Melihat maraknya diskusi di banyak milis mengenai perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal di Indonesia, yang terjadi hampir setiap tahun, saya ingin meringkas permasalahan dan perbedaan pandangan yang ada.
- Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal dapat dilakukan (i) dengan cara perhitungan (hisab) atau (ii) dengan cara melihat hilal (rukyatul hilal atau biasa disebut rukyah saja).
- Pihak yang berpedoman pada rukyah berpendapat bahwa, cara ini lebih sesuai dengan sunnah karena Nabi saw menganjurkan untuk memulai dan mengakhiri puasa karena "melihat hilal" sebagai sabdanya yang terkenal itu. Sementara, pihak yang menggunakan metode hisab berpendapat bahwa, --ringkasnya-- Islam tidak membatasi penentuan awal Ramadhan dengan melihat hilal secara kasat mata, tetapi dapat dilakukan melalui perhitungan karena Allah sudah berfirman bahwa peredaran bulan dan matahari mengikuti suatu ketetapan yang tidak berubah-ubah.
- Perbedaan pendapat sebenarnya tidak terjadi antara hisab versus rukyah saja, tetapi juga sesama hisab maupun sesama rukyah; (i) perbedaan sesama hisab karena adanya perbedaan kriteria, (ii) sementara perbedaan sesama rukyah bisa karena peralatan yang digunakan; ada yang berpendapat harus dengan mata manusia sebagaimana sabda Nabi saw secara letterlijk, ada juga yang berpendapat bisa dilihat dengan peralatan modern seperti teropong bintang.
- Perbedaan sesama hisab, misalnya, terjadi antara Muhammadiyah dan Persis. Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal, keadaan di mana posisi bulan sudah berada atas di ufuk, berapapun ketinggiannya. Sementara Persis menggunakan ketentuan imkanur rukyah, di mana ketinggian bulan minimal 2° di atas ufuk.
- Perbedaan antara Muhammadiyah dan Persis terjadi pada tahun ini. Sesuai perhitungan (hisab), pada tanggal 29 Ramadhan pukul 12 siang telah terjadi ijtimak atau konjungsi (salah satu syarat astronomis untuk terjadinya bulan baru qamariyah, di mana posisi bulan dan matahari berada pada satu garis bujur dilihat dari posisi bumi, dan bulan berada pada posisi yang lebih dekat kepada matahari), dan ketinggian bulan di atas kota Yogya adalah 0,45° pada saat matahari terbenam.
- Menurut Muhammadiyah, karena bulan sudah di atas ufuk meski hanya sebesar 0,45°, maka besoknya sudah bisa dihitung sebagai bulan baru, oleh karena itu Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal pada 12 Oktober 2007. Sedang menurut Persis, karena ketinggian bulan kurang dari 2°, maka besoknya belum dianggap memasuki bulan baru, oleh karenanya Persis memutuskan 1 Syawal jatuh pada tanggal 13 Oktober.
- Di luar Muhammadiyah dan Persis, ada juga pendapat lepas dari para pakar. Misalnya pendapat Prof. Ir. Said Jenie, ScD, Kepala BPPT, seorang doktor yang menggeluti astrodynamic. Ia mengajukan syarat-syarat terjadinya bulan baru, yaitu:
- tinggi bulan > 2°,
- luas hilal > 1.5 %,
- separasi dg matahari > 10° dan
- umur hilal sejak ijtima' > 7 jam.
- Dengan syarat itu, Prof Said Jenie berpendapat bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 13 Oktober karena pada tanggal 29 Ramadhan atau 11 Oktober kondisi bulan adalah sebagai berikut:
- Tinggi bulan rata-rata 0 derajat 16 mnt s/d 1 derajat 05 menit,
- Luas hilal 0.16% -0.35%, hampir tak mungkin kelihatan,
- Separasi dg matahari cuma 5°, sehingga kecerlangan langit menghalangi kontrasnya bulan.
- Umur sejak terjadi ijtima' baru 5 jam.
- Saya pribadi berpendapat, setelah mengikuti diskusi ini selama bertahun-tahun dan mempelajari berbagai pendapat yang ada, pendapat Prof Said Jenie dan Persis lebih bisa diterima akal saya, jika kita berpikir dalam kerangka hisab dan rukyah sekaligus.
- Melihat hilal memang tidak harus diartikan secara letterlijk. Karena posisi bulan dan matahari yang sudah pasti --sebagaimana disebut Al-Quran-- maka posisi masing-masing benda langit tersebut juga bisa dihitung dengan ilmu hisab. Sementara itu, secara astronomis kita juga bisa menentukan kriteria benda-benda angkasa yang dapat terlihat dan secara fisika kita bisa menentukan definisi benda terlihat. Dengan ketentuan saintifik seperti itu, kita bisa menentukan kapan bulan terlihat tanpa harus melihatnya dengan mata kita. Dengan kriteria-kriteria seperti diajukan Prof Said Jenie, jika kondisinya terpenuhi, kita sudah bisa langsung memutuskan pergantian bulan tanpa perlu melihat hilal.
- Sementara itu, menurut seorang pakar fisika dari ITS menjelaskan, ketentuan yang digunakan oleh Muhammadiyah lebih bisa dipertanggungjawabkan karena kriteria bulan terlihat, apakah itu 2°, 5°, 7°, atau 9°, tidak ilmiah. Maka, paling aman bagi Muhammadiyah adalah menggunakan titik NOL sebagai acuan untuk penentuan awal bulan baru. Sayangnya, dia tidak mau menjelaskan di mana ketidak-ilmiah-an pendapat bahwa hilal pada ketinggian 2°, 5°, 7°, atau 9° bisa dilihat.
- Di luar ketentuan teknis tersebut di atas, ada juga perbedaan pendapat, siapa yang berhak menentukan awal dan akhir Ramadhan? Orang-orang salafi mengatakan hanya pemerintah yang berhak menentukan. Mereka yang berharap pada kesatuan ummat Islam dalam merayakan idul Fitri juga menghendaki adanya otoritas pemerintah dalam menentukan hari tersebut. MUI juga pernah mengeluarkan fatwa, yaitu fatwa no 2/2004 yang isinya mewajibkan kepada ummat Islam di Indonesia mengikuti keputusan pemerintah dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun demikian, ada juga pihak-pihak yang berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu campur tangan dalam urusan ibadah warganya. Campur tangan pemerintah bisa juga dilihat sebagai upaya yang bertentangan dengan cita-cita negara sekuler Indonesia.
- Jadi? Jangan berharap pada pemerintah atau ormas Islam, silahkan Anda memutuskan sendiri. Indonesia adalah negara merdeka. Anda pun bebas menentukan kapan lebaran Anda. Dengan informasi yang saya ringkas di atas, mudah-mudahan Anda yang membaca artikel ini bisa menentukan lebaran mana yang akan dinikmati.
- Cheers :) :)
No comments:
Post a Comment