Thursday, August 31, 2006

The Fortune at the Bottom of the Pyramid

Ingin tahu solusi alternatif bagaimana cara mengentaskan kemiskinan melalui kapitalisme? Baca buku The Fortune at the Bottom of the Pyramid, karya C. K. Prahalad, diterbitkan oleh Wharton School Publishing, New Jersey, 2005

Buku ini diawali dari perenungan: Apa yang telah kita lakukan terhadap orang-orang miskin di seluruh dunia? Mengapa dengan segala pengetahuan teknologi, managerial know-how, dan kemampuan investasi yg kita miliki, tidak mampu memberikan kontribusi bahkan secara minor sekalipun terhadap problem kemiskinan global? Mengapa kita tidak mampu menciptakan inclusive capitalism (kapitalisme inklusif)?

Meskipun LSM telah bekerja tanpa mengenal lelah untuk mempromosikan solusi lokal (local solutions) dan local entrepreneurship, gagasan entrepeneurship dalam skala besar sebagai solusi yang memungkinkan bagi pengentasan kemiskinan belumlah menemui akarnya. Nampaknya, para politisi, birokrat, dan para manajer perusahaan besar baik yang berskala nasional maupun global sepakat pada satu hal: orang miskin urusan Negara. Kesepakatan implicit ini sangat mengganggu. Sektor swasta berskala besar hanya dilibatkan secara marjinal dalam menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan 80% problem kemanusiaan.

Lalu kita bertanya: bagaimana jika kita memobilisasi seluruh sumberdaya, skala, dan lingkup (scope) perusahaan-perusahaan besar untuk secara bersama-sama menciptakan solusi bagi the bottom of the pryramid (BOP), yaitu mereka 4 miliar penduduk dunia yang hidup dengan penghasilan di bawah 2 US$ per hari? Mengapa kita tidak bisa memobilisasi kapasitas investasi perusahan-perusahaan besar bersama dengan kemampuan dan komitmen LSM dan masyarakat yang membutuhkan bantuan itu sendiri?

Penulis menganjurkan kita untuk mengesampingkan beberapa “for and against”, setuju atau melawan, pandangan-pandangan dunia. Misalnya, “apakah kamu setuju globalisasi atau tidak setuju?”, adalah pertanyaan yang kurang baik. Globalisasi, seperti pergerakan sosial lainnya, membawa kebaikan dan keburukan. Demikian juga, global atau lokal bukanlah debat yang menguntungkan. Juga debat antara perusahaan kecil (microfinance) atau perusahaan besar (multinational firms), bukanlah debat yang menguntungkan. Jelasnya, penulis ingin menghindari paternalisme terhadap kemiskinan yang biasa ada dalam LSM, agen-agen pemerintah, maupun multi-national corporations (MNC).

Secara singkat, hubungan-hubungan yang diharapkan dapat terwujud adalah:

Private enterprise melalui atau bersama-sama dengan (1) organisasi masyarakat sipil dan pemerintah lokal dan (2) agen pembangunan dan bantuan, untuk menggarap BOP consumers dan BOP entrepreneurs guna tercapainya Economic Development and Social Transformation. Dengan kata lain, membangun kemampuan entrepeneurship dan meningkatkan buying power BOP.

Buku ini juga memuat berbagai studi kasus di berbagai negara berkembang mengenai pengentasan kemiskinan melalui partisipasi MNC dengan membangun kemampuan ekonomi mereka yang hidup dengan penghasilan di bawah US$2 per hari.

Komentar-komentar atas buku ini:

The Bottom of the Pyramid belongs at the top of the reading list for business people, academics, and experts pursuing the elusive goal of sustainable growth in the developing world. C. K. Prahalad writes with uncommon insight about consumers need in poor societies and opportunities for the private sector to serve important public purposes while enhancing its own bottom line. If you are looking for fresh thinking about emerging markets, your search is ended. This is the book for you.”
__Madeleine K. Albright, Former US Secretary of State.

C. K. Prahalad argues that companies must revolutionize how they do business in developing countries if both sides of that economic equation are to prosper. Drawing on a wealth of case studies, his compelling new book offers an intriguing blueprint for how to fight poverty with profitability.”
__Bill Gates, Chairman and Chief Software Architect, Microsoft.

Sunday, August 27, 2006

Haedar Nashir: Jalan Islam

Mon, 21 Aug 2006 23:11:02 -0700 (PDT)
[bacaan-islam-bermutu] Haedar Nashir: Jalan Islam

Republika, Minggu, 20 Agustus 2006

Jalan Islam
Oleh: Haedar Nashir


Banyak jalan orang menjadi Islam. Menjadi lebih Muslim. Meningkat lagi jadi mukmin. Amar bin Yasir sekeluarga pada awal masuk Islam sempat tak tahan oleh siksaan kaum Quraisy, sehingga seolah berubah akidah dan menimbulkan gunjingan di kalangan para sahabat kala itu. Tapi Nabi sangat memercayai dan memakluminya. Sahabat Nabi yang satu ini akhirnya menjadi sahabat akbar. Umar bin Khattab masuk Islam melalui proses yang kontoversial, tetapi akhirnya menjadi tokoh penting dalam barisan depan Islam. Menjadi Khalifah yang ternama, populis, jujur, dan egaliter.

Para Wali dan pendakwah generasi awal memiliki cara sendiri dalam menyebarkan Islam di Nusantara tercinta ini. Dengan pendekatan yang lentur dan penuh damai, penduduk negeri ini secara mayoritas kemudian menjadi Muslim. Tapi kisah sukses Islamisasi tersebut tak sekali jadi. Tidak linier. Islamisasi berlangsung secara kultural, bagai air mengalir. Menurut Benda Islamisasi itu berlangsung dalam dinamika persambungan sekaligus perubahan. Di Jawa prosesnya menurut Geertz melahirkan komunitas santri dan abangan, yang kini melakukan konvergensi. Sehingga menjadi Islam tidak berarti melucuti diri secara total dari akar kultural sebelumnya. Selalu hadir dialektika yang unik, kadang penuh mozaik.

