Monday, October 15, 2007

Rukyatul Hilal

Rukyatul hilal adalah salah satu metode untuk menentukan awal bulan qamariyah. Rukyatul hilal artinya melihat hilal (crescent moon atau bulan sabit), yaitu bulan yang pertama muncul dan dapat dilihat pada setiap awal bulan qamariyah. Istilah ini selalu disebut-sebut --dan menjadi perdebatan yang seolah tiada habisnya karena terus berulang setiap tahunnya-- menjelang puasa Ramadhan hingga menjelang Idul Fitri.

Mengapa rukyatul hilal? Karena ada sabda Nabi Muhammad saw yang mengatakan berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat hilal. Karena hadits tersebut, banyak ummat Islam menggunakan metode ini untuk menentukan awal Ramadhan, Idul Fitri (Syawal), dan Idul Adha (Dzulhijjah).

Mengapa hanya pada 3 bulan itu saja rukyatul hilal menjadi penting? Karena di dalamnya ada 3 ibadah yang sudah ditentukan tanggalnya. Berpuasa sejak 1 Ramadhan, Idul Fitri pada 1 Syawal, dan Idul Adha pada 10, 11, dan 12 Dzulhijjah, serta tanggal yang sangat krusial yaitu 9 Dzulhijjah ketika jamaah haji melaksanakan wukuf, inti dari pelaksanaan ibadah haji, di Arafah.

Bagaimana melaksanakan rukyatul hilal? Ada ulama yang masih berpendapat, melihat hilal harus dengan mata telanjang (naked eyes), ada yang membolehkan dengan teropong, ada yang cukup dengan menggunakan hitungan (hisab) kapan secara teoritis hilal sudah mulai nampak (imkanur rukyah).

Metode penentuan bulan baru qamariyah (lunar calendar) berdasarkan penampakan bulan baru (visibility of the new crescent moon), telah digunakan oleh berbagai kebudayaan sejak 5000 tahun yang lalu, sejak kira-kira 1000 tahun sebelum lahirnya Nabi Ibrahim. Demikian menurut situs An Einstein Year Project, sebuah situs yang menampilkan laporan tentang bulan baru.

Menyadari kenyataan bahwa tradisi rukyatul hilal adalah tradisi tua, yang sudah hidup di tengah bangsa-bangsa Arab selama ribuan tahun, kita bisa memaklumi mengapa Nabi saw mengeluarkan sabdanya yang terkenal itu. Bahkan Al-Quran sendiri tidak terlepas dari tradisi tersebut:
Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: "Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji." (QS 2: 189)
***
Tradisi tua itu, setidaknya sudah berumur 1400 tahun dalam tradisi Islam, kini menghadapi tantangan baru. Perhitungan kalender qamariyah modern sudah banyak yang menggunakan metode hisab (perhitungan), tanpa perlu lagi bergantung hilal terlihat (visibility of the new crescent moon), bahkan tanpa perlu menghitung kemungkinan bulan terlihat atau tidak. Itulah metode hisab yang dikenal dengan kriteria wujudul hilal, bulan baru sudah di atas garis ufuk > 0 derajat pada saat matahari terbenam, setelah sebelumnya terjadi konjungsi atau ijtimak.

Di Indonesia, baru Muhammadiyah yang menggunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal. Persis (Persatuan Islam) yang dalam banyak hal mirip Muhammadiyah, untuk masalah ini lebih memilih menggunakan hisab dengan kriteria imkanur rukyah (kemungkinan bulan terlihat). Kelompok-kelompok lain yang lebih tradisional masih belum beranjak dari rukyatul hilal.

Kesulitan orang meninggalkan tradisi yang sudah berumur ribuan tahun ini tentu mudah dipahami. Bukan hanya kita, kanjeng Nabi Muhammad, yang ajarannya berlaku untuk seluruh ummatnya hingga akhir zaman, menggunakan tradisi tua ini sebagai metode untuk menentukan awal bulan qamariah. Bahkan Al-Quran sendiri mengikuti setting budaya visibility of the new crescent moon.

Apa yang dilakukan Muhammadiyah, dalam tradisi Islam, adalah sebuah terobosan baru atau --menurut pakar astronomi dari LAPAN Dr. T Djamaluddin-- tafsiran baru. Penentuan awal bulan qamariyah dengan hisab wujudul hilal adalah sebuah tradisi modern yang sama sekali terlepas dari tradisi visibility of the new crescent moon yang sudah berumur ribuan tahun.

***
Perbedaan akan muncul pada ketinggian bulan tertentu, misalnya pada ketinggian bulan di atas ufuk masih di bawah 2 derajat tapi sudah di atas NOL derajat, seperti terjadi tahun ini (1428H/2007M). Secara teroritis bulan pasti tidak mungkin dapat dilihat, oleh karenanya pengguna metode rukyatul hilal dan metode hisab dengan kriteria imkanur rukyah akan menyatakan lusa sebagai awal bulan baru, tetapi pengguna metode hisab dengan kriteria wujudul hilal akan menyetakan besok sebagai awal bulan baru.

Perbedaan tersebut membuat banyak orang awam bingung, karena penentuan awal bulan-bulan itu berkaitan dengan ibadah. Contohnya, berpuasa pada 1 Syawal hukumnya haram. Untuk tahun ini, 1 Syawal-nya Muhammadiyah adalah 30 Ramadhan-nya Persis.

Contoh lain, berpuasa pada 10, 11, dan 12 Dzulhijjah juga haram, sementara berpuasa pada 9 Dzulhijjah hukumnya sunnah. Jika pengguna wujudul hilal meyakini 1 Dzulhijjah lebih awal satu hari dari rukyatul hilal, maka ada kemungkinan mereka berpuasa sunnah saat jamaah haji sedang wukuf pada tanggal 10 Dzulhijjah. Jika mereka berpuasa sunnah pada 9 Dzulhijjah, jamaah haji belum wukuf, padahal puasa sunnah tersebut adalah puasa solidaritas terhadap jamaah haji yang sedang wukuf, bukan puasa karena tanggal 9 Dzulhijjah.

Belum lagi kalau mau menghitung malam lailatul qadar. Malam ganjil bagi Muhammadiyah bisa jadi malam genap bagi Persis, jika keduanya memulai awal puasa pada hari yang berbeda.

Perbedaan-perbedaan ini membuat kesakralan tanggal-tanggal tersebut menjadi relatif. Jika Tuhan sangat demokratis dan cenderung membenarkan semua pendapat ummat-Nya, maka malam lailatul qadar tidak lagi diturunkan hanya pada malam ganjil, tetapi dapat turun sewaktu-waktu tidak perlu menunggu ganjil atau genap, karena keduanya relatif. Ganjil bagi rukyatul hilal bisa berarti genap bagi wujudul hilal.

Akan tetapi kata orang awam, yang pasti, pada jaman Nabi Muhammad saw dahulu, malam lailatul qadar turun pada malam ganjil sejak hilal terlihat pada awal Ramadhan :)

No comments: