Thursday, October 04, 2007

Khatam Al-Quran

Minggu (30/9) malam, bertepatan dengan 19 Ramadhan, alhamdulillah, aku berhasil khataman al-Quran yang pertama.

Khatam, bahasa Arab, artinya penutup, akhir dari sebuah rangkaian. Berbeda dengan kata khalas, yang artinya selesai; dari sebuah proses. Kata khatam, misalnya, digunakan pada kata khatamun anbiya atau penutup --rangkaian-- para nabi; dimulai sejak Adam as dan diakhiri oleh Muhammad saw sebagai penutupnya. Kata ini juga bisa ditemukan pada istilah khusnul khatimah, atau akhir --kehidupan-- yang baik, atau meninggal dalam keadaan baik, bukan dalam keadaan maksiyat kepada Allah.

Bagi warga Bumiayu yang suka menggunakan istilah Arab, kata khatam digunakan juga saat sudah selesai membaca cerita silat Kho Ping Hoo yang berjilid-jilid itu. :)

Alhamdulillah, setiap bulan Ramadhan, saya bisa sekali khatam membaca al-Quran dalam bahasa Arab (tadarrus). Entah sejak SD kelas berapa aku memulainya, yang terbayang jelas dalam ingatan saya adalah al-Quran tua yang ada di rumah nenek yang dulu saya baca, saat pertama kali memulai khataman al-Quran. Sejak itu, sekali khatam membaca al-Quran di bulan Ramadhan seperti sudah menjadi kewajiban buat saya.

Akhir-akhir ini, setelah merasa semakin tua, mulai timbul keinginan atau nawaitu untuk membuatnya menjadi 2 kali khatam dalam bulan Ramadhan. Ternyata sangat berat. Setelah khatam yang pertama, rasanya seperti tidak ada semangat untuk membaca ulang. Seperti ada perasaan sudah tidak "wajib" lagi. Tetapi memang, perbuatan baik kadang harus dipaksakan, harus dilatih. Pepatah bilang: bisa karena biasa.

***
Apa sih manfaat membaca al-Quran, toh seluruh teks Arab yang dibaca tidak bisa sepenuhnya dipahami? Bagi saya pribadi, membaca al-Quran membuat jiwa saya merasa tenang. Mungkin sama dengan orang yang mendengar musik klasik, Beethoven atau Bach, yang konon bisa membuat perasaan menjadi tenang dan emosi menjadi cerdas.

Dari sekian banyak "musik", maka tadarrus, membaca al-Quran dengan nada-nada tertentu, adalah "musik" yang paling bisa membuat saya merasa tenteram. Saya membaca sendiri, membuat lagu sendiri, dan menikmati sendiri.

Menurut saya, kenikmatan mendengarkan pembacaan al-Quran sangat personal, tergantung dari pengalaman jiwa masing-masing. Kawan saya, Fadli Zon, katanya tidak suka dengan tilawatil quran-nya Muammar ZA yang meliuk-liuk itu, tetapi saya sangat suka. Sebaliknya, Fadli Zon sangat suka dengan tilawah-nya Syeikh Abdurrahman Sudais yang dari Makkah itu, tetapi saya kurang suka.

Tetapi ada satu kesamaan, ada kenikmatan yang bisa ditemukan atau diraih dari pembacaan ayat-ayat suci al-Quran, baik saat dibaca orang lain maupun saat dibaca sendiri: kenikmatan batin, ketenangan jiwa, dan ketentraman emosi.

***
Kenikmatan membaca al-Quran akan lebih mencapai puncaknya, mencapai titik optimum, ketika kelancaran membaca al-Quran diiringi nada yang enak, senandung yang mengalun sesuai dengan selera jiwa, dan pemahaman atas apa yang dibaca.

Bagi orang awam seperti kita, mungkin tidak perlu seluruh terjemahan harus dipahami. Ada beberapa tema pokok saja yang mungkin perlu dimengerti, seperti perintah shalat, puasa, zakat, infaq, sedekah kepada fakir miskin, amal shaleh, memenuhi janji, berbuat baik kepada orang tua, dan balasan-balasan atas amal manusia yang disediakan Allah.

Saat tadarrus, kita bisa menangis pada saat membaca ayat-ayat tentang balasan surga, azab neraka, atau bahkan turut bersedih karena memahami kepedihan dan ketabahan nabi Yaqub saat ditinggal nabi Yusuf anak kesayangannya.

Namun demikian, meski jika Anda tidak mengerti sama sekali arti dari ayat-ayat yang dibaca itu, saya yakin, Anda akan tetap bisa menikmatinya.

Somewhere, someplace, sometime, sepertinya kita semua pernah mendengar sebelumnya. Mungkin saat kita masih di alam langit, saat kita belum terlahir ke dunia ini. Maka, saat kita mendengarnya kembali di dunia ini, seperti ada rasa rindu yang terobati. :)

2 comments:

Pelayanan Customer said...

Saya bukanlah Doktor atau pakar astronomi, namun bila membaca kecenderungan mas Fahmi yg memilih imkanur rukyat dengan segala aturan yg seolah-olah terlihat ilmiah namun intinya hanyalah merupakan sebuah kompromi antara hisab dan rukyat. Dan itu tidak lah ilmiah karena terkesan diada-adakan dan dipaksakan. Bagi saya orang awam justru lebih memahami titik 0 sebagai referensi awal dan itu sesuai dengan kaidah ilmiah. Kalau mas fahmi berani melecehkan seseorang dengan kata sok pintar...lalu apa bedanya dengan anda sendiri..? Wassalam.

Fami Fachrudin said...

Mas Ferry yang baik,

Saya tidak pernah menganggap kriteria imkanur rukyah lebih ilmiah dari wujudul hilal, atau sebaliknya wujudul hilal lebih ilmiah dari imkanur rukyah.

Saya juga tidak pernah berpendapat wujudul hilal tidak ilmiah, atau imkanur rukyah tidak ilmiah.

Jika saya menganggap suatu pendapat tidak ilmiah, pasti karena saya tahu alasannya, dan saya bisa menjelaskannya. "Orang ilmiah" tentu tidak akan berpendapat tanpa alasan, debat kusir, atau berdiskusi secara pokrol bambu.

After all, saya tidak ingin membawa perdebatan wujudul hilal dan imkanur rukyah pada area mana yang lebih ilmiah.

Jika Anda menganggap wujudul hilal lebih ilmiah dari imkanur rukyah, it's none of my business :)