Monday, April 26, 2010

Bicara Century Tanpa Angka-angka: Bacaan Akhir Pekan

By: Dandhy Dwi Laksono
Sumber: milis Fraksi Gerindra yg diriwayatkan dari milis AJISAJA

Sebenarnya saya masih berhutang artikel untuk menyambung tulisan tempo dulu tentang “Aliran Dana Bank Century” yang baru episode 1. Tapi karena beberapa dokumen sudah menyebar dengan cepat dan merata, saya rasa akses dan pengetahuan publik tentang kasus ini sudah luar biasa. Meski, apa yang saya highlight di episode 1 tentang aliran Dana Pihak Terkait (DPT) yang mengucur sejak 6 November 2008 hingga Juli 2009, dianggap tidak lebih seksi dibanding angle-angle politik di meja pansus. Tapi kawan-kawan jurnalis di media mainstream sudah makin merata penguasaannya pada substansi kasus ini, dibandingkan –misalnya-- saat senior saya Arya Gunawan “menggerundel” tentang mutu pemberitaan dalam kasus Century, sekitar Agustus-September 2009.

Padahal, saat itu sudah ada setidaknya satu dokumen hasil audit BPK yang beredar, yakni audit 15 April 2009 yang menemukan sejumlah kejanggalan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Lalu awal Oktober, beredar pula dokumen hasil audit BPK dalam bentuk progress report tertanggal 26 September 2009. Namun dokumen-dokumen itu belum dijadikan referensi pembanding oleh, misalnya, majalah Tempo yang banyak disorot editorial policy-nya sejak kasus ini mencuat. Belakangan saya baru tahu bahwa kawan-kawan di Tempo belum memerolehnya. Saya dan Metta Dharmasaputra sama-sama mencari dan memeroleh copy dari aslinya (sebab ada versi copy dari ketikan ulang), lalu kami saling bertukar dokumen dan data lain. Meski begitu, hingga hari ini, sikap saya dan Metta terkait bailout bak dua rel kereta api yang tak pernah bertemu. Tapi justru karena itulah kereta bisa melintas, bukan?

Jadi bila mengingat ini, pertanyaan-pertanya an kritis dari sebagian jurnalis tentang posisi editorial Tempo memang lumrah, terutama setelah Direktur Utama dan Corporate Chief Editor Tempo, Bambang Harymurti (BHM), pagi-pagi sudah menulis kolom dua halaman dan menyatakan “alhamdulillah” dengan kebijakan bailout. Kolom dukungan pada bailout ini tak disertai kolom pembanding dari penulis lain yang berseberangan perspektif. Biasanya Tempo menyandingkan penulis yang berposisi diametral dalam satu edisi yang sama.

Tentu saja opini BHM tak mencerminkan sikap Tempo. Setidaknya, sebuah artikel “Siapa Senang Century Diselamatkan” yang ditulis Pimred Tempo, Toriq Hadad, di akun facebook-nya, mengkonfirmasi hal tersebut. Artikel itu dikomentari 119 entri tanpa sekalipun Toriq menanggapi.

Dalam sebuah diskusi di sekretariat AJI Jakarta sekitar akhir Oktober 2009, soal posisi editorial ini juga disampaikan secara gamblang oleh para jawara investigasi Tempo yang turun full team, untuk “menghadapi” Arya Gunawan yang notabene juga berkawan baik dengan redaksi dan kolom-kolomnya sering dimuat. Diskusi berjalan produktif, sebab kawan-kawan Tempo memang obyektif dan “sekedar” belum memeroleh referensi data lain yang bisa mengimbangi argumen-argumen pemerintah dan para epigon-nya. Arya Gunawan juga tidak dalam posisi memberikan alternatif liputan, atau memberikan data pembanding, sebab yang ia lakukan adalah telaah kritis atas metodologi jurnalistik Tempo dalam kasus Bank Century.

Misalnya, bagaimana mungkin Tempo saat itu kesulitan mendapatkan akses konfirmasi ke Boediono, sementara wartawan-wartawanny a justru pernah duduk satu gerbong menuju Bandung untuk mengantarnya deklarasi?

Pertanyaan semacam ini memang lumrah, karena pemilik Tempo, Goenawan Mohamad (GM), memang pernah satu kereta dengan Boediono menuju Bandung, Mei 2009. “Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah”, tulis GM merujuk gedung Landraad. Peristiwa ini juga ditolak kawan-kawan jurnalis Tempo sebagai premis yang bisa mengaitkan editorial terkait Century dan dukungan politik pribadi GM kepada Boediono.

Dus, sekali lagi, semua output pemberitaan Tempo dalam kasus Bank Century memang tak lepas dari data apa (dan dari siapa?) yang mereka pegang. Begitu juga dengan sikap saya yang dipengaruhi temuan-temuan BPK, meski berkali-kali membacai jawaban atau sanggahan pemerintah yang juga dilampirkan dalam laporan setebal 640 halaman itu. Sikap yang mungkin sangat “kaku dan positivistik”, tapi tak urung melegakan, sebab setidaknya preposisi tidak diambil dari preferensi politik, kebencian personal, apalagi kultus pada integritas seseorang secara membabi buta.

Karena itulah, izinkan kali ini saya jeda membicarakan kasus Bank Century yang melibatkan angka-angka. Senior saya Farid Gaban, pernah mengajak kita mendiskusikan kasus Century dari perspektif “subsidi rakyat versus subsidi bankir”. Saya kira obrolan begini perlu, untuk menyelingi riuh rendahnya arena pansus yang marak dengan pekik “bangsat” atau “maling”.

***


“Label-label besar itu apakah ada gunanya bagi rakyat?” kata Boediono suatu ketika. “Menurut saya, yang penting mana yang memberikan manfaat dan kesejahteraan terbesar. Kalau kita terikat dengan ideologi-ideologi, ya repot. Tuntutan rakyat itu cuma dua hal: harga-harga kebutuhan yang stabil dan pendapatan yang bisa diandalkan. Itu artinya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.” (Tempo, 12 Desember 2005)

Itu pernyataan Boediono tiga tahun setengah sebelum menang pemilu. Pada kesempatan lain, di masa kampanye, Boediono juga berujar, “Neolib istilah keren, tapi label ini tidak pas apalagi dikenakan pada sistem ekonomi. Kalau kita pegang terus, bisa jadi debat yang tidak berujung.” (okezone.com, 26 Mei 2009)

Boediono benar belaka. Ujung dari semua (debat) ideologi adalah kesejahteraan. Ideologi yang tidak menjanjikan kesejahteraan, adalah omong kosong intelektual. Onani gagasan.

Bekas jurubicara Presiden Gus Dur, Wimar Witoelar lantas “menimpali” di halaman facebook-nya: “Mau ‘neolib’ atau ‘kerakyatan’ , yang bikin negara miskin adalah korupsi. Korupsi lebih jahat dari neolib yang orang nggak tahu artinya. Pembunuhan, penculikan jelas jahat, tapi ada orang yang nggak mau tahu, asal denger istilah 'kerakyatan' aja udah seneng.”

Wimar juga benar. Korupsi di relung-relung yang gelap atau terang, adalah hambatan menuju lorong di mana kesejahteraan menanti, apa pun ideologinya.

Ini persis prinsip pemimpin (komunis) China, Deng Xiao Ping (1904-1997) yang menyatakan: mau kucing hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus. Konteks pernyataan ini bukan urusan menangkap koruptor, melainkan mazhab ekonomi apa saja yang bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat China, layak didengar, meski negeri itu mengadopsi gagasan-gagasan komunisme ala Mao Zedong.

Kini soalnya adalah, apakah kesejahteraan itu? Dalam skala 0 untuk gelandangan dan 10 untuk konglomerat, di mana titik kesejahteraan yang ideal bagi rakyat sebuah bangsa? Apakah kesejahteraan sama dengan penghasilan besar, rumah nyaman, mobil terbaru, blackberry, dan masa depan anak-anak yang terjamin? Katakanlah di angka 8.

Atau yang disebut sejahtera cukup dua tingkat di bawah itu semua, tapi dengan jumlah penikmat yang lebih besar, dan unsur kemandirian?

Bila Ho Chi Minh di Vietnam mau nurut saja pada Paman Sam, barangkali nasibnya bisa seperti Korea Selatan, bukan Korea Utara. Dan bila Castro memilih jalan “kesejahteraan” bersama Washington, mungkin dia bisa menjadi negara bagian ke-51 seperti Hawaii. Toh hanya selemparan batu dari pantai Florida.

Tapi benarkah itu makna kesejahteraan yang kita inginkan? Asal kenyang dan tidur nyenyak? Kalau ingin politik yang stabil dan pertumbuhan ekonomi tinggi, mengapa kita repot-repot menurunkan Soeharto?

Ketika gagasan liberalisme muncul di Eropa di abad ke-18 (sebagai antitesa dari feodalisme), banyak orang bertanya-tanya, manakah sesungguhnya yang kita inginkan: kehendak raja yang bijak dan mensejahterakan—tapi dalam sistem monarki; atau pilihan rakyat yang ternyata buruk dan berujung bencana di alam demokrasi?

Sejarah membuktikan bahwa pilihan jatuh pada nomor dua, seiring dengan tergusurnya monarki dan aristokrasi. Bila Inggris kini masih bertahan dengan Istana Buckingham-nya, itu tak lebih untuk urusan pariwisata dan memorabilia para priyayi.

Jadi masyarakat juga perlu terlibat dalam obrolan besar tentang mazhab ekonomi, seberapa pun awamnya. Di sinilah peran media massa. Bahwa obrolan tentang sebuah sistem ekonomi tak lebih penting dari usaha memerangi korupsi (seperti kata Wimar), itu juga benar, meski agak menyesatkan. Sebab, korupsi, kolusi, atau nepotisme pada kenyataannya adalah definisi hukum (belaka). Bila sebuah kebijakan yang koruptif, kolutif, atau nepotis dilegalkan dengan payung hukum, maka selesailah persoalan.

Dus, untuk kasus Bank Century, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kita membicarakan ideologi kebijakan, selain menelisik persoalan teknis perbankan, aturan hukum, bahkan membedah unsur pidananya. Dan tentang apakah sebuah kebijakan tak bisa diadili, itu persoalan berikutnya.

Di masa Soeharto, betapa banyak Undang-undang, Inpres, atau Keppres yang ujung-ujungnya adalah desain kejahatan ekonomi terhadap publik. Dus, secara hukum tak ada yang dilanggar. Rezim Soeharto sendiri bahkan tak bisa diadili hanya karena, “setiap lima tahun pertanggungjawabann ya toh sudah diterima MPR.”

Proyek mobil Timor, monopoli cengkeh, kolusi bisnis air PAM di Jakarta, listrik swasta, atau setoran laba BUMN untuk yayasan Cendana, semua ada payung hukumnya. Jadi Wimar Witoelar harus berhenti di sini. Sebab tak ada yang salah.

Bila ada kontrak-kontrak pertambangan yang menyebut bahwa bagian pemerintah hanya 1 persen, dan kontrak itu sah secara hukum, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan. Wimar harus berhenti, sebab tak ada isu korupsi. Dan bila privatisasi atas sektor-sektor strategis dilakukan untuk menutup defisit anggaran, atau aset negara dijual murah begitu saja, tapi DPR sudah setuju, maka republik ini sesungguhnya baik-baik saja.

Bila hanya korupsi yang menjadi sumber kemelaratan rakyat, dalam perspektif Wimar (ini bukan nama acara televisi), maka menumpuk utang luar negeri bukanlah kejahatan. Yang jahat itu bila mengorupsi duit hasil utangannya. Sehingga bila ada perusahaan tambang asing yang menggaji tenaga kerja ekspatriat-nya jauh lebih tinggi dari insinyur lokal (padahal kemampuannya sebelas-duabelas) , lalu biaya gaji itu dibebankan pada pemerintah dalam bentuk cost recovery, maka ini bukanlah kasus hukum. Toh, tak ada delik korupsi yang dilanggar. Yang jahat itu bila me-mark up angka gaji dari yang sebenarnya.

