Sunday, July 30, 2006

Gemar Keroncong Menurun

Beberapa minggu lalu, pas Danu, sopirku, libur karena harus mendaftarkan anaknya mencari sekolah, terpaksa aku memakai Nono, sopir mobilnya anak-anak, karena istriku tidak setuju kalau sopir mobilnya anak-anak membawa mobil kerjaku. Mobil yang dibawa Nono dulu mobil kerjaku juga, sebelum ada mobil kedua yang aku pakai buat bekerja sekarang ini. Di mobil itu masih banyak kaset-kaset yang dulu suka aku putar.

Ketika aku tekan cassette player, terdengar lagu keroncong. Aku tanya sama sopirku, "Siapa yang memutar lagu keroncong?". ”Shemissa,” katanya. Anakku yang tertua sering memutar lagu keroncong kalau berangkat atau pulang sekolah di SMP 12, Kebayoran Baru. Aku tersenyum. Kegemaranku menurun. Kalau aku gemar keroncong mungkin tidak mengherankan, karena aku lahir pada tahun 1968. Tapi anakku, ia kelahiran tahun 1993.

Aku sendiri suka lagu keroncong karena sejak kecil sering mendengar ayahku menyanyikan lagu keroncong, seperti Bengawan Solo, Rangkaian Melati, dan Aryati. Ketika sudah dewasa dan berkeluarga, di rumah dan di mobil, aku sering memutar lagu keroncong. Di samping untuk menikmati lagunya, juga untuk mengenang masa-masa kecil bersama ayahku.

Ayahku dulu punya kelompok musik pada tahun 1960-an, Samio Combo namanya. Aku tahu itu setelah membongkar lemari di rumah nenek, aku temukan bendera Samio Combo dan foto ayahku ketika muda bersama kawan-kawannya yang sedang memegang alat-alat musik. Saat menemukan itu aku masih kecil. Aku tanyakan hal itu kepada ayah. Ia menjawab bahwa itu adalah kelompok musiknya bersama kawan-kawan. Ayahku vokalis, jadi di foto itu tidak memegang alat musik apapun.

Bisa dipastikan, kegemaranku mendengar musik keroncong adalah pengaruh langsung dari ayahku. Dan kegemaran anakku mendengar lagu keroncong, mungkin tumbuh karena sejak ia kecil sudah sering mendengar lagu keroncong yang aku putar. Waktu aku tanyakan pada Shemissa, ”Apa sih enaknya?” Lagu keroncong bisa membuat tenang, katanya.

Sebenarnya, bukan hanya keroncong yang aku sukai. Aku menyukai semua lagu yang enak didengar, tidak spesifik pada musik tertentu. Aku juga suka mendengar musik gending Jawa yang sering dinyanyikan pada saat pentas wayang kulit di radio atau di televisi (TVRI dan Indosiar), meski aku tidak mengerti arti dari syair-syair yang dilantunkan. Ini juga karena sejak kecil aku sering mendengar pakde Wahid yang dari Banyubiru, Ambarawa, bersenandung.

Aku juga suka pada lagu-lagunya Def Leppard, Chicago, Queen, Scorpions, Air Supply, Whitney Houston, Michael Jackson, Billy Ocean, Frank Sinatra, Bad English, Ummu Kultsum, Ebiet G Ade, Koes Ploes, Panbers, D’lloyd, the Mercy’s, Rhoma Irama, Mansur S, hingga degung Sunda dan gambang kromongnya duet Benyamin S-Ida Royani. Tidak luput, aku suka mendengar suaranya Muammar ZA, pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, terutama di malam hari, dengan volume yang sayup-sayup.

Semua lagu-lagu itu sering aku putar baik di rumah maupun di mobil. Mungkin juga kelak akan menurun pada anak-anakku.

Saturday, July 22, 2006

Perlunya Jaringan Bisnis

Banyak kritik dan keluhan bahwa produk penelitian kita yang dihasilkan kawan-kawan di berbagai lembaga penelitian milik pemerintah hasilnya tidak bisa dimanfaatkan. Ada banyak faktor yang menyebabkan hasil penelitian itu kemudian menjadi ”sampah”. Yang utama adalah karena lemahnya permodalan dan kemampuan pemasaran.

Beberapa hasil penelitian yang saya tahu bisa dikembangkan menjadi produk yang layak jual:

Pertama, alat pengetes kehamilan. Seorang pegawai lembaga penelitian pemerintah yang meraih gelar doktor di Jepang sudah cukup lama menemukan alat pengetes kehamilan. Jika alat itu bisa diproduksi sendiri, maka kita tidak perlu lagi impor produk sejenis, dan masyarakat bisa membayar dengan harga yang lebih murah untuk kualitas produk yang sama. Namun ia terbentur dengan modal yang diperlukan untuk membuat sampel dalam skala industri. Produk sampel diperlukan sebagai uji coba sebelum benar-benar dilempar ke masyarakat sebagai produk yang bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya. Beberapa tahun hasil karyanya menganggur karena tidak bisa diproduksi akibat terbentur biaya. Saya dengar beberapa bulan yang lalu, ia menjual rumahnya untuk modal kegiatan tersebut. Entah apa hasilnya sekarang.

Kedua, pemutih kertas. Kawan-kawan lulusan Jerman, sebagian dikirim lembaga penelitian milik pemerintah dan sebagian atas biaya sendiri, yang kemudian bergabung membentuk kelompok bisnis, memiliki produk pemutih kertas yang ramah lingkungan dan dengan harga yang jauh lebih murah. Saat ini, pemutih kertas yang digunakan pabrik-pabrik pulp adalah chlor. Produk ini selain harus diimpor dari Amerika Serikat, harganya mencapai US$ 19 per liter, dan limbahnya merusak lingkungan. Sedang produk kawan-kawan dari Jerman tadi, bahan bakunya dari pohon pisang, hasilnya lebih baik (kertas lebih putih), harganya cukup US$ 12 per liter, termasuk di dalamnya US$ 2 per liter untuk makelar atau bagian pemasaran, dan ramah lingkungan. Produk ini sudah dipresentasikan dan diuji coba di berbagai tempat oleh ahli-ahli pemutih kertas. Hasilnya diakui memang lebih baik dari chlor. Bahkan, untuk jumlah liter yang sama, produk dengan bahan baku pohon pisang ini bisa dicampur dengan pulp yang lebih banyak untuk menghasilkan kualitas produk yang sama. Tetapi, sementara ini baru berhasil diproduksi pada skala kecil melalui prototype mesin yang dibuat sendiri oleh mereka. Sudah dicoba pada skala industri dengan membuat mesin yang lebih besar, hasilnya kurang memuaskan. Perlu penelitian lebih lanjut, kembali terbentur permodalan dan komitmen pemakai produk tersebut. Meskipun sejumlah pabrik pulp sudah tahu produk ini, belum ada satupun yang berminat untuk turut membiayai penelitian ini sekaligus kontrak pembelian alat. Sulit menggeser pasar chlor dari industri pulp.

Ketiga, mesin pengolah air. Kawan-kawan lulusan Jerman tadi juga punya produk mesin pengolah air minum dengan menggunakan teknologi membran. Mereka menawarkan 2 jenis produk, yaitu untuk mesin pengolah yang menghasilkan air bersih dan air siap minum. Untuk yang air siap minum, tingkat residu yang dihasilkan bisa mencapai 10 ppm, bandingkan dengan air minum merek Aqua yang mencapai 80 ppm. Mesinnya mobile karena ukurannya kecil dan ringan. Cocok untuk daerah-daerah remote yang rawan bencana tapi memiliki air sungai atau danau yang melimpah tapi keruh. Harganya paling tinggi 1/3 dari jenis mesin yang sama yang harus diimpor dari Kanada. Produk ini sudah dipresentasikan kepada beberapa Pemda dan PDAM. Tapi hingga sekarang belum ada peminat.

Saran saya, kawan-kawan yang memiliki produk yang layak jual hendaknya bekerjasama dengan kawan-kawan yang memiliki akses kepada permodalan dan pemasaran. Jangan lupa untuk bekerjasama dengan kawan-kawan media.

Untuk mesin pengolah air, yang diberi nama watergreen, mudah-mudahan akan segera bisa dibaca di majalah Tempo dan tabloid Kontan dalam minggu-minggu ini.

Friday, July 21, 2006

Tuhan Sembilan Senti

Oleh Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah...ada guru merokok,di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku
tuntunan
cara
merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari
pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul salingmenularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok
di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamenb sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning
dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzirdiharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulaiterbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalulintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangatberkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara
menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Friday, July 14, 2006

Puisi Lalu Pharmanegara

Inilah pusi yang dikirim seorang kawan lama, Haji Lalu Pharmanegara, budayawan dari Lombok, asli putra Sasak. Lama tidak jumpa,begitu jumpa membombardir dengan puisi-puisi ciptaannya:

Sms 26/06/2006 pukul 08:13
Di manakah dirimu kini,
duhai lelaki yang penuh kejuangan.
Kulihat wajahmu
di dinding-dinding lazuardi,
tersenyum sambil lambaikan tangan
seakan berjanji pada hari kelak
yang lebih baik.
Sms 30/06/2006 pukul 08:47
Tuan,
di manakah wajahmu hari ini,
tengadah pada matahari merah jambu,
atau terjerumus imajinasi dan janji-janji para importir agama,
atau terhenyak menatap daun tanpa terjemah.
Oh, inilah negeri kelamin:
mengerang meradang sangsi!
buka kamusku,
bebal sekali pikiran cendekia,
yang pura-pura cerdas atas pengulangan-pengulangan.
Apa lagi yang kita nantikan?
Sms 05/07/2006 pukul 09:09
O inikah masa paradoks itu,
ujian kesabaran!
Keimanan yang berhadap-hadapan
dengan bencana, kemiskinan,
fitnah, pengusiran,
konflik horisontal, kebodohan.
Apa yang salah,
pada doa-doa kita?
Sms 11/07/2006 pukul 07:57
Menjelujur pagi seraya mengenangmu,
seakan terkepung aroma harum mewangi
setaman bunga yang tulus mekar,
selamat pagi kenangan,
doaku sebening nuranimu.