Wednesday, April 26, 2006

Pilihan Hidup: Keluar dari LIPI

Pulang dari Amerika Serikat menyelesaikan studi, September 1992, aku bekerja di Puslitbang Inkom-LIPI. Kantornya terletak di jalan Cisitu Lama, Bandung. Baru sekitar 1 bulan bekerja, aku diajak Bang Laode Kamaluddin, doktor lulusan University of Iowa, untuk bekerja di Jakarta, pada sebuah lembaga yang baru didirikan oleh BJ Habibie.

Lembaga tersebut adalah lembaga kajian milik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang bernama CIDES (Center for Information and Development Studies). Ia mengajak aku bekerja di Jakarta sambil mengurus pendirian Yayasan Wakaf Isnet (Islamic Network), yang ketika terbentuk untuk pertama kalinya Bang Laode duduk sebagai ketua, saya sendiri sebagai sekretaris.

Melalui sepucuk surat, pada Oktober 1992, Prof Dr BJ Habibie berkirim surat kepada ketua LIPI, Prof Dr Samaun Samadikun, dilanjutkan dengan surat dari Dr Ing Wardiman Djoyonegoro kepada ketua LIPI pada Desember 1992, saya dimintakan ijin sebagai pegawai yang diperbantukan ke BPPT sambil bekerja di CIDES. Masa perbantuan adalah 2 tahun. Pada 6 Januari 1993 ijin dari Ketua LIPI keluar.

Setelah selesai 2 tahun, aku dihadapkan pada 2 pilihan, kembali ke LIPI di Bandung atau terus hidup di Jakarta. Pilihan kembali ke LIPI Bandung atau meninggalkannya sama berat. Kembali ke LIPI, maka cita-citaku melanjutkan studi S2 dan S3 terbuka lebar. Tapi pada saat yang sama, aku harus membantu orangtua membiayai hidup dan sekolah adik-adikku yang jumlahnya 9 orang. Sudah kuhitung, kalau aku bertahan di LIPI, sulit rasanya bisa membantu orangtua dan adik-adik. Kalau toh aku harus kerja tambahan untuk mendapatkan tambahan penghasilan, rasanya tidak efektif. Aku akan jadi koruptor waktu: pagi absen, siang ke kantor swasta, sore kembali lagi ke kantor untuk absen lagi.

Maka, pada tahun 1995, pergilah aku ke Puslitbang Inkom-LIPI di Bandung menemui kepalanya, pak Kartiwa, saya lupa nama lengkapnya karena praktis saya hanya mengenal beliau tidak lebih dari 3 bulan pada akhir 1992. Dengan terus terang saya sampaikan maksud dan harapan saya, "Pak, kalau diijinkan saya ingin tetap bekerja di Jakarta. Saya punya adik 9, dan saya harus membantu mereka, untuk hidup dan untuk sekolah. Orangtua sudah cukup tua dan lelah, dan aku pahami karena selama ini mereka hidup dalam kekurangan. Mohon kebijaksanaan Bapak"

Dengan tidak sabar aku menunggu responnya. Lalu ia berkata, kira-kira begini, "Saya mendukung kamu, tapi tolong jangan minta sesuatu yang resmi karena tidak ada celah birokrasinya. Silahkan saja kamu bekerja di Jakarta dan bantu keluarga. Dan satu hal, jangan ajak teman-temanmu di sini untuk keluar dari Inkom. Kamu diam-diam saja." Akupun berterimakasih kepadanya. Lalu aku katakan, "Kalau suatu saat saya diminta untuk membayar ganti rugi karena saya ke Amerika dibiayai negara, saya siap Pak."

Maka sejak itu aku tidak pernah kembali lagi ke LIPI. Ketika tahun 1996 aku sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta, sempat dikejar oleh Bagian Kepegawaian Inkom-LIPI. Aku jelaskan bahwa aku sudah bekerja di swasta. Sekitar tahun 2000 aku kembali dipanggil oleh LIPI. Kali ini dipanggil oleh Deputi Administrasi. Seluruh karyasiswa yang keluar dari LIPI dipanggil. Hanya beberapa orang yang mau mendatangi panggilan itu.

Di sana aku di-interview oleh Ibu Murtini (kalau tidak salah) selaku Deputi LIPI, kenapa saya keluar dari LIPI. Di situ kembali aku jelaskan alasanku, alasan ekonomi yang sudah aku sampaikan pada Kepala Puslitbang Inkom. Tidak lupa, aku diminta tandatangan kesanggupan mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan oleh negara. Hitungannya sekitar Rp 80-an juta, setelah dikurangi masa kerja 2 tahun perbantuan ke BPPT.

Kira-kira tiga bulan kemudian aku mendapat telepon dari LIPI. Dia memberi kabar gembira. Ketua LIPI berkenan membebaskan aku dari tuntutan mengembalikan biaya ganti rugi ikatan dinas. Alhamdulillah.

Dalam hidup, kita memang sering dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan aku sudah membuat pilihan itu, meski dengan mengorbankan cita-cita untuk meraih gelar Doktor yang sangat aku impikan. Aku bahkan sempat ikut Tes Potensi Akademik (TPA) dari Bappenas pada tahun 1995 dengan hasil yang cukup baik, sekitar 650. Dengan hasil TOEFL yang juga cukup baik, seharusnya saya bisa kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Tapi itulah hidup. Kadang kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.

Bagi saya, bakti kepada orangtua jauh lebih penting, di atas segala capaian hidup, secemerlang apapun capaiannya. Rido Allah terdapat dalam rido orang tua. Mudah-mudahan berkah!

2 comments:

za said...

Kunjungan kali pertama. Tiba-tiba saya jadi banyak berpikir soal membuat sistem teknologi, riset yang bagus itu bagaimana sih?

Ah terlalu pagi pertanyaan ini.

Ima Mutimmah said...

menginspirasi,,, benar, hidup adalah piliha,,,