Saturday, April 29, 2006

SBLC US$ 90 Juta

Kamis, 27 April 2006, pagi. Kawanku, mantan Direktur Utama Bapindo Sekuritas dan Direktur Mandiri Sekuritas, minta ketemu di Coffee Bros, Hotel Grand Kemang. Di sana aku dipertemukan dengan seorang kerabat mantan presiden BJ Habibie. Namanya Andi. Ia berencana membeli sebuah perusahaan yang mengoperasikan ladang minyak di Sumatera Selatan. Perusahaannya telah melakukan pendekatan dengan Bank International Indonesia (BII). Agar kredit dari BII sebesar US$ 92 juta bisa cair, prosesnya memakan waktu 4 bulan, diperlukan bridging finance sebesar US$ 20 juta dengan jaminan sebidang tanah seluas 180 hektar di Karawang. Nilai tanah tersebut sesuai NJOP adalah Rp 275 miliar.

Seminggu sebelumnya, kamis 20 April 2006, kawan om-ku, menawarkan jasa penerbitan Standby Letter of Credit (SBLC) senilai US$ 85 juta untuk digunakan oleh perusahaanku, PT Pangon Bumi Investama, yang berencana akan memasok minyak ke Pertamina. SBLC ini bisa diterbitkan karena ada seseorang yang memiliki dana dalam jumlah besar, konon triliunan rupiah, dan ia bersedia menjaminkan uangnya sebagai cash collateral untuk menerbitkan SBLC atas nama PT Pangon. Pemilik dana meminta imbalan semacam bunga 5% per tahun atas nominal SBLC yang diterbitkan. Ia merasa cukup aman mengingat traksaki yang akan dilakukan oleh PT Pangon adalah dengan Pertamina.

Namun demikian, bos-bos di perusahaan ini masih ragu dengan kelancaran usaha yang akan dijalankan perusahaan ini. Sementara, sekali SBLC sudah on, maka bagai argo, bunga sudah mulai berjalan.

Maka, kepada Andi aku tawarkan skema SBLC untuk meng-cover BII. Iapun setuju, termasuk dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, seperti bunga atas collateral sebesar 5% dan success fee buat mereka yang mengatur transaksi ini. Maka Andi menawarkan satu skema keuangan agar transaksi ini bisa berjalan.

Kamis 27/4 malam aku temui orang yang mengatur penerbitan SBLC. Aku sodorkan skema yang ditawarkan Andi. Si pengatur masih keberatan dengan skema tersebut. Dia minta jaminan tambahan. Di samping, dia minta success fee sebesar 2%. Jum’at siang esoknya, aku temui lagi Andi dan kawanku yang eks Dirut Bapindo Sekuritas. Dua hal yang diminta nampaknya tidak masalah. Aku kontak lagi kepada Si pengatur minta waktu untuk bertemu. Ia minta aku menemuinya pada Senen, 1 Mei 2006, untuk membuat last settlement.

Aku menunggu progresnya minggu depan. Semoga!

Thursday, April 27, 2006

Nenek Mengajari Disiplin Shalat

Sejak kecil aku tinggal bersama nenek dari ayah, Munirah binti Haji Nur alias Mulhad. Orang-orang memanggilnya Mbah Nirah. Aku tinggal bersamanya kira-kira sejak umur 5 tahun, saat nenek sudah berusia 73 tahun, hingga ia meninggal dunia pada usia 85 tahun, ketika aku kelas 1 SMA. Dialah yang mengajari disiplin shalat kepadaku.

Setiap hari nenek bangun pada pukul 3 pagi. Biasanya ia langsung ke kamar mandi yang ada di belakang rumah, berjarak 15-20 meter dari bangunan utama. Di sana nenek biasa menghabiskan waktu lebih dari 1/2 jam di dalamnya untuk buang air dan mandi.

Selesai mandi ia kembali ke tempat tidurnya dan bersiap-siap untuk shalat shubuh. Ia memulainya dengan shalat sunnah 2 rakaat. Sambil menunggu adzan shubuh, ia melakukan wirid. Begitu terdengar adzan shubuh selesai dikumandangkan dari masjid, ia langsung shalat di atas tempat tidurnya sambil duduk selonjor. Ia lakukan itu karena kakinya pernah patah dan disambung. Ia hanya berjalan saat mau ke kamar mandi, ke meja makan, atau duduk di beranda rumah belakang sambil menghitung jumlah mangga yang ada di pohon.

Selesai shalat shubuh dan wirid, dia lalu memutar RRI untuk mendengarkan kuliah shubuh. Biasanya ia suka mendengarkan kuliah shubuh dari Buya Hamka. Kira-kira pukul 5.30, nenek mulai membangunkan aku dan kakakku.

Ia membangunkan aku dan kakakku dari tempat tidurnya. Tempat tidurku letaknya di ruang tengah, persis di depan pintu kamar tidurnya. Sambil tiduran nenek bisa melihat ke tempat tidur kami.

Untuk membangunkan kami, nenek memukul meja yang ada di dekat tempat tidurnya dengan penggaruk punggung yang dibuat dari tanduk kerbau secara berulang-ulang. Bunyi meja yang dipukul itu cukup untuk mengganggu tidurku. Suara tok tok tok, tok tok tok akan terus berbunyi sampai kami terbangun.

Kalau nenek mulai kesal karena kami tidak juga bangun, ia akan teriak-teriak "bangun sudah siang .. bangun sudah siang ..". Itu semua untuk membuat gaduh sehingga tidurku tidak nyaman. Kalau sudah gaduh begitu, aku pasti terbangun.

Sesudah terbangun, kamipun langsung ke kamar mandi mengambil air wudhu, lalu kembali ke kamar nenek menggelar sajadah di samping tempat tidurnya. Kamipun lalu shalat subuh 2 rakaat. Puaslah nenek kalau sudah melihat kami shalat di depannya.

Bertahun-tahun aku menjalani hidup di pagi hari dengan cara begitu, hingga aku bisa bangun sendiri setiap pagi, saat aku sudah di bangku SMP. Kebiasaan itu terus terbawa hingga sekarang ini. Meski aku baru tidur setelah larut malam, kadang jam 3 kadang jam 4 pagi, paling lambat jam 5.30 aku pasti terbangun. Jika aku tidur lebih cepat, jam 12 atau jam 1 malam, maka aku bisa terbangun lebih pagi lagi.

Pada setiap pagi dengan bunyi meja dipukul-pukul itu, aku memang jengkel pada nenek. Aku merasa terganggu. Aku kadang shalat sambil menggerutu, kadang shalat sambil setengah tidur. Tapi kalau sekarang kukenang, sangat mengesankan. Aku tidak akan pernah lupa.

Begitupun dengan shalat-shalat lainnya, terutama shalat ashar. Kalau ia mendapati sarungku dan sarung kakakku masih di meja dekat tempat tidurnya menjelang shalat ashar, sambil tertatih-tatih ia berjalan ke halaman rumah memanggil-manggil namaku dan kakakku. Kepada setiap orang yang kelihatan di halaman dan dia kenal, ditanyakan di mana aku dan kakakku. Begitu kami muncul, kami disuruh untuk segera ke masjid, yang berjarak hanya 100 meter dari rumah.

Aku sangat berhutang budi kepadanya. Tanpa cinta dan kasih sayangnya, tanpa perhatiannya, mungkin aku tidak akan memiliki disiplin dan ketekunan seperti yang aku miliki sekarang ini. Subhanallah! Alhamdulillah!

***
Dulu Mbah Nirah sering bercerita, pernah mau pergi ke Makkah untuk berhaji. Biaya ditanggung oleh anaknya yang waktu itu paling mampu. Ia pakdeku. Nenek bahkan sempat berfoto untuk pendaftaran haji, katanya. Entah kenapa, ia gagal berangkat. Kalau ingat cerita itu, ingin sekali aku menghajikan nenek kalau kelak aku ada biaya. Semoga!

Wednesday, April 26, 2006

Pilihan Hidup: Keluar dari LIPI

Pulang dari Amerika Serikat menyelesaikan studi, September 1992, aku bekerja di Puslitbang Inkom-LIPI. Kantornya terletak di jalan Cisitu Lama, Bandung. Baru sekitar 1 bulan bekerja, aku diajak Bang Laode Kamaluddin, doktor lulusan University of Iowa, untuk bekerja di Jakarta, pada sebuah lembaga yang baru didirikan oleh BJ Habibie.

Lembaga tersebut adalah lembaga kajian milik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang bernama CIDES (Center for Information and Development Studies). Ia mengajak aku bekerja di Jakarta sambil mengurus pendirian Yayasan Wakaf Isnet (Islamic Network), yang ketika terbentuk untuk pertama kalinya Bang Laode duduk sebagai ketua, saya sendiri sebagai sekretaris.

Melalui sepucuk surat, pada Oktober 1992, Prof Dr BJ Habibie berkirim surat kepada ketua LIPI, Prof Dr Samaun Samadikun, dilanjutkan dengan surat dari Dr Ing Wardiman Djoyonegoro kepada ketua LIPI pada Desember 1992, saya dimintakan ijin sebagai pegawai yang diperbantukan ke BPPT sambil bekerja di CIDES. Masa perbantuan adalah 2 tahun. Pada 6 Januari 1993 ijin dari Ketua LIPI keluar.

Setelah selesai 2 tahun, aku dihadapkan pada 2 pilihan, kembali ke LIPI di Bandung atau terus hidup di Jakarta. Pilihan kembali ke LIPI Bandung atau meninggalkannya sama berat. Kembali ke LIPI, maka cita-citaku melanjutkan studi S2 dan S3 terbuka lebar. Tapi pada saat yang sama, aku harus membantu orangtua membiayai hidup dan sekolah adik-adikku yang jumlahnya 9 orang. Sudah kuhitung, kalau aku bertahan di LIPI, sulit rasanya bisa membantu orangtua dan adik-adik. Kalau toh aku harus kerja tambahan untuk mendapatkan tambahan penghasilan, rasanya tidak efektif. Aku akan jadi koruptor waktu: pagi absen, siang ke kantor swasta, sore kembali lagi ke kantor untuk absen lagi.

Maka, pada tahun 1995, pergilah aku ke Puslitbang Inkom-LIPI di Bandung menemui kepalanya, pak Kartiwa, saya lupa nama lengkapnya karena praktis saya hanya mengenal beliau tidak lebih dari 3 bulan pada akhir 1992. Dengan terus terang saya sampaikan maksud dan harapan saya, "Pak, kalau diijinkan saya ingin tetap bekerja di Jakarta. Saya punya adik 9, dan saya harus membantu mereka, untuk hidup dan untuk sekolah. Orangtua sudah cukup tua dan lelah, dan aku pahami karena selama ini mereka hidup dalam kekurangan. Mohon kebijaksanaan Bapak"

Dengan tidak sabar aku menunggu responnya. Lalu ia berkata, kira-kira begini, "Saya mendukung kamu, tapi tolong jangan minta sesuatu yang resmi karena tidak ada celah birokrasinya. Silahkan saja kamu bekerja di Jakarta dan bantu keluarga. Dan satu hal, jangan ajak teman-temanmu di sini untuk keluar dari Inkom. Kamu diam-diam saja." Akupun berterimakasih kepadanya. Lalu aku katakan, "Kalau suatu saat saya diminta untuk membayar ganti rugi karena saya ke Amerika dibiayai negara, saya siap Pak."

Maka sejak itu aku tidak pernah kembali lagi ke LIPI. Ketika tahun 1996 aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, sempat dikejar oleh Bagian Kepegawaian Inkom-LIPI. Aku jelaskan bahwa aku sudah bekerja di swasta. Sekitar tahun 2000 aku kembali dipanggil oleh LIPI. Kali ini dipanggil oleh Deputi Administrasi. Seluruh karyasiswa yang keluar dari LIPI dipanggil. Hanya beberapa orang yang mau mendatangi panggilan itu.

Di sana aku di-interview oleh Ibu Murtini (kalau tidak salah) selaku Deputi LIPI, kenapa saya keluar dari LIPI. Di situ kembali aku jelaskan alasanku, alasan ekonomi yang sudah aku sampaikan pada Kepala Puslitbang Inkom. Tidak lupa, aku diminta tandatangan kesanggupan mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan oleh negara. Hitungannya sekitar Rp 80-an juta, setelah dikurangi masa kerja 2 tahun perbantuan ke BPPT.

Kira-kira tiga bulan kemudian aku mendapat telepon dari LIPI. Dia memberi kabar gembira. Ketua LIPI berkenan membebaskan aku dari tuntutan mengembalikan biaya ganti rugi ikatan dinas. Alhamdulillah.

Dalam hidup, kita memang sering dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan aku sudah membuat pilihan itu, meski dengan mengorbankan cita-cita untuk meraih gelar Doktor yang sangat aku impikan. Aku bahkan sempat ikut Tes Potensi Akademik (TPA) dari Bappenas pada tahun 1995 dengan hasil yang cukup baik, sekitar 650. Dengan hasil TOEFL yang juga cukup baik, seharusnya saya bisa kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Tapi itulah hidup. Kadang kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.

Bagi saya, bakti kepada orangtua jauh lebih penting, di atas segala capaian hidup, secemerlang apapun capaiannya. Rido Allah terdapat dalam rido orang tua. Mudah-mudahan berkah!

Tuesday, April 25, 2006

Mimpi Jadi Kenyataan

Ketika aku kelas 3 SMA, sebenarnya aku sudah hopeless soal kuliah. Tetapi, sebagai aktifis Pelajar Islam Indonesia, aku tetap bersemangat untuk mengejar mimpi. Aku ingin jadi insinyur, cita-cita orang kampung yang belum tahu luasnya dunia. Aku membayangkan kelak akan bekerja sambil kuliah. Ya, bekerja sambil kuliah, bukan kuliah sambil bekerja!! Hal ini didasarkan pada kondisi ekonomi keluarga. Ayah Ibuku hanyalah penjual makanan yang setiap pagi dijual di sekolah-sekolah. Orang tuaku masih harus menghidupi --waktu itu-- 8 orang adik-adikku. Keuntungan dari hasil penjualan hanya cukup buat makan sehari-hari.

Untuk bayar sekolah, terpaksa nunggak. Selama aku sekolah SMA, dari 36 bulan, orangtuaku hanya mampu bayar sekitar 4 bulan, aku lupa persisnya. Sisanya tidak mampu dibayar. Termasuk uang pangkal, uang pertama masuk SMA. Aku tetap diperbolehkan untuk terus sekolah karena guru-guru di sekolah kenal dengan ayahku. Mungkin juga karena prestasiku. Ketika aku lulus SMA, bukan hanya terbaik di sekolah, tetapi Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang aku peroleh, tertinggi di wilayah Brebes Selatan. Guru-guru sangat bangga dengan prestasiku. Maka aku diberi hadiah. Seluruh tunggakan uang pangkal dan uang SPP (aku lupa kepanjangannya), dihapuskan, dianggap lunas.

Menjelang acara perpisahan dan pelepasan lulusan tahun 1987 di sekolah, aku masih tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya tahu, aku harus ke Jakarta. Aku mau mengadu nasib di sana. Aku belum tahu apakah mau kerja atau kuliah. Kalau mau kuliah, untuk membeli formulir Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru) saja aku tidak punya uang. Aku hanya tahu, ayahku punya adik di bilangan Senen, Jakarta Pusat, di daerah yang dikenal dengan nama Poncol. Aku mau ke sana, dengan bekal uang Rp 5.000. Ongkos naik bus malam waktu itu sekitar Rp 2.500. Aku mau mengadu nasib dengan bekal Rp 5.000, uang honor terakhir dari Haji Bisri, karena aku memberi les private matematika kepada anaknya. Dan bulan itu adalah bulan terakhir karena aku harus ke Jakarta untuk mengadu nasib.

Tiba-tiba, dalam perjalanan pulang dari acara perpisahan di sekolah menuju ke rumah, malaikatku turun. Saat aku dalam perjalanan dari sekolah berjalan kaki menuju rumah, dari atas kendaraan andong, di kampungku disebutnya dokar, ada orang memanggil namaku. Kulihat ke atas, dia ternyata guruku, Abdul Karim Naguib. Dengan singkat dia berkata: "Nanti sore ke rumahku ya Mi." Aku tidak tahu ada apa aku dipanggil. Apakah ada wejangan-wejangan khusus buatku, karena kebetulan, guru tersebut juga mentorku di Pelajar Islam Indonesia Bumiayu.

Sorenya aku datang ke rumah pak Karim, biasa aku memanggilnya begitu. Tanpa banyak dialog, dia langsung menyodorkan kepadaku uang Rp 15.000. "Ini buat beli formulir Sipenmaru," katanya. Aku kaget, sekaligus bahagia. Darimana dia tahu, kalau aku sedang bingung mencari uang untuk membeli formulir Sipenmaru? "Sisanya buat jajan kamu," lanjutnya. Harga formulir waktu itu Rp 12.500. Sisanya Rp 2.500.

Malam itu juga berangkatlah aku ke Jakarta. Singkat cerita sampailah aku di Poncol, daerah kumuh yang penuh penghuni itu. Beberapa hari kemudian, pas hari H penjualan formulir Spenmaru dibuka, pagi-pagi aku sudah bangun. Tidak sabar rasanya ingin segera ke Salemba, membeli formulir. Selesai sarapan, aku pamitan dengan bulek Jaitun, adik ayahku, untuk pergi ke Salemba. Karena uang sangat cekak, aku putuskan berjalan kaki dari Poncol ke Salemba. Aku tidak tahu berapa kilometer jarak antara dua tempat itu, mungkin antara 2 sampai 3 kilometeran.

Beberapa hari kemudian, ada sepupu yang mengabarkan aku, adanya pengumuman tes seleksi penerima beasiswa dari Overseas Fellowship Program (OFP) - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Maka akupun mendaftar ke lembaga tersebut. Saat pendaftaran, aku tidak rendah diri, tapi cukup terpukau dengan pendaftar lainnya. Maklum, aku orang kampung. BTL alias Bumiayu Tembak Langsung. Seumur hidup di Bumiayu, kini langsung hidup di Jakarta. Di mataku, mereka kelihatan hebat: bersih dan pintar-pintar. Kebanyakan datang ke lokasi pendaftaran dengan diantar mobil pribadi. Mereka nampak gagah dan sangat percaya diri. Tapi aku harus menghibur diri, "Kita lihat saja nanti kalau sudah tes."

Jumlah pendaftar, kata orang-orang, ada sekitar 6.000 pendaftar. Mereka adalah siswa-siswa lulusan SMA yang memiliki nilai rata-rata untuk matematika, fisika, dan kimia minimal 7 dari semester 1 sampai semester 6, termasuk NEM dan STTB. Kabarnya, hanya 1000 orang yang dipanggil, karena terbatasnya tempat. Beda dengan tahun sebelumnya, lebih dari 5000 orang ikut tes seleksi beasiswa dari BPPT. Tapi tahun itu, peserta tes dibatasi, diseleksi.

Saat pengumuman peserta tes seleksi, aku kesulitan mencari namaku. Urutan nama tidak sesuai abjad, tetapi mungkin, sesuai nilai rata-rata, dari yang tertinggi hingga yang terendah. Sampai nomor 1000 namaku tidak tercantum. Aku mulai gelisah. Akhirnya aku temukan namaku di urutan 1152 dari total 1200 nama yang dipanggil. Meski ada di urutan yang hampir paling bawah, masih untung bisa lolos. Alhamdulillah.

Dalam pengumuman tes tahap 1, academic test, yang meliputi tes matematika, fisika, kimia, dan aptitude test yg melelahkan, lolos sekitar 300 orang. Entah sesuai urutan nilai atau tidak, yang jelas tidak sesuai abjad, aku ada di urutan 149. Alhamdulillah.

Setelah mengikuti tes tahap 2, wawancara psikotest, di BPPT, hasil Sipenmaru diumumkan. Saat itu ada sedikit krisis. Aku lolos Sipenmaru, diterima di jurusan Teknik Elektro UI. Sesuai petunjuk, maka mendaftarlah aku ke UI. Di sana aku mendapat keterangan jumlah uang kuliah yang harus aku bayarkan. Aku lupa jumlahnya, tapi aku ingat, saat itu orangtuaku tidak punya uang. Bulek juga tidak punya uang. Sepupuku yang membawa aku ikut tes seleksi di BPPT hanya bisa membantu separuh.

Akhirnya aku temui panitia di UI. Aku sampaikan kondisiku apa adanya. Akhirnya aku diperbolehkan membayar separuh. Sisanya diberi tempo. Aku pikir ok saja, sambil menunggu pengumuman di BPPT. Sampai hari yang ditentukan, aku belum juga bisa membayar yang separuh.

Malam itu aku bertahajud, memohon kepada Yang Maha Kuasa kiranya bisa diberi jalan, atau petunjuk, atau perkabaran melalui mimpi. Dan malam itu aku benar-benar mimpi. Aku mimpi bertemu ibuku. Ia tersenyum dan berkata, "Kamu akan ke Amerika." Saat terbangun, aku kaget. Waktu sudah shubuh. Maka akupun shalat shubuh. Selesai shalat aku terus memikirkan makna mimpiku.

Siangnya aku mantapkan, aku lupakan UI. Aku tidak perlu mencari uang kuliah yang separuh. Padahal, di BPPT test baru diselenggarakan 2 kali. Masih ada 2 tes lagi, yaitu tes kesehatan dan screening test. Dan yang akan diterima, kabarnya, hanya 50 orang, dari sisa 150-an orang setelah tes tahap 2. Aku benar-benar bimbang. Tapi akhirnya, sekali lagi aku mantapkan. Lupakan UI. Kalau nanti BPPT juga tidak lolos, maka aku putuskan untuk bekerja dan tahun depan ikut Sipenmaru lagi.

Tapi, sambil menunggu tes-tes itu, aku tetap berangkat ke penataran P4 sampai selesai, bahkan sampai pada hari-hari awal perkuliahan, di kampus UI Depok. Kebetulan tahun 1987 adalah tahun pertama UI pindah ke Depok. Aku juga sudah menemui kakak kelasku di kampung yang aktif di HMI-UI.

Akhirnya, hari penantianpun tiba. Setelah 4 kali tes, diumumkan daftar final yang berhak mendapat beasiswa dari OFP-BPPT. Ada 56 orang yang dinyatakan lulus seleksi. Aku lulus di urutan ke 32. Urutan pertama dan kedua tetap ditempati oleh urutan pertama dan kedua dalam daftar 1200 orang itu.

Setelah dinyatakan lulus, sebelum ditentukan negaranya, kami diwajibkan ikut tes TOEFL (Test of English as a Foreign Language). Hasilnya cukup mengecewakan, produk ngapak-ngapak ini hasilnya jeblok, di bawah 400. Aku sempat berpikir aku akan dikirim ke Jepang. Tetapi, ketika penentuan negara diumumkan, aku masuk dalam daftar yang dikirim ke Amerika. Persis seperti dalam mimpiku.

Curriculum Vitae

DATA PRIBADI
Nama Lengkap: Fami Fachrudin
Tp dan Tgl Lahir: Bumiayu, 25 Agustus 1968
Nama Istri: Oktonik Muji Rahayu
Nama Anak: Shemissa Shita Fachrudin, Shadra Shiraz Fachrudin, Raisa Munira Fachrudin

PENDIDIKAN
SD Negeri 1 Dukuhturi, Bumiayu, 1975-1981
Madrasah Diniyah Muhammadiyah, Bumiayu, 1978-1981
SMP Muhammadiyah Bumiayu, 1981-1984
SMA Muhammadiyah Bumiayu, 1984-1987
Universitas Indonesia, 1987
School for International Training, program OFP-BPPT, 1987-1988
Institute of International Education, Fresno, California, 1988
University of Arizona, USA, 1988-1992


RIWAYAT PEKERJAAN
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 1988-1992
Center for Information and Development Studies (CIDES), 1992-1994
Dosen STIKOM Wira Setya Mulya, Yogyakarta, 1992-1994
Dosen Universitas Islam 45, Bekasi, 1993-1995
Yayasan Paramadina Mulya, 1994-1995
PT Humpus (Holding), 1995-1997
PT Repindo Raya, 1997-1998
Wiraswasta, 1998-1999
PT Jaring Jagat Jimbar, pengelola berpolitik.com 1999-2001
Wiraswasta, 2001-2005
Sharia Business Consulting, Associate Partner, 2005-2007
PT Pangon Bumi Investama, 2005-2007
PT Arto Selaras Mandiri Indonesia, 2007-Sekarang.

Foto Keluarga

Dari kiri-kanan: Fami Fachrudin, Shemissa Shita, Shadra Shiraz, Oktonik Muji Rahayu, dan Raisa Munira.

Tentang Aku dan Keluargaku

Aku "orang Bumiayu", karena aku dilahirkan di Bumiayu, sebuah desa di kaki gunung Slamet, Jawa Tengah. Wilayah ini termasuk Kab. Brebes. Tapi, orang daerahku tidak suka menyebut dirinya orang Brebes. Mereka akan menyebut dirinya sebagai "orang Bumiayu". Daerahnya indah dan sejuk. Bahkan sastrawan Sutarji Chalzoum Bachri sempat menulis puisi dengan judul "Bumiayu" yang berisi pujian akan keindahan dan ketentraman alam desaku.

Aku dilahirkan pada hari Minggu Kliwon, 25 Agustus 1968 dari pasangan Abror bin Badri bin Haji Abdul Gani dan Siti Khawa binti Nawawi.

Aku anak ke-2 dari 11 bersaudara. Anak-anak Abror Badri selengkapnya adalah:
1. Achmad Fanani
2. Fami Fachrudin
3. Chamdani
4. Nelly Hidayati
5. Arif Budi Santoso
6. Eti Amalia
7. Ibnu Taimiyah
8. Salman Farisi
9. Nur Fitriana
10. Amin Fahri
11. Fatia

Pada tanggal 22 Agustus 1991, aku menikah dengan seorang gadis asal kota Pati, Jawa Tengah. Ia bernama Oktonik Muji Rahayu binti Sudihardjo, kelahiran Pati 19 Oktober 1970, anak terakhir dari 3 bersaudara.

Hingga sekarang, kami telah dikarunia tiga orang anak:
1. Shemissa Shita Fachrudin, lahir 18 Oktober 1993
2. Shadra Shiraz Fachrudin, 30 April 1995
3. Raisa Munira Fachrudin, 7 Juni 2004

Pembukaan

Ini adalah catatanku yang pertama kali. Aku belum tahu apa yang harus aku catat.