Tapi di kemudian hari memang tumbuh kerigidan. Pola ortodoksi hadir dengan kuat hasil transmisi Islam Timur Tengah akhir abad ke-19. Mengalir deras arus pemurnian dalam gelombang yang cenderung keras. Islam kemudian menjadi kaku dan mudah memvonis. Islam harus identik dengan kesantrian dalam orientsi ortodoksi yang serba formalis. Sedangkan dunia abangan menjadi sesuatu yang diasingkan, seolah bukan Islam. Kendati kata Nakamura ada sisi lain, melahirkan sosok kesalehan khas orang Jawa. Atau menampilkan format lain, dalam sosok Kyai Dahlan yang mujadid (reformis), berorientasi amal-kemajuan, dan menampilkan warna kesalehan sufistik (ihsan).

Karena pola ortodoksi yang kuat, tabligh pun lantas kehilangan kearifan. Kehilangan hikmah. Kurang sentuhan edukasi. Kering dialog yang cerdas. Kurang pemahaman tentang proses menjadi Islam. Menjadi Muslim. Menjadi mukmin. Menjadi muhsin. Tabligh hanya mengenal satu jalan, serba memvonis. Sangat sensitif terhadap perbedaan. Mengasingkan keberislaman orang lain yang dianggap kurang Islami. Atas nama tabligh, dengan mudah memandang orang tak sepaham sebagai sesat, tidak Islami. Tabligh berarti kaku, serba keras. Menjadi penafsir tunggal dan otoritatif.

Padahal Tabligh sejatinya menyampaikan risalah Islam "bi al-hikmah, wa al-mauidhÆ’t al-hasanat, wa jadil-hum bi al-lati hiya ahsan (QS. An-Nahl: 125). Arus-utama tabligh ialah "mencegah kemunkaran dengan kekuasaan/tangan, lisan, dan hati" yang mendahulukan kekuatan karena hati adalah selemah-lemah iman. Atau memakai pandangan yang populer, "sampaikan kebenaran walaupun pahit", qul al-haqq wa law kana murran. Tabligh pun serba pahit seperti pil kina. Katanya, obat memang harus pahit. Menjadi Muslim dan juru dakwah pun lantas menjadi sulit untuk tersenyum. Menebar sukma kasih sayang.

Atas nama tabligh, di antara kita sering dengan mudah memandang orang lain sesat paham dan tidak Islami. Menganggap bengkok dalam ber-Islam. Lalu perlu diluruskan. Lahirlah pandangan Islam jalan lurus. Tabligh dalam praktik lebih mengedepankan tandhir sambil mengabaikan tabsyir. Akibatnya Islam yang ditampilkan dalam tabligh menjadi kehilangan hikmah. Telunjuk dengan mudah melihat orang lain serba salah, diri sendiri paling benar. Kadang kehilangan muhasabah diri, apakah kita telah benar-benar Islami lahir dan batin, lisan dan tindakan. Islam yang menjadi teladan.

Maka sungguh tak mudah menampilkan risalah Islam yang lentur, damai, dan berproses kultural. Islam warna kasih sayang, Islam rahmat bagi semesta alam. Islam yang hikmah, Islam yang maudhitaltul hasanah. Islam yang dialogis. Islam yang penuh tasamuh, toleran. Islam yang menampilkan suasana tuma'ninah. Islam tawashut, jalan tengah. Islam yang lemah-lembut. Islam moderat, tanpa harus kehilangan pondasi keyakinan Islami.

Kenapa tak mudah? Karena Islam rahmat pun akan didekonstruksi oleh pandangan lain yang kontras. Bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk taat dan yakin total tentang kebenaran agamanya, tanpa kompromi. Bahwa toleransi dan damai ada batasnya. Bahwa umat Islam pun harus membela diri, tidak boleh berdiam diri dan menyerah. Bahwa pada kenyataannya, banyak musuh-musuh Islam. Islam damai dianggap tak mampu menghadang dunia serba keras terhadap Islam. Islam moderat pun dianggap mandul dan tak memberikan solusi. Tandingannya ialah Islam yang formalis dan keras, karena dari model seperti itulah Islam dan umat menemukan eksistensi dirinya. Itulah Islam yang tak "tercemar", Islam "murni".

Di sinilah dilema teologis Islam damai. Islam rahmat. Islam kultural. Pada akhirnya harus memiliki teologi yang kokoh, yang akan berhadapan dengan perspektif teologi yang lain, yang menampilkan Islam yang "haqq", Islam yang "murni", dan Islam "ideologis". Sekali bandul risalah Islam damai diayunkan, maka ayunan itu akan berputar-putar di lahan umat Islam sendiri yang beragam-macam pandangan-pandangan keislamannya. Pada titik inilah risalah Islam damai dan Islam rahmat tidak akan mampu menembus dinding dan tembok teologis Islam yang mengeras. Lebih-lebih ketika ideologi-politik Islam ikut masuk di dalamnya, maka Islam kian mengeras. Kehilangan daya lentur. Jalan Islam yang mengeras selalu punya dalih teologis hingga sosiologis.

Bahkan seolah menjadi solusi tunggal dari hingar-bingar liberalisme-sekulerisme yang naif dan dicemaskan. Dari politik global yang memusuhi Islam hingga beragam paham yang dipandang sesat. Lalu Islam yang mengeras tampil ke permukaan. Para tokoh atau aktivisnya pun menjadi idola baru, sebagai penjaga Islam garis lurus. Pemilik ghirah Islam garda depan. Penjaga Islam murni, Islam ideal. Lebih-lebih ketika kaum liberal-sekuler pun menampilkan radikalisme atau sikap fundamentalis yang tak kalah garangnya. Islam jalan "lurus" jadi pilihan.

Di sinilah dilema Islam damai. Islam moderat. Bagaimana Islam damai dan moderat hadir di tengah ketidakadilan dunia yang serba mengancam dan memporakporandakan tatanah kehidupan, termasuk yang menimpa umat Islam sedunia. Islam damai bahkan didekonstruksi karena ketakberdayaannya melawan kekerasan terhadap umat Islam. Islam moderat pun dipandang kehilangan karakter Islamnya yang murni. Begitulah logika teologis dan sosiologis yang memperlemah peran Islam damai, Islam rahmat, Islam moderat.

Di tengah perbenturan dunia kehidupan yang serba ekstrem itulah, tak mengherankan jika sementara aktor Islam pun harus menyerah terhadap keadaan yang serba dilematik. Setidak-tidaknya mencari cara yang lebih aman. Kadang menampilkan sisi lain, yakni berayun-ayun di banyak medan gerakan. Tentu ada nilai plusnya, untuk merawat keseimbangan. Tapi jika tanpa pencerahan, yang tinggal adalah pengawetan ortodoksi. Kekakuan tetap tak pernah beranjak dari tempatnya. Bahkan telah menjadi "true believers", yang bersikukuh menempuh jalan yang cenderung mengeras dalam klaim Islam jalan lurus.

Kita tak tahu persis corak jalan Islam yang dapat memberi harapan baru di masa depan. Akan seperti apakah wajah dan tampilan Islam di negeri tercinta ini. Alih-alih sambil menanti pergumulan yang tengah berlangsung, tak ada salahnya menengok pula dunia umat di akar bawah, juga di sebagian lingkungan elite dan aktivis. Benarkah kita sungguh-sungguh telah menjadi otentik dalam ber-Islam? Jawabannya harus faktual, bukan idealisasi.

Sementara di dunia nyata beragam masalah masih terus melilit umat ini. Dari perkara-perkara politik yang sarat dilema hingga ke masalah sosial-ekonomi yang terus mengalami marjinalisasi. Keduanya tak kalah krusial menyelimuti tubuh umat Islam saat ini. Padahal, kemarjinalan yang terawetkan, dengan mudah dapat menjadi katalisator bagi tampilan Islam yang serba mengeras. Lalu, --jangan sampai-- jalan Islam ke depan akhirnya bergerak ke ranah terjal di Republik ini.

Friday, August 25, 2006

Tears of Heaven

”Sebagai seorang Kristen fundamentalis, dulu aku mendukung Israel, membenci orang-orang Arab, dan memandang PLO sebagai teroris yang harus dikutuk dan ditakuti.

Pengalamanku di Sabra-Shatila menyadarkanku bahwa orang Palestina adalah manusia. Seperti orang-orang lain, aku harus menghadapi kenyataan yang pahit, aku harus bertobat –kebodohan dan prasangkaku telah membutakan mataku dari penderitaan bangsa Palestina.

Buku ini adalah kesaksianku.”

Buku ”From Beirut to Jerusalem”, karya dr. Ang Swee Chai, 1989, 2002. Diterjemahkan penerbit Mizan dengan judul ”Tears of Heaven: Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsi Palestina”, Juli 2006.

Lingkungan religi dr. Ang Swee Chai membuat ia mendukung Israel. Media internasional menimbulkan kesan bahwa orang Arab adalah teroris. Namun pada 1982, saat Israel menyerbu Beirut dengan brutal, dr. Ang mulai mempertanyakan anggapannya itu.

Anggapannya semula tentang David dari bangsa Israel dan Goliath dari bangsa Filistin penakluk yang meneror lawan-lawannya serta merta berubah setelah melihat pembantaian Sabra-Shatila. Israel telah menjadi Goliath, seorang raksasa angkuh yang membawa kehancuran, teror, dan kematian kepada saudaranya, Lebanon.

Mendengar bahwa dibutuhkan sukarelawan ahli bedah untuk merawat para korban perang di Beirut, ia memutuskan untuk mengajukan diri. Ia berhenti dari pekerjaannya di rumah sakit, ia tinggalkan suami tercintanya di London, menuju Beirut yang dicabik-cabik perang.

Di kamp pengungsian Palestina, di Shabra dan Shatila, akhirnya ia menemukan jawaban itu. Ia balik memihak rakyat Palestina, memihak keadilan dan kemanusiaan. Di tanah asing, ia pertaruhkan nyawanya untuk membela orang-orang yang tak punya hubungan darah maupun etnis dengan dirinya, untuk melaksanakan tugasnya sebagai dokter dan manusia.

Penggalan salah satu surat terbuka dr. Swee yang tidak sempat dipublikasikan, karena tidak ada koran yang mau memuat, karena dianggap tidak mempunyai nilai berita:

.......
Mereka membutuhkan setiap bantuan dan dukungan yang dapat Anda berikan. Banyak dari mereka yang secara mental telah siap menanggung kelaparan atau mati kedinginan, namun mereka meminta kepada saya untuk memohon kepada Anda agar mengganggap mereka sebagai manusia –seperti diri Anda sendiri—dan mereka berharap status mereka diakui sebagai manusia.
.......


Di tengah hangatnya perang Israel-Lebanon yang baru saja usai dengan diberlakukannya gencatan senjata, buku ini layak dibaca untuk menyaksikan kebrutalan Israel dan penderitaan bangsa Palestina dan Lebanon melalui kesaksian dr. Ang Swee Chai. Jika ada ulama yang memfatwakan tidak perlunya membantu Hezbollah dan Lebanon dalam perang kemarin, bahkan dalam bentuk doa sekalipun, dan banyak yang mengikuti fatwa tersebut, mungkin mereka perlu membaca buku ini agar mata hatinya terbuka. :)

Segera miliki bukunya!

Thursday, August 24, 2006

Fikih Otoritatif Untuk Kemanusiaan

Dari Penerbit Serambi

Serambi, 27-Juli-2005

Khaled Abou el-Fadl: Fikih Otoritatif Untuk Kemanusiaan
Oleh: Hasan Basri Marwah*

"Pemikiran umat Islam selama beberapa abad terakhir ini berkutat pada persoalan pro-Barat atau anti-Barat daripada memfokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih penting: apakah pemikiran umat Islam pada saat ini pro-manusia atau anti-manusia? Apakah pernyataan doktrinal Islam saat ini manusiawi atau tidak?," demikian komentar Prof. Dr. Khaled Abou el-Fadl, seorang sarjana, pakar, dan dosen Hukum Islam di UCLA (University of California Los Angeles), Amerika Serikat, ketika menanggapi tuduhan bahwa pemikirannya terlalu 'bias' ---berpihak pada Barat.

Pernyataan Khaled tersebut menggambarkan sosoknya yang memiliki perhatian mendalam terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan moral. Seluruh energi pemikirannya dicurahkan untuk membangun dan mendinamisir tatanan moral dan tatanan kemanusiaan yang ada. Perbincangan apapun, termasuk perbincangan mengenai agama harus diletakkan dalam wawasan kemanusiaan dan moral. Beragama, ungkapnya, tidak lain adalah bertujuan memperkaya khazanah kemanusiaan bukan malah merusaknya. Oleh karena itu, tidak akan ada pembenaran secuilpun dalam agama bagi kekerasan dan sikap diskriminatif terhadap sesama. Seorang yang beragama harus berkomitmen terhadap kemanusiaan dan moral dan berani bersikap kritis terhadap semua bentuk pelanggaran dan perusakan nilai-nilai kemanusiaan yang ada tanpa perkecualian.

Khaled, seperti dalam pengakuannya, sangat mengenal sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme, dan puritanisme --apapun namanya-- yang berkembang di tengah umat Islam. Dalam beberapa tahun terakhir ini dia terlibat dalam berbagai debat publik mengenai promosi Islam yang moderat dan damai. Dengan integritas dan keberanian intelektual dia mengkritik semua klaim kebenaran kalangan fundamentalis Islam yang dinilainya memelintir dan menyederhanakan masalah, dan secara tidak langsung mempersempit Islam itu sendiri.

Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963 dari keluarga terdidik yang sederhana. Orang tuanya adalah muslim taat yang sangat terbuka dalam bidang pemikiran. Diakuinya dengan jujur, bahwa pada masa remaja ia terlibat dalam gerakan puritanisme yang memang subur di lingkungannya. Hari-harinya dipenuhi dengan utopia tentang sebuah 'kelompok terbaik' dan 'kelompok yang mewakili Tuhan' di atas bumi. Selain itu, setiap kali bertemu dengan orang, dia menyampaikan ajaran puritanisme yang dianggapnya paling benar. Tak terasa sebagian masa remajanya habis tersedot oleh mimpi puritanisme yang membuatnya benci, tertutup, dan marah-marah pada orang lain di luar kelompoknya.

Untunglah Khaled memiliki orang tua yang shaleh dan terpelajar. Mereka menawarkan berbagai khazanah keilmuwan Islam dari berbagai aliran kepada Khaled. Maklum saat itu Wahabisme yang menjadi mazhab negara telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat. Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi wahabisme menetapkan mana bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat.

Dengan bacaan yang luas mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga Khaled mulai menyadari adanya kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.

Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin berkembang ketika akhirnya dia menetap di Mesir. Di negeri Piramid tersebut ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya.

Namun bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. Ketika menempuh pendidikan lanjutan di Yale University, Amerika Serikat untuk meraih B. A. (Bachelor of Art) kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban yang tak terhapuskan. Namun tugas-tugas belajar menyedot energinya. Selepas dari Yale tahun 1986, Khaled melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989. Pada tahun 1999 dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi dalam bidang Islamic Studies yang pada saat bersamaan ia harus menempuh studi Hukum di UCLA. Akhirnya di UCLA pula ia membangun karir kesarjanaan dalam bidang Hukum Islam. Selama menempuh kuliah Khaled sempat menjadi Panitera di Pengadilan negara bagian Arizona. Pernah juga menjadi praktisi hukum dalam masalah hukum imigrasi dan investasi.

Saat ini selain menjadi profesor hukum Islam di UCLA, Khaled mengajar di Princeton, University of Texas, dan Yale university. Terlibat juga sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak Imigran. Selama beberapa tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat.

Di kenal oleh banyak teman dekatnya sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia penggemar berat legenda Diva Arab (sayyidah al-Ginaa ) Ummi Kultsum. Sambil mendengarkan musik, hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku-bukunya yang mencapai kurang lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya.

Sebagai pakar dan aktivis hukum, Khaled dikenal sebagai penulis yang prolifik/produktif, antara lain:

Islam and the Challenge of Democracy (Princeton University Press, 2004)

The Place of Tolerance in Islam (Cambridge University , 2001)

Rebellion dan Violence in Islamic Law (Cambridge University , 2001-edisi Indonesianya akan diterbitkan Serambi)

Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, dan Woman (Oneworld Publication, 2001)

Melawan Tentara Tuhan (terjemahan dari And God knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse (2001))

Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab ( terjemahan dari Conference of The Books: The Search for the Beauty in Islam (2001))

The Authoritative and The Authoritarian in Islamic Discourse
(2001)

The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (HarperSanFrancisco, 2005) *)

Selain menulis buku, Khaled memiliki paper kuliah yang berjumlah ratusan dan artikel di media massa yang tak terhitung. Produktivitas menulisnya sangat jelas didukung oleh penguasaan yang luas atas khazanah klasik Islam dan keilmuwan kontemporer. Siapapun membaca karya-karya Khaled akan menemukan dan merasakan adanya komunikasi atau dialog antara khazanah klasik Islam dengan khazanah pengetahuan kontemporer tanpa perbenturan dan konflik seperti yang sering dikhayalkan banyak orang.

Bukunya, Musyawarah Buku (serambi 2003) misalnya, mengisahkan dialognya dengan para ulama masa lalu seperti Imam ibnu Hambal, Al-Jahiz, dan al-Juwainy. Dengan bahasa prosa yang elok, Khaled meratapi betapa banyak umat Islam yang asing dengan tradisi klasik Islam. Menurutnya, dengan sikap terbuka dan lapang dada seorang akan menemukan pengkayaan dalam membaca khazanah klasik Islam. Pada sisi lain, Khaled meratapi hilangnya kebebasan intelektual di kalangan umat Islam di berbagai wilayah selama berabad-abad.

Sedangkan dalam buku Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman (Oneworld Publication, 2001) yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Serambi dengan judul terjemahan Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif , Khaled mengkritisi sikap otoriter sejumlah kalangan umat Islam yang merasa 'paling benar' dalam menafsirkan Teks Suci al-Qur'an dan Hadis. Mereka, menurut Khaled, seharusnya mengatakan bahwa tafsiran mereka hanya salah satu dari tafsir atas Kitab Suci selain ribuan tafsir yang berbeda di tengah umat Islam.

Dalam buku Atas Nama Tuhan tersebut Khaled lebih menekankan kajian pada kritik atas Fikih Islam. Penguasaanya yang luas atas khazanah klasik Fikih Islam memungkinkannya mengkritik kesalahan cara ijtihad sekelompok umat Islam. Misalnya, kelompok-kelompok yang 'main comot' hadis atau ayat Suci tanpa memahami konteks, makna, maghza, dan signifikansi moralnya. Ayat Suci dan Hadis mereka jadikan proyek hukum positip tanpa menyadari bahwa kedua sumber otoritatif tersebut adalah sumber moral. Sebagai sumber moral, al-Qur'an dan Sunnah akan memberikan pencerahan kepada para pembacanya dalam kehidupan mereka.

Pemegang Otoritas dan Peralihan Singkat

Dalam tradisi Islam, Teks Suci (al-Qur'an) merupakan representasi dari 'otoritas' (kewenangan) Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak seorangpun mengabaikan Kitab Suci. Seorang muslim yang tulus selalu merujuk Kitab Sucinya ketika menghadapi masalah di dalam kehidupannya. Ketika masih hidup, Nabi dipandang sebagai orang yang paling otoritatif (paling berwenang), memiliki persyarat yang dapat dipercaya, untuk menafsirkan semua kehendak Allah. Wewenang atau otoritas Nabi ditetapkan secara tertulis di dalam Al-Qur'an. Selain itu wewenang beliau juga tercermin dalam prilaku dan visi moral yang terpancar dalam kehidupan beliau.

Setalah Nabi Saw meninggal, Al-Qur'an dan catatan mengenai seluruh dimensi kehidupan Nabi menjadi rujukan para penganut agama Islam. Kedua sumber ini sampai hari ini masih menjadi rujukan utama dalam kehidupan umat Islam. Tapi persoalan tidak selesai pada titik ini. Pertanyaannya, apakah kedua teks tersebut berbicara sendiri? Apakah kedua sumber tersebut bisa menyelesaikan persoalan manusia sendiri?

Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabat dengan integritas moral yang tinggi mendapatkan wewenang atau menjadi sumber rujukan dalam memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Wewenang sahabat-sahabat lebih dilihat integritas moral mereka, seperti ditunjukkan Abu Bakar atau Umar bin al-Khattab.

Krisis politik dan badai perubahan semakin kuat dan cepat di kalangan umat Islam. Sepeninggal sahabat-sahabat yang otoritatif tersebut, kekuasaan politik mengambil alih wewenang secara sewenang-wenang. Mua'wiyah yang berkuasa mengatakan, bahwa dirinya yang memiliki wewenang yang pernah dimiliki oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya. Pada saat itu, sejumlah ulama sudah mulai muncul di berbagai wilayah kekuasaan umat Islam. Mereka ini biasanya menolak predikat-predikat politik yang ditawarkan. Kuluhnya kekuasaan politik membuat para ulama lebih bersikap hati-hati dalam mengambil sikap. Pada satu sisi mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk masyarakat dan agama, pada sisi lain mereka terus ditekan oleh kekuasaan untuk melegitimasi kekuasaan mereka.

Contoh lainnya, Misalnya, ketika Khalifah al-Manshur meminta Imam Malik menjadikan kitabnya al-Muwatha' sebagai undang-undang negara dan dia menolak, karena beliau yakin akan banyak tidak sesuai dengan pendapat-pendapat ulama lain di berbagai wilayah lain. Sikap Imam Malik ini menujukkan tingginya integritas, muru'ah , dan sikap toleran atas perbedaan. Dan menurut Khaled Abou el-Fadl, di balik penolakan Imam Malik tersebut tersirat, bahwa posisi seorang fuqaha adalah sebagai mediator, jembatan, atau penengah antara berbagai kepentingan di dalam komunitas umat Islam. Imam Malik juga menunjukkan bahwa seorang ulama tidak boleh terkooptasi oleh kekuasaan politik.

Dengan demikian sangat jelas, bahwa ’wewenang' seorang ulama atau intelektual sangat ditentukan oleh cerminan moral, integritas kepribadiannya, dan sikap independennya. Khaled mengatakan, bahwa 'wewenang' seorang ulama sangat ditentukan oleh kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan dan rasionalitas yang dimilikinya. Rasionalitas misalnya, walaupun abstrak tetapi rasionalitas tidak pernah bertentangan dengan kesepakatan tentatif dari sebuah komunitas dalam menentukan posisi sesuatu. Orang yang rasional tidak mungkin dikelabui dengan perubahan penampilan pakaian seorang koruptor besar. Mereka tetap saja mengenalinya dengan segala perubahannya.

Dengan demikian 'wewenang' seorang ulama adalah suatu wewenang yang tentatif dan tidak mutlak. Wewenang tersebut lahir dari besarnya tanggung jawab, metodologi, dan persyarat lainnya. Hasil pemikiran atau penafsiran seorang ulama atas maksud dan kehendak Allah di dalam kitab Suci-nya sangat ditentukan oleh ketekunan, ketelitian, kehati-hatiannya dan tentu saja manfaatnya bagi seluruh manusia. Makanya, Khaled seringkali bertanya: Apakah pemahaman kita atas makna-makna dari Kitab Suci Al-Qur'an dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari membuat sesama kita, tetangga kita atau saudara-saudara kita merasa damai hidup berdampingan dengan kita?

Dalam tradisi fikih dikenal istilah badzlu wushu'i atau badzl qarihah atau pengerahan segala daya upaya dalam melakukan penafsiran ajaran agama. Pasase ini menggambarkan bahwa besarnya tanggung jawab seorang ulama dalam melakukan penalaran atas makna dari al-Qur'an ataupun Sunnah Nabi. Sebagus apapun hasil ijtihad mereka itu tidaklah mutlak. Sehebat apapun hasil ijtihad mereka itu tetaplah relatif dan tidak menggugurkan pendapat lainnya. Hasil memang bukan segalanya, kata Khaled, tetapi semangat moral atau etos moral dibalik proses ijtihad tersebut seharusnya menginspirasi kita sebagai pewaris ilmu pengetahuan untuk bersikap terbuka dan toleran atas perbedaan.

Tanpa integritas, etos moral, dan kesungguhan seseorang yang menyelami makna Al-Qur'an akan terjerumus pada sikap otoriter (sok berwenang), yang mana kepentingan pribadinya akan mewarnai hasil pemahamannya. Contohnya, banyak pemakaian Hadis secara acak dan sembarangan oleh banyak kalangan untuk mendukung kepentingan-kepentingan mereka. Di katakan acak karena hadis-hadis yang sedemikian banyak itu diambil begitu saja dari kitab-kitab hadis tanpa mau mengecek ulang tingkat riwayat, kategori matan, dan konsekwensi moral dan sosialnya jika diterapkan.

Bagi Khaled, Hadis selain harus mengetahui ilmu kritik matan dan kritik riwayat harus dibarengi kemampuan menangkap visi moral dalam kehidupan Nabi Muhammad, sirah beliau. Misalnya, jika ditemukan hadis-hadis yang tidak sesuai dengan sikap Nabi yang damai, penyayang, adil, dan sebagainya, maka hadis itu layak dipertanyakan.

Sederhanya, Khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos keilmuwan yang pernah ada dalam sejarah umat Islam di tengah ramai atau riuhnya ’klaim' (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai maksud Allah dan Nabi sampai-sampai mereka merasa sebagai satu-satunya orang yang paling ’mewakili' Allah dan Rasul, mereka lupa bahwa setiap orang diberikan mandat ’menjadi wakil Allah' (khalifah) di muka bumi.[]

*Peneliti pada Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan P3M Jakarta
Sumber: http://www.jaringanislamemansipatoris.com

*) Judul buku ini tidak ada dalam artikel aslinya.

Tuesday, August 22, 2006

Menyoal Validitas Hisab dan Rukyat

Opini: Menyoal Validitas Hisab dan Rukyat
(Sunday, 09 October 2005)
- Kontribusi dari Taufik Munir


Menyoal Validitas Hisab dan Rukyat

Berbeda dengan negara-negara Timur Tengah, bulan suci Ramadhan 1426 di tanah air jatuh pada hari Rabu, bertepatan dengan tanggal 5 Oktober 2005. Seperti pengamatan Penulis, negara-negara Timur Tengah seperti Mesir, Saudi Arabia, Qatar dan Jordan melaksanakan puasa pada hari Selasa (4/10), atau sehari sebelumnya. Sebagaimana ditegaskan menteri Agama, Maftuh Basyuni, Keputusan tersebut diambil berdasar data hisab yang dihimpun Badan Hisab dan Rukyat (BHR) Departemen Agama bahwa di seluruh Indonesia tidak terlihat hilal. Berdasarkan hal tersebut, bulan Sya'ban harus digenapkan menjadi 30 hari. (Republika, 4 Oktober2005).

Ketetapan itu tidak berbeda antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) seperti yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Ada kemungkinan Persatuan Islam (Persis) yang bermetodologikan hampir sama dengan Muhammadiyah dalam penggunaan metode Hisab, juga menetapkan di hari yang sama.

Dengan demikian, kita bisa memprediksikan adanya penyatuan langkah dalam menetapkan Idul Fitri 1425 antara ketiga ormas terbesar itu. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, ormas yang satu kadang lebih cepat atau lebih lambat dari yang lain dalam menetapkan akhir dan bulan baru. Tak ayal, ilmu hisab kerap dijadikan kambing hitam munculnya perbedaan pendapat atau kontraversi Idul Fitri itu. Sehingga ada sebagian ulama memfatwakan bahwa metode rukyat (mengamati visibilitas hilal atau bulan sabit pertama) adalah lebih baik daripada metode hisab. Ulama itu mengemukakan dengan berpedoman pada satu dalil, yaitu sebuah Hadis berlafazkan shorih (letterlijk) yang memerintahkan puasa dan berbuka berdasarkan rukyat.

Jelas, tidak ada satu dalil Hadis atau satu ayat al-Quran pun yang memerintahkan umat Islam berpuasa berdasarkan hisab. Tapi benarkah pendapat bahwa rukyat adalah lebih baik daripada hisab? Lalu apakah rukyat masih relevan untuk digunakan di zaman teknologi canggih seperti sekarang ini?

Metode hisab atau perhitungan pergantian bulan berdasarkan ilmu astronomi (falak) merupakan hasil dari sebuah inovasi dari seorang ilmuwan astronomi Arab. Kendatipun demikian, Johannes Kepler (1571-1630) satu-satunya ahli astronomi Jerman yang menggagas pertama kali dimasukkannya ilmu falak ke dalam hierarki ilmu pengetahuan dalam terminologi modern, setelah melalui serangkaian eksperimentasi dan penelitian yang dilakukan para pendahulunya. Tigateori dasar yang dicetuskan Kepler mampu menelaah perkiraan tempat benda-benda langit atau menjelaskan gerakan orbit secara akurat.

Lalu pada tahun 1667, ilmuwan Inggeris Isaac Newton(1642-1727) menerbitkan bukunya yang terkenal. Dalam bukunya tersebut Newton bukan hanya memberi tafsiran baru seputar tiga hukum Kepler, ia bahkan membuat suatu sistem mekanika alam dengan mengkalkulasi hukum fisika di hampir semua bagian luar angkasa: bulan, Mars, Venus atau bahkan di tempat-tempat lain di jagat raya.

Seperti halnya Kepler, ia juga mengemukakan tiga teori besar, pertama, teori bahwa suatu benda bergerak karena ada kekuatan dari luar. Kedua, teori bahwa setiap gerak akan menimbulkan gerak sebanding dengan arah berlawanan. Dan ketiga, teori GravitasiUniversal. Semua teori mekanika Newton ini kelak dimanfaatkan manusia untuk menjawab hampir semua masalah alam.

Yang menarik, mekanik alam ini ternyata menyatakan bahwa semua fenomena gerak --baik yang berhubungandengan gerak planet di sekitar matahari, gerak peluru pada objek sasaran, atau gerak apel yang jatuh kebumi-- semuanya bertekuk lutut dengan hukum fisika tadi. Itu artinya, siapapun tidak perlu melakukan eksprerimentasi yang pelik atau bangun di malam hari untuk membuat prakiraan gerakan materi dan mengetahui lokasinya. Bahkan semua yang 'dirasakan' hanyalah perlunya mengetahui semua faktor tarik-menarik (gravitasi) pada tiap-tiap benda tersebut. Lalu tinggal mempraktekkan teori hukum fisika tersebut untuk mencatat fakta-fakta sekitar yang ingin diketahui, misalnya untuk mengetahui lokasinya dalam per-detik, kecepatannya atau bentuk garis edarnya.

Salah satu faktor lain mengapa para ilmuwan semakin percaya dengan metode ilmu pasti, karena prestasinya sudah melampaui dugaan semua orang, ia mampu 'menghisab' atau menghitung peredaran planet dan benda-benda langit lain, seperti halnya mampu memperkirakan munculnya gerhana matahari dan bulan, tidak sekedar memprakirakan kemunculan gerhana di masa yang akan datang, melainkan juga di masa lampau. Semua dijelaskan dengan detail dan sangat akurat.

Serangkaian prestasi serupa telah diciptakan dua orang tokoh astronomi dari Inggeris dan Perancis berdasarkan hukum Newton (Newtonian) dalam menafsirkan faktor konfusi peredaran planet Uranus dan kontroversi peredaran Uranus yang melenceng dari yang diperkirakan. Kedua ilmuwan ini menjelaskan, bahwa rotasi Uranus mengalami collaps karena tunduk pada pengaruh sebuah planet yang tidak dikenal saat itu, yang terletak amat jauh dari Uranus. Planet yang misterius itu kemudian dikenal dengan nama Pluto, setelah diketahui melenceng satu derajat dari yang diperkirakan.

Aspek Dunia dan Akherat

Ketika pesawat antariksa Apollo mendarat di bulan, Bill Andreas -pilot pesawat- ketika ditanya oleh anaknya siapa guide pesawat yang membawa ayahnya berhasil menuju bulan, ia menjawab: yang memegang sistem kendali pesawat itu adalah Newton dengan hukum gravitasinya.

Kemudian muncullah seorang ilmuwan Jerman, Albert Einstein (1916), melemparkan teori Relativitas Umum yang menambal-sulam semua kekurangan yang terjadi dalam sistem mekanika Newton. Relativitas Umum berbasiskan asas kesetaraan yang mengatakan bahwa: hukum-hukum alam harus dituliskan dalam bentuk demikian sehingga tak mungkin membedakan antara medan gravitasi serbasama dengan suatu kerangka acuan yang dipercepat. Dengan Teori Relativitas Umum, garis edar planet Merkurius yang berinteraksi dengan matahari (juga dengan planet-planet lain) dapat dijelaskan secara lebih akurat bila dibandingkan dengan menggunakan Hukum Gravitasi Universal. Meski demikian, Hukum Gravitasi Universal cukup memadai untuk keperluan praktis karena bentuknya yang lebih sederhana.

Sebagai contoh, Einstein meralat kesalahan fisikis tentang gerakan planet Merkurius dan mencapai 43 detikper-abad. Kesalahan seperti ini lebih kecil dari penampakan sehelai rambut ketika dibawa dan dibentangkan jauh-jauh. Para ahli astronomi saat ini melakukan perhitungan mencapai batas hampir sempurna pasca pengiriman pesawat antariksa Voyager-2, pesawat penjelajah yang mampu mendekati garis edar planet Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus.

Yang kita pertanyakan, mengapa umat Islam sekarang ini tidak memanfaatkan dinamika "ilmu falak" tersebut yang pada nantinya umat Islam dengan mudah bisa menentukan permulaan bulan Ramadhan dan Idul Fitri? Bukankah yang mampu memberitahu waktu tibanya peristiwa gerhana matahari/bulan, wabilkhusus terjadinya dua fenomena tersebut, mekanisme dan posisinya di permukaan bumi seperti yang kita saksikan pada tahun 1999 juga tahu posisi matahari/bulan? Atau benarkah memanfaatkan sarana penemuan-penemuan ilmiah tersebut bertentangan dengan akidah Islam? Lalu bagaimana teologi Islam memandang orang yang bersikap kontra terhadap ilmusains tersebut?

Kita terlena dengan mengkonsumsi teknologi modern dalam urusan duniawi, sementara kitaenggan menggunakan dasar-dasar sains modern untukmeningkatkan kualitas keberagamaan kita. Apakah masukakal, kita ajari anak-anak di sekolah dasar-dasarsains modern tentang evolusi/revolusi bumi atau revolusi bulan, sementara dalam kehidupan sehari-hari kita pura-pura bodoh? Kita bisa menyaksikan bulan di tanah air, Saudi Arabia, Irak, Mesir dan Maroko, sementara di Suriah dan Aljazair tidak terlihat sama sekali? Apakah bulan itu tiba-tiba saja langsung meloncat ke sebagian negara lain? Ataukah sembunyi dibalik bukit?

Memang benar bahwa Rasulullah saw menyuruh kita berpuasa dengan terlebih dahulu memastikan 'kemunculan' hilal dengan sabdanya yang terkenal: "Berpuasalah berdasarkan rukyat hilal, dan berbukalah berdasarkan rukyat hilal". Namun Rasulullah memerintahkan kita dengan metode visibilitas hilal tersebut karena tak lepas dengan dua faktor: Pertama, rukyat adalah salah satu media atau cara peneropongan satu-satunya yang acceptable waktu itu, sebab memang belum ada penemuan atau penciptaan alat pendekat atau pembesar seperti teropong dan sebagainya hingga abad ke-17. Karena itu, tidak mengherankan jika Rasulullah saw mendorong umat manusia dapat me-rukyat (melihat dengan mata telanjang) adanya hilal dan memastikan keberadaannya dengan segala cara, karena memang tidak perlu dengan cara rukyat kalau memang ada media yang lebih baik dan lebih akurat. Kedua, bahwa media tercepat untuk mentransfer informasi pada saat itu adalah kuda. Bila seorang penunggang kuda dari Madinah diberi tugas untuk menginformasikan tibanya bulanRamadhan pada masyarakat Damaskus di Syria, ia akan menyampaikannya pada saat itu juga. Begitu juga apabila Ramadhan berakhir, rakyat Damaskus akan menyambut berita itu dan langsung memperingati hari raya Idul Fitri.

Situasi seperti itu sungguh jauh berbeda dengan saatini. Di era teknologi canggih seperti sekarang, hampir di setiap rumah ada telpon, televisi dan radio. Di masjid kita menggunakan sound system dengan tujuan sebagai pengeras suara azan, menggunakan lampu listrik sebagai alat penerangan, atau menggunakan AC untuk mengatur suhu udara di dalam masjid. Begitu pula kita menggunakan media hisab terkini untuk memperhitungkan posisi bulan atau memakai satelit dan teleskop tercanggih yang tidak terpengaruh segala macam cuaca, untuk menegaskan keberadaan bulan dilangit.

Media teknologi canggih yang kita konsumsi itu semuanya untuk memfasilitasi umat Islam dalam urusan agama dan dunia. Ditambah lagi dengan sulitnya"melihat" hilal tanpa alat apapun: misalnya pada fase bulan purnama, hilal merupakan obyek yang lemah dan tidak mudah dikenali oleh mata manusia. Setelah maghrib misalnya, hilal bisa tampak dan lokasi penampakan hilal tersebut ada di dekat horizon barat. Nah, untuk bisa berhasil melihatnya memerlukan konsentrasi dan waktu yang tepat. Walaupun siklus itu dapat terus berulang, namun kesempatan melihat hilal sangat langka dan sulit. Kesulitan itu terjadi karena cuaca berawan atau faktor fisikis dan psikologis manusia itu sendiri.

Hilal itu sendiri tidak selalu identik dengan tanduk yang membentuk setengah lingkaran. Pada saat-saat tertentu, tanduk luar cahaya itu membaur karena turbulensi atau perputaran bumi, sehingga terkesan hilang. Nah, semakin muda hilal, semakin sulit pula untuk menyaksikannya secara kasat mata. Dalam keadaan seperti ini, tak jarang sebagian yang belum berpengalaman akan menyimpulkan bahwa "hilal tidakmuncul". Dan, ini adalah salah satu faktor perbedaan permulaan puasa dan awal Syawal (Idul Fitri).

Adapun orang yang memang 'kekeuh' dengan pendiriannya agar terus berpegangan kepada teks Hadis di atas, tampaknya belum melihat pada maksud yang melatarbelakanginya. Ilustrasinya persis seperti dua orang di sebuah kamar: orang pertama berpesan kepada orang ke-dua agar lekas menyelesaikan pekerjaannya tepat jam 2 siang. Tapi rupanya orang ke-