakukan untuk menjaga silaturahmi keluarga besarnya. Tradisi yang kedua ia lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada ulama. Kalau sang Kyai bersedia, ia akan langsung mengajaknya untuk bersantap aneka hidangan kambing di rumahnya.
***
Kamis (1/5) kemarin saya mengunjungi tante saya di Poncol, Senen, Jakarta Pusat. Sebagai anak perempuan terakhir dari Mbah Badri, ia termasuk yang menyaksikan hari-hari terakhir menjelang wafatnya almarhum. Saya mendengar kisahnya dengan mata berkaca-kaca dan seketika tumbuh rasa bangga dengan kakek, meski aku tidak pernah bertemu dengannya.

Inilah hari-hari terakhirnya:
Dua hari menjelang wafatnya, dompet sabuk (sekarang mungkin seperti tas pinggang) yang selalu ada di pinggang kakek masih penuh dengan uang. Hari itu ia meminta anaknya memanggil tetangga dan saudara yang tidak mampu satu persatu untuk datang menemui kakek yang sedang terbaring sakit di atas tempat tidurnya. Uang yang pada saat itu tergolong sangat banyak tersebut tidak diberikan kepada nenekku, tetapi justru dibagi-bagikan kepada saudara dan tetangga yang ia panggil, hingga habis seluruh uang yang ada di tasnya itu.

Sehari menjelang wafat, ia meminta dimandikan dan digosok seluruh tubuhnya dengan batu. Ia sempat mengatakan kepada anaknya: "Orang-orang sekarang kalau memandikan mayat sering tidak bersih." Meski begitu, tidak ada anak-anaknya yang menduga bahwa kakek akan meninggal. Kalimat itu dianggap sebagai kalimat biasa, bukan sebuah pesan dari kakek yang akan segera menghadap kepada sang Khaliq.

Beberapa detik sebelum meninggal, kakek bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Dengan keras ia membaca syahadat "Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasulullah..." Sesudah membaca syahadat, kakek kembali menidurkan badannya dengan posisi tangan sedekap di atas dadanya. Sejenak kemudian orang-orang mengatakan bahwa kakek telah tiada. Ia meninggal dengan sangat mudah dan tenang, disaksikan dan di tengah-tengah keluarga yang sangat ia cintai.
Semua cerita itu menjelaskan, mengapa banyak orang desa atau orang gunung, dari tukang becak, petani hingga pedagang, seketika menghormatiku begitu mengetahui aku adalah cuku dari Ki Badri, demikian mereka menyebutnya.

Mudah-mudahan akupun bisa mengikuti jejaknya dan ikutan khusnul khatimah :)