Ini soal tabiat buruk sejumlah anak-anak muda NU sekarang ini dalam kancah bisnis dan politik, terutama anak-anak di sekitar Gus Dur, yang sudah lama aku kritik. Penyakitnya satu: selalu minta uang di muka, meski belum jelas betul pekerjaannya. Ini mungkin kesalahan Presiden Soeharto –menurut pendapat beberapa orang yang pernah dekat dengan Pak Harto-- yang tidak mau memberi NU posisi, tetapi cukup dengan memberi uang.
Tahun 2006 ini saya pribadi mengalaminya dua kali. Kejadian pertama ketika ada staf khusus AMM, anggota dewan dari PKB, yang menawarkan jasa menggolkan om saya menjadi deputi di sebuah kementerian. Kebetulan, om saya sudah diusulkan Pak Menteri ke TPA (Tim Penilai Akhir), lembaga yang menangani fit and proter test calon pejabat eselon 1, tapi tak kunjung keluar putusannya karena konon ada konflik kepentingan antara Wakil Presiden dan pihak lainnya, terutama Sekkab dan MenPAN. Setelah sekali bertemu dengan staf khusus tersebut, saya menangkap kesan bahwa mereka tidak menguasai betul informasinya. Ini semacam numgor alias numpang nggoreng. Tahu sedang ada proses, maka dia ikut menumpangi di atasnya agar bisa turut mendapatkan kredit atas jasa penyelesaian proses itu.
Karena staf khusus itu diperkenalkan oleh teman baik saya, maka saya ikuti saja prosesnya. Tapi dari awal, saya sudah memberi sinyal, boleh saja membantu tapi tolong jangan bicara uang. Saya sudah beberapa kali berurusan dengan anak-anak PKB, selalu diawali dengan permintaan uang. Staf khusus tersebut setuju pada saat itu. Tapi entah lupa atau pura-pura lupa, seminggu kemudian dia telepon saya minta partisipasi om saya untuk acara Garda Bangsa. Dia meminta uang sejumlah Rp 50 juta.
Terus terang saya tidak meneruskan permintaan itu kepada om saya. Setiap kali dia menanyakan jawabannya, saya bilang bahwa om saya masih belum bisa dikontak, lagi sibuk mendampingi Menteri.
Kejadian kedua ketika ada orang dekat Gus Dur menawarkan jasa pekerjaan di sebuah kementerian. Saya diminta membawa lawyer yang bersedia menangani perkara-perkara di bawah kementerian itu. Katanya, lawyer yang lama bawaan Golkar, perlu dicari lawyer baru yang lebih setia pada Pak Menteri. Maka saya hadirkan sahabat saya jadi partner di sebuah kantor lawyer terkemuka.
Kamipun lalu diatur bertemu Pak Menteri. Untuk pertemuan pertama ini saya memaklumi adanya permintaan uang untuk taksi dan biaya handphone. Saya deliver uang kalau tidak salah Rp 10 juta pada saat itu.
Lalu kami diatur untuk dapat bertemu Gus Dur hinga dua kali. Pertemuan pertama di kantornya di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Di sana kami bertemu Gus Dur sekitar 1 jam, sambil cerita FPI karena saat itu sedang ramai-ramainya penolakan RUU-APP. Pertemuan kedua di restoran Jepang, hotel AryaDuta, Menteng, Jakarta Pusat. Pada pertemuan pertama mereka saling bertukar nama dan nomor telepon. Pada kali kedua, kawan saya membawa uang Rp 250 juta, katanya buat Gus Dur. Rupanya, tanpa sepengatahuan saya, mereka langsung meminta kepada lawyer itu. Saya hanya bisa mengelus dada, susah sekali mengubah tabiat buruk anak-anak tersebut. Mereka seperti memanfaatkan aji mumpung. Kapan lagi bisa dapat uang dari orang yang lagi percaya dengan mereka?
Dan kini terbukti, pekerjaan yang dijanjikan bisa didapat dalam jangka waktu 2 bulan, hingga kini sudah lebih dari 6 bulan, belum juga jelas wujudnya. Tidak seperti dijanjikan saat mereka meminta dana Rp 250 juta tersebut.
Kepada kawan-kawan lainnya saya sarankan, kalau bekerjasama dengan mereka hendaknya berhati-hati. Gunakan dengan keras prinsip "tidak ada uang di muka"!
No comments:
Post a Comment