Sebuah perusahaan penilai (valuation) milik kawan saya, sebut saja PT XXX, tiba-tiba ingin mengikuti tender pekerjaan penilaian di PT Lapindo Brantas. Ia mendapatkan informasi pekerjaan itu, katanya, dari koran. Kawan itu meminta saya menghubungkan dengan sahabat saya yang ditunjuk pihak Bakrie sebagai juru bayar di Lapindo.
Dalam situasi yang kisruh seperti bencana yang dialami Lapindo, proses administrasi tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Proses pengadaan atau pemberian pekerjaan diadakan tanpa melalui proses tender atau penelitian kelayakannya. Maka ditempatkanlah sahabat saya, mantan direktur keuangan ANTV, di sana untuk membenahi proses pembayaran tagihan dan penawaran yang masuk kemudian.
Sahabat ini bercerita, ada sebuah tagihan sebesar Rp 32 miliar. Setelah ditekan oleh sahabat ini, akhirnya cukup dibayar dengan jumlah Rp 18 miliar, bahkan masih ada kemungkinan untuk ditekan hingga Rp 16 miliar. Ada lagi tagihan sebesar Rp 6 miliar, begitu ditawar dengan pembayaran Rp 3 miliar langsung diterima tanpa ada keberatan sama sekali. Menurutnya, banyak pengadaan, khususnya pasir dan berbagai pekerjaan untuk pengurukan dan pembuangan atau penyedotan lumpur, yang tagihannya tidak wajar. Selalu ada penggelembungan, baik volume maupun harga.
Untuk itulah, sahabat saya ini memerlukan sebuah perusahaan konsultan independen, agar dalam ia menawar pekerjaan tidak sembarangan. Ada kontraktor yang bisa ditekan sehingga bisa mengurangi pembayaran hingga hampir separuhnya, ada kontraktor yang tidak bisa ditekan dan bersikeras bahwa itu adalah harga yang sudah disepakati dan sesuai dengan pekerjaannya dan karenanya mereka meminta dibayar sesuai tagihan. Dengan bantuan konsultan, ia berharap ada justifikasi yang logis dalam menawar tagihan yang sudah terlanjur masuk dan penawaran pekerjaan yang akan masuk.
Sahabat saya juga ingin, lahan seluas 400 Ha, terutama lokasi lumpur yang ada dalam tanggul, bisa dinilai. Berapa sih nilai sebenarnya dari tanggul beserta isinya? Mungkin ini berkaitan dengan tagihan-tagihan pekerjaan pengurukan yang belum dibayar. Ia berpikir, dari fisik tanggul dan volume pasir yang telah dicurahkan ke dalamnya, harusnya bisa dinilai berapa angkanya yang wajar. Dari angka itu ia lalu bisa membandingkan dengan rekapitulasi tagihan yang sudah menumpuk di mejanya.
Saya lalu mengajak PT XXX ke Surabaya pada Senin 27/11 lalu. Sebelum meninjau lokasi bencana, sahabat saya bercerita, sudah 3 perusahaan penilai datang dan semua mundur tidak sanggup melaksanakan pekerjaan tersebut. PT XXX merasa yakin bisa mengerjakannya. Maka disiapkanlah mobil dan pengantar untuk meninjau lokasi yang akan dinilai.
Sorenya, sepulang dari meninjau lokasi, saya lihat penilai dari PT XXX terlihat pucat wajahnya. Saya menduga ia tidak akan sanggup melaksanakan pekerjaan tersebut. Tapi sore itu di bandara Surabaya, PT XXX masih berusaha meyakinkan saya bahwa mereka sanggup mengerjakannya. Tiga hari kemudian, ia menelepon bahwa perusahaannya tidak berani mengambil resiko karena bencana Lapindo telah menjadi konsumsi publik.:(
Kejadian itu lalu saya ceritakan kepada kawan saya yang lain. Rupanya ia kenal dengan sebuah perusahaan penilai yang cukup besar dan sudah menjadi rekanan PT Pertamina. Lalu ia menghubungkan saya dengan perusahaan tersebut, dan katanya mereka berminat. Minggu depan mereka minta diantar ke Surabaya untuk memberikan presentasi di hadapan sahabat saya. Mudah-mudahan cocok!
No comments:
Post a Comment