Monday, April 26, 2010

Obat Nomor 13

Diriwayatkan oleh: Ami Mahzum Baisa

Cerita ini tentang jamaah dan baudeh Tegal. Dalam kultur pantura, tentu saja kisah ini bukan pelecehan rasial atau suku, tetapi lebih menggambarkan pembauran, dan wujud persaudaraan ras dan suku. Hanya mereka yang sudah menyatu yang bisa bercanda sesamanya.

Alkisah, di Tegal ada penjual obat, seorang jamaah, istilah yang merujuk kepada mereka keturunan Arab di Indonesia. Ia penjual obat yang terkenal seantero Tegal dan sangat berani. Di depan tokonya tertulis: "Mengobati segala macam penyakit. Tidak sembuh uang kembali 3x lipat!!"

Hebat toh? Jamaah itu berani menjamin obat yang dijual pasti menyembuhkan; tidak sembuh dia berani kembalikan uangnya hingga 3 kali lipat. Dan memang, sudah bertahun-tahun jualan obat, jamaah ini tidak pernah ada tuntutan. Bisnisnya lancar belaka. Alias, obatnya memang manjur.

Hingga akhirnya datanglah masa krisis ekonomi nasional. Harga-harga melambung. Banyak karyawan di-PHK. Di Tegal sendiri, toko-toko banyak yang gulung tikar. Mereka tidak bisa menghindar dari pengaruh krisis. Termasuk ada seorang baudeh (sebutan China oleh para jamaah), yang tidak luput dari dampak krisis.

Kesibukan melayani pembeli di tokonya hilang sudah. Ia sekarang banyak menganggur karena toko sepi. Untuk menghilangkan suntuk, ia kerap keliling kota Tegal sekedar untuk menghilangkan stress atau mencari peluang-peluang baru. Banyak hal baru dia temui. Maklum, selama ini, ia hampir tidak punya waktu untuk melihat kota Tegal.

Sejak kecil ia sibuk di toko orangtuanya, lalu mewarisi melanjutkan usaha leluhurnya itu. Lingkungan terjauh yang ia kenal mungkin hanya beberapa rumah di kanan dan kirinya --hampir semua arsitektur rumah-toko China di daerah Jawa sama, di depan digunakan sebagai toko, di belakang sebagai rumah tempat tinggal. Di samping, tentu saja, ia mengenal para langganan tokonya.

Ketika sepeda motornya melintas di depan toko obat tadi, ia kaget. "Hebat sekali ini toko obat," pikirnya. Baudeh tadi heran dengan keberanian toko obat menjamin pengembalian 3 kali lipat jika tidak sembuh. Didorong rasa penasaran, dia pinggirkan motornya, lalu ia coba untuk tengok ke dalam. Baudeh ini makin heran. Di dalam toko ramai sekali pembelinya.

Karena baudeh ini dari kecil memang dilatih berbisnis, seketika otak bisnisnya muncul ide. "Ini peluang emas. Daripada nyari duit susah, toko sepi, ini dia, gua bisa akalin nih orang Arab," kata baudeh pada dirinya.

Segera baudeh ini bergegas pulang. Iapun menyusun rencana. Ia ingin membeli obat yang termahal. Ia minta masukan pada istrinya. Akhirnya ia dapat ide: ia akan pura-pura sakit mati rasa. Mulutnya tidak bisa merasakan apa saja. Manis, pahit, kecut, pedas, apapun, tidak bisa dirasakan oleh mulutnya.

Keesokan harinya ia datangi toko obat itu. Beberapa menit sebelum bicara dengan penjual obatnya, ia pelajari dulu situasinya. Termasuk mempelajari cara memanggil penjualnya, agar komunikasi lebih lancar. Kalau di tokonya, orang Jawa dengan akrab memanggil dirinya dengan sebutan koh (koko) atau bah (babah). Di toko ini, orang Jawa memanggilnya bib (habib).

Setelah mantap, ia dekati penjualnya. Dengan akrab dia langsung konsultasi.
"Bib, saya punya penyakit berat, apa ente punya obatnya?" kata baudeh.
"Kan sudah ana tulis, segala penyakit," kata jamaah.
"Saya mau obat yang termahal, biar cepat sembuh," kata jamaah.
"Oo ada, cukup 3 kali makan, dijamin sembuh. Sekali makan Rp 5 juta," kata jamaah.

Mata baudeh berbinar-binar. Ia membayangkan, 3 kali Rp 5 juta berarti total biaya obat Rp 15 juta, lalu ia pura-pura tidak sembuh, maka ia bisa dapatkan Rp 45 juta.

"Tapi bib, apa jaminannya? Kalau 3 kali minum obat tidak sembuh habib harus kembalikan uang saya sebanyak 45 juta," tanya baudeh. Baudeh memang terkanal tidak mau rugi dan sangat hati-hati.
"Jaminan ada. Kalau mau sertifikat toko ini," jawab jamaah.

