Tuesday, December 19, 2006

Keserakahan Manusia


Dalam cerpen How Much Land Does A Man Need?*), Leo Tolstoy menceritakan seorang buruh tani yang berkeinginan untuk memiliki sebidang tanah.

Cerita berawal dari pertemuan dua saudara perempuan. Saudara tertua membanggakan bagaimana enaknya hidup di kota, dengan segala kenikmatan, baju-baju yang bagus, makanan yang enak dan mudah didapat, hingga pergi ke theater sebagai tempat hiburan. Adiknya tidak tergiur. Ia lebih menikmati hidup sebagai buruh tani dengan segala kekurangannya. Tidak ada ups and downs, tidak perlu ada ketakutan hari ini kaya besok tidur di jalanan. Buruh tani mungkin hidup pas-pasan, tapi bisa hidup lebih lama. Mungkin tidak akan pernah kaya, tapi tidak pernah kekurangan makanan.

Tidak demikian dengan suami perempuan yang lebih muda itu. Ia sudah merasa bosan sejak muda menggali tanah tanpa pernah memilikinya. Ia memohon diberi sebidang tanah, maka ia tidak akan takut pada siapa saja, Setan sekalipun. Maka terbentanglah jalan baginya untuk memiliki sebidang tanah dengan membeli pada seseorang yang mau menjual tanahnya. Ia lalu memiliki 30 acre. Jadilah ia merasa dirinya sebagai petani. Dapat informasi tanah murah di desa lain, ia segera pindah ke sana untuk mendapatkan tanah gratis 100 acre asal mau mengelolanya. Tidak puas dengan 100 acre, ia berencana membeli 1300 acre seharga 1500 roubel di desa baru itu. Kini ia sudah memiliki tabungan 1000 roubel yang siap dibayarkan, sisanya dibayar kemudian. Sebelum membeli 1300 acre, ia kembali mendapat informasi, bahwa di desa lain ada tanah yang sangat murah, hanya 20 sen per acre. Dengan uang yang sama, ia bisa mendapatkan tanah seluas 7500 acre.

Pergilah petani itu ke desa yang penduduknya lugu itu untuk membeli tanah di sana. Ketika membeli, syaratnya juga mudah, luas yang didapat sesuai dengan kemampuan ia berjalan dari sebuah titik kembali ke titik itu lagi sebelum matahari terbenam. Iapun lalu berjalan dan memasang pembatas tanah miliknya. Karena terlalu bersemangat, ia berjalan terlalu jauh, hingga melihat matahari sudah hampir condong ke barat. Maka ia buru-buru kembali ke titik awal itu. Ia lalu menyadari, jaraknya sekarang terlalu jauh dengan titik awal, maka ia paksakan untuk terus berlari agar bisa sampai ke titik awal itu untuk mendapatkan tanahnya, atau uangnya hilang. Karena terlalu dipaksakan, ia akhirnya muntah darah, lalu mati di tempat.

Akhir cerpen, tetua desa itu mengatakan kepada pembantu yang dibawa petani itu, ”Ambil tanah sepanjang kepala hingga kaki, lalu kuburkan.”

Bagi masyarakat Barat yang materialistik, kritik atas keserakahan manusia melalui cerpen menjadi hal yang menarik perhatian, dan karenanya cerpen ini masuk kumpulan cerpen terbaik Leo Tolstoy. Tulisan ini masuk kategori "art must serve a moral purpose".

Bagi ummat Islam, kritik serupa akan dengan mudah didapatkan dalam kitabnya. Salah satu contohnya dapat ditemui dalam surat ke 102 (At-Takaatsur):
Alhaakumut-takaatsur (1). Hatta zurtumu al-maqoobir (2).”
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1). Sampai kamu masuk ke liang kubur (2).


Nabi Muhammad juga pernah mengatakan hal yang kurang lebih berbunyi:
Manusia tidak akan pernah puas. Diberi satu gunung emas, dia akan minta dua gunung emas. Diberi dua gunung emas, dia akan minta tiga gunung emas. Begitu seterusnya. Hanya kematian yang akan menghentikannya.
***

Loss is Gain’s elder brother” atau ”Kerugian adalah saudara tua Keberhasilan” adalah peribahasa yang dikutip dalam cerpen itu. Bagi ummat Islam, keberuntungan di dunia, seringkali berujung pada kerugian di akhirat.

