Monday, March 17, 2014

Analisa Pencapresan Jokowi dari Perspektif bukan Pendukung PDIP | oleh: Dwi Samudra

Sengaja saya tekan kata-kata “bukan pendukung PDIP” untuk menegaskan keinginan agar analisa ini tidak dipahami sebagai keberpihakan atau hujatan pada salah satu partai atau kandidat capres. Kajian sederhana ini adalah hasil diskusi dengan sebagian teman. Saya mencatat ada beberapa hal yang patut di simak.

LANGKAH PDIP

Pertama, strategi pemilihan waktu yang brilian. PDIP kembali menunjukkan kelas nya sebagai partai yang berpengalaman. Pemilihan waktu yang tepat, saat banjir DKI mereda, sedang kebakaran hutan di Riau, memberi keuntungan sendiri pada Jokowi. Meredakan hujatan karena sebab banjir. Plus, KPK sedang seru seru nya menelisik kader kader partai lain yang tersangkut berbagai kasus. Semua itu memberi ruang keuntungan pada pencapres an Jokowi.

Kedua, pencapresan Jokowi meruntuhkan citra, bahwa ketua partai adalah jenjang menuju capres. Megawati sukses menaikkan citra dirinya dan PDIP sebagai partai yang memberi kesempatan pada kadernya. Tidak ada lagi semacam citra keharusan trah Soekarno.

Ketiga, Jokowi adalah capres yang relatif termuda dibandingkan yang lain. Kembali, PDIP dengan cerdik menawarkan faktor pembeda dengan lainnya. Sementara yang lain nyamenawarkan stock lama daur ulang semua.

Keempat, PDIP sukses menjadikan tawanan bagi mereka yang bukan pendukung PDIP tetapi pendukung Jokowi. Barang siapa menginginkan Jokowi sebagai presiden, maka mau tidak mau harus memilih PDIP agar lolos presidential threshold.

Kelima, PDIP sadar penuh realita di lapangan. Banyak swing voter dan golput. Banyak yang kecewa pada parpol dan direpresentasikan dengan hujatan pada DPR. Realitanya, seperti kasus Risma, banyak yang lebih menyukai tokoh daripada partai. Maka PDIP menyajikan tokohnya, bukan partainya. Reaksi beberapa teman yang tadinya siap Golput kontan berubah: Sekarang saya punya pilihan, Jokowi!

SIAPA PENDUKUNG DAN PENGHUJAT JOKOWI?

Menarik disimak, bahwa pencapresan Jokowi disambut gembira dan juga disambut hujatan. Menurut saya, tidak bisa sesederhana itu hanya membuat 2 kategori: Pendukung dan Penghujat.

Pendukung Jokowi terdiri dari beberapa kategori: (a) pendukung PDIP, (b) murni pendukung Jokowi dan (c) “terpaksa” mendukung Jokowi. Pendukung Jokowi golongan (b) ini, terdiri dari mereka yang tinggal di Jakarta dan non Jakarta. Yang tinggal di daerah non Jakarta, biasanya mereka yang kecewa dengan kinerja pemerintah di daerahnya dan berharap mereka dapat imbas perbaikan pemerintahan kalau Jokowi jadi presiden.

Yang menarik pendukung golongan (c): Mereka sebenarnya bukan fans Jokowi, tetapi karena tidak ada pilihan yang lebih baik, maka mereka mendukung Jokowi. Lha, bagaimana lagi, masak harus pilih Rhoma Irama?

Penghujat Jokowi terdiri dari beberapa kategori (a) pendukung dari partai lain, (b) mereka yang memang tidak suka Jokowi, meski bukan pendukung partai manapun dan (c) mereka yang merasa patah hati dengan pencapresan Jokowi

Penghujat golongan (c) yang patah hati, adalah para pemilih Jokowi 2 tahun yang lalu. Mereka yang justru mengapresiasi kerja Jokowi sebagai gubernur dan berharap Jokowi bisa menuntaskan kerjanya. Dan sekarang mereka kecewa karena Jokowi dianggap tidak menuntaskan amanahnya.

BAGAIMANA STRATEGI CAPRES PARTAI LAIN ?

Mengumumkan capres sebelum pileg, sungguh suatu perjudian. Perolehan suara di legislatif bisa naik dan juga bisa turun. Hingga saat ini, belum semua partai mendeklarasikan capres nya, dengan berbagai alasan. Sebagai contoh, sebagian kader Golkar menyesali penetapan Ical karena diyakini akan menurunkan suara perolehan.

Demokrat, disayangkan tidak juga menetapkan hasil konvensi. Mungkin mereka masih yakin bahwa suara rakyat lebih condong ke partai, bukan ke tokoh. Tokoh tidak membawa gerbong suara saat pileg. Padahal, kalau saja mereka menyebut nama popular seperti DI dan Anies misalnya, maka suara akan terkatrol.

PKS, tetap saja berkutat dengan gaya akademik yang prosedural. Melalui Pemira, yang muncul malah nama nama yang kurang diapresiasi masyarakat. Seandainya mereka menyebut nama-nama populer di masyarakat seperti Ridwan Kamil sebagai yang dipertimbangkan sebagai capres, maka bukan mustahil akan membantu.

Setahu saya, hanya PKS, PPP dan Golkar yang nama partainya terpisah dari nama tokoh, meski akhirnya harus menelan kenyataan digerogoti oleh kelakuan tokohnya. Sisanya bisa dibilang bernama partainya Surya Paloh, partainya SBY, partainya Megawati dsb

SIAPA CAWAPRESNYA?

Menarik disimak, Mega tidak mengumumkan nama cawapresnya. Cerdik, tidak semua kartu langsung dikeluarkan. Sekaligus untuk menyiapkan rencana B. Seorang teman berpendapat, bahwa pertempuran capres selesai sudah, sedang pertempuran cawapres dimulai.

Tentu bukan mustahil, PDIP akan menyodorkan cawapre nya dari PDIP pula kalau mereka menang besar di pileg. Teman saya yang pendukung golongan (c) bilang, kembali kita jadi tawanan PDIP. Boleh tidak suka cawapresnya, tapi kalau pingin Jokowi jadi presiden ya mau gimana lagi, terpaksa tetap dipilih. Pendukung golongan (b) dan (c) ini berpendapat, bahwa PDIP tidak punya stock tokoh lain lagi yang pantas dijadikan cawapres.

Ada lagi yang berpendapat, alangkah baiknya kalau wapresnya dari partai lain, sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik. Dalihnya, presiden dan wapres akan didukung suara mayoritas karena berasal dari 2 partai besar.

Apabila dituruti prediksi di atas, maka timbul pertanyaan, siapa yang pantas jadi cawapresnya dan kapan saatnya mereka berkoalisi? Pendapat liar seorang teman, seumpama terjadi koalisi dengan Demokrat yang mengajukan DI, atau Golkar mengajukan JK atau Gerindra mengajukan Prabowo sebagai cawapres, maka pemilu sudah selesai hari ini.

KONKLUSI

Hulu dari segala kegalauan di atas, adalah kegagalan partai politik melahirkan para kader pemimpin. Stock pemimpin yang layak pilih semakin berkurang. Nama “Pemilu” pantas dipertanyakan, karena tidak memberikan para calon yang layak pilih. Ibarat mangga busuk satu keranjang, apanya yang akan dipilih?

Sebagian penghujat Jokowi, juga kesulitan untuk memberi alternatif siapa capres yang layak pilih. Publik semakin terperangah dengan ide-ide absurd seperti PKB mengusung Rhoma Irama, PPP mengusung Suryadharma Ali dst. Nama-nama yang kelihatan bersinar, justru mereka yang munculnya bukan dari partai politik, seperti Risma, Ridwan, Abraham Samad, Dahlan Iskan dll.

No comments: