Saya penggemar komik, tapi saya bukan pemerhati atau kritisi komik. Maka saya mencoba berkomentar secara amatiran seperti berikut:
Sudah bukan saatnya lagi bicara industri komik dari perspektif nasionalisme atau proteksi pasar atau intervensi proses ekonomi lainnya. Sekarang bukan lagi jamannya anak-anak SD dipaksa nonton film G30S rame-rame.
Soal komik sekarang ini soal bisnis. Kalau tidak bisa membuat produk yang bagus, tentu tidak akan laku. Penerbit tidak akan mau membuang uangnya untuk sesuatu yang tidak laku. Pembeli juga tidak akan mau membuang uangnya untuk komik yang tidak mengundang minat apalagi tidak bisa dinikmati.
Bagi penggemar komik silat seperti saya, ukuran bagus tidaknya komik hanya 2:
Pertama, gambar yang bagus dan hidup. Komik asingpun tidak semuanya bagus dan hidup. Komik Condor Heroes gambarnya tidak aku sukai karena aku anggap kurang hidup. Kedua, alur ceritanya menarik dan bisa dinikmati. Komik Liang Shan Heroes bagus gambarnya tapi jalan ceritanya tidak baik (ini prediksi saya, karena baru keluar no perdana).
Kalau komikus Indonesia tidak bisa menghasilkan komik dengan dua kualitas tersebut di atas (kemampuan menggambar yang baik dan kemampuan mengarang cerita yang menarik), janganlah merengek minta laku komiknya dijual.
Bagi kawan-kawan yang punya bakat menggambar, mungkin bisa memulai dengan komik yg disadur dari buku cerita yang banyak dibaca orang. Komik-komik silat yg saya beli nampaknya dibuat dari cerita-cerita yang sebelumnya sudah laku dijual dalam bentuk novel. Komik Vagabond, misalnya, dibuat dari novel Musashi yg sebelumnya sdh laku dijual. Komik Pendekar 4 Alis, The Legend of Condor Heroes, Return of the Condor Heroes, dll adalah komik-komik yang sebelumnya juga sudah beredar dalam bentuk novel dan laku terjual.
Utk komik-komik Jepang saya tidak bisa berkomentar karena saya bukan penggemar. Tapi dari komik Jepang yang dibeli anak saya, mereka membeli komik yang sudah ada serialnya di televisi.
Soal display di toko-toko buku, saya kira tidak ada yang salah. Kalau toko buku meletakkan komik asing di depan, ya karena itu komik yang laku. Ini berlaku buat semua buku. Kalau ada buku yang tidak laku, biar itu terbitan atau terjemahan asing, tetap saja ditelakkan di tempat biasa (sesuai kode buku), bukan di depan.
Kembali ke persoalan komik Indonesia, berhentilah menghubungkan urusan komik dengan nasionalisme. Bukan jamannya lagi para komikus mendapat proteksi dari pemerintah dan masyarakat. Marilah belajar untuk tidak membelah cermin kalau muka kita yang buruk!
Jadi, kalau komik Indonesia terpuruk, yang salah ya para komikusnya. Kalau mau tetap mencari kambing hitam, jangan salahkan penerbit, toko buku, atau masyarakat pembeli, salahkan pada sekolahan yang melahirkan komikus :) :)
No comments:
Post a Comment