Akhirnya deal. Jamaah memperlihatkan sertifikat tokonya, baudeh mengeluarkan uang Rp 5 juta. Begitu melihat uang Rp 5 juta, penjual obat segera memerintah pegawainya, "Paijin, ambil obat nomer tigabelas!"

Setelah Paijin serahkan obatnya, jamaah meminta baudeh membuka mulutnya. Lep.. Obat itupun dengan cepat berpindah dari sendok ke mulut baudeh. Tidak ada sedetik, baudeh teriak. "Bbwah.. Ini sih tahi ayam!" teriak baudeh sambil memuntahkan obat tadi.

"Naah.. Mulutmu sudah sembuh!" kata jamaah sambil mengambil uang yang tergeletak di atas meja.

Baudeh itupun ngeloyor pergi. "Sial, mau tipu orang Arab malah kena tipu," gerutunya sepanjang jalan.

Sampai di rumah istrinya menghibur. Baudeh itu disarankan untuk datang lagi dengan penyakit yang lebih berat dan obat yang lebih mahal, agar uangnya bisa kembali dan untungnya jauh lebih besar.

Keesokan harinya ia datang lagi ke toko obat. Kali ini dandanannya ia ganti, biar penjual obat tidak mengenalinya. Ia bahkan memakai wig biar potongan rambutnya berbeda sama sekali.

"Bib, ana punya penyakit maha berat," kata baudeh mencoba memakai istilah "ana" untuk kata ganti "saya" biar tambah akrab.
"Nda masalah, ana sembuhkan nanti. Apa sakitnya?" tanya jamaah.
"Ana ini punya penyakit pelupa," kata baudeh.
"Ana naruh motor lupa. Janji sama orang lupa. Sampai istri ana lupa," lanjut baudeh menjelaskan penyakitnya.
"Oo bisa, cukup 3 kali makan, dijamin sembuh. Sekali makan Rp 10 juta," kata jamaah.
"Kalau 3 kali ana khawatir tidak sembuh bib, penyakit ana berat sekali. Lima kali deh" kata baudeh sambil membayangkan 10 kali 5 kali 3 alias 150juta.

Jamaah mengambil kalkulator. Ia balikkan badannya dari hadapan baudeh. Jari-jarinya segera menari di atas kalkulator. Mungkin ia menghitung untung dan ruginya. Selesai menghitung ia balik badan lagi dan berkata, "Setuju, lima kali ya!"

Maka baudehpun mengeluarkan uangnya, dan tidak lupa jamaah mengeluarkan sertifikatnya. Setelah uang di atas meja, jamaah memanggil pegawainya. "Paijin, ambilkan obat nomor 13," perintah jamaah.

Baudeh langsung berteriak. "Jangan bib, jangan obat nomor 13, itu tahi ayam," kata baudeh. "Naahh, ente belum ana kasih obat sudah sembuh," kata jamaah sambil mengambil uang yang 10 juta itu.

Baudehpun ngeloyor dan tidak pernah datang lagi ke toko obat itu.

:))

Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/obat-nomor-13/383089748777
Published: Friday, April 9, 2010 at 8:10am

Orang Tegal Jadi Gorila

Dikarang oleh: Ami Mahzum Baisa

Alkisah, kerajaan Saudi Arabia memutuskan membangun kebun binatang. Kerajaan ingin agar warganya tidak hanya mengenal onta, tetapi bisa juga mengenal berbagai jenis binatang lainnya yang ada di muka bumi ini, seperti jerapah, macan, badak, kuda nil, ular, berbagai jenis burung, monyet hingga gorila. Di samping itu, kerajaan juga ingin menghemat devisa, karena orang Saudi kalau mau melihat kebun binatang biasanya mereka pergi ke San Diego di Amerika Serikat, atau pergi ke berbagai kebun binatang terkenal di Eropa, bahkan terkadang sampai ke Brazil.

Untuk membangun kebun binatang terbesar di Timur Tengah, didatangkanlah tenaga kerja dari berbagai negara, terutama dari negara-negara yang selama ini memasok tenaga kerja di Saudi seperti dari Philipina, India, Pakistan, termasuk dari Indonesia. Karena dari Indonesia terutama dibutuhkan tukang batu dan tukang kayu, maka yang banyak dikirim adalah orang Tegal.

Singkat kata, selesailah pembangunan kebun binatang tersebut. Rencananya, seminggu lagi kebun binatang akan diresmikan. Raja Abdullah sendiri yang akan meresmikan dan memotong pitanya. Berbagai binatang segera didatangkan dari berbagai penjuru dunia untuk mengisi kebun binatang tersebut. Kerajaan membentuk panitia atau menunjuk penanggungjawab tersendiri untuk setiap jenis binatang.

Hingga kurang 1 hari, petugas kerajaan yang bertanggungjawab untuk mengisi kandang gorila terlihat kelabakan. Mereka belum bisa mengisi kandangnya. Gorila yang sedianya didatangkan dari Indonesia masih tertahan di pelabuhan India karena cuaca laut yang buruk. Ributlah di antara panitia gorila itu. Mereka bingung, bagaimana caranya mendatangkan gorila dalam 1 hari?

Akhirnya ada yang usul, untuk sementara mereka bisa memakai orang yang mengenakan kostum gorila. Maka hari itu juga langsung diadakan sayembara. Para tenaga kerja yang masih menunggu jadual pulang dikumpulkan kembali. Panitia pun mengumumkan sayembara tersebut, bahwa siapa yang bisa akting seperti gorila akan diberi peran sebagai gorila selama beberapa hari, sampai gorila yang sebenarnya datang. Panitia menjanjikan hadiah yang cukup menggiurkan.

Maka ramailah orang ikut sayembara itu. Singkat kata, orang yang bisa memerankan akting dan gerak-gerik gorila --dari cara menggaruk, jumpalitan, naik pohon, gelantungan, hingga goyang pantat-- dengan sempurna akhirnya bisa ditemukan. Dia adalah seorang tenaga kerja Indonesia asal Tegal. Kata orang Tegal, "Sing paling lemes gerakane."

Esoknya, pada hari peresmian, gorila Tegal itupun mulai beraksi. Kandangnya persis bersebelahan dengan kandang macan. Banyak penonton puas melihat berbagai atraksi yang dipertontonkan oleh gorila, dari mengupas pisang, menggoyang ekor atau pantatnya, hingga gerakan-gerakan lucu lainnya.

Sesekali gorila mendekati kandang macan, setelah dekat badannya berbalik dan pantatnya digoyang-goyang di depan muka sang macan. Maksudnya gorila mungkin meledek sang macan. Atraksi ini termasuk yang sangat disukai oleh para penonton.

Pada hari ke-3 sejak kebun binatang dibuka, datanglah musibah. Petugas yang biasa memberi makan binatang lupa menutup pintu sekat yang memisahkan gorila dan macan. Karena antara kandang gorila dan macan sekatnya terbuka, masuklah si macan ke dalam kandang gorila.

Sambil menggeram, macan berusaha mendekati gorila. Gorila yang diperankan orang Tegal itu ketakutan yang amat sangat. Gorila berusaha lari ke pojok depan. Macan ikut mendekat ke pojok depan. Gorila lari ke belakang, macanpun ikut lari ke belakang. Macan itu terus menggeram sambil berusaha mendekati gorila. Sampai akhirnya gorila kelelahan dan pasrah di salah satu sudut kandang.

Dalam kepasrahan, gorila Tegal berteriak lirih: "Ya Allah, iloken aku pan mati dipangan macan nang Saudi?"1) Saat macan mendekat, dari mulut macan tiba-tiba keluar suara: "Raimu Tegale nang endi? Aku Kasan kiye"2).. Setengah lemes dan kaget gorila Tegal langsung ngomong: "Ya Allah, raimu tah kunyuk nemen Saan San. Kosih lemes aku pan mati, raimu esih ngejar bae. Aku Urip Dobal kiye."3)

Setelah agak tenang Urip bertanya, "San, Somad nang endi?" Kasan menjawab, "Somad gering dadi kethek nang sebelahe zarofah. Somad lemu dadi kuda nil, kae senengane kecupakan nang banyu. Aziz Lebaksiu dadi komodo. Kiye meh pan 60% wong Tegal kabeh sing ngisi. Kecuali ula, manuk sing angel ditiru. Zarofah ya angel ditiru, gulune kedawan."4)


Terjemahan:
1) Ya Allah, masak saya akan mati dimakan macan di Saudi?
2) Kamu Tegalnya di mana? Saya Kasan nih
3) Ya Allah, kamu memang kunyuk Saan San. Saya sampai mau mati lemas, kamu masih ngejar saja. Saya Urip Dobal nih.
4) Somad kurus jadi monyet di sebelah jerapah. Somad gemuk jadi kuda nil, dia kan senengnya main di air. Aziz Lebaksiu jadi komodo. Ini hampir 60% orang Tegal yang mengisi. Kecuali ular, burung yang sulit ditiru. Jerapah juga sulit ditiru, lehernya kepanjangan.

Tulisan juga bisa dilihat di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/orang-tegal-jadi-gorila/381045443777
Published: Friday, April 2, 2010 at 1:26am

Sukun Obat Liver, Jantung, dan Ginjal

Sakit kuning atau penyakit lever adalah penyakit yang mematikan, namun anda jangan takut, penyakit ini gampang dan mudah disembuhkan.

Ambillah satu buah sukun, belah menjadi 4 potong dan direbus sampai mendidih, minumlah sebanyak mungkin air rebusan tersebut dan bila perlu setiap minum pakailah air rebusan tersebut selama dua minggu atau lebih maka penyakit lever akan sembuh.

Jika buah sukun susah didapatkan maka daun sukun juga sangat berkhasiat menyembuhkan lever, caranya adalah ambil 10 helai daun sukun yang sudah tua warnakuning, rebus sampai mendidih seperti warna teh, berikan dan minumkan ke penderita air rebusan selama 2 minggu maka sakit lever tersebut sembuh, mudah-mudahan resep ini dapat membantu keluarga yang membutuhkan.

