Saturday, May 03, 2008

Mbah Badri

Mbah Badri adalah nama panggilan almarhum kakekku. Pada batu nisannya tertulis nama: Badri bin H. Abdul Gani. Ia meninggal tahun 1966, dua tahun sebelum aku lahir. Praktis, saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Tetapi, saya sering mendengar dari nenek dan ayah cerita seputar kakek. Beberapa cerita yang sering saya dengar di antaranya:
  1. Kakek pernah memelihara sejumlah jin. Setelah kakek mengenal Muhammadiyah, ia buang seluruh jin yang ia pelihara. Tetapi, ada satu jin yang tidak mau dibuang. Atas kehendak sendiri, konon, jin tersebut ingin terus bersama keluarga dan anak cucu Mbah Badri. Jin itu biasa dipanggil dengan nama Mbah Gombal. Akhirnya kakek mengijinkan dengan syarat tidak akan menganggu dan mengajak anak cucunya pada kesesatan.

  2. Suatu hari ada tetangga menyelenggarakan pesta di rumahnya. Saya dulu lupa bertanya, itu acara perkawinan atau sunatan, dua acara yang biasanya dipestakan di rumah. Pada acara itu ada orkes yang dipanggil untuk menghibur para tamu. Karena suaranya cukup bising, kakek saya meminta agar orkes tersebut ditutup menjelang maghrib, tidak boleh sampai malam.

    Ternyata, tetangga ini tidak menghiraukan seruan kakek. Sesudah maghrib, suara musik kembali bergema dengan keras di kampung itu. Mendengar masih ada suara musik yang cukup keras, kakek langsung masuk kamar. Tidak lama kemudian, listrik di rumah pemilik hajatan seketika padam. Mereka panik karena selepas isya masih ada acara walimah. Mereka segera menghubungi pihak PLN. Setelah dicek petugas PLN, tidak ditemukan satupun adanya kerusakan.

    Setelah semua panik dan ribut, akhirnya ada yang teringat pada himbauan kakek saya. Orang yang memiliki hajat tersebut lantas menemui kakek dan meminta maaf serta berjanji akan menghentikan suara musiknya yang keras itu. Tidak lama sesudah itu, lampu di rumah orang tersebut kembali menyala seperti sedia kala.

  3. Setelah menjadi warga Muhammadiyah, kakek saya betul-betul memerangi khurafat. Salah satu aksi yang ia lakukan adalah mendatangi sebuah candi (pohon besar), namanya Candi Pancurawis, yang sering dijadikan warga sebagai tempat untuk memberi sesajen dan memohon sesuatu. Di sana ia mengencingi tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat Bumiayu tersebut.

    Sepulang dari mengencingi tempat itu, saat kembali ke rumah tiba-tiba kemaluannya membengkak, seperti habis terkena sengatan binatang. Ia merasa ditantang oleh "penghuni" tempat keramat tersebut. Setelah menyembuhkan sakitnya selama seminggu, ia kembali datangi tempat itu, dan kembali ia kencingi tempat keramatnya. Sepulang dari candi itu, kembali kemaluannya membengkak. Setelah sembuh, kembali ia ke tempat itu dan mengencinginya sekali lagi.

    Setelah yang ketiga kalinya mengencingi, tidak ada lagi tantangan dari "penguasa" candi tersebut. Kemaluan kakek tidak lagi membengkak seperti sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan kakek kepada warga Bumiayu bahwa tempat itu tidak keramat akhirnya tersebar ke masyarakat.

  4. Kakek tidak pernah berbohong meski kepada anak kecil. Misalnya, ia tidak membolehkan nenek, Mbah Nirah, menakut-nakuti anaknya dengan sesuatu agar si anak tidak rewel atau segera tidur.

    Kakek juga tidak pernah su'udhon dengan orang. Suatu ketika orang gunung yang dititipi kambing datang dan memberitakan seluruh kambingnya mati terkena penyakit. Mendengar berita itu, kakek percaya begitu saja. Tidak terbersit sama sekali bahwa ini akal-akalan orang gunung tersebut untuk kembali mendapatkan uang dari kakekku. Padahal, kata ayahku, belum tentu kambingnya mati. Mungkin kambingnya dijual atau bahkan masih hidup semuanya di atas gunung sana, di lereng gunung Slamet. Kakekku tidak marah dan tidak juga berusaha langsung mengecek kebenaran matinya seluruh kambing tersebut. Sebaliknya, kakek malah memberi uang untuk membeli sejumlah kambing baru agar dipelihara orang gunung tersebut.

  5. Setiap hari Jumat, kakek memiliki dua kebiasaan: (1) memotong seekor kambing dan (2) sesudah shalat Jumat mengundang Kyai dari Masjid Agung Baiturrahim untuk makan di rumah. Tradisi yang pertama ia lakukan untuk menjaga silaturahmi keluarga besarnya. Tradisi yang kedua ia lakukan sebagai bentuk penghormatan kepada ulama. Kalau sang Kyai bersedia, ia akan langsung mengajaknya untuk bersantap aneka hidangan kambing di rumahnya.
***
Kamis (1/5) kemarin saya mengunjungi tante saya di Poncol, Senen, Jakarta Pusat. Sebagai anak perempuan terakhir dari Mbah Badri, ia termasuk yang menyaksikan hari-hari terakhir menjelang wafatnya almarhum. Saya mendengar kisahnya dengan mata berkaca-kaca dan seketika tumbuh rasa bangga dengan kakek, meski aku tidak pernah bertemu dengannya.

Inilah hari-hari terakhirnya:
Dua hari menjelang wafatnya, dompet sabuk (sekarang mungkin seperti tas pinggang) yang selalu ada di pinggang kakek masih penuh dengan uang. Hari itu ia meminta anaknya memanggil tetangga dan saudara yang tidak mampu satu persatu untuk datang menemui kakek yang sedang terbaring sakit di atas tempat tidurnya. Uang yang pada saat itu tergolong sangat banyak tersebut tidak diberikan kepada nenekku, tetapi justru dibagi-bagikan kepada saudara dan tetangga yang ia panggil, hingga habis seluruh uang yang ada di tasnya itu.

Sehari menjelang wafat, ia meminta dimandikan dan digosok seluruh tubuhnya dengan batu. Ia sempat mengatakan kepada anaknya: "Orang-orang sekarang kalau memandikan mayat sering tidak bersih." Meski begitu, tidak ada anak-anaknya yang menduga bahwa kakek akan meninggal. Kalimat itu dianggap sebagai kalimat biasa, bukan sebuah pesan dari kakek yang akan segera menghadap kepada sang Khaliq.

Beberapa detik sebelum meninggal, kakek bangun dan duduk di atas tempat tidurnya. Dengan keras ia membaca syahadat "Asyhadu alla ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasulullah..." Sesudah membaca syahadat, kakek kembali menidurkan badannya dengan posisi tangan sedekap di atas dadanya. Sejenak kemudian orang-orang mengatakan bahwa kakek telah tiada. Ia meninggal dengan sangat mudah dan tenang, disaksikan dan di tengah-tengah keluarga yang sangat ia cintai.
Semua cerita itu menjelaskan, mengapa banyak orang desa atau orang gunung, dari tukang becak, petani hingga pedagang, seketika menghormatiku begitu mengetahui aku adalah cuku dari Ki Badri, demikian mereka menyebutnya.

Mudah-mudahan akupun bisa mengikuti jejaknya dan ikutan khusnul khatimah :)

4 comments:

. said...

Salut untuk cucunya Ki Badri yang bisa menulis dengan sangat indah melebihi teman kita yang "penulis" heheheh...salut bos! Terus nulis yang begini2 ya..BTW nama perusahaan barunya bagus bos, ATM a.k.a Mesin Uang...

KPP Blog said...

Mas Fami..

Selamat telah terpilih menjadi salah seorang cucu'nya Mbah Badri :)

Mudah-mudahan kita semua bisa meneladani beliau, paling tidak berlatih untuk mengamalkan keluhuran2 akhlaq beliau..

Kalau yang lain-lain sih insy4JJ "bakalan nuturkeun pami tos di'Kersakeun" (bakalan mengikuti kalau sudah di'Kehendaki -NYA) - kalo kata orang Sunda sih. Semoga...

Salam

"MoeFth"

Dr Kate Adams said...

Hello semua.

Nama saya Dr Kate Adams, seorang Phrenologist di University Hospitals Bristol NHS Foundation Trust. Hospital kami dikhususkan dalam Pembedahan Ginjal dan kami juga berurusan dengan pembelian dan pemindahan ginjal dengan penderma yang hidup. Kami terletak di Dubai, Turki, Amerika Syarikat, Malaysia. Sekiranya anda berminat menjual atau membeli buah pinggang, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui e-mel: kateadams946@hotmail.com

Saya Yang Berhormat

Dr Kate Adams

Nombor Telefon: +2348146161694

Dr Nico Scott said...

Penderma buah pinggang sangat diperlukan di Hospital Apollo, kami menawarkan sejumlah besar untuk satu buah pinggang hanya menghubungi saya melalui nombor WhatsApp: +918122208392 E-mel: apollohospitalkidneydep@gmail.com