Menggelapkan pajak adalah pelanggaran serius, dan karenanya harus dihukum berat. Tapi ketentuan perpajakan yang justru menguntungkan kelompok ekonomi tertentu dan membebani potensi kelompok ekonomi yang lain, tak ada yang perlu dipersoalkan sebab tak ada kerugian negara.

Benarkah cara pandang seperti ini yang sedang kita anut?

Kerja keras media membantu pemberantasan korupsi adalah sumbangan signifikan bagi republik ini. Tak ternilai harganya bagi kepentingan rakyat. Namun kita tak akan berhenti di situ. Menjadi (sekedar) penjaga kebocoran dalam sistem, jelas berbeda dengan posisi kritis terhadap sistem itu sendiri. Menjadi pemadam kebakaran adalah pekerjaan mulia. Tapi terlibat dalam penciptaan sistem rancang bangun yang bisa mencegah terjadinya kebakaran, tentu lebih berguna.

Karena itu, dulu banyak LSM yang bertransformasi dari “sekadar” mengadvokasi kasus, menjadi kelompok penekan untuk ikut mengubah arah kebijakan. LSM-LSM tua seperti YLBHI atau Walhi tak hanya mendampingi para korban-korban gusuran, tapi juga menyiapkan draf-draf akademik agar pemeritah mengubah kebijakan, sehingga jumlah korban ketidakadilan bisa ditekan.

Almarhum Munir tidak hanya memperjuangkan korban-korban penculikan dan tindak kekerasan negara, tetapi juga terlibat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang TNI, Pertahanan Negara, dan bersuara lantang dalam RUU Intelijen, agar tercipta sistem yang bisa mencegah terulangnya sejarah hitam.

KPK juga punya dua sayap utama: penindakan dan pencegahan. Yang satu penuh aksi laga, yang lain bekerja dalam sunyi. Yang satu dikerubungi media, yang lain menari sendiri.

Transformasi peran seperti ini jangan-jangan belum terjadi di media massa, meski kebebasan pers telah berjalan lebih dari satu dasawarsa. Barangkali mitologi anjing penjaga (watchdog), membuat media merasa peranannya hanya menggongong saat muncul penjahat. Peran ini saja yang ditekuni dengan heroisme tinggi. Padahal bisa jadi tuannya sendiri adalah gembong penjahat (sebab Hitler pun gemar memelihara herder).

Dalam konteks debat besar tentang kebijakan ekonomi, media massa mestinya tak berhenti pada kemampuannya membongkar korupsi, atau kepiwaiannya mengembangkan teknik investigasi, tapi juga membantu rakyat memahami pilihan-pilihan policy. Tak hanya menggeledah isu-isu korupsi di tubuh Pertamina, tapi juga menggali “kejanggalan- kejanggalan ideologis” dalam kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan kepentingan publik, meski itu legal.

Karena itu, berbeda dengan Boediono, saya justru menganggap debat besar tentang ideologi yang dikaitkan dengan pilihan policy (misalnya dalam kasus bailout Bank Century), justru banyak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Dan media, tak boleh berhenti pada angle-angle teknis perbankan, melainkan punya tugas sejarah untuk menggeledah hingga ke relung-relung asumsi ideologis para pengambil kebijakan.

Tentu soal ideologi ini tak mudah dipertemukan. Tapi di atas dua batangan rel yang tak pernah ketemu itulah, lokomotif justru bisa menarik gerbong. Entah menuju Bandung, atau Nusakambangan. (*)


Pondokgede, 16 Januari 2009

Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/bicara-century-tanpa-angka-angka-bacaan-akhir-pekan/258311923777
Published: Monday, January 18, 2010 at 10:57am

No comments: