KOMPAS.com - SEMUA pertanyaan dan spekulasi itu
terjawab sudah. Tanpa perayaan, jauh dari hiruk-pikuk simbol kepolitikan
Jakarta, PDI Perjuangan mengumumkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai
calon presiden 2014.
Melalui perintah harian yang ditulis tangan oleh Megawati
Soekarnoputri, yang disampaikan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Jumat
(14/3), Megawati selaku pemegang mandat melalui Kongres III PDI-P 2010
untuk memilih capres partainya menyerahkan kembali mandat tersebut
kepada rakyat Indonesia untuk memastikan Jokowi menjadi presiden RI
melalui Pemilu 2014. Walaupun sudah diduga sebelumnya, pernyataan ini
tetap jadi kejutan politik, setidaknya bagi kubu lawan yang masih
berharap Megawati diajukan menjadi capres. Bukan untuk mendukung,
melainkan menyisakan harapan bagi kemenangan mereka.
Selain itu, di luar dugaan orang, cara deklarasi capres ini dilakukan
dengan tidak menggunakan cara-cara konvensional. Ketika banyak partai
tampil dengan banyak warna, penuh gambar, penuh gaya, dan kebesarannya,
PDI-P justru sebaliknya. Ia tampil dengan dominasi warna putih, simbol
Jokowi, yang memancarkan kemurnian dan daya tarik universal. PDI-P
mengesankan tidak sedang menawarkan apa pun atau tidak sedang berupaya
menjejali publik dengan kemegahan kampanye deklarasi.
Pilihan untuk sederhana, tak mengandalkan media utama—dan menabrak
kaidah-kaidah marketing dan advertising sekaligus—menjadikan
kesederhanaan sebagai sesuatu yang hebat dan bermanfaat bagi banyak
orang. Hal ini terbukti dengan ajakan mereka untuk mengunduh,
menggunakan, dan memanfaatkan simbol-simbol Jokowi melalui lamannya
untuk disebarluaskan. Kesukarelaan dan kegotongroyongan ingin
didorongkan di sini. Bahkan, ketika deklarasi capres tersebut dibacakan,
Jokowi menerima mandat tersebut ketika blusukan di daerah Marunda saat
di Masjid Si Pitung.
Menyelami politik Megawati
Jika mencermati isi pidato ataupun pernyataan politik Megawati selama
ini, ia memiliki sikap politik yang jelas sejak awal. Ia telah melewati
hamparan sejarah panjang, melewati fase-fase kritis pergulatan
Indonesia sebagai bangsa dan PDI-P sebagai kekuatan politik. Bersama
PDI-P yang ia pimpin, Mega telah mengalami evolusi, penajaman dan
kontekstualisasi dari gagasan dasar Bung Karno mengenai nasionalisme
kerakyatan, pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dan Tri-Sakti. Jalan
ideologis yang dipilih partainya sebagai hasil pergulatan politiknya
selama ini.
Namun, di sisi lain harus diakui, sungguh tak mudah jadi pemimpin
perempuan di tengah mayoritas budaya masyarakat patriarkis dan
feodalisme yang belum sepenuhnya luntur dari kultur Indonesia. Kedua hal
ini sering memberikan stigmatisasi terhadap keputusan dan gaya
politiknya yang dianggap tidak sesuai dengan arus utama selama ini.
Melalui deklarasi ini pula memperlihatkan banyak pihak cabut lotre
yang salah tentang dirinya. Tuduhan bahwa ia masih menginginkan jabatan
presiden untuk dirinya sendiri tak terbukti. Prasangka bahwa ia
menyiapkan penggantinya berdasarkan ”darah biru” trah Soekarno, sebagai
bagian dari politik dinasti, terpatahkan sudah. Megawati bukan tidak
tahu kritikan pedas yang ditujukan kepadanya. Partainya kerap dituduh
beraroma feodalisme yang hanya menyandarkan suara pada fanatisme
pemilihnya dan hubungan darah Soekarno. Di beberapa forum, ia bahkan
bertanya balik: apa yang salah dengan politik dinasti? Mengapa fanatisme
pemilih dianggap buruk?
Ia mengatakan, tentu tak semua politik dinasti bu¬ruk. Beberapa di
antaranya membangun keberlangsungan mereka pada me¬ri¬tok¬rasi dan
dukungan rakyat yang nya¬ta. Di sisi lain Megawati juga paham ekses
buruk dari politik dinasti, yaitu jebakan peluang untuk korupsi, kolusi
dan ne¬po¬ti¬sme. Menurut Mega, kejahatan itulah yang perlu diwaspadai
dan dicarikan mekanisme untuk pencegahannya.
Transformasi kepemimpinan
Deklarasi yang meloloskan Jokowi melenggang dalam Pilpres 2014
memunculkan interpretasi menarik. Pertama, inilah kemenangan politik
Megawati sesungguhnya. Sejak Kongres III PDI-P 2010, Megawati senantiasa
menyosialisasikan pentingnya menegaskan dan mengukuhkan kembali
ideologi sebagai jalan perjuangan partai. Untuk menguatkan hal itu,
Megawati dan PDI-P rela menapaki jalan sunyi sebagai partai politik
oposisi satu dekade untuk konsolidasi dan mematangkan basis partai. Ia
memiliki kesempatan untuk melakukan perekrutan dan kaderisasi partai di
semua level.
Kedua, Jokowi merupakan representasi dari transformasi kepemimpinan
baru, sekaligus memperlihatkan keberhasilan kaderisasi di tubuh partai.
Ia diharapkan jadi pelopor kepemimpinan kaum muda, yang kuat dan teguh
di tengah tantangan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan yang terus
membengkak; di tengah-tengah frustrasi sosial masyarakat yang tak
berdaya melihat masa depan yang lebih baik. Tantangan ini jelas tidak
ringan. Ia perlu mengembangkan demokrasi matang yang mampu me¬m¬be¬ri
arah kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, ia selalu menegaskan, unsur
kepemimpinan sangat penting dimiliki seorang presiden. Menjadi presiden
mudah, jadi pemimpin jauh lebih sulit.
Ketiga, melalui deklarasi ini Megawati membangun kepolitikan baru
dengan menunjukkan bahwa parpol bertanggung jawab menghasilkan
kader-kader terbaiknya mengelola bangsa dan negara ini. Partai tak bisa
lagi berpangku tangan, tetapi ikut bertanggung jawab terhadap sepak
terjang kader partainya. Karena itu, ideologi kerja menjadi bagian dari
praktik keseharian pengelolaan partai dan dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan negara. Hal itu merupakan wujud kerangka hubungan
dinamis antara negara dan rakyat yang membuat penguatan partai menjadi
agenda krusial dan sebuah keharusan.
Deklarasi capres PDI-P mungkin hanya langkah kecil dari perjalanan
panjang Jokowi menuju RI-1. Tentu akan banyak pertanyaan yang diajukan
publik kepadanya tentang komitmen dan kerja nyata untuk kebaikan bangsa
ini. Yang jelas, Jokowi dan PDI-P tidak boleh gagal mencoba
mempertahankan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya. Jokowi akan
dihadapkan pada tuntutan tentang pemerintahan baru, yang membutuhkan
inovasi, imajinasi, kebijakan, dan visi baru mengelola bangsa dan negara
ini.
Perjalanan 16 tahun reformasi membutuhkan sebuah kepemimpinan bukan
sekadar keahlian diplomasi, dan satu-satunya tes yang valid dari
kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin, yaitu memimpin dengan
penuh semangat dan tidak cepat berpuas diri dalam kerja nyata untuk
rakyat. Singkatnya, Jokowi akan dihadapkan pada tantangan pembuktian
kepemimpinan generasi baru untuk mengatasi masalah-masalah baru dan
peluang baru. Jokowi tentu saja tidak sendiri. Di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara baru, banyak orang muda yang merengkuh puncak
kekuasaan, yang tidak terikat oleh tradisi masa lalu, yaitu orang-orang
yang tidak dibutakan oleh kekhawatiran dan membenci persaingan, orang
muda yang dapat membuang slogan lama; delusi dan kecurigaan. Jokowi
memang harus membuktikan bahwa pilihan dan mandat Megawati terhadapnya
tepat.
Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI
Sumber tulisan:
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/03/15/1219105/Deklarasi.untuk.Indonesia
Sumber tulisan:
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/03/15/1219105/Deklarasi.untuk.Indonesia
No comments:
Post a Comment