Saturday, October 25, 2008

Gerindra Anti Islam dan Modal Asing?


Tidak lama setelah Gerindra berdiri, seorang sahabat dari wilayah kanan pol silaturahmi datang ke rumah saya dan memberi peringatan, bahwa Prabowo Subianto adalah seorang sosialis yang anti Islam. Inilah rumor anti yang pertama kali saya dengar. Untuk menjustifikasikan hal itu, dia sebut keberadaan Desmon J Mahesa dan Pius Lustrilanang dalam kepengurusan DPP Partai Gerindra dan ketidaksukaan Prabowo pada gagasan negara Islam yang dianggap sebagai ancaman bagi NKRI.

Alasan tersebut tentu saja tidak kuat, karena kepengurusan Gerindra di semua level tidak pernah mempermasalahkan latar belakang aktifitas pengurusnya sebagai konsekuensi partai terbuka yang bercorak nasionalis. Komposisi pengurus DPP Gerindra, misalnya, terdiri dari banyak kalangan. Dari 45 pengurus saat ini terdapat 2 purnawiraman TNI, beberapa alumni ormas pemuda Islam seperti HMI, PII, PMII, dan Nasyiatul Aisyiyah, serta beberapa tokoh HKTI dan berbagai macam latar belakang lainnya.

Jika masalahnya pada anti gagasan negara Islam, hal itu bukan hanya dimiliki Prabowo Subianto, tetapi banyak tokoh lainnnya, termasuk tokoh-tokoh Islam sendiri. Amien Rais, misalnya, adalah tokoh Islam yang tidak percaya pada gagasan negara Islam.

Semalam (17/10) datang seorang kawan, peneliti sebuah laboratorium politik UI, mengatakan bahwa dirinya bertemu dengan Faisal Basri beberapa hari yang lalu. Kata Faisal Basri, Gerindra adalah partai yang anti non-muslim, anti China, dan anti modal asing. Saya tidak tahu, apakah nada Faisal Basri saat menyampaikan hal ini sebagai kalimat berita untuk memberitahukan kepada khalayak ramai agar mengetahui hal ini, atau sebagai kalimat bertanya untuk mencari jawaban atas rumor yang ia dengar selama ini. Atas informasi itu dia bertanya kebenarannya kepada saya.

Tuduhan anti non-muslim kepada partai Gerindra jelas salah alamat. Partai Gerindra memiliki pengurus dengan latar belakang agama yang beragam. Di tingkat pusat, agama dan kepercayaan pengurusnya beragam, ada muslim dan non-muslim, ada NU dan Muhammadiyah, ada santri dan abangan, juga ada yang moderat relijius dan sekuler penuh. Dalam setiap acara resmi Gerindra yang menyediakan acara pembacaan doa, selalu dihadirkan pembaca doa dari 4 agama, yaitu Islam, Kristen, Katholik, dan Hindu Bali.

Jika tuduhan itu kepada sosok Prabowo, maka saya jawab, Prabowo tidak mungkin anti non-muslim. Adik-adik dan keponakannya banyak yang non-muslim. Adik kandungnya Hasyim Djoyohadikusumo adalah seorang yang beragama Kristen (Protestan) dan adik iparnya Sudrajat Djiwandono sekeluarga beragama Katholik. Ibunya sendiri, istri dari begawan ekonomi Sumitro Djoyohadikusumo, juga seorang non-muslim. Salah satu sahabat karibnya sejak 30 tahun lalu yang juga duduk di kepengurusan DPP Partai Gerindra, seorang purnawirawan TNI, adalah seorang Kristen yang taat. Prabowo juga dekat dengan tokoh-tokoh dari Bali yang Hindu dan Timor Timur yang Katholik. Jadi tidak mungkin seorang Prabowo itu anti non-muslim.

Soal tuduhan anti China mungkin berasal dari cerita Prabowo sendiri dalam forum-forum tertutup yang kemudian menyebar ke luar. Saya sendiri pernah mendengar Prabowo bercerita, suatu waktu ia bertemu dengan seorang pengusaha Indonesia dari etnis China yang mengeluh adanya diskriminasi ekonomi di negara ini terhadap etnis China. Maka Prabowo menjawab, "Datanglah ke restoran-restoran mewah yang ada di hotel bintang 5 bintang 4 atau restoran mewah lainnya yang ada di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Berapa banyak pribumi dan berapa banyak orang dari etnismu ada di sana? Datanglah ke forum-forum debitor besar Bank Mandiri atau BNI, perhatikan etnisnya. Berapa banyak pribumi menikmati kredit dari bank-bank pemerintah tersebut? Mungkin jumlahnya tidak lebih dari 10 orang dari 1000 tamu undangan yang ada. Jika ada diskriminasi, mana bisa kalian lebih menikmati kue pembangunan di republik ini?"

Pandangan tersebut menurut saya tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menuduh Prabowo sebagai anti China. Secara personal Prabowo jelas tidak memiliki masalah dengan ras China, bahkan ia selalu menganjurkan bangsa Indonesia untuk belajar dari bangsa Tiongkok dalam membangun bangsa dan negaranya.

Ia hanya tidak bisa menerima ketidakadilan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat kita. Prabowo hanya marah pada kebijakan ekonomi Indonesia yang tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan, misalnya diukur dari kebijakan kredit perbankan, yang mengucurkan kreditnya mayoritas kepada etnis tertentu.

Utomo Dananjaya menyebutnya, ia bukanlah anti China, tetapi ia pro perjuangan ekonomi kaum pribumi. Prabowo berasal dari keluarga pembela perjuangan ekonomi kaum pribumi. Kakeknya, Margono, adalah pendiri BNI46, bank yang didirikan untuk menandingi kekuatan finansial etnis China yang selama masa penjajahan hidup dengan privilese ekonomi dari Belanda.

Prabowo juga bukan seorang yang anti modal asing atau anti asing. Dalam salah satu pidatonya, yang saya dengar secara langsung, dia mengatakan, sebagai seorang pengusaha pada dasarnya dirinya adalah seorang kapitalis. Ia hanya menolak penjajahan baru dari sektor ekonomi terhadap bangsa dan negara Indonesia. Dalam berbagai kesempatan Prabowo Subianto selalu menjelaskan dan menegaskan bahwa dirinya adalah seorang patriot, seorang merah putih sejati ...

Jika disebut partai Gerindra sebagai partai yang anti neo-liberalisme ekonomi, maka itu benar adanya. Lebih jelasnya sila tengok manifesto partai Gerindra wabil khusus manifesto bidang ekonomi. Mungkin Gerindra merupakan partai pertama yang terang-terangan memposisikan dirinya sebagai partai anti neo-liberalisme ekonomi. Tetapi secara nasional, pandangan seperti ini bukan yang pertama atau satu-satunya. Pandangan tersebut juga dianut oleh banyak ekonom dan politisi kita, termasuk Kwik Kian Gie atau Amien Rais.

:)

Manifesto Perjuangan Gerindra Bidang Ekonomi

Catatan dari Facebook.com

Kebijakan perekonomian harus mendukung cita-cita welfare state (negara kesejahteraan) yang berkeadilan. Untuk itu diperlukan langkah yang tepat untuk menormalisasi kehidupan ekonomi rakyat dengan kembali memperjuangkan paham ekonomi kerakyatan.

Sejak era Orde Baru, ekonomi Indonesia cenderung berwatak kapitalistik. Meskipun tumbuh dengan stabil, pemerataan masih menjadi isu utama. Angka kemiskinan absolut dan pengangguran memang berhasil dikoreksi dengan baik, namun liberalisasi ekonomi pada tahun 1980-an telah menyebabkan Indonesia rentan terhadap krisis ekonomi. Krisis ekonomi 1997-1998 merupakan buah liberalisasi yang didorong oleh kekuatan-kekuatan organisasi dana moneter internasional (IMF) sehingga pembangunan Indonesia mengalami kemunduran bertahun-tahun.

Keadaan ekonomi di era reformasi bertambah buruk. Identitas liberal-kapitalistik semakin nyata dan terbukti dengan berbagai produk aturan yang liberal. Kendali kebijakan ekonomi tetap di tangan ekonom yang bermazhab neoliberal yang memasarkan resep Konsensus Washington dengan privatisasi, liberalisasi dan deregulasi. Privatisasi dilakukan dengan menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada pihak asing. Kemudian peran pemerintah/negara dalam ekonomi semakin dikikis dan diserahkan pada mekanisme pasar sebebas-bebasnya karena dianggap distorsi terhadap pasar. Liberalisasi dilakukan dengan menghilangkan proteksi dan subsidi. Selanjutnya, investasi asing masuk dengan fasilitas yang mudah dan luas tanpa kendali.

Keadaan ini telah menciptakan dominasi asing dalam kepemilikan unit ekonomi. Ekonomi rakyat makin tersisih. Siapa yang kuat, dialah yang menang. Terjadi kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya, tidak ada pemerataan. Pembangunan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang.

Sistem ekonomi liberal-kapitalitik harus dikoreksi karena gagal mensejahterakan rakyat. Partai GERINDRA memperjuangkan ekonomi kerakyatan. Kebijakan perekonomian harus berdasar pada UUD 1945 pasal 33 ayat (1), (2), dan (3), sebagai ruh dari setiap kebijakan ekonomi. Karena itu kepemilikan negara terhadap alat-alat perekonomian dan kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus tetap dipertahankan, dan diusahakan pengembalian seluruh alat-alat perekonomian dan kekayaan yang telah berpindah kepemilikan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan nasional.

Partai GERINDRA akan mengembangkan koperasi sebagai bangunan ekonomi yang ideal pada dataran mikro dan makro. Koperasi merupakan soko guru perekonomian, sebagai prinsip dasar susunan perekonomian Indonesia. Koperasi merupakan bentuk nyata dari usaha bersama yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi harus dihidupkan dan digerakkan sebagai usaha bersama untuk kesejahteraan bersama. Partai GERINDRA menempatkan koperasi sebagai model ideal susunan perekonomian Indonesia dengan sebuah harapan yang kuat untuk menghilangkan corak individualistik dan kapitalistik dari wajah perekonomian Indonesia.

Sebagai negara agraris, prioritas pembangunan ekonomi harus lebih banyak dicurahkan pada sektor pertanian, sebagai sektor profesi terbesar bangsa ini. Dalam konteks ini diperlukan penataan untuk menyelesaikan masalah-masalah klasik di sektor pertanian seperti pengadaan pupuk, benih, lahan, infrastruktur, modal dan pemasaran hasil pertanian. Kebijakan terintegrasi yang berpihak pada petani akan menjadikan sektor pertanian Indonesia maju dan sebagai bangsa kita akan berdaulat secara pangan.

Potensi ekonomi lain yang perlu mendapat perhatian adalah sektor kelautan. Tiga perempat wilayah Indonesia merupakan lautan dengan garis pantai terpanjang setelah Kanada. Identitas kita sebagai negara maritim perlu diperkuat dengan menjadikan laut sebagai lahan penghidupan rakyat.

Perlu ditata ulang hubungan petani dan tanah, hubungan pekerja dan industri, hubungan penjaja dan pasar, hubungan nasabah dan perbankan. Dunia usaha harus digairahkan. Pemerintah melindungi dunia usaha. Monopoli harus dicegah, baik dalam sektor industri maupun distribusi. Pertumbuhan dan perkembangan dunia usaha harus dilindungi dari praktek monopoli dan konglomerasi.

Tak dapat dihindari pembangunan membutuhkan biaya. Penerimaan negara dari pajak harus lebih ditingkatkan dengan memberi kepercayaan kepada wajib pajak bahwa dana pajak akan dikembalikan untuk pembangunan. Selama ini biaya pembangunan sedikit banyak bergantung pada pinjaman lunak dan hibah. Mekanisme hutang luar negeri yang sering digunakan pemerintah sebagai sumber pembiayaan, telah menjadi kebiasaan buruk. Hutang telah menjadikan negara ini tidak berdaulat secara ekonomi. Setiap kebijakan ekonomi pemerintah tak lepas dari kontrol asing sebagai donatur.

Indonesia harus mengurangi ketergantungan pada hutang luar negeri. Sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri diutamakan antara lain dengan pengelolaan sumber daya alam yang berpihak pada kepentingan nasional. Karena itu, perlu renegosiasi (peninjauan ulang) terhadap kontrak karya di berbagai bidang seperti pertambangan yang tidak menguntungkan kepentingan rakyat. Partai GERINDRA menolak peminjaman hutang luar negeri baru karena akan menambah beban rakyat melalui APBN.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah penarikan modal asing ke dalam negeri melalui Penanaman Modal Asing (PMA) di luar sektor-sektor hilir (bukan terkait kekayaan alam). Untuk itu diperlukan stabilitas politik, kepastian hukum, dan jaminan keberlangsungan produksi termasuk tersedianya pekerja yang berkualitas. PMA perlu diatur sehingga mendukung pembangunan bukan menguasai ekonomi nasional.

Partai GERINDRA mendukung dunia usaha dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi berkembangnya wirausaha/wiraswasta (enterpreneur) khususnya usaha kecil dan menengah. Wujud dukungan tersebut termasuk kredit mikro dan pengurangan jumlah izin dan aturan yang dapat menghambat investasi dan dunia usaha. Birokrasi pemerintahan harus dikurangi agar iklim usaha yang kondusif dapat tercipta.

Sementara itu, globalisasi berwatak neoliberal yang kini melanda dunia, perlu disikapi secara kritis. Di bidang ekonomi, globalisasi belum menguntungkan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Perdagangan dunia tetap dikuasai negara-negara maju tertentu. Dalam globalisasi dan perdagangan bebas, Indonesia hanya menjadi pasar, obyek dari sebuah sistem ekonomi dunia yang tidak berimbang. Karenanya, Partai GERINDRA senantiasa berpegang teguh pada kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, dan menolak setiap sistem ekonomi yang jelas-jelas merugikan dan menyengsarakan rakyat.

Partai GERINDRA menolak bentuk liberalisasi perdagangan seraya mengedepankan kebijakan proteksi bagi komoditas perdagangan dalam negeri. Kebijakan liberalisasi perdagangan yang kini diterapkan Indonesia baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, berpangkal pada kontrol kuasa ekonomi asing terhadap Indonesia. Indonesia dan negara-negara berkembang dipaksa mencabut subsidi terhadap berbagai komoditas strategis sehingga memungkinkan bagi produk yang datang dari negara lain, dalam hal ini negara maju seperti AS dan Uni Eropa, bisa bersaing bebas. Namun di sisi lain, negara-negara maju tersebut menerapkan kebijakan subsidi bagi produksi komoditas mereka untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Partai GERINDRA mendukung dilakukannya peninjauan kembali terhadap undang-undang yang syarat kepentingan asing seperti UU Penanaman Modal dan UU Migas.

Terkait privatisasi, Partai GERINDRA menolak kebijakan privatisasi atas BUMN. BUMN sebagai organ taktis bisnis negara memiliki peran yang signifikan dalam menambah pemasukan negara serta pelayanan kepada masyarakat. Eksistensi BUMN merupakan wujud kedaulatan ekonomi Indonesia dalam mengelola sumber daya produksi yang ada di negara ini. BUMN harus efisien, efektif, dan bukan menjadi sapi perah dari korupnya struktur birokrasi negara. Karena itu, BUMN harus dikelola oleh manajemen yang profesional dan tidak menjadi tempat penampungan penempatan politik.

Partai GERINDRA menyetujui partisipasi modal swasta, modal dalam negeri maupun asing, di dalam susunan modal perseroan-perseroan BUMN, berupa investasi pasif (portfolio investment). Dengan demikan, BUMN yang memerlukan tambahan modal akan tetap dikendalikan oleh pemerintah selaku pemegang saham penentu (controlling shareholder) dan saham pemerintah merupakan “Golden Share.” Pemodal swasta dalam negeri maupun asing tetap sebagai investor pasif.

Partai GERINDRA menuntut adanya pengajuan penghapusan hutang luar negeri yang dikorup (odious debt). Hutang luar negeri adalah sumber masalah. APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan umum, dialokasikan membayar hutang. Sementara alokasi lain seperti pendidikan dan kesehatan mendapat jatah yang kecil. Padahal kebijakan peminjaman hutang oleh pemerintah pun seringkali tidak tepat guna bahkan banyak dikorupsi para pejabatnya sendiri. Permohonan penghapusan hutang luar negeri merupakan cara legal dan sah untuk mengurangi beban hutang dan tak akan membuat citra buruk Indonesia di dunia Internasional. Cara ini dilakukan negara-negara lain. Karena itu, langkah penghapusan hutang luar negeri yang dikorup adalah langkah strategis agar penggunaan APBN sebagai dana rakyat bisa maksimal untuk kesejahteraan rakyat.

Partai GERINDRA memandang perlunya dibuat Garis-Garia Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai perencanaan, arah dan ukuran pembangunan ekonomi. Amandemen UUD 1945 (1999-2002) telah menyederhanakan tugas MPR dengan tidak diberikan wewenang dalam menyusun GBHN. Lebih buruk lagi, penyusunan GBHN tidak dilimpahkan kepada Lembaga Tinggi Negara mana pun. Sehingga pembangunan ekonomi Indonesia berjalan tanpa perencanaan jangka panjang.

Manifesto Perjuangan Gerindra Bidang Ristek


Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk yang sangat besar, ketergantungan pada bangsa lain atas produk-produk berbasis teknologi, baik teknologi tinggi maupun teknologi rendah, sangat membahayakan. Penguasaan dan kemandirian teknologi harus segera dikembangkan dengan cara memilih teknologi yang menyentuh secara langsung aspek kehidupan bangsa khususnya di bidang ekonomi, budaya, dan pertahanan.

Penelitian yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga negara harus diarahkan pada prinsip-prinsip memajukan bangsa, dimulai dengan memilih teknologi tepat guna untuk membantu mengembangkan industri-industri lokal yang dikelola oleh Usaha Kecil dan Menangah (UKM) untuk memproduksi berbagai barang-barang keperluan masyarakat sehari-hari.

Bidang-bidang yang perlu mendapat perhatian sangat khusus adalah bidang teknologi pertanian, teknologi pangan, teknologi industri, teknologi informasi, transportasi, dan pengembangan energi alternatif seperti biofuel, ethanol dari aren dan coal-to-liquid.

Masuk Komisi Berapa?


Pagi ini mas Ikhsan Modjo menanyakan kepada saya, mau masuk komisi berapa? Pertanyaan itu muncul di bawah foto saya bersama Prabowo Subianto yang saya beri judul "Capres dan Caleg 2009". Sambil sedikit bercerita, jawaban itu saya sampaikan lewat notes ini.

Jawaban saya adalah: Saya ingin memasuki komisi yang mengurusi ristek, UKM, dan paten; yang menurut anggota Dewan sekarang ini termasuk dalam kategori Komisi Air Mata, bukan Komisi Surga yg bertaburan travelers cheque itu. Setidaknya, itu adalah dunia yang sedikit banyak telah saya ketahui dan saya rasakan denyutnya. Persoalan seputar ristek, UKM, dan paten nampaknya merupakan inti persoalan hubungan antara ristek dan dunia usaha yang tidak berjalan dengan baik selama ini di Indonesia. Ristek seolah menjadi urusan paling akhir (pelengkap penderita) di negeri ini karena memang belum memperlihatkan hasilnya yang memuaskan, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa seperti di China dan India. Di negara kita, pandangan umum masih melihat, hasil penelitian kita lebih banyak yang masuk rak laporan.

Persoalan-persoalan ini terus terang saya dapatkan dari diskusi yang ada di milis OFP (overseas fellowship program) angkatan IV/1987, kumpulan alumni anak-anak yang dulu dikirim oleh BJ Habibie ke mancanegara untuk belajar sains dan enjinering. Di milis tersebut ada LT Handoko yang masih setia bekerja di LIPI, peraih Achmad Bakrie Award bidang Sains tahun 2008, dan kawan-kawan lainnya yang sudah duduk di middle and top management pada sejumlah perusahaan nasional dan multinasional.

Sebagai benchmarking, kita bisa melihat kemajuan China dan India. Dari pengamatan sederhana, kita bisa menyaksikan pertumbuhan jumlah paten yang ada dinegara-negara tersebut, yang kini mungkin sudah masuk deretan papan atas dunia. Pertumbuhan paten itu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri kecil dan menengah (UKM) yang memanfaatkan temuan teknologi, yang pada akhirnya mampu menggerakkan roda perekonomian bangsa tersebut. Teknologi yang dikembangkan tentu saja tidak harus yang hitech, tetapi teknologi yang sebenarnya sudah mampu dikuasai oleh putra-putri bangsa ini dan hasilnya bisa digunakan oleh orang banyak (consumer goods).

Sebagai misal, pabrik pembuat bola lampu di China, dikerjakan oleh UKM, bukan oleh industri besar semisal Philips. Juga dengan penjahit software di India yang dipesan oleh Amerika, dikerjakan oleh perakit-perakit piranti lunak yang termasuk ke dalam golongan UKM. Kalau di Jakarta Anda sering menyaksikan spanduk atau tempelan kertas di dinding-dinding jalan tol untuk pemesanan spanduk dan cetakan, maka di India Anda akan dapat menyaksikan spanduk pemesanan piranti lunak.

Menurut saya, semua masalah itu sumbernya adalah mindset, koordinasi dan kebijakan. Saya ingin memasuki komisi yang --jika mampu-- dapat merubah itu semua. Semoga.

Doain yee .. :)

Salut Buat Pemda Kulonprogo

Catatan dari Facebook.com

Dua bulan ini saya sibuk bolak-balik Jakarta-Jogja untuk mengurus ijin Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi Bahan Galian Mangaan dan Mineral Pengikutnya dari Pemda Kulonprogo. Bersama Ivan, saya ingin menggeluti bisnis tambang ini karena ke depan bahan galian mangaan akan semakin memiliki nilai ekonomis yang tinggi, terutama kalau kelak mobil ramah lingkungan, mobil hybrid, sudah mulai ramai di pasaran. Kenapa? Karena mobil hybrid kemungkinan besar akan membutuhkan aki berbahan dasar mangaan. Di samping itu, ada kemungkinan yang lain, baterei handphone akan segera meninggalkan lithium dan kembali ke mangaan. Untuk saat ini mangaan banyak digunakan sebagai bahan campuran baja untuk meningkatkan kekerasannya. Contohnya penggunaan mangaan sebagai bahan campuran untuk rel kereta api agar tidak habis dimakan roda kereta.

Ide dasar menggeluti bisnis ini datangnya dari temennya Ivan, yang sudah memiliki kontrak pembelian mangaan dari sebuah perusahaan di China, negara yang sangat agresif membeli mangaan dari Indonesia. Menurut temennya Ivan, bisnis ini sangat menggiurkan profitnya, sama seperti bisnis sms :). Namun, belum banyak orang tertarik masuk ke sektor ini, karena mungkin belum tahu prospeknya, tidak seperti tambang batubara yang sudah melibatkan ratusan pemilik KP beserta puluhan ribu makelarnya :).

Di samping mengetahui detail teknis pertambangan mangaan, temennya Ivan juga mengetahui daerah-daerah di Indonesia yang berpotensi sebagai penghasil mangaan. Hanya saja, Puji Tuhan karena adanya spesialisasi, sebagai ahli tambang temennya Ivan tidak punya akses ke pemda-pemda tersebut. Karena itu ia mengajak Ivan dan saya bersama-sama menggeluti bisnis ini. Tugas Ivan dan saya adalah masuk ke pemda-pemda tersebut untuk mendapatkan ijinnya. Kepada kawan-kawan yang punya akses ke daerah tersebut segera saya sampaikan hasrat saya untuk masuk ke sana. Respon paling cepat datang dari Kulonpropgo.

Begitu mendapat lampu hijau, saya langsung terjun ke sebuah lokasi di Girimulyo melakukan survei dan penelitian sederhana. Dari sampel tanah dan batu-batuan mangaan yang saya ambil menunjukkan daerah ini memiliki kadar mangaan yang sangat tinggi dan cadangan yang cukup berlimpah. Begitu dinyatakan positif oleh temen Ivan, segera saja saya mengajukan ijin KP Eksplorasi seluas 1030 hektar kepada Pemda Kulonprogo. Hanya dalam tempo 2 minggu, tanpa dipersulit dan sama sekali tanpa pungutan macam-macam, ijin sudah dikeluarkan oleh Kepala Dinasnya. Ini sungguh luar biasa. Berbeda dengan sebuah Pemda lain, yang mengisyaratkan setoran di awal hingga ratusan juta rupiah untuk bisa mendapatkan ijinnya.

Saat penyerahan ijin tersebut kepada saya, Kepala Dinas bertanya: "Apakah pelayanan kami memuaskan?" Tentu saja saya menjawab, "Sangat memuaskan!". Salut bener saya sama Pemda Kulonprogo. Mudah-mudahan daerah lain bisa meniru cara kerja mereka dalam melayani masyarakat.

Bravo Kulonprogo!!

Saturday, August 30, 2008

Politisi Rela Berkorban

Dari hiruk pikuk pemberitaan Konvensi Partai Demokrat di Amerika kemarin, potongan informasi yang menarik bagi saya adalah kerelaan Barack Obama untuk berkorban. Menjadi politisi adalah sebuah pengorbanan. Obama telah mengorbankan kesempatannya untuk berkarier dan tenggelam di dunia profesional yang membuatnya berpotensi menjadi miliuner. Alih-alih memilih bekerja di perusahaan-perusahaan besar, ia memilih menjadi pekerja sosial sebagai langkah awal karier politiknya. Terus terang saya jadi sedikit malu pada diri sendiri. Kontras dengan Obama, saya memilih membangun karier dulu baru terjun ke politik :(

Memang situasi ekonomi, sosial, dan politiknya berbeda. Di Amerika, pengorbanan Obama bukanlah pengorbanan untuk hidup susah, tetapi untuk hidup sederhana. Di negara itu, ada minimum wage yang membuat semua orang bisa hidup dengan layak. Yang dikorbankan oleh Obama adalah kesempatan mendapatkan gaji ratusan ribu bahkan jutaan dollar setiap tahunnya.

Dengan menjadi politisi, ia memilih hidup dengan standar puluhan ribu dollar saja setiap tahunnya. Ia terjun ke politik bukan untuk memperbaiki nasib ekonomi pribadinya, tetapi untuk memperbaiki masyarakatnya. Beruntung Obama hidup di Amerika, di mana sistem donasi kampenye sudah berjalan dengan baik. Politisi di sana tidak perlu menjual tanah untuk biaya kampanyenya :)

Saya jadi teringat pada anjuran Cak Nur kepada anak-anak muda untuk bisa menunda kesenangan. Apa yang dilakukan oleh Obama saya kira bisa disebut sebagai upaya "menunda kesenangan".

Sunday, August 24, 2008

Moral Politik Eki Syachrudin

Sudah cukup lama, sejak 25 Juni 2007, saya memiliki buku terbitan LP3ES berjudul Eki Syachrudin Moral Politik Sebuah Refleksi. Buku ini berisi tulisan-tulisan Bang Eki almarhum, yang jumlahnya 125 tulisan. Selama ini saya hanya membaca secara sporadis, hanya beberapa tulisan yang menarik yang saya baca. Melalui buku tersebut, saya ingin berguru kepada Bang Eki bagaimana menjadi politisi yang baik, politisi yang bermoral. Untuk itu, saya ingin membaca secara utuh, dari awal sampai akhir, kumpulan tulisan tersebut yang memakan 751 halaman.

Saya merasa, dalam banyak hal saya sejalan dengan pemikiran beliau. Satu contoh saja, Bang Eki menganggap bahwa kebulatan tekad para menteri adalah sesuatu yang tidak etis. Bang Eki melihat kepada fungsi dan kedudukan para menteri, yang menyebabkan mereka tidak patut untuk membuat sebuah kebulatan tekad untuk mengangkat atau menjatuhkan presiden.

Sementara itu kita sekarang ini berkali-kali menyaksikan, bagaimana partai-partai yang sudah mengikat kontrak dalam sebuah kabinet dengan mudah melawan kebijakan kabinet, tanpa menarik menterinya keluar dari kabinet tersebut. Dengan dalih “pro rakyat” partai-partai itu berseberangan dengan kebijakan pemerintah tanpa menarik menterinya karena takut kehilangan sumber kekuasaannya. Kita disuguhi adegan-adegan politisi rakus: ingin dapat simpati rakyat sekaligus kursi menteri yang dapat digunakan sebagai sumber pendanaan buat partainya.

Tontonan paling akhir adalah kebanggaan sejumlah partai yang menggunakan suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Dengan bangga mereka memperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa UU bisa mereka injak seenaknya kapan saja mereka mau. Bahkan ada partai yang mengatakan: “Partai kami dari awal tidak setuju dengan ketentuan UU tersebut.” Kalau masih mau berpegang pada pendapat sendiri-sendiri, lalu buat apa menyusun dan mengesahkan UU? Lalu bagaimana kita akan menjelaskan kepada generasi muda kita tentang perlunya tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan? Mengapa tidak diubah terlebih dulu undang-undangnya?

Saya jadi teringat pandangan M. Natsir pada penerapan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi kemasyarakatan sesuai UU Keormasan No 8/1985. Beliau termasuk yang menganjurkan agar ormas Islam menerima asas tunggal Pancasila pada saat itu. Padahal kita tahu, Pak Natsir adalah orang yang tidak pernah lelah memperjuangkan Piagam Jakarta. Antara melaksanakan UU dengan perjuangan terhadap sebuah pandangan harus bisa dibedakan dan ditempatkan sesuai dengan koridornya masing-masing. Bukan karena ia pro Piagam Jakarta lantas menolak pelaksanaan UU Keormasan No 8/1985.

Moral atau fatsoen politik seperti diperihatkan M. Natsir dan Bang Eki saat ini menjadi sesuatu yang sangat langka. Demi kekuasaan, partai apapun, ideologi apapun, kini bisa berbuat seenaknya tanpa perlu memperhatikan batas-batas moral yang seharusnya dijunjung bersama.

Dengan membaca tulisan-tulisan Bang Eki secara utuh, saya berharap kalau kelak terpilih sebagai anggota dewan, tidak akan lupa tentang perlunya moral politik dalam setiap langkah saya sebagai politisi Senayan. Pun kalau saya tidak terpilih, saya bisa mengingatkan teman-teman saya yang insya Allah, pada tahun 2009 ini, akan berbondong-bondong menuju kursi Senayan dari berbagai penjuru partai.

Friday, August 22, 2008

17 Tahun Pernikahan

Pukul 10.00 WIB tanggal 22 Agustus tahun 1991, di hadapan penghulu desa Winong, Pati, saya membacakan ijab kabul. Hari itu saya menikahi gadis cantik asal Pati bernama Oktonik Muji Rahayu. Tidak terasa, 17 tahun sudah, tepat hari ini, saya menikah dengan dirinya.

Dari pernikahan itu saya sudah dikaruniai 3 anak: Shemissa Shita Fachrudin (P) yang sekarang duduk di kelas 1 SMA Cendrawasih Jakarta Selatan, Shadra Shiraz Fachrudin (L) yang sekarang duduk di kelas 1 SMP Cendrawasih, dan Raisa Munira Fachrudin (P) yang sudah bisa mengikuti playgroup di TK Cendrawasih.

Kepada seluruh sahabat, mohon doanya agar saya bisa mempertahankan pernikahan ini dalam kurun waktu yang lebih lama lagi, sampai kakek-nenek, sampai kami dipanggil Yang Maha Kuasa. Amin.

Dan 3 hari lagi, tanggal 25 Agustus, saya juga akan memasuki usia yang ke-40. Life begins at forty. Kehidupan baru saja dimulai, seiring dengan pilihan saya untuk terjun ke dunia politik secara serius, di samping hasrat mengembangkan bisnis yang juga semakin menyala :)

Memilih Partai

Memilih partai di Indonesia saat ini saya akui cukup sulit kriterianya. Kalau ditanya kenapa memilih parpol itu, sudah pasti saya tidak bisa menjawabnya. Setidaknya, saya tidak bisa menjawab secara ilmiah, apalagi pakai analisa politik yang canggih. Yang pasti, perasaan saya tidak mungkin bisa memilih bergabung dengan Golkar atau PDIP. Mungkin karena darah Masyumi yang mengalir di tubuh saya masih terlalu kental, masih terlalu puritan :(

Jika melihat sejarah keikutsertaan saya pada pemilu di Indonesia, 3 kali pemilu di jaman Orde Baru 1987, 1992 dan 1997, sejujurnya saya katakan, saya selalu memilih PPP. Tahun 1999 saya memilih partai saya sendiri, Partai Bulan Bintang (PBB). Tahun 2004 saya memilih PKS untuk pemilu legislatif dan Amien Rais untuk Capres tahap 1, dan golput untuk Capres tahap 2. Dari sejarah pilihan politik saya tersebut, para ahli mungkin bisa menganalisa, corak politik saya kira-kira seperti apa :)

Pada saat saya bergabung dengan PBB pada tahun 1999, sebenarnya saya punya pilihan untuk bergabung juga dengan PAN. Saya bahkan orang yang pertama membuat website untuk PAN dengan alamat http://www.amanat.org atas ijin dari Amien Rais pada tahun 1998.

Saat itu, teman-teman saya terbelah ke dalam 2 partai itu, sebagian ke PAN sebagian lagi ke PBB. Darah Muhammadiyah saya mengajak ke PAN, tetapi darah Masyumi saya mengajak ke PBB. Akhirnya saya memilih bergabung ke PBB karena lebih banyak teman di partai itu.

Sejujurnya, saya tidaklah pernah terlalu serius dalam berpartai. Maksud saya, partai lebih untuk menyalurkan gairah politik dan bersilaturahmi saja, tidak pernah tergoda dan bermimpi untuk harus mendapatkan kekuasaan. Saya ingin terlibat tetapi saya lebih suka tampil di level ke-2, level yang tidak dilihat oleh orang.

Saya selalu teringat nasehat abang saya, Loode Masihu Kamaluddin, saat mengatakan kepada saya, "Kamu harus kaya secara materi terlebih dulu sebelum terjun ke politik, agar kamu tidak bisa dibeli." Jadi, karena saya masih belum memiliki fondasi ekonomi yang kuat, keterlibatan saya dalam lingkungan politik lebih sebagai upaya untuk menjaga spirit saja, agar tidak dilalaikan oleh urusan ekonomi.

Saya segera keluar dari PBB ketika terjadi keributan antara Fadli Zon dan Yusril Ihza Mahendra, kira-kira beberapa bulan setelah pemilu 1999 usai. Pasalnya sederhana, Yusril tidak bisa mempertanggungjawabkan dana politik yang diberikan oleh BJ Habibie kepada PBB. Saya menjadi malu; malu sekali. Bagaimana bisa, partai pewaris Masyumi berperkara dalam soal uang seperti itu? Bagaimana mau meniru kesederhanaan M. Natsir, kalau tokohnya sangat mudah tergoda oleh materi seperti itu?

Selepas dari PBB, saya lebih sibuk mengurusi bisnis sendiri. Aktifitas politik saya banyak terlibat di lapis ke-2 bersama M Yunus (sekpri Amien Rais saat itu), Nasrullah (sekpri Fuad Bawazier yang sekarang menjadi staf khusus Mendiknas Bambang Sudibyo) dan Ahmad Muzani (saat itu aktif di CPDS dan sekarang Sekjen Partai Gerindra), mendukung Amien Rais for President 2004.

Pada musim parpol 2009 ini, kembali saya diajak masuk ke partai politik oleh Ahmad Muzani. Ia bersama Fadli Zon beserta sejumlah nama lainnya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya. Yang paling saya suka dari partai ini adalah namanya. Ada kata-kata Indonesia Raya yang membuat hati saya tersentuh. Ini sejalan dengan kritik saya selama beberapa tahun terakhir ini di berbagai milis, bahwa politisi di negeri ini sudah sangat sedikit yang memiliki kesadaran untuk membangun kejayaan Indonesia Raya.

Memang partai ini cukup sensitif, terutama karena ada dua nama yang konroversial di mata kawan-kawan saya yang aktif di LSM, yaitu Muchdi PR dan Prabowo Subianto. Tapi saya pikir, adakah partai yang bersih dari tokoh-tokoh yang tidak terlibat kasus di republik ini? Saya lebih fokus pada spirit yang dibawa partai ini, yaitu untuk membangun kembali kejayaan Indonesia. Cita-cita luhur partai ini bisa saya terima dan sejalan dengan saya yang pernah punya keinginan untuk membuat Yayasan Kesadaran Indonesia sejak tahun 1996. Itu saja.

Memasuki usia yang ke-40 pada tahun ini, saya pikir saatnya saya kembali menekuni dunia politik sebagai sarana untuk mengabdi kepada masyarakat untuk memakmurkan rakyat. Saya katakan kepada istri saya, "Sudah cukup materi yang kita peroleh, saatnya saya berbakti kepada masyarakat."

Ya, memakmurkan rakyat adalah janji Masyumi dulu. Di bawah Masyumi rakyat hidup makmur ... demikian salah satu bait lagu mars Masyumi yang sering dinyanyikan almarhum ayah saya dengan penuh semangat. Janji ayah dan kakek saya kepada republik ini harus saya lanjutkan. Saya tidak boleh berpangku tangan berdiam diri menikmati materi yang aku peroleh. Saya harus segera terlibat dalam upaya-upaya untuk memakmurkan rakyat Indonesia sekarang ini.

Dan saya teringat pada bait pertama lagu mars Masyumi tersebut:

Bismillah sudah mari memilih ...

Ya, memasuki usia yang ke-40 ini, bismillah sudah saya memilih masuk Partai Gerindra untuk kejayaan Indonesia Raya!

:)

Catatan:
Saya akan maju menjadi caleg daerah pemilihan IX Jawa Tengah, daerah kelahiran saya Brebes-Tegal.

Wednesday, July 16, 2008

Kesantunan Mohammad Natsir

Sebagai pengagum M. Natsir, saya harus mengutip sebuah tulisan dari Majalah TEMPO Edisi. 21/XXXVII/14 - 20 Juli 2008 tentang beliau dalam blog ini. Dari berbagai kesaksian atas kepribadian Pak Natsir, tidak diragukan lagi beliau adalah orang yang sangat santun.

Kesantunan bukanlah sikap politik pak Natsir semata, tetapi sudah menjadi bagian dari kepribadiannya yang tidak terpisahkan. Artinya, ia tidak berlaku santun hanya karena ia seorang politisi, kesantunan yang dipakai sebagai sebuah tipuan politik belaka yang dalam kehidupan sehari-harinya ternyata sangatlah kontradiktif. Sebagai politisi, guru, atau pendakwah, pak Natsir tetap bisa menunjukkan kesantunannya. Terhadap kawan maupun lawan, kesantunannya tidaklah pernah surut dari sikapnya.
***
Berikut tulisannya:

Politik Santun Mohammad Natsir

MOHAMMAD Natsir seakan ber­asal dari negeri yang jauh. Sebuah negeri tempat politikus berjuang sungguh-sungguh demi rakyat yang diwakilinya. Mereka memegang te­guh ideologi partai masing-masing. Beradu argumen dengan ganas, tapi tetap dengan tutur kata sopan, dan sesudahnya mereka bercakap hangat dengan lawan politiknya sambil meneguk secangkir kopi di saat rihat. Mereka berperang kata, tapi seketika saling berpegangan tangan saat menghadapi penjajah Belanda.

Indonesia di awal kemerdekaan, ketika Mohammad Natsir berkecimpung menjadi politikus dari Partai Masyumi, bukanlah negeri khayalan. Ketika itu beda pendapat dan pandangan sudah biasa. Para politikus tak merasa perlu memamerkan kekayaan kepada publik. Bahkan sebaliknya, mereka cukup bersahaja.

Sebagai Menteri Penerangan, Natsir tak malu mengenakan kemeja kusam dan jas bertambal. Ketika menjadi Ketua Fraksi Masyumi, dia menampik hadiah sebuah mobil Chevrolet Impala yang tergolong mewah dari seorang pengusaha. Ia menolak dengan cara halus agar si pemberi tak merasa kehilangan muka. Padahal di rumahnya yang sederhana hanya ada sebuah mobil DeSoto rom­beng. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” begitu nasihat yang disampaikannya kepada istri dan anak-anak.

Di awal kemerdekaan itu sebuah negara baru sedang bangkit. Para politikus berkhidmat sekuat-kuatnya untuk Tanah Air. Mereka patriot-pejuang, beberapa di antara­nya pernah mendekam di bui atau menjalani pembuangan di tempat terpencil di masa penjajahan Belanda. Mereka meng­hidupkan politik, bukan mencari hidup dari politik. Ten­tu saja di masa itu ada beberapa politikus yang berpe­rilaku miring, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Maka tak salah bila Daniel Lev (almarhum), seorang In­donesianis kenamaan, berkali-kali mengingatkan ge­ne­ra­si muda Indonesia. Bila ingin mempelajari sema­ngat berde­mokrasi serta kehidupan politikus yang bersih dan bersahaja, tak perlu menoleh jauh-jauh ke Eropa atau Ame­rika. “Pelajari saja masa demokrasi pada 1950-an,” katanya suatu kali.

Politik santun itu perlu dikembalikan ke zaman ini, le­bih dari 60 tahun setelah Indonesia merdeka. Terutama ketika dunia politik terasa pengap oleh skandal beruntun. Sejumlah politikus melakukan korupsi berkawanan, meminta imbalan materi atas aturan hukum yang mereka buat, ada yang terlibat kejahatan seksual.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat pelatar­an kantornya bak ruang pamer mobil mewah dengan mengen­darai kendaraan luar biasa mahal­ justru di saat kebanyakan rakyat hidup miskin. Mereka berlomba mengejar popularitas demi mendaki tangga karier politik sendiri, sesuatu yang jauh dari kepentingan rakyat pemilihnya. Santun, bersahaja, dan semangat berkhidmat menjadi barang langka. Begitu jauh jarak yang terbentang antara para politikus dan rakyat yang diwakili­nya.

Sejauh ini minim sekali teguran dari partai politik kepada anggotanya yang berperilaku rendah. Hampir tak ada partai yang menggariskan pedoman jelas kepada anggotanya untuk bertingkah laku sesuai dengan keadaan mayoritas rakyat. Surat teguran dan recalling, dalam sejarah Dewan, hanya akan terbit justru bila terjadi perbedaan pendapat antara anggota dan pemimpin partainya.

Barangkali sistem perwakilan politik perlu diperbaiki total. Perlu sebuah sistem dengan aturan jelas yang membuat para politikus terikat dan sungguh-sungguh memperhatikan aspirasi rakyat. Mungkin Indonesia tak bisa lagi membayangkan para politikus akan berperilaku santun dan bersahaja seperti Natsir dan kawan-kawan di masa lalu. Tapi dengan perbaikan sistem, mungkin keadaan baik itu bisa ditiru.

Nasib negara seyogianya memang tak diserahkan kepada kebajikan orang per orang, tapi pada sistem yang baik. Saat ini segemas apa pun masyarakat pemilih terhadap perilaku para wakilnya, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak punya kekuatan untuk segera menghukum para politikus lancung itu.

Salah satu usul perbaikan sistem politik itu adalah mempersingkat masa tugas anggota Dewan—seperti dilontarkan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan. Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya tiga tahun saja, bukan lima tahun seperti sekarang. Dengan masa jabatan yang pendek, konstituen bisa lebih cepat menghukum wakil pilihannya bila menyeleweng. Mereka yang berprestasi bisa dipilih kembali, yang kerang-keroh tak akan dipilih lagi.

Sistem seperti itu akan membuat demokrasi berpihak dan melayani seluruh rakyat. Para aktor politik di dalamnya tetap boleh mengejar kepentingan pribadi, kelompok, atau partainya, tapi dengan cara yang menguntungkan publik.

Dengan sistem yang diperbaiki itu, bukan mustahil perilaku santun, bersih, bersahaja akan kembali mewarnai panggung politik negeri. Siapa tahu kelak kita akan bertemu dengan politikus yang sekaliber atau malah le­bih baik daripada seorang Mohammad Natsir.

Tuesday, July 15, 2008

Jam Tangan Baru

Salah satu kegemaranku adalah mengoleksi jam tangan. Sebenarnya sih bukan koleksi, karena jumlah yang aku miliki juga tidak seberapa. Setidaknya bisa disebut, asesoris yang paling aku sukai adalah jam tangan.

Saat ini aku memiliki 4 jam tangan dengan merk Raymond Weil W1 Chronograph Limited Edition (2001), Nautica Chronograph (2002), Cerruti 1881 Automatic (2004), dan Tissot Men's T-Sport PRS200 Chronograph (2007). Jika Anda mengenal merk-merk jam, maka Anda akan tahu, jam yang saya miliki bukanlah jam tangan mewah yang harganya di atas 10 atau 20 juta. Jam tangan yang aku miliki harganya hanya berkisar antara 2 - 8 juta.

Aku tidak suka dengan cincin batu mulia + berlian yang biasa dipakai para pengusaha, pejabat, atau politisi kaya baru (pkb) --politisi yang saat dilantik menjadi anggota dewan berangkat dengan kijang doyok, tetapi tidak lama setelah dilantik berhias dengan barang-barang mewah entah dengan uang siapa. Aku juga tidak suka dengan asesoris pria lainnya yang terbuat dari emas dan berlian. Mungkin karena sedari kecil sudah dididik, bahwa laki-laki tidak boleh bersolek dengan barang-barang yang terbuat dari emas dan sutra.

Dua minggu lalu, jam tangan merk Nautica, yang aku beli 6 tahun lalu seharga 2 juta itu, diminati seorang teman. Dia ingin membeli jam yang aku pakai. Aku menganjurkan untuk membeli yang baru saja. Katanya, ia sudah datang ke toko jam di Plasa Senayan. Setelah ia tengok, harga-harga jam Nautica sekarang berkisar antara Rp 3 juta. Sebenarnya ia ingin membeli jam tangan baru, apa daya kantong tak sampai. Akhirnya, untuk memenuhi hasrat memiliki jam tangan yang bagus tetapi dana pas-pasan, ia merayu agar aku mau menjual jam tangan Nautica yang aku pakai.

Karena kasihan melihat teman ingin memakai jam bagus, akhirnya aku lepas jam tangan itu dengan harga Rp 1,5 juta. Dari sisi harga jam bekas, mungkin itu cukup tinggi. Tetapi jika aku harus membeli yang baru untuk tidak mengurangi jumlah koleksiku, aku rugi karena harus nomboki.

Untuk mengganti koleksi jam tanganku, selama beberapa hari aku melakukan survei, hingga ketemu jam Cerruti 1881 Roma Chronograph warna hitam dengan pengikat terbuat dari karet (lihat gambar). Jam tangan warna hitam dengan pengikat dari karet seperti itu sebenarnya sudah aku cari selama 3 bulan terakhir ini, tetapi belum ada yang cocok. Awalnya, aku tertarik dengan jam tangan berpengikat karet setelah melihat jam tangan Casio milik Bima, yang saya lihat cukup cantik bertengger di atas pergelangan tangannya. Jam tangan yang aku miliki sebelum ini semuanya memiliki pengikat stainless steel.

Kebetulan, jam Cerruti 1881 Roma Chronograph yang harganya Rp 2,6 juta ini mirip dengan jam tangan Tag Heuer 300M Aquaracer Diver Watch --yang pengikatnya juga terbuat dari karet-- milik Ivan yang harganya di Indonesia di atas Rp 12 juta.

Tanpa pikir panjang akhirnya aku membeli jam Cerruti 1881 type Roma Chronograph tersebut sebagai pengganti jam Nautica yang sudah dibeli oleh temanku itu.

Wednesday, June 18, 2008

Tiga Mimpi

Dalam hidupku, ada 3 mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Ini mimpi dalam arti yang sesungguhnya, mimpi yang datang saat saya sedang tidur, bukan dalam artian harapan.

Mimpi pertama, adalah mimpi tentang nilai Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional). Saat itu aku sedang di tempat tumpangan, di rumah tanteku di Poncol, Senen, Jakarta Pusat. Malam itu aku ingin sekali pulang ke Bumiayu untuk melihat pengumuman kelulusan SMA. Tapi kondisi memaksaku untuk tidak pulang. Aku tidak punya uang buat pulang balik Jakarta-Bumiayu. Padahal, ingin sekali aku tahu hasil ujianku.

Setelah shalat malam, aku berdoa kepada Allah untuk diberi perkabaran lewat mimpi tentang nilai ujianku. Menjelang subuh aku terbangun. Terbayang mimpi yang baru saja aku alami. Aku bermimpi bertemu guru matematika, Pak Asrori. Dia menyalamiku sambil mengucapkan, "Nilaimu sangat bagus tapi ada 1 yang merah".

Beberapa hari kemudian, saat aku akhirnya balik ke Bumiayu untuk mengambil STTB (surat tanda tamat belajar) atau ijasah, aku lihat nilai-nilaiku. Semua di atas 7 angkanya. Saat aku lihat Nilai Ebtanas Murni (NEM), kulihat angka 9 untuk Matematika dan Fisika, angka 7 untuk Bhs Indonesia, Bhs Inggris, dan Kimia, serta 5 untuk pelajaran Biologi. Ternyata benar apa yang telah dikabarkan lewat mimpi tempo hari. Ada 1 pelajaran yang nilainya merah. Merah adalah sebutan untuk nilai 5 ke bawah.

Mimpi kedua adalah mimpi yang sudah aku ceritakan sebelumnya lewat tulisan di blog ini dengan judul Mimpi Jadi Kenyataan. Silahkan klik judul tersebut untuk membaca ceritanya.

Mimpi ketiga, adalah saat aku kuliah di the University of Arizona at Tucson. Aku mimpi bertemu Rasulullah, manusia agung yang kehadirannya sekedar lewat mimpi ditunggu-tunggu dengan penuh harap oleh jutaan muslim di seluruh dunia. Ya, believe it nor not, aku bermimpi melihat junjungan kaum muslimin itu.

Ceritanya, dalam mimpi itu aku sedang bermain bola di tengah lapangan yang sangat luas. Lapangan itu berada di tengah gedung-gedung bertingkat. Saat bola melambung mendekatiku dan aku hendak menendang, kudengar adzan dhuhur, lalu sebuah tangan menangkap bola itu sebelum aku sempat menendangnya. Aku langsung menengadah, kulihat orang tersebut. Subhanallah, dia Rasulullah saw. Itulah yang aku yakini dalam mimpi itu.

Dengan lembut manusia yang penuh kemuliaan itu menyeru, "Berhentilah bermain bola, segera kerjakan shalat." Setengah tidak percaya aku sedang bertemu Rasulullah, aku berusaha melihat wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Ketika jarak sudah sangat dekat aku terbangun.

Itulah 3 mimpi yang rasanya akan sulit hilang dari memoriku.

Sunday, June 15, 2008

Ingat Masa Lalu

Dua hari terakhir ini, aku terus-menerus teringat pada masa lalu. Aku teringat pada nenek, pakde dan bude, yang seluruhnya sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Ketika kondisi fisik sedang menurun, perasaanku memang seperti ini: menjadi sangat sensitif.

Sabtu pagi aku bermimpi melihat kecelakaan, dua bus tabrakan, dan aku melihat dengan jelas para korban serta kondisi busnya yang rusak parah. Langsung saja saya menafsirkan, apakah saya akan mendapat kecelakaan di jalan hari ini? Kebetulan, Sabtu siang agendanya adalah jalan-jalan ke puncak. Raisa sudah lama mengajak jalan-jalan ke Gunung Mas di kawasan puncak untuk naik kuda di tengah kebun teh.

Alhamdulillah, malam ini aku sekeluarga sudah kembali ke Jakarta dan ternyata tidak ada masalah apa-apa. Apa yang aku rasakan tadi pagi hanyalah perasaan buruk saja, perasaan was-was yang semestinya tidak perlu dirisaukan. Itu bukanlah sebuah "tanda-tanda".

Berbeda saat aku hendak mencoba naik kereta api Jakarta-Bogor. Saat itu aku punya dua pilihan, naik mobil atau naik kereta api dan dijemput kawan di stasiun Bogor. Karena sudah lama tidak naik kereta api, akhirnya aku memilih naik kereta dengan alasan sederhana: karena ingin mencoba.

Menjelang berangkat, tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa sebabnya. Badan terasa bergetar untuk beberapa saat dan berulang beberapa kali. Aku abaikan "tanda-tanda" ini, dan aku meluncur ke stasiun Kalibata diantar sopirku.

Ketika kereta mendekati stasiun UI, tiba-tiba aku ingin telepon kawanku untuk bersiap-siap menjemput di stasiun Bogor. Ketika merogoh saku, handphone kecilku tidak ada. Lalu aku serta merta merogoh tas kecilku, ternyata aku dapati HP Nokia 9500-ku juga sudah raib.

Sejak itu aku sering mencoba membaca "tanda-tanda".
***
Seringkali, saat sedang sensitif aku lantas teringat pada masa-masa laluku, masa kecil saat hidup bersama nenek; masa-masa yang sangat indah dan penuh kebahagiaan. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang sangat guyub dan memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat, adalah sebuah pengalaman hidup yang tidak mungkin terlupakan sepanjang masa.

Beruntung, aku termasuk orang yang bisa mengingat masa-masa kecilku dengan jelas. Aku masih bisa mengingat kejadian saat aku jatuh dari jembatan sungai kecil yang ada dekat rumah nenek, lalu telapak kaki kananku tertusuk jarum besar sepanjang 5-7 cm yang sudah berkarat. Setelah diangkat dari sungai, aku dibawa masuk ke belakang rumah dan dicabut jarumnya dekat sumur. Setelah jarum itu dicabut oleh Bibi Ijah, aku dibawa ke mantri kesehatan untuk disuntik agar tidak terkena tetanus. Kata ibuku, peristiwa itu terjadi saat aku berumur sekitar 3 tahun.

Aku juga masih ingat, saat setiap pagi menjelang subuh berjalan sendirian dari rumah orangtuaku menuju rumah nenekku yang berjarak sekitar 500-700 meter, melewati sebuah kuburan, tempat yang saat itu sangat ditakuti anak-anak kecil. Saat aku berumur 4 tahun, orangtua pindah rumah dan hidup terpisah dengan nenek. Tetapi, karena aku lahir dan besar di rumah nenek, aku tidak mau pisah dari nenek. Karena itu, setiap malam aku tidur bersama orangtua, menjelang subuh kembali ke rumah nenek dan bermain di sana sampai sore.

Aku bahkan masih bisa merasakan kebahagiaan dan suasana meriahnya hari Idul Fitri di rumah nenek bersama seluruh saudara dan handai taulan. Perasaan ini yang membuatku selalu menangis saat mendengar suara takbir di malam Idul Firi atau Idul Adha. Bukan saja suara takbir itu seolah memiliki daya magis untuk telingaku, tetapi lantunan gema takbir yang syahdu itu sekaligus mampu menghidupkan seluruh memori masa kecilku dalam sebuah ingatan kejadian dan perasaan dalam waktu yang bersamaan.

Saat-saat sedang rindu pada kehidupan masa lalu seperti itu, aku mencoba kembali memandang perjalanan hidupku sejak kecil, menjelang masuk SD, saat sekolah SD, terus hingga aku berangkat ke Amerika Serikat, ketika aku harus memulai hidupku di atas kakiku sendiri. Aku bayangkan satu persatu wajah seluruh saudara yang pernah singgah dalam hidupku, yang sebagian sudah meninggal, sebagian besar lainnya sudah hidup sendiri-sendiri dan terpisah oleh jarak yang cukup jauh.

Rasanya hidupku sudah sangat panjang sekali. Ada perasaan ingin pulang kembali ke kampung halaman dan hidup sederhana di sana, melepas dahaga batin hidup di kota metropolitan seperti Jakarta ini :)

Friday, May 23, 2008

Tajsimu al-A'mal: Karma Dalam Islam

Sabtu (17/5) saya diajak Chairudin hadir di pengajian Kang Jalal, di Islamic Cultural Center, Buncit Raya, Jakarta Selatan. Materi yang disampaikan oleh Kang Jalal adalah tajsimu al-a'mal, yang kalau diartikan kira-kira karma dalam Islam.

Anda pasti sudah tahu kata karma. Karma yang biasa digunakan adalah karma dalam konsep teologi Hindhu: kebaikan akan berbuah kebaikan, keburukan akan dibalas keburukan. Bedanya, dalam konsep Hindhu, karma menimpa hanya kepada dirinya, keluarganya, dan keturunannya. Dalam konsep Islam, tajsimu al-a'mal, amal baik maupun amal buruk, berakibat bukan saja kepada dirinya, keluarganya dan keturunannya, tetapi juga dapat menimpa warga bumi lainnya.

Kang Jalal mencontohkan kisah nabi Musa dan nabi Khidir membangun rumah yang bobrok dalam Al-Qur'an, sebagai contoh bagaimana amal baik berbuah kebaikan. Rumah itu adalah rumah anak yatim dan di bawah rumah itu tertimbun harta benda yang harus dilindungi dan dimanfaatkan oleh anak yatim itu. Menurut para mufassir, anak yatim itu adalah keturunan (ada yang berpendapat anak) dari seorang yang sangat shaleh di jaman sebelumnya. Dalam hal ini, yang berbuat baik adalah kakek bahkan mungkin kakeknya kakek, tetapi anak yatim itu turut menikmati buah kebaikan leluhurnya.

Contoh perbuatan buruk yang berakibat pada musibah atau bencana yang menimpa manusia lainnya dalam Al-Qur'an dan dalam kehidupan nyata cukup banyak, di antaranya (1) anjuran dalam Al-Qur'an untuk berdoa agar terhindar dari musibah yang diakibatkan oleh kejahatan orang lain yang tidak saja menimpa mereka yang berbuat jahat tetapi juga menimpa penduduk bumi lainnya, (2) ayat yang berbunyi "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yg benar). --QS Ar-Ruum 41. (3) ulah beberapa gelintir koruptor di Indonesia yang telah menyengsarakan rakyat banyak, (4) kebijakan publik oleh segelintir orang yang berakibat pada rusaknya lingkungan; dan banyak lagi contohnya.

Akan tetapi, tidak semua amal manusia itu dibalas secara langsung di dunia ini; ada sebagian yang ditangguhkan pembalasannya di akhirat kelak.
Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun[1262] akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. --QS Fathir 45.
Menurut Kang Jalal, amal-amal kita, yang bentuknya abstrak ini, di alam kubur kelak berubah menjadi wujud yang nyata, seperti kita melihat benda-benda di dunia ini. Jika amal baik maka ia akan berwujud sesuatu yang baik, indah dipandang, dan bisa diajak bercakap-cakap. Jika amal buruk maka ia akan berwujud sesuau yang menakutkan dan setiap kali melihatnya dapat menjadi siksa dan penyesalan bagi pelakunya.

Maka itu, berbuat baiklah agar mendapat teman yang baik-baik di akhirat kelak:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya. QS Fushshilat 8.

Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh (berada) di dalam taman-taman surga, mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka. Yang demikian itu adalah karunia yg besar. QS Asy-Syura 22.

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hormatilah tamumu! (Hadis)

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah menyakiti tetangga! (Hadis)

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah putuskan silaturahmi! (Hadis)

Friday, May 16, 2008

Doaku Dikabul

Tahun 2006, aku menawar sebidang tanah dan rumah yang persis berada di belakang rumahku. Aku berniat membelinya karena aku ingin rumahku menghadap ke dua jalan sekaligus, jalan Kalibata Utara I (d/h gang Masjid) dan jalan Duren Tiga Selatan (d/h gang Haji Maun) di bilangan Kalibata. Rumah yang sekarang menghadap ke selatan, ke Kalibata Utara I.

Saat itu, aku sepakat membeli tanah seluas 160 m2 itu dengan harga Rp 600 juta. Pembayaran akan dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan sejak kesepakatan dibuat, menunggu uang saya yang dipinjam Mr X dikembalikan. Ndilalah kersaning Allah, pada bulan b-nya, Mr X tidak bisa mengembalikan uang saya sesuai janji, bahkan hingga sekarang.

Setelah direnungkan lebih dalam lagi, kesepakatan waktu itu sepertinya terlalu terburu-buru. Saya terlalu bernafsu untuk memiliki tanah tersebut. Apalagi, ada sedikit niatan ingin manas-manasin sejumlah kawan yang waktu itu mufaraqah meninggalkan saya dalam perkongsian bisnis. Saya ingin menunjukkan, tanpa mereka, saya juga bisa tetap eksis :) :)

Apalagi, sebelah timur tanah itu ada kuburan keluarga pemilik tanahnya berukuran 4x10 m2. Istriku sedikit keberatan karena itu. Walhasil, singkat kata singkat cerita, traksaksi itupun batal.

Namun demikian, setiap saya duduk di teras belakang, rasa ingin memiliki tanah yang menghadap Jl Duren Tiga Selatan masih terus saja menyala. Belakangan, keinginan membeli tanah itu bergeser ke tanah sebelahnya yang ada di sisi barat. Kebetulan, posisi tanah tersebut, tanah belakangnya bersinggungan dengan tanah belakang saya sepanjang 4 meter.

Setiap melihat tembok pembatas sebelah barat tersebut, saya selalu berandai-andai, sekiranya tanah itu bisa menjadi milik saya, tembok sebelah barat bisa saya jebol sehingga dua tanah ini tersambung. Kelak saya bisa memasuki rumah saya dari dua pintu, bisa dari pintu selatan Jl. Kalibata Utara I atau dari pintu utara Jl. Duren Tiga Selatan.

***
Tidak ada angin tidak ada hujan, 3 minggu lalu datanglah pak RT ke rumahku. "Pak Haji, saya diberi kuasa untuk menjual tanah yang di belakang. Tapi saya ingin pak Haji yang membeli," kata pak RT. Buru-buru saya memotong, saat ini saya sedang tidak punya uang. Bayangan saya, tanah itu pasti dijual di atas Rp 900 juta karena luasnya 270 m2.

Pak RT buru-buru menambahkan, "Harga jual terserah saya. Saya mau jual Rp 500 juta biar cepat laku, ditambah biaya pengurusan surat-surat ke Kelurahan dan Kecamatan sekitar Rp 25 juta." Saya cukup kaget mendengar harga yang ditawarkan: Rp 500 juta untuk tanah seluas 270 m2 di Kalibata? Saya langsung membandingkan dengan harga tanah yang persis di belakang rumahku, Rp 600 juta untuk tanah seluas 160 m2, itupun harga 2 tahun yang lalu.

"Tetangga sebelah rumah mau membeli, cash, tapi saya maunya Pak Haji aja nyang beli," kata Pak Daus, RT saya itu, dengan aksen Betawinya. "Harganya emang murah, tapi saya gak ada duit pak RT," jawabku cepat. "Pembayaran gampang, terserah pak Haji aja deh gimana baiknya," bujuk pak RT. Merasa didesak, akhirnya saya minta waktu 2 hari buat berpikir. Gambaran terdekat, saya terlebih dulu harus menjual tanah saya yang di Bumiayu dan di Serpong, baru kemudian cari tambahan di Jakarta.

Setelah 2 hari, pak RT datang lagi ke rumahku. Aku sampaikan kepada dia, bisa membeli tapi dengan 2 kali pembayaran. Pertama membayar DP sebesar Rp 200 juta dan biaya untuk pengurusan surat-surat, sisanya saya minta waktu 4 sampai 6 bulan untuk melunasinya. Pak RT langsung setuju. Kamipun bersalaman.

Setelah saya membayar DP Rp 200 juta, malamnya saya tidak berhenti untuk terus memanjatkan puji syukur kepada Tuhan. Luar biasa, Tuhan Maha Mendengar. Ini adalah sebuah doa yang terkabul. Memang saya tidak pernah secara spesifik berdoa agar bisa membeli tanah di belakang rumah itu. Tetapi, setiap saya melihat tembok pembatas, hati saya selalu berharap, seandainya tanah ini menjadi milikku. Kini, meski belum lunas, tanah itu benar-benar telah menjadi milikku. Bahkan, aku bisa membelinya dengan harga yang relatif sangat murah, jauh di bawah NJOP. Sungguh luar biasa.

Puji Tuhan! Alhamdulillah.

Saturday, May 10, 2008

Saat-saat Menjelang Ajal Menjemput Muhammad SAW


Dengan suara yang lemah dan terbata-bata, pagi itu Muhammad saw, rasul terakhir, memberikan nasehat kepada sahabat-sahabatnya:
"Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al-Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berarti ia mencintai aku. Dan bersamaku kelak, orang-orang yang mencintaiku, akan masuk ke dalam surga bersama-sama.”
Sesudah mengakhiri khutbahnya, dengan tatapan yang teduh dan penuh kasih, Muhammad menatap wajah sahabatnya satu per satu. Bertahun-tahun Rasulullah melakukan kebiasaan mengabsen sahabatnya di pagi hari. Tetapi tatapan di pagi hari itu, lain dari biasanya.

Ada perasaan yang begitu berat mengganjal di hatinya. Ada perasaan tidak ingin hidup terpisahkan dari mereka. Siapa yang sanggup, berpisah dengan orang-orang terkasih, yang telah menemani dalam suka dan duka, selama lebih dari 22 tahun? Ia seperti ingin terus berada di tengah-tengah para sahabatnya, yang telah rela mengorbankan apa saja yang menjadi milik mereka, demi tegaknya risalah yang diemban rasul-Nya.

Suasana senyap. Para sahabat merasa, waktunya telah tiba. Sesudah haji wada, yang juga menyiratkan berakhirnya risalah kenabian Muhammad, para sahabat masih terus menunggu, kapan tiba waktunya. Dan kini mereka merasa, mungkin inilah saatnya.

Abu Bakar mamandang Rasulullah. Matanya menatap nanar dan berkaca-kaca. Umar yang gagah dan pemberani, sesak dadanya, berusaha menahan tangis sekuat daya. Utsman terpaku dalam diam. Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Semua yang hadir tidak mampu megeluarkan kata-kata. Manusia tercinta itu sudah berada di ujung yang paling akhir dari perjalanannya. Usai sudah Muhammad menunaikan tugasnya.

Tatkala Rasulullah berjalan limbung turun dari mimbar, Ali dan Fadhal dengan sigap segera menangkapnya. Rasulullah segera dipapah masuk ke dalam rumahnya, yang hanya berjarak beberapa meter dari mimbarnya, di Masjid Nabawi yang mulia. Para sahabat semakin yakin, saatnya telah tiba.

Mereka terus berkumpul, di sekitar rumah Rasulullah, menunggu detik-detik berlalu. Matahari sudah meninggi, tetapi pintu rumah Nabi masih saja tertutup. Manusia agung yang mampu hidup lebih mewah dari segala raja, memilih tidur beralaskan tikar, terbaring lemah di dalamnya, bersama keluarganya yang mulia. Keringat yang mengucur dari keningnya membasahi pelepah kurma yang menjadi bantalnya.

Dari arah luar, tiba-tiba terdengar seorang laki-laki berseru, "Assalamu'alaikum!" Fatimah, putri Nabi, keluar menemuinya. "Boleh saya masuk?” tanya laki-laki itu. Fatimah tidak memberinya izin, karena ayahandanya sedang terbaring lemah. “Maafkanlah, ayahandaku sedang demam,” kata Fatimah sambil membalikkan badan dan segera menutup kembali pintunya.

Fatimah kembali menemani ayahnya. Rasulullah sudah membuka matanya saat Fatimah datang menghampiri. Ia bertanya pada putrinya, “Siapakah tadi yang datang wahai putriku?” Fatimah menjawab, “Aku tidak tahu, baru sekali ini aku melihatnya." Lalu Rasulullah menatap wajah putrinya dalam-dalam, layaknya seorang ayah yang hendak pergi meninggalkan anaknya untuk jangka waktu yang cukup lama.

“Ketahuilah wahai putriku, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan kita di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah. Mendengar itu, meledaklah tangis Fatimah, yang selama ini ditahannya.

Saat malaikat maut datang menghampiri, Rasulullah bertanya, mengapa Jibril tidka ikut bersamanya. Jibril sedang bersiap di atas langit untuk menyambut datangnya kekasih Allah, pamungkas para nabi dan Rasul, penghulu dunia ini. Lalu dipanggilah Jibril turun ke bumi mendekat kepada Rasulullah.

Dengan suaranya yang lirih Rasulullah bertanya, "Wahai Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Jibril menjawab, "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti kedatangan ruhmu. Semua pintu surga terbuka lebar menanti kedatanganmu."

Jawaban itu tidak memuaskan Rasulullah. Di wajahnya masih terlukis kecemasan. “Apakah engkau tidak suka mendengar kabar ini, wahai kekasih Allah?” Jibril bertanya dengan heran. Nabi menukas, "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku sepeninggalku!"

“Engkau tidak perlu khawatir, wahai Rasul Allah. Pernah Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” ujar Jibril menghibur.

Waktu semakin memburu. Malaikat maut didesak waktu. Ia harus segera menunaikan tugasnya. Apabila ajal telah tiba, tidak ada yang bisa menahan barang sedetik, tidak juga ada yang mampu mengulurnya, demikian janji Allah kepada seluruh manusia. Perlahan-lahan Israil menarik ruh Rasulullah dari jasadnya yang semakin melemah. Rasulullah bersimbah keringat di sekujur tubuhnya. "Aduhai Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini."

Rasulullah mengaduh perlahan. Suaranya lirih. Mata Fatimah Az-Zahra terpejam. Ali tertunduk dalam diam di sampingnya. Malaikat pengantar wahyu tak kuasa melihat penderitaan kekasih Allah, dibuangnya mukanya jauh-jauh.

"Apakah engkau jijik melihatku, hingga kau palingkan wajahmu dariku?" tanya Nabi kepada Jibril. "Siapa yang mampu melihat penderitaan kekasih Allah direngut nyawanya?" ujar Jibril.

Tak kuasa menahan sakit, Rasulullah memekik. "Ya Allah, betapa sakitnya maut ini. Timpakan semua siksa maut ini kepadaku. Jangan kau berikan kepada ummatku." Sekujur tubuh Rasulullah, dari kaki hingga dada, sudah mulai terasa dingin. Di penghujung ajalnya, ketika nafas tinggal satu-satu meninggalkan rongga dadanya, bibirnya bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Ia masih ingin mengatakan sesuatu. Menantu Rasulullah yang berada di sampingnya segera mendekatkan telinganya, mendengar dengan sangat seksama. "Uushiikum bis-shalah, wa maa malakat aimanukum." Itulah kalimatnya yang keluar. "Peliharalah shalat, dan santunilah budak-budak di antaramu."

Di luar rumah, suara tangis para sahabat mulai terdengar bersahutan. Di sisa terakhir tenaganya yang tertinggal, Rasulullah masih berupaya mengucapkan sesuatu. Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai membiru. "Ummatii, ummatii, ummatiii..." "Umatku, umatku, umatku..."

Nyawapun meregang, lepas dari jasad Rasulullah. Tangispun meledak. Semua sahabat merasa telah kehilangan manusia yang paling mereka cintai, manusia yang memiliki sebaik-baik akhlaq, yang sejak muda bergelar Al-Amin, Yang Terpercaya.

***
Muhammad Rasulullah adalah manusia yang dicintai dan dirindukan banyak orang, sudah barang tentu orang Islam, di seluruh dunia, sejak dulu hingga kini. Seperti dilukiskan Taufik Ismail dalam syairnya yang dinyanyikan Bimbo:
Rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terperi
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja

Rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terperi
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini

Cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja

Rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terperi
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
Lagu ini tersedia di YouTube, sila klik Rindu Rasul di sini. Perlahan aku turut menyanyikan lagu ini. Tak terasa, air mataku meleleh, turut menangis ....

Allahumma shalli wa sallim wa barik 'ala Muhammad, wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'iin.

Catatan:
Tulisan ini saya dapatkan dari sebuah blog --juga tersedia di puluhan blog lainya dengan isi tulisan yang sama-- yang kemudian saya "ketik ulang" sesuai dengan selera penuturan saya. Menurut Yudi Helfi, ada buku dengan penuturan serupa berjudul "Detik-Detik Terakhir Kehidupan Rasulullah" Karya Firdaus AN, seorang tokoh Sarikat Islam (SI) dari Sumatera Barat. Jika ada yang tahu sumber aslinya, sila menambahkan di ruang Komentar. Suwun.

Saturday, May 03, 2008

Mbah Badri

Mbah Badri adalah nama panggilan almarhum kakekku. Pada batu nisannya tertulis nama: Badri bin H. Abdul Gani. Ia meninggal tahun 1966, dua tahun sebelum aku lahir. Praktis, saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Tetapi, saya sering mendengar dari nenek dan ayah cerita seputar kakek. Beberapa cerita yang sering saya dengar di antaranya:
  1. Kakek pernah memelihara sejumlah jin. Setelah kakek mengenal Muhammadiyah, ia buang seluruh jin yang ia pelihara. Tetapi, ada satu jin yang tidak mau dibuang. Atas kehendak sendiri, konon, jin tersebut ingin terus bersama keluarga dan anak cucu Mbah Badri. Jin itu biasa dipanggil dengan nama Mbah Gombal. Akhirnya kakek mengijinkan dengan syarat tidak akan menganggu dan mengajak anak cucunya pada kesesatan.

  2. Suatu hari ada tetangga menyelenggarakan pesta di rumahnya. Saya dulu lupa bertanya, itu acara perkawinan atau sunatan, dua acara yang biasanya dipestakan di rumah. Pada acara itu ada orkes yang dipanggil untuk menghibur para tamu. Karena suaranya cukup bising, kakek saya meminta agar orkes tersebut ditutup menjelang maghrib, tidak boleh sampai malam.

    Ternyata, tetangga ini tidak menghiraukan seruan kakek. Sesudah maghrib, suara musik kembali bergema dengan keras di kampung itu. Mendengar masih ada suara musik yang cukup keras, kakek langsung masuk kamar. Tidak lama kemudian, listrik di rumah pemilik hajatan seketika padam. Mereka panik karena selepas isya masih ada acara walimah. Mereka segera menghubungi pihak PLN. Setelah dicek petugas PLN, tidak ditemukan satupun adanya kerusakan.

    Setelah semua panik dan ribut, akhirnya ada yang teringat pada himbauan kakek saya. Orang yang memiliki hajat tersebut lantas menemui kakek dan meminta maaf serta berjanji akan menghentikan suara musiknya yang keras itu. Tidak lama sesudah itu, lampu di rumah orang tersebut kembali menyala seperti sedia kala.

  3. Setelah menjadi warga Muhammadiyah, kakek saya betul-betul memerangi khurafat. Salah satu aksi yang ia lakukan adalah mendatangi sebuah candi (pohon besar), namanya Candi Pancurawis, yang sering dijadikan warga sebagai tempat untuk memberi sesajen dan memohon sesuatu. Di sana ia mengencingi tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Bumiayu tersebut.

    Sepulang dari mengencingi tempat itu, saat kembali ke rumah tiba-tiba kemaluannya membengkak, seperti habis terkena sengatan binatang. Ia merasa ditantang oleh "penghuni" tempat keramat tersebut. Setelah menyembuhkan sakitnya selama seminggu, ia kembali datangi tempat itu, dan kembali ia kencingi tempat keramatnya. Sepulang dari candi itu, kembali kemaluannya membengkak. Setelah sembuh, kembali ia ke tempat itu dan mengencinginya sekali lagi.

    Setelah yang ketiga kalinya mengencingi, tidak ada lagi tantangan dari "penguasa" candi tersebut. Kemaluan kakek tidak lagi membengkak seperti sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan kakek kepada warga Bumiayu bahwa tempat itu tidak keramat akhirnya tersebar ke masyarakat.

  4. Kakek tidak pernah berbohong meski kepada anak kecil. Misalnya, ia tidak membolehkan nenek, Mbah Nirah, menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu agar si anak tidak rewel atau segera tidur.

    Kakek juga tidak pernah su'udhon dengan orang. Suatu ketika orang gunung yang dititipi kambing datang dan memberitakan seluruh kambingnya mati terkena penyakit. Mendengar berita itu, kakek percaya begitu saja. Tidak terbersit sama sekali bahwa ini akal-akalan orang gunung tersebut untuk kembali mendapatkan uang dari kakekku. Padahal, kata ayahku, belum tentu kambingnya mati. Mungkin kambingnya dijual atau bahkan masih hidup semuanya di atas gunung sana, di lereng gunung Slamet. Kakekku tidak marah dan tidak juga berusaha langsung mengecek kebenaran matinya seluruh kambing tersebut. Sebaliknya, kakek malah memberi uang untuk membeli sejumlah kambing baru agar dipelihara orang gunung tersebut.

  5. Setiap hari Jumat, kakek memiliki dua kebiasaan: (1) memotong seekor kambing dan (2) sesudah shalat Jumat mengundang Kyai dari Masjid Agung Baiturrahim untuk makan di rumah. Tradisi yang pertama ia lakukan untuk menjaga silaturahmi keluarga besarnya. Tradisi yang kedua ia lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada ulama. Kalau sang Kyai bersedia, ia akan langsung mengajaknya untuk bersantap aneka hidangan kambing di rumahnya.
***
Kamis (1/5) kemarin saya mengunjungi tante saya di Poncol, Senen, Jakarta Pusat. Sebagai anak perempuan terakhir dari Mbah Badri, ia termasuk yang menyaksikan hari-hari terakhir menjelang wafatnya almarhum. Saya mendengar kisahnya dengan mata berkaca-kaca dan seketika tumbuh rasa bangga dengan kakek, meski aku tidak pernah bertemu dengannya.

Inilah hari-hari terakhirnya:
Dua hari menjelang wafatnya, dompet sabuk (sekarang mungkin seperti tas pinggang) yang selalu ada di pinggang kakek masih penuh dengan uang. Hari itu ia meminta anaknya memanggil tetangga dan saudara yang tidak mampu satu persatu untuk datang menemui kakek yang sedang terbaring sakit di atas tempat tidurnya. Uang yang pada saat itu tergolong sangat banyak tersebut tidak diberikan kepada nenekku, tetapi justru dibagi-bagikan kepada saudara dan tetangga yang ia panggil, hingga habis seluruh uang yang ada di tasnya itu.

Sehari menjelang wafat, ia meminta dimandikan dan digosok seluruh tubuhnya dengan batu. Ia sempat mengatakan kepada anaknya: "Orang-orang sekarang kalau memandikan mayat sering tidak bersih." Meski begitu, tidak ada anak-anaknya yang menduga bahwa kakek akan meninggal. Kalimat itu dianggap sebagai kalimat biasa, bukan sebuah pesan dari kakek yang akan segera menghadap kepada sang Khaliq.

Beberapa detik sebelum meninggal, kakek bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Dengan keras ia membaca syahadat "Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasulullah..." Sesudah membaca syahadat, kakek kembali menidurkan badannya dengan posisi tangan sedekap di atas dadanya. Sejenak kemudian orang-orang mengatakan bahwa kakek telah tiada. Ia meninggal dengan sangat mudah dan tenang, disaksikan dan di tengah-tengah keluarga yang sangat ia cintai.
Semua cerita itu menjelaskan, mengapa banyak orang desa atau orang gunung, dari tukang becak, petani hingga pedagang, seketika menghormatiku begitu mengetahui aku adalah cuku dari Ki Badri, demikian mereka menyebutnya.

Mudah-mudahan akupun bisa mengikuti jejaknya dan ikutan khusnul khatimah :)

Monday, April 28, 2008

PT Arto Tambang Mandiri (ATM)

Hari ini, Ivan dan saya menyerahkan fotocopy KTP kepada Muzani. Rencananya, kami mau mendirikan perusahaan baru untuk mengelola tambang batubara di daerah Lampung, bersama seorang kawan Muzani di sana yang katanya dekat dengan Bupati Lampung Selatan.

Untuk memastikan bisnis ini, kemarin saya sudah cek ke Willy, kawan baik dari Bumiayu yang sudah cukup menguasai tambang dan pasar batubara, mengenai potensi batubara di daerah Lampung itu. Menurut Willy, kalau bisa mendapatkan konsesi lahan di derah Lampung, ada 1 berita buruk dan 1 berita bagus.

Berita buruknya, batubara di daerah yang akan diusahakan itu memiliki kalori yang rendah dan sulfur yang tinggi; keduanya merupakan indikator yang kurang sedap. Makin rendah kalori harga makin turun, makin tinggi sulfur harga makin berkurang. Sebaliknya, semakin tinggi kalori dan semakin rendah sulfur harganya semakin mahal.

Berita baiknya, untuk speksifikasi batubara dengan kalori rendah dan sulfur tinggi, kebetulan, untuk saat ini sudah ada pembelinya, meski dengan harga yang cukup rendah. Setelah dihitung-hitung, dengan harga yang paling rendah sekalipun, tetap saja menghasilkan uang yang tidak sedikit :)

Tahap awal ini dibutuhkan dana sebesar Rp 500 juta untuk mengurus perijinan tambang batubara di atas lahan seluas 5000 hektar yang dijanjikan. Kami sudah sepakat, Muzani, Ivan dan saya masing-masing akan menyetor modal sebesar Rp 133 juta, sedang kawan Muzani di Lampung akan menyetor Rp 100 juta. Kepemilikan sahamnya adalah Muzani 30%, kawannya di Lampung 30%, Ivan dan saya masing-masing 20%.

Nama perusahaannya adalah PT Arto Tambang Mandiri (ATM). Harapannya, perusahaan ini bisa menjadi ATM kami kalau kelak terjun menjadi politisi. Banyak politisi menjadi korup dan tidak tahan dengan godaan uang suap karena mereka tidak memiliki sumber uang yang kuat di belakangnya. Itu yang paling saya takuti. Seperti sudah saya tekadkan sejak dulu, saya ingin terjun mengabdi kepada masyarakat menjadi politisi, setelah saya cukup kuat secara finansial, agar saya tidak menjadi politisi yang korup dan bisa dibeli. Na'udzubillahi min dzalika !!!

Nama ini ditemukan saat Muzani dan saya selesai shalat dhuhur-ashar di sebuah masjid di daerah Indramayu Minggu (27/4) sore kemarin sepulang dari Tegal. Selesai shalat, tiba-tiba Muzani menanyakan nama perusahaan yang akan didirikan untuk mengurus tambang batubara ini. Spontan saya menjawab Arto Tambang Mandiri Indonesia, biar mirip dengan Arto Selaras Mandiri Indonesia (Asmindo). Muzani langsung mengoreksi, tidak perlu Indonesia, cukup Arto Tambang Mandiri dan disingkat ATM.

Mudah-mudahan lancar dan berkah. Amin! :)

Monday, April 21, 2008

Jawara Komik

Dalam waktu dekat, mudah-mudahan Asmindo dapat meluncurkan comics online dengan nama Jawara Komik yang bisa diakses melalui web maupun wap. Dengan layanan ini, penggemar komik dapat membeli dan membaca komik secara online, melalui komputer yang tersambung ke internet maupun melalui handphone.

Untuk dapat membaca komik yang tersedia di Jawara Komik, pengguna terlebih dulu harus mendapatkan password yang dapat dibeli melalui layanan sms. Caranya mudah, ketik KOMIK (spasi) KODE_KOMIK kirim ke 3689. Tarip yang berlaku antara Rp 3.000 hingga 10.000. Yang pasti, dibanding dengan membeli komik cetak, harganya jauh lebih murah.

***
Kamis (17/4) lalu, tim Asmindo yang terdiri dari Bima, Hakam, Novri, dan saya memberikan presentasi di depan tim dari Gramedia Penerbit Utama (GPU). Mereka cukup surprise dengan desain yang kami presentasikan, terutama saat kami memperlihatkan tampilan komiknya yang dapat dibuka seperti layaknya membuka lembaran komik.

Sambil bercanda saya menyampaikan, setidaknya ada dua manfaat comics online, yaitu:
  1. Melestarikan hutan kita. Dengan comics online kita tidak lagi memerlukan kertas untuk mencetak. Dengan berkurangnya kebutuhan kertas, maka kebutuhan menebang hutan juga akan berkurang.
  2. Mengembangkan otak kanan bangsa Indonesia. Ke depan, bangsa kita membutuhkan lebih banyak orang yang kreatif, salah satu ciri kelebihan yang dimiliki oleh mereka yang berotak kanan. Seperti sudah diketahui secara umum, orang berotak kanan cenderung (tend to be) subjective, creative, intuitive dan holistic. Sementara itu, orang berotak kiri cenderung analytical, logical, rational dan objective.
Mudah-mudahan, dalam waktu dekat sudah ada beberapa komik yang dapat dijual secara online. Kendala utamanya mungkin soal ijin. Mereka harus meminta ijin tersendiri untuk dapat menjual komik secara online atau mobile kepada prinsipalnya.

Monday, March 24, 2008

Terimakasih, Anda Telah Meminta Bantuanku!

Jumat (21/3) sore, di tengah saya lagi tidur-tiduran karena sakit diare dan masuk angin berat, yang sebenarnya sudah mulai saya rasakan sejak Jum'at pagi, ada sms masuk yg secara ringkas bunyinya:
"Maaf Bang, saya Fulan, mohon bantuan Abang Rp xxx untuk berobat ke rumah sakit buat si Pandu. Trims"
Sedetik setelah membaca sms itu saya agak tinggi tensinya. Siapa kamu meminta uang kepadaku?! Pakai menentukan nominal lagi!

Saya memang baru bertemu sekali dengan si Fulan saat dia datang ke rumah menawarkan sebuah kerjasama beberapa minggu yang silam. Saya tidak mengenal dia sebelumnya. Hanya karena dianggap satu alumni, dia sudah merasa dekat dengan saya, dan dianggap sudah saling percaya.

Sebenarnya, saya paling tidak suka dengan orang yang merasa dekat dengan saya hanya karena mengandalkan faktor alumni, tanpa sebelumnya pernah mengenal atau bekerjasama dan menunjukan kinerjanya di depan saya. Seolah-olah, dengan menjadi satu alumni, rasa saling percaya sudah ada di tangan, sudah taken for granted.

Padahal, untuk bisa dipercaya, apalagi dalam urusan mengelola uang, orang tentu perlu investasi terlebih dulu: mulai dari perkenalan, membangun pertemanan, ada satu atau dua kerjasama, hingga akhirnya tumbuh perkawanan dan rasa saling percaya itu.

***
Alhamdulillah, tidak sampai 3 detik, analisa negatif itu segera saya buang dalam merespon sms tadi. Segera saya istighfar dan mengucap puji syukur pada Tuhan.

Kataku dalam hati, "Puji Tuhan. Masih ada orang datang meminta kepadaku, berarti masih ada orang yang percaya kepadaku. Tuhan telah mengirimkan orang agar aku bisa bersedekah, meski aku sedang terbaring sakit di rumah. Tidak banyak kesempatan seperti ini datang kepada setiap orang. Momentum ini hanya datang satu kali."

Sungguh, saya langsung teringat Haryo, Direktur Utama PT Delapan Pilar Mas, yang begitu percaya kepada saya. Jika bukan karena adanya karunia Tuhan, saya tentu tidak akan dipercaya oleh Haryo. Jika tidak dipercaya Haryo, tentu saya tidak akan memiliki dan mengelola Asmindo seperti sekarang ini.

Dipercaya oleh orang lain adalah sebuah kenikmatan, termasuk dipercaya sebagai orang yang bisa memberi sumbangan :)

Bayangkan, jika Anda hidup berkecukupan, tetapi tidak ada teman yang datang menghampiri Anda! Bayangkan, jika Anda hidup berkecukupan, tetapi tidak ada orang yang datang meminta bantuan kepada Anda! Tidak ada orang yang datang kepada Anda, karena mereka tidak percaya bahwa Anda adalah tempat untuk berbagi duka dan tempat untuk meminta bantuan.

Kenapa aku tidak bisa menerima kepercayaan dari si Fulan ini? Saat ia datang meminta kerjasama, wajarlah saya menolak karena urusannya bisnis. Tapi kali ini, ia datang meminta bantuan untuk mengobati orang lain yang sedang sakit. Kenapa saya tidak harus percaya?

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung meminta nomor rekeningnya...

Ya Fulan, aku benar-benar berterimakasih kepadamu! Terimakasih atas kepercayaannya!

***
Malamnya, saat melihat film The Passion of the Christ yang ditayangkan Trans TV pada hari Paskah, Jum'at (21/3) malam pukul 21.00, saya mendapatkan satu kalimat dari Yesus kepada para sahabatnya yang cukup baik untuk direnungkan:
"Sayangilah musuh-musuhmu. Kalau engkau hanya menyayangi orang yang juga menyayangimu, lalu apa upahmu?"
Maksudnya jelas. Tanpa berkeringat, kenapa kita harus mendapat upah? Tanpa pengorbanan, kenapa kita harus meminta imbalan dari Tuhan?