Keserakahan tidak akan pernah berakhir dengan kebahagian. Waspadalah saudaraku!!! :) :) :)

*) Dari buku Master and Man and Other Stories, Leo Tolstoy, diterbitkan oleh Penguin Groups (www.penguin.com).

Monday, December 18, 2006

Benalu Seputar Gus Dur?

Ini soal tabiat buruk sejumlah anak-anak muda NU sekarang ini dalam kancah bisnis dan politik, terutama anak-anak di sekitar Gus Dur, yang sudah lama aku kritik. Penyakitnya satu: selalu minta uang di muka, meski belum jelas betul pekerjaannya. Ini mungkin kesalahan Presiden Soeharto –menurut pendapat beberapa orang yang pernah dekat dengan Pak Harto-- yang tidak mau memberi NU posisi, tetapi cukup dengan memberi uang.

Tahun 2006 ini saya pribadi mengalaminya dua kali. Kejadian pertama ketika ada staf khusus AMM, anggota dewan dari PKB, yang menawarkan jasa menggolkan om saya menjadi deputi di sebuah kementerian. Kebetulan, om saya sudah diusulkan Pak Menteri ke TPA (Tim Penilai Akhir), lembaga yang menangani fit and proter test calon pejabat eselon 1, tapi tak kunjung keluar putusannya karena konon ada konflik kepentingan antara Wakil Presiden dan pihak lainnya, terutama Sekkab dan MenPAN. Setelah sekali bertemu dengan staf khusus tersebut, saya menangkap kesan bahwa mereka tidak menguasai betul informasinya. Ini semacam numgor alias numpang nggoreng. Tahu sedang ada proses, maka dia ikut menumpangi di atasnya agar bisa turut mendapatkan kredit atas jasa penyelesaian proses itu.

Karena staf khusus itu diperkenalkan oleh teman baik saya, maka saya ikuti saja prosesnya. Tapi dari awal, saya sudah memberi sinyal, boleh saja membantu tapi tolong jangan bicara uang. Saya sudah beberapa kali berurusan dengan anak-anak PKB, selalu diawali dengan permintaan uang. Staf khusus tersebut setuju pada saat itu. Tapi entah lupa atau pura-pura lupa, seminggu kemudian dia telepon saya minta partisipasi om saya untuk acara Garda Bangsa. Dia meminta uang sejumlah Rp 50 juta.

Terus terang saya tidak meneruskan permintaan itu kepada om saya. Setiap kali dia menanyakan jawabannya, saya bilang bahwa om saya masih belum bisa dikontak, lagi sibuk mendampingi Menteri.

Kejadian kedua ketika ada orang dekat Gus Dur menawarkan jasa pekerjaan di sebuah kementerian. Saya diminta membawa lawyer yang bersedia menangani perkara-perkara di bawah kementerian itu. Katanya, lawyer yang lama bawaan Golkar, perlu dicari lawyer baru yang lebih setia pada Pak Menteri. Maka saya hadirkan sahabat saya jadi partner di sebuah kantor lawyer terkemuka.

Kamipun lalu diatur bertemu Pak Menteri. Untuk pertemuan pertama ini saya memaklumi adanya permintaan uang untuk taksi dan biaya handphone. Saya deliver uang kalau tidak salah Rp 10 juta pada saat itu.

Lalu kami diatur untuk dapat bertemu Gus Dur hinga dua kali. Pertemuan pertama di kantornya di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Di sana kami bertemu Gus Dur sekitar 1 jam, sambil cerita FPI karena saat itu sedang ramai-ramainya penolakan RUU-APP. Pertemuan kedua di restoran Jepang, hotel AryaDuta, Menteng, Jakarta Pusat. Pada pertemuan pertama mereka saling bertukar nama dan nomor telepon. Pada kali kedua, kawan saya membawa uang Rp 250 juta, katanya buat Gus Dur. Rupanya, tanpa sepengatahuan saya, mereka langsung meminta kepada lawyer itu. Saya hanya bisa mengelus dada, susah sekali mengubah tabiat buruk anak-anak tersebut. Mereka seperti memanfaatkan aji mumpung. Kapan lagi bisa dapat uang dari orang yang lagi percaya dengan mereka?

Dan kini terbukti, pekerjaan yang dijanjikan bisa didapat dalam jangka waktu 2 bulan, hingga kini sudah lebih dari 6 bulan, belum juga jelas wujudnya. Tidak seperti dijanjikan saat mereka meminta dana Rp 250 juta tersebut.

Kepada kawan-kawan lainnya saya sarankan, kalau bekerjasama dengan mereka hendaknya berhati-hati. Gunakan dengan keras prinsip "tidak ada uang di muka"!

Manfaat Kelapa Hijau

Waktu lebaran yang lalu adikku, Eti Amalia, menyarankan aku membeli kelapa hijau kalau badan lagi pegal-pegal. Sebagai pedagang toko sembako yang bekerja melayani pembeli dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore, adikku selalu menyantap kelapa hijau kalau badan lagi tidak enak karena kecapaian.

Kelapa hijau cukup mudah dikenali, bukan dari kulit luarnya yang hijau, karena kadang kulit luarnya sudah menguning, tetapi kulit dalamnya kalau baru dipangkas berwarna merah. Dan ingat, tidaksemua kelapa berkulit hijau adalah kelapa hijau. Jika pedagang kelapanya jujur, dia selalu memperlihatkan warna merahnya setiap baru memangkas ujung bawah atau atas kulitnya. Bagi Anda yang tinggal di Jakarta Selatan, silahkan datang ke jalan Duren Tiga Selatan, di sana banyak penjaja kelapa hijau yang jujur.

Minggu lalu Mas Chaizi sakit dan terpaksa istirahat di Rumah Sakit Pertamina. Ia kecapaian setelah 4 hari (9-12 Desember) perjalanan ke Bandung dan Bumiayu. Lalu aku jenguk sambil aku kirimi kelapa hijau ke rumah sakit pada 14/12. Pas dia lagi minum air kelapa hijau, susternya masuk. Mas Chaizi bertanya, "Boleh tidak minum air kelapa hijau?" Lalu dijawab suster, "Airnya bagus untuk mencuci darah. Tapi jangan minum kelapanya, mengandung banyak kolesterol." Setelah susternya pergi, Mas Chaizi bilang, "Padahal Mi, kelapanya itu yang lebih enak dan lebih aku sukai." :) :)

Wednesday, December 13, 2006

Diskusi Komik

Setelah beberapa bulan bergabung dengan milis Masyarakat Komik Indonesia (MKI), akhirnya saya memberi komentar juga. Hal ini karena terdorong oleh tulisan seorang peserta milis yang mencoba mengaitkan nasionalisme dengan "hidupnya" komik Indonesia dalam subject: "Re: [mki] Komik Indonesia terpuruk, salah siapa?".

Saya penggemar komik, tapi saya bukan pemerhati atau kritisi komik. Maka saya mencoba berkomentar secara amatiran seperti berikut:

Sudah bukan saatnya lagi bicara industri komik dari perspektif nasionalisme atau proteksi pasar atau intervensi proses ekonomi lainnya. Sekarang bukan lagi jamannya anak-anak SD dipaksa nonton film G30S rame-rame.

Soal komik sekarang ini soal bisnis. Kalau tidak bisa membuat produk yang bagus, tentu tidak akan laku. Penerbit tidak akan mau membuang uangnya untuk sesuatu yang tidak laku. Pembeli juga tidak akan mau membuang uangnya untuk komik yang tidak mengundang minat apalagi tidak bisa dinikmati.

Bagi penggemar komik silat seperti saya, ukuran bagus tidaknya komik hanya 2:
Pertama, gambar yang bagus dan hidup. Komik asingpun tidak semuanya bagus dan hidup. Komik Condor Heroes gambarnya tidak aku sukai karena aku anggap kurang hidup. Kedua, alur ceritanya menarik dan bisa dinikmati. Komik Liang Shan Heroes bagus gambarnya tapi jalan ceritanya tidak baik (ini prediksi saya, karena baru keluar no perdana).

Kalau komikus Indonesia tidak bisa menghasilkan komik dengan dua kualitas tersebut di atas (kemampuan menggambar yang baik dan kemampuan mengarang cerita yang menarik), janganlah merengek minta laku komiknya dijual.

Bagi kawan-kawan yang punya bakat menggambar, mungkin bisa memulai dengan komik yg disadur dari buku cerita yang banyak dibaca orang. Komik-komik silat yg saya beli nampaknya dibuat dari cerita-cerita yang sebelumnya sudah laku dijual dalam bentuk novel. Komik Vagabond, misalnya, dibuat dari novel Musashi yg sebelumnya sdh laku dijual. Komik Pendekar 4 Alis, The Legend of Condor Heroes, Return of the Condor Heroes, dll adalah komik-komik yang sebelumnya juga sudah beredar dalam bentuk novel dan laku terjual.

Utk komik-komik Jepang saya tidak bisa berkomentar karena saya bukan penggemar. Tapi dari komik Jepang yang dibeli anak saya, mereka membeli komik yang sudah ada serialnya di televisi.

Soal display di toko-toko buku, saya kira tidak ada yang salah. Kalau toko buku meletakkan komik asing di depan, ya karena itu komik yang laku. Ini berlaku buat semua buku. Kalau ada buku yang tidak laku, biar itu terbitan atau terjemahan asing, tetap saja ditelakkan di tempat biasa (sesuai kode buku), bukan di depan.

Kembali ke persoalan komik Indonesia, berhentilah menghubungkan urusan komik dengan nasionalisme. Bukan jamannya lagi para komikus mendapat proteksi dari pemerintah dan masyarakat. Marilah belajar untuk tidak membelah cermin kalau muka kita yang buruk!

Jadi, kalau komik Indonesia terpuruk, yang salah ya para komikusnya. Kalau mau tetap mencari kambing hitam, jangan salahkan penerbit, toko buku, atau masyarakat pembeli, salahkan pada sekolahan yang melahirkan komikus :) :)

Monday, December 11, 2006

Ibu Pergi Haji

Hari ini, Senin 11/12, ibu saya pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Ibu pergi bersama rombongan haji Helutrans Al-Haadi Ziarah tadi pagi pukul 11.30 dengan Malaysian Airlines. Rombongan Helutrans kali ini cukup besar, 170 orang. Ibu akan berada di tanah suci hingga 4 Januari 2007.

Ikut mengantar ibu ke Bandara Soekarno-Hatta seluruh anak, menantu, dan cucu ibu baik yang di Jakarta maupun dari Bumiayu, kecuali adikku Chamdani yang tidak bisa hadir. Turut mengantar ibu ke bandara adalah temanku, Yunan Helmi, yang khusus minta didoakan segera mendapat jodoh di usianya yang ke 40 tahun depan. Bulek Zaitun dan Om Achmad dari Poncol, Senen, Jakarta Pusat juga turut mengantar ke Bandara. Juga hadir Mbak Pipik, kakak istriku, beserta Achmad Salam suaminya yang juga mantan roommate-ku dulu di Arizona, beserta dua anaknya.

Mudah-mudahan ibu pulang dengan selamat dan menjadi haji yang mabrur.

Friday, December 08, 2006

Negosiasi

Kawan saya, Harry Djadie, dulunya adalah pengusaha di sektor pertambangan. Tapi kini, ia dalam posisi sedang merangkak kembali ke atas. Sebagai anak tentara yang bersekolah di Eropa selama 7 tahun pada awal tahun 70-an, kawannya berderet dari sejumlah anak pejabat era 70-80-an, Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono, hingga keluarga dekat Ibu Ani-SBY.

Dalam obrolan lepas di Cafe La Tazza, Ambasador Mall, Jakarta Selatan tiga hari lalu, ia memberikan semacam kata-kata mutiara kepada saya. Katanya, ini pelajaran yang ia dapat sewaktu dulu mengambil MBA di London:

You don’t get what you deserve, you get what you negotiate!
(Anda tidak memperoleh apa yang menjadi hak Anda, Anda memperoleh apa yang Anda negosiasikan.)

Negosiasi adalah kunci dari apa yang akan kita dapatkan. Apa yang menjadi hak kita tidak serta merta akan menjadi apa yang kita raih.

Saya setuju dengan kata-kata Mas Harry. Banyak orang gagal menuntut hak, karena mereka tidak bisa bernegosiasi.

Lucunya, dari cerita kawan yang memperkenalkan Mas Harry kepada saya beberapa bulan lalu, kebangkrutan Mas Harry justru karena ia tidak mampu bernegosiasi. Ia orang yang sangat baik kepada kawan, sehingga dalam negosiasi selalu mengalah. Yang terjadi kemudian, apa yang menjadi miliknya malah hilang karena ketidakmampuannya dalam bernegosiasi.

Mudah-mudahan Allah memberi kembali jalan buat Mas Harry untuk menemui kesuksesannya yang kedua.

Penilaian Aset Lapindo

Sebuah perusahaan penilai (valuation) milik kawan saya, sebut saja PT XXX, tiba-tiba ingin mengikuti tender pekerjaan penilaian di PT Lapindo Brantas. Ia mendapatkan informasi pekerjaan itu, katanya, dari koran. Kawan itu meminta saya menghubungkan dengan sahabat saya yang ditunjuk pihak Bakrie sebagai juru bayar di Lapindo.

Dalam situasi yang kisruh seperti bencana yang dialami Lapindo, proses administrasi tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Proses pengadaan atau pemberian pekerjaan diadakan tanpa melalui proses tender atau penelitian kelayakannya. Maka ditempatkanlah sahabat saya, mantan direktur keuangan ANTV, di sana untuk membenahi proses pembayaran tagihan dan penawaran yang masuk kemudian.

Sahabat ini bercerita, ada sebuah tagihan sebesar Rp 32 miliar. Setelah ditekan oleh sahabat ini, akhirnya cukup dibayar dengan jumlah Rp 18 miliar, bahkan masih ada kemungkinan untuk ditekan hingga Rp 16 miliar. Ada lagi tagihan sebesar Rp 6 miliar, begitu ditawar dengan pembayaran Rp 3 miliar langsung diterima tanpa ada keberatan sama sekali. Menurutnya, banyak pengadaan, khususnya pasir dan berbagai pekerjaan untuk pengurukan dan pembuangan atau penyedotan lumpur, yang tagihannya tidak wajar. Selalu ada penggelembungan, baik volume maupun harga.

Untuk itulah, sahabat saya ini memerlukan sebuah perusahaan konsultan independen, agar dalam ia menawar pekerjaan tidak sembarangan. Ada kontraktor yang bisa ditekan sehingga bisa mengurangi pembayaran hingga hampir separuhnya, ada kontraktor yang tidak bisa ditekan dan bersikeras bahwa itu adalah harga yang sudah disepakati dan sesuai dengan pekerjaannya dan karenanya mereka meminta dibayar sesuai tagihan. Dengan bantuan konsultan, ia berharap ada justifikasi yang logis dalam menawar tagihan yang sudah terlanjur masuk dan penawaran pekerjaan yang akan masuk.

Sahabat saya juga ingin, lahan seluas 400 Ha, terutama lokasi lumpur yang ada dalam tanggul, bisa dinilai. Berapa sih nilai sebenarnya dari tanggul beserta isinya? Mungkin ini berkaitan dengan tagihan-tagihan pekerjaan pengurukan yang belum dibayar. Ia berpikir, dari fisik tanggul dan volume pasir yang telah dicurahkan ke dalamnya, harusnya bisa dinilai berapa angkanya yang wajar. Dari angka itu ia lalu bisa membandingkan dengan rekapitulasi tagihan yang sudah menumpuk di mejanya.

Saya lalu mengajak PT XXX ke Surabaya pada Senin 27/11 lalu. Sebelum meninjau lokasi bencana, sahabat saya bercerita, sudah 3 perusahaan penilai datang dan semua mundur tidak sanggup melaksanakan pekerjaan tersebut. PT XXX merasa yakin bisa mengerjakannya. Maka disiapkanlah mobil dan pengantar untuk meninjau lokasi yang akan dinilai.

Sorenya, sepulang dari meninjau lokasi, saya lihat penilai dari PT XXX terlihat pucat wajahnya. Saya menduga ia tidak akan sanggup melaksanakan pekerjaan tersebut. Tapi sore itu di bandara Surabaya, PT XXX masih berusaha meyakinkan saya bahwa mereka sanggup mengerjakannya. Tiga hari kemudian, ia menelepon bahwa perusahaannya tidak berani mengambil resiko karena bencana Lapindo telah menjadi konsumsi publik.:(

Kejadian itu lalu saya ceritakan kepada kawan saya yang lain. Rupanya ia kenal dengan sebuah perusahaan penilai yang cukup besar dan sudah menjadi rekanan PT Pertamina. Lalu ia menghubungkan saya dengan perusahaan tersebut, dan katanya mereka berminat. Minggu depan mereka minta diantar ke Surabaya untuk memberikan presentasi di hadapan sahabat saya. Mudah-mudahan cocok!

Thursday, December 07, 2006

Kuis F1 Indosat

Kuis F1 di Indosat sejak 2004 hingga 2006 diselenggarakan oleh BComm. Kuis serupa di Telkomsel diselenggarakan oleh DetikCom sejak tahun 2005. Baik BComm maupun DetikCom menyelenggarakan kuis tersebut tanpa ada ijin dari pihak F1 International maupun Majalah F1 Indonesia sebagai pemegang hak publikasi dan kegiatan promosi lainnya di Indonesia.

Nopember 2006, Majalah F1 Indonesia memberikan hak eksklusif kepada perusahaan milik kawan saya, PT Asmindo, untuk menyelenggarakan kuis F1 di seluruh operator seluler. PT Asmindo lantas memberitahukan kepada Indosat maupun Telkomsel mengenai hak eksklusif tersebut. PT Telkomsel langsung memutus kontrak kuis F1 dengan pihak DetikCom dan memberikan hak penyelenggaraan kuis F1 tersebut kepada PT Asmindo mulai Desember 2006 ini. Sedang pihak Indosat melalui salah satu GM-nya meminta persyaratan tambahan yang tidak masuk akal, yaitu PT Asmindo harus mendapatkan ijin operasional dari F1 International.

Permintaan manajemen Indosat ini tidak masuk akal, karena selama ini BComm menyelenggarakan kuis F1 bahkan tanpa ijin dari pihak manapun yang berwenang untuk mempromosikan kegiatan F1 di Indonesia.

Setelah dipelajari oleh kawan saya, ada beberapa alasan kenapa Indosat mempersulit penyerahan hak pengelolaan kuis F1 dari BComm kepada PT Asmindo. Pertama, salah satu komisaris –dan diduga juga menjadi pemilik saham-- BComm adalah istri anggota direksi Indosat. Pemegang saham yang lain adalah mantan pejabat di IM3. Hal ini menyebabkan GM yang membawahi program ini merasa tertekan untuk membuat keputusan yang fair. Kedua, kuis F1 adalah bisnis yang cukup menjanjikan. Penghasilan bersih dari kuis ini tidak kurang dari Rp 600 juta setiap bulannya.

Lalu kawan saya minta bantuan, agar saya bisa melobi pihak Indosat untuk menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Bisa saja persoalan ini dilaporkan kepada KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) atau diadukan ke pengadilan. Tapi itu pilihan terakhir, kalau sudah tidak bisa dimusyawarahkan. Karena, pilihan tersebut pasti akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.

Setelah seminggu membuat pemetaan, saya memulai pekerjaan lobi ini dari gedung DPR-RI. Dari gedung DPR-RI saya kemudian dipertemukan dengan perwakilan --semacam liasons officer-- Temasek Holdings, perusahaan investasi Singapura yang anak perusahaannya menjadi pemegang saham Indosat, di Indonesia. Dari perwakilan tersebut permasalahan ini akan diteruskan kepada Wakil Dirut Indosat.

Mudah-mudahan minggu depan sudah ada win-win solution. Jika hak pengelolaan kuis F1 bisa diserahkan kepada PT Asmindo, maka success fee yang akan saya peroleh adalah 10% dari penghasilan kuis tersebut setiap bulannya, selama kuis itu diselenggarakan di Indosat. Semoga berhasil!

Monday, December 04, 2006

Problem Kepemimpinan di Indonesia

Pada kolom Analisis Ekonomi, Kompas 4/12/2006, Rhenald Kasali mengutip perkataan orang bijak mengatakan, orang pintar lebih fokus pada angka-angka. Orang seperti ini cocoknya menjadi manajer. Sedang pemimpin lebih fokus pada perubahan perilaku.

Pemimpin di Indonesia selama ini dilahirkan oleh TNI, organisasi sosial dan politik (orsospol), dan organisasi kader (mahasiswa dan pelajar). Belakangan baru muncul dari jalur mantan artis, meniru Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger :). Masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

TNI cenderung melahirkan pemimpin yang tegas –semacam varian dari otoriter yang paling bisa diterima publik. Satu-satunya pengecualian mungkin hanyalah SBY yang dikenal sebagai si peragu :). Soal kecerdasan tentu sangat relatif. Seorang Adi Sasono sering mengatakan pemimpin dari TNI cenderung kurang cerdas. Tidak jarang pula orang berkomentar, bahwa tentara ternyata pintar-pintar.

Contoh paling aktual bisa dilihat pada sosok Sutiyoso, Gubernur DKI sekarang ini. Ia adalah purnawirawan jenderal yang tegas dalam memimpin DKI. Idenya soal bussway pada akhirnya bisa diterima bahkan disukai warga DKI meski pada awalnya banyak menuai protes dari para pemerhati sosial politik. Penebangan pohon pelindung di jalur hijau pun terus dilakukan meski diprotes banyak orang. Monorel terus saja ditunda pembangunannya meski sudah jelas kontraktor yang ditunjuk tidak mampu menunjukkan uangnya hingga dua kali batas waktu yang telah ditentukan. Semua dilakukan dengan tegas karena mungkin ada satu keyakinan, kelak masyarakat akan menerima dan menikmatinya. [Yang pasti, dengan banyaknya proyek di DKI, birokrat dan pemimpinnya --termasuk anggota DPRD yang terhormat-- telah menikmati duluan :)]

Orsospol cenderung melahirkan pemimpin yang egois, yang hanya memikirkan keselamatan diri dan kelompoknya. Itulah sebabnya di republik ini pada prakteknya kekuasaan itu dari partai oleh partai untuk partai. Itu pula sebabnya, orang tidak segan-segan untuk berinvestasi hingga miliaran rupiah untuk bisa tampil menjadi pemimpin lewat patai politik khususnya. Toh investasi itu kelak akan dengan mudah kembali begitu kekuasaan bisa direngkuh. Kepentingan rakyat? No way Jose.

Ada ketua umum sebuah partai berkomentar atas masih campur-tangannya ketua umum yang lama: ”Saya khan sudah membayar tunai (dalam arti sesungguhnya, membayar dengan uang). Ibarat mobil, BPKB sudah balik nama atas nama saya. Kok dia masih mau ikut-ikut mengatur jalannya partai. Saya dong yang berhak menentukan sekarang ini!” Cerita ini sanad-nya dari Fuad Bawazier langsung, yang saya dengar sendiri semalam (3/12) di rumahnya. Bayangkan, jika kepemimpinan sudah dianggap sebagai barang dagangan, si pemimpin sudah keluar uang untuk membeli, maka si pemimpin akan berpikir harus kembali mendapatkan uangnya. Cerita ini tentu melengkapi cerita aroma money politics dalam setiap proses pemilihan pemimpin yang sudah banyak diketahui masyarakat, dari pemilihan Ketua Umum Golkar hingga pemilihan kepala daerah.

Organisasi kader cenderung melahirkan orang yang ”merasa dirinya pemimpin”. Doktrin kaderisasi organisasi semacam HMI, PMII, PMKRI, IMM, IPM, PII, dan banyak organisasi kader lainnya, tentu saja untuk melahirkan pemimpin bangsa. Setiap organisasi memiliki berbagai jenis dan jenjang training kepemimpinan (leadership training). Karena organisasi kader hampir semuanya merekrut anak sekolahan, tidak heran banyak orang pintar keluar dari rahim organisasi kader tersebut. Orang pintar ini lantas melanjutkan kariernya sebagai dosen, pengamat, profesional, dan tidak jarang yang menjadi bikrokrat. Kader yang kurang pintar biasanya tenggelam, mereka menjadi pedagang dan lari ke partai politik atau organisasi sosial.

Lalu banyak orang pintar yang lahir dari organisasi kader merasa dirinya layak menjadi pemimpin. Padahal, mereka sebenarnya hanya layak menjadi seorang manajer. Telah banyak pejabat politik dan pejabat tinggi birokrasi yang ditunjuk memiliki latar belakang aktifis organisasi kader. Tapi, hingga saat ini kita belum menyaksikan ada di antara mereka menawarkan perubahan. Yang ada adalah kebijakan pembangunan untuk hanyut mengikuti perubahan arus global –untuk tidak mengatakan didikte oleh aktor-aktor global. Orang bilang, begitu mereka bergabung dengan birokrasi, mereka hanyut di dalamnya dan kalah oleh derasnya deru mesin birokrasi. Yang terjadi sebenarnya bukanlah mereka terhanyut, tetapi mereka memang bukan pemimpin, mereka hanyalah seorang manajer --yang merasa dirinya pemimpin :).

Kepemimpinan dari jalur mantan artis belum bisa dinilai karena Marissa Haque yang mengatakan dirinya kebal hukum kalah dalam pilkada Banten. Kita tunggu sampai mimpinya politisi PAN Dede Yusuf menjadi pemimpin di Jawa Barat kesampaian. :)