Sementara itu, ramuan untuk penyakit jantung, caranya ambillah satu lembar daun sukun tua yang masih menempel di pohon sebab khasiat kadar zat kimianya sudah maksimal. Daun tersebut dicuci bersih lalu dijemur hingga kering dan direbus dengan 5 gelas air. Ketika tinggal separuh, tambahkan air lagi hingga mencapai volume 5 gelas. Setelah mendidih, ramuan diangkat dan disaring. Minum setiap hari, rebusan air itu harus habis hari itu juga tidak bisa disisakan untuk esok.

Untuk penyakit ginjal, ambillah 3 helai daun yang tua, cuci bersih dan dirajang. Hasil rajangan dijemur hingga kering, rebus dalam 2 liter air sampai tinggal separuhnya. Lalu, tambahkan air lagi satu liter biarkan sampai mendidih, angkat dan saring. Minum setiap hari, air rebusan tersebut tidak dapat diesokkan.

Catatan:
Seorang kawan divonis harus operasi jantung karena fungsi jantungnya hanya 46% (orang normal tapi merokok 56% dan tidak merokok/sehat fungsi jantungnya di atas 60% --di bawah 50% diduga ada kelainan spt penyumbatan). Dua minggu sebelum operasi dianjurkan seseorang minum rebusan daun sukun. Ia ikuti anjuran tersebut. Saat datang ke dokter untuk operasi, kondisi jantungnya dicek ulang, ternyata sudah sembuh, fungsi jantungnya mencapai 66%. Subhanallah! Saya percaya dengan cerita kawan itu, insya Allah sanadnya shahih :)

Untuk itu, saya search ke google, dan ditemukan beberapa catatan tentang khasiat sukun. Hasilnya saya hadirkan untuk kawan-kawan.

Untuk metode peracikan obat, kawan saya yang terkena jantung di atas menggunakan cara yg sedikit berbeda. Cara dia adalah:

Ambil daun sukun, diiris-iris selebar 1-2 cm, diangin-anginkan hingga nampak kering (bisa dibuat dalam jumlah banyak untuk persediaan). Ambil irisan daun sukun yang kering tadi secukupnya, digodok sampai mendidih dan airnya menguning seperti warna air teh, lalu disaring, dan diminum setelah hangat --kalau diminum saat panas mulutnya bisa rusak alias mlonyod kata orang Bumiayu :))

Selamat mencoba. Semoga berkah!

Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/sukun-obat-liver-jantung-dan-ginjal/317935048777
Published: Saturday, February 20, 2010 at 10:37pm

Membaca Al-Qur’an; Kebiasaan yang Menyehatkan

By: dr. H Agus Sukaca, M.Kes.
Rowahu: milis Muhammadiyah Society yg diambil dari majalah Suara Muhammadiyah edisi SM 02-10.

Rasulullah saw memerintahkan kita untuk membiasakan diri membaca Al-Qur’an dan memberikan kabar gembira bagi orang yang selalu membacanya. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, akan mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan berlipat sepuluh kali. Aku tidak berkata alif, laam, mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR Tirmidzi)

Beliau memerintahkan kita mengkhatamkan Al-Qur’an sebulan sekali, dan paling cepat dalam tiga hari. Abdullah bin Amrin bertanya, “Wahai Rasulullah, berapa lama saya harus mengkhatamkan Al-Qur’an?” Nabi menjawab, “sebulan”. Abdullah berkata,”Saya mampu mengkhatamkan kurang dari sebulan.” Abu Musa mengulangi perkataannya dan mengurangi (tempo khatamnya) sampai Rasulullah bersabda, “Khatamkanlah Al-Qur’an selama tujuh hari.” Abdullah mengatakan, “Saya bisa mengkhatamkan dalam waktu kurang dari 7 hari.” Nabi bersabda,”Tidak akan memahami Al-Qur’an bagi orang yang membacanya (mengkhatamkannya) dalam waktu kurang dari 3 hari.” (HR Abu Daud)

Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk umat manusia sampai akhir zaman. Fungsi Al-Qur’an antara lain sebagai petunjuk (hudan), sumber informasi/penjelasan (bayan), pembeda antara yang benar dan yang salah (al-furqan), penyembuh (syifa’), rahmat, dan nasihat atau petuah (mau’idzah).

Salah satu manfaat Al-Qur’an adalah sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan Dr. Ahmad al Qadhi, direktur utama Islamic Medicine Institute for Education and Research yang berpusat di Amerika Serikat sekaligus konsultan ahli sebuah klinik di Panama City, Florida. Ia meneliti pengaruh Al-Qur’an pada manusia dalam perspektif fisiologi dan psikologi. Penelitian dilakukan dalam 2 tahapan.

Tahap pertama, bertujuan untuk meneliti kemungkinan adanya pengaruh Al-Qur’an pada fungsi organ tubuh sekaligus mengukur intensitasnya jika memang ada. Tahap kedua, diarahkan untuk mengetahui apakah efek yang ditimbulkan benar-benar karena Al-Qur’an atau bukan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan mesin pengukur dan terapi stres yang berbasis komputer, model MEDAQ 2002 (medical data quotient) yang ditemukan dan dikembangkan Pusat Kedokteran Universitas Boston. Alat ini mampu mengukur reaksi yang menunjukkan tingkat stres dengan 2 cara: (1) melakukan pemeriksaan fisik secara langsung melalui komputer, dan (2) memonitor serta mengukur perubahan-perubahan fisiologis pada tubuh.

Eksperimen dilakukan sebanyak 210 kali dengan melibatkan responden laki-laki dan perempuan dengan usia antara 18-40 tahun. Semua responden non Muslim dan tidak bisa berbahasa Arab. Mereka diminta mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan bahasa Arab dengan kaidah tajwid 85 kali. Mereka juga diminta mendengarkan bacaan berbahasa Arab yang bukan Al-Qur’an sebanyak 85 kali juga. Bacaan-bacaan berbahasa Arab non Al-Qur’an ini dilantunkan dengan kaidah tajwid layaknya Al-Qur’an sehingga memiliki kemiripan dengan Al-Qur’an dari aspek lafal, intonasi suara, dan ketukan di indera pendengaran. Bacaan bahasa Arab non Al-Qur’an digunakan sebagai placebo, artinya responden tidak dapat membedakan antara bacaan Al-Qur’an dengan non Al-Qur’an.

Hasil eksperimen menunjukkan, bacaan Al-Qur’an menimbulkan efek relaksasi hingga 65%, sedangkan bacaan berbahasa Arab non Al-Qur’an hanya mencapai 33%. Hasil ini juga menunjukkan, Al-Qur’an memiliki pengaruh positif yang cukup signifikan dalam menurunkan ketegangan (stres) pada pengukuran kualitatif maupun kuantitatif. Pengaruh ini tampak dalam bentuk perubahan-perubahan yang terjadi pada arus listrik di otot, juga perubahan pada daya tangkap di kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada sirkulasi darah, serta perubahan pada detak jantung, kadar darah yang mengalir pada kulit yang kesemuanya saling terkait dan paralel dengan perubahan-perubahan pada aspek lain.

Semua perubahan ini menunjukkan adanya perubahan fungsi dan kinerja sistem syaraf otonom yang lebih lanjut berpengaruh pada organ-organ tubuh yang lain serta fungsi-fungsinya. Karena itu ditemukan adanya kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas pada pengaruh-pengaruh fisiologis yang bisa dihasilkan Al-Qur’an.

Dalam penelitian lain, Kazemi dkk melakukan penelitian yang mirip terhadap 107 mahasiswa keperawatan Rafsanjan University of Medical Sciencies dengan metode kuasi eksperimental. Mereka dibagi ke dalam 2 grup, grup kontrol dan case group. Skor Kesehatan Mental diukur pada kedua grup dengan 12 item kuesioner. Case group mendengarkan Al-Qur’an masing-masing selama 15 menit, 3 kali seminggu selama 4 minggu berturut-turut, yang diperdengarkan dengan tape recorder. Seminggu setelah intervensi selesai, skor kesehatan mental diukur kembali pada kedua grup. Hasilnya, terjadi peningkatan skor kesehatan mental yang signifikan pada case group. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan, dengan mendengarkan Al-Qur’an dapat dijadikan cara untuk meningkatkan kesehatan mental mahasiswa.

Betapa luar biasanya Al-Qur’an, sistem tubuh ternyata memberikan respon positif terhadap bacaan Al-Qur’an meskipun si empunya tubuh tidak memahami artinya. Apatah lagi kalau yang membaca atau mendengarkan memahami makna bacaannya, pasti efeknya lebih dahsyat lagi. Dengan kita membaca Al-Qur’an setiap hari, pasti banyak kebaikan yang kita dapat. Insya Allah kita sehat! Wallahu a’lam.

Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/membaca-al-quran-kebiasaan-yang-menyehatkan/263346788777
Published: Thursday, January 21, 2010 at 10:21am

Bicara Century Tanpa Angka-angka: Bacaan Akhir Pekan

By: Dandhy Dwi Laksono
Sumber: milis Fraksi Gerindra yg diriwayatkan dari milis AJISAJA

Sebenarnya saya masih berhutang artikel untuk menyambung tulisan tempo dulu tentang “Aliran Dana Bank Century” yang baru episode 1. Tapi karena beberapa dokumen sudah menyebar dengan cepat dan merata, saya rasa akses dan pengetahuan publik tentang kasus ini sudah luar biasa. Meski, apa yang saya highlight di episode 1 tentang aliran Dana Pihak Terkait (DPT) yang mengucur sejak 6 November 2008 hingga Juli 2009, dianggap tidak lebih seksi dibanding angle-angle politik di meja pansus. Tapi kawan-kawan jurnalis di media mainstream sudah makin merata penguasaannya pada substansi kasus ini, dibandingkan –misalnya-- saat senior saya Arya Gunawan “menggerundel” tentang mutu pemberitaan dalam kasus Century, sekitar Agustus-September 2009.

Padahal, saat itu sudah ada setidaknya satu dokumen hasil audit BPK yang beredar, yakni audit 15 April 2009 yang menemukan sejumlah kejanggalan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Lalu awal Oktober, beredar pula dokumen hasil audit BPK dalam bentuk progress report tertanggal 26 September 2009. Namun dokumen-dokumen itu belum dijadikan referensi pembanding oleh, misalnya, majalah Tempo yang banyak disorot editorial policy-nya sejak kasus ini mencuat. Belakangan saya baru tahu bahwa kawan-kawan di Tempo belum memerolehnya. Saya dan Metta Dharmasaputra sama-sama mencari dan memeroleh copy dari aslinya (sebab ada versi copy dari ketikan ulang), lalu kami saling bertukar dokumen dan data lain. Meski begitu, hingga hari ini, sikap saya dan Metta terkait bailout bak dua rel kereta api yang tak pernah bertemu. Tapi justru karena itulah kereta bisa melintas, bukan?

Jadi bila mengingat ini, pertanyaan-pertanya an kritis dari sebagian jurnalis tentang posisi editorial Tempo memang lumrah, terutama setelah Direktur Utama dan Corporate Chief Editor Tempo, Bambang Harymurti (BHM), pagi-pagi sudah menulis kolom dua halaman dan menyatakan “alhamdulillah” dengan kebijakan bailout. Kolom dukungan pada bailout ini tak disertai kolom pembanding dari penulis lain yang berseberangan perspektif. Biasanya Tempo menyandingkan penulis yang berposisi diametral dalam satu edisi yang sama.

Tentu saja opini BHM tak mencerminkan sikap Tempo. Setidaknya, sebuah artikel “Siapa Senang Century Diselamatkan” yang ditulis Pimred Tempo, Toriq Hadad, di akun facebook-nya, mengkonfirmasi hal tersebut. Artikel itu dikomentari 119 entri tanpa sekalipun Toriq menanggapi.

Dalam sebuah diskusi di sekretariat AJI Jakarta sekitar akhir Oktober 2009, soal posisi editorial ini juga disampaikan secara gamblang oleh para jawara investigasi Tempo yang turun full team, untuk “menghadapi” Arya Gunawan yang notabene juga berkawan baik dengan redaksi dan kolom-kolomnya sering dimuat. Diskusi berjalan produktif, sebab kawan-kawan Tempo memang obyektif dan “sekedar” belum memeroleh referensi data lain yang bisa mengimbangi argumen-argumen pemerintah dan para epigon-nya. Arya Gunawan juga tidak dalam posisi memberikan alternatif liputan, atau memberikan data pembanding, sebab yang ia lakukan adalah telaah kritis atas metodologi jurnalistik Tempo dalam kasus Bank Century.

Misalnya, bagaimana mungkin Tempo saat itu kesulitan mendapatkan akses konfirmasi ke Boediono, sementara wartawan-wartawanny a justru pernah duduk satu gerbong menuju Bandung untuk mengantarnya deklarasi?

Pertanyaan semacam ini memang lumrah, karena pemilik Tempo, Goenawan Mohamad (GM), memang pernah satu kereta dengan Boediono menuju Bandung, Mei 2009. “Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah”, tulis GM merujuk gedung Landraad. Peristiwa ini juga ditolak kawan-kawan jurnalis Tempo sebagai premis yang bisa mengaitkan editorial terkait Century dan dukungan politik pribadi GM kepada Boediono.

Dus, sekali lagi, semua output pemberitaan Tempo dalam kasus Bank Century memang tak lepas dari data apa (dan dari siapa?) yang mereka pegang. Begitu juga dengan sikap saya yang dipengaruhi temuan-temuan BPK, meski berkali-kali membacai jawaban atau sanggahan pemerintah yang juga dilampirkan dalam laporan setebal 640 halaman itu. Sikap yang mungkin sangat “kaku dan positivistik”, tapi tak urung melegakan, sebab setidaknya preposisi tidak diambil dari preferensi politik, kebencian personal, apalagi kultus pada integritas seseorang secara membabi buta.

Karena itulah, izinkan kali ini saya jeda membicarakan kasus Bank Century yang melibatkan angka-angka. Senior saya Farid Gaban, pernah mengajak kita mendiskusikan kasus Century dari perspektif “subsidi rakyat versus subsidi bankir”. Saya kira obrolan begini perlu, untuk menyelingi riuh rendahnya arena pansus yang marak dengan pekik “bangsat” atau “maling”.

***


“Label-label besar itu apakah ada gunanya bagi rakyat?” kata Boediono suatu ketika. “Menurut saya, yang penting mana yang memberikan manfaat dan kesejahteraan terbesar. Kalau kita terikat dengan ideologi-ideologi, ya repot. Tuntutan rakyat itu cuma dua hal: harga-harga kebutuhan yang stabil dan pendapatan yang bisa diandalkan. Itu artinya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.” (Tempo, 12 Desember 2005)

Itu pernyataan Boediono tiga tahun setengah sebelum menang pemilu. Pada kesempatan lain, di masa kampanye, Boediono juga berujar, “Neolib istilah keren, tapi label ini tidak pas apalagi dikenakan pada sistem ekonomi. Kalau kita pegang terus, bisa jadi debat yang tidak berujung.” (okezone.com, 26 Mei 2009)

Boediono benar belaka. Ujung dari semua (debat) ideologi adalah kesejahteraan. Ideologi yang tidak menjanjikan kesejahteraan, adalah omong kosong intelektual. Onani gagasan.

Bekas jurubicara Presiden Gus Dur, Wimar Witoelar lantas “menimpali” di halaman facebook-nya: “Mau ‘neolib’ atau ‘kerakyatan’ , yang bikin negara miskin adalah korupsi. Korupsi lebih jahat dari neolib yang orang nggak tahu artinya. Pembunuhan, penculikan jelas jahat, tapi ada orang yang nggak mau tahu, asal denger istilah 'kerakyatan' aja udah seneng.”

Wimar juga benar. Korupsi di relung-relung yang gelap atau terang, adalah hambatan menuju lorong di mana kesejahteraan menanti, apa pun ideologinya.

Ini persis prinsip pemimpin (komunis) China, Deng Xiao Ping (1904-1997) yang menyatakan: mau kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus. Konteks pernyataan ini bukan urusan menangkap koruptor, melainkan mazhab ekonomi apa saja yang bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat China, layak didengar, meski negeri itu mengadopsi gagasan-gagasan komunisme ala Mao Zedong.

Kini soalnya adalah, apakah kesejahteraan itu? Dalam skala 0 untuk gelandangan dan 10 untuk konglomerat, di mana titik kesejahteraan yang ideal bagi rakyat sebuah bangsa? Apakah kesejahteraan sama dengan penghasilan besar, rumah nyaman, mobil terbaru, blackberry, dan masa depan anak-anak yang terjamin? Katakanlah di angka 8.

Atau yang disebut sejahtera cukup dua tingkat di bawah itu semua, tapi dengan jumlah penikmat yang lebih besar, dan unsur kemandirian?

Bila Ho Chi Minh di Vietnam mau nurut saja pada Paman Sam, barangkali nasibnya bisa seperti Korea Selatan, bukan Korea Utara. Dan bila Castro memilih jalan “kesejahteraan” bersama Washington, mungkin dia bisa menjadi negara bagian ke-51 seperti Hawaii. Toh hanya selemparan batu dari pantai Florida.

Tapi benarkah itu makna kesejahteraan yang kita inginkan? Asal kenyang dan tidur nyenyak? Kalau ingin politik yang stabil dan pertumbuhan ekonomi tinggi, mengapa kita repot-repot menurunkan Soeharto?

Ketika gagasan liberalisme muncul di Eropa di abad ke-18 (sebagai antitesa dari feodalisme), banyak orang bertanya-tanya, manakah sesungguhnya yang kita inginkan: kehendak raja yang bijak dan mensejahterakan—tapi dalam sistem monarki; atau pilihan rakyat yang ternyata buruk dan berujung bencana di alam demokrasi?

Sejarah membuktikan bahwa pilihan jatuh pada nomor dua, seiring dengan tergusurnya monarki dan aristokrasi. Bila Inggris kini masih bertahan dengan Istana Buckingham-nya, itu tak lebih untuk urusan pariwisata dan memorabilia para priyayi.

Jadi masyarakat juga perlu terlibat dalam obrolan besar tentang mazhab ekonomi, seberapa pun awamnya. Di sinilah peran media massa. Bahwa obrolan tentang sebuah sistem ekonomi tak lebih penting dari usaha memerangi korupsi (seperti kata Wimar), itu juga benar, meski agak menyesatkan. Sebab, korupsi, kolusi, atau nepotisme pada kenyataannya adalah definisi hukum (belaka). Bila sebuah kebijakan yang koruptif, kolutif, atau nepotis dilegalkan dengan payung hukum, maka selesailah persoalan.

Dus, untuk kasus Bank Century, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kita membicarakan ideologi kebijakan, selain menelisik persoalan teknis perbankan, aturan hukum, bahkan membedah unsur pidananya. Dan tentang apakah sebuah kebijakan tak bisa diadili, itu persoalan berikutnya.

Di masa Soeharto, betapa banyak Undang-undang, Inpres, atau Keppres yang ujung-ujungnya adalah desain kejahatan ekonomi terhadap publik. Dus, secara hukum tak ada yang dilanggar. Rezim Soeharto sendiri bahkan tak bisa diadili hanya karena, “setiap lima tahun pertanggungjawabann ya toh sudah diterima MPR.”

Proyek mobil Timor, monopoli cengkeh, kolusi bisnis air PAM di Jakarta, listrik swasta, atau setoran laba BUMN untuk yayasan Cendana, semua ada payung hukumnya. Jadi Wimar Witoelar harus berhenti di sini. Sebab tak ada yang salah.

Bila ada kontrak-kontrak pertambangan yang menyebut bahwa bagian pemerintah hanya 1 persen, dan kontrak itu sah secara hukum, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Wimar harus berhenti, sebab tak ada isu korupsi. Dan bila privatisasi atas sektor-sektor strategis dilakukan untuk menutup defisit anggaran, atau aset negara dijual murah begitu saja, tapi DPR sudah setuju, maka republik ini sesungguhnya baik-baik saja.

Bila hanya korupsi yang menjadi sumber kemelaratan rakyat, dalam perspektif Wimar (ini bukan nama acara televisi), maka menumpuk utang luar negeri bukanlah kejahatan. Yang jahat itu bila mengorupsi duit hasil utangannya. Sehingga bila ada perusahaan tambang asing yang menggaji tenaga kerja ekspatriat-nya jauh lebih tinggi dari insinyur lokal (padahal kemampuannya sebelas-duabelas) , lalu biaya gaji itu dibebankan pada pemerintah dalam bentuk cost recovery, maka ini bukanlah kasus hukum. Toh, tak ada delik korupsi yang dilanggar. Yang jahat itu bila me-mark up angka gaji dari yang sebenarnya.

Menggelapkan pajak adalah pelanggaran serius, dan karenanya harus dihukum berat. Tapi ketentuan perpajakan yang justru menguntungkan kelompok ekonomi tertentu dan membebani potensi kelompok ekonomi yang lain, tak ada yang perlu dipersoalkan sebab tak ada kerugian negara.

Benarkah cara pandang seperti ini yang sedang kita anut?

Kerja keras media membantu pemberantasan korupsi adalah sumbangan signifikan bagi republik ini. Tak ternilai harganya bagi kepentingan rakyat. Namun kita tak akan berhenti di situ. Menjadi (sekedar) penjaga kebocoran dalam sistem, jelas berbeda dengan posisi kritis terhadap sistem itu sendiri. Menjadi pemadam kebakaran adalah pekerjaan mulia. Tapi terlibat dalam penciptaan sistem rancang bangun yang bisa mencegah terjadinya kebakaran, tentu lebih berguna.

Karena itu, dulu banyak LSM yang bertransformasi dari “sekadar” mengadvokasi kasus, menjadi kelompok penekan untuk ikut mengubah arah kebijakan. LSM-LSM tua seperti YLBHI atau Walhi tak hanya mendampingi para korban-korban gusuran, tapi juga menyiapkan draf-draf akademik agar pemeritah mengubah kebijakan, sehingga jumlah korban ketidakadilan bisa ditekan.

Almarhum Munir tidak hanya memperjuangkan korban-korban penculikan dan tindak kekerasan negara, tetapi juga terlibat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang TNI, Pertahanan Negara, dan bersuara lantang dalam RUU Intelijen, agar tercipta sistem yang bisa mencegah terulangnya sejarah hitam.

KPK juga punya dua sayap utama: penindakan dan pencegahan. Yang satu penuh aksi laga, yang lain bekerja dalam sunyi. Yang satu dikerubungi media, yang lain menari sendiri.

Transformasi peran seperti ini jangan-jangan belum terjadi di media massa, meski kebebasan pers telah berjalan lebih dari satu dasawarsa. Barangkali mitologi anjing penjaga (watchdog), membuat media merasa peranannya hanya menggongong saat muncul penjahat. Peran ini saja yang ditekuni dengan heroisme tinggi. Padahal bisa jadi tuannya sendiri adalah gembong penjahat (sebab Hitler pun gemar memelihara herder).

Dalam konteks debat besar tentang kebijakan ekonomi, media massa mestinya tak berhenti pada kemampuannya membongkar korupsi, atau kepiwaiannya mengembangkan teknik investigasi, tapi juga membantu rakyat memahami pilihan-pilihan policy. Tak hanya menggeledah isu-isu korupsi di tubuh Pertamina, tapi juga menggali “kejanggalan- kejanggalan ideologis” dalam kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan kepentingan publik, meski itu legal.

Karena itu, berbeda dengan Boediono, saya justru menganggap debat besar tentang ideologi yang dikaitkan dengan pilihan policy (misalnya dalam kasus bailout Bank Century), justru banyak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Dan media, tak boleh berhenti pada angle-angle teknis perbankan, melainkan punya tugas sejarah untuk menggeledah hingga ke relung-relung asumsi ideologis para pengambil kebijakan.

Tentu soal ideologi ini tak mudah dipertemukan. Tapi di atas dua batangan rel yang tak pernah ketemu itulah, lokomotif justru bisa menarik gerbong. Entah menuju Bandung, atau Nusakambangan. (*)


Pondokgede, 16 Januari 2009

Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/bicara-century-tanpa-angka-angka-bacaan-akhir-pekan/258311923777
Published: Monday, January 18, 2010 at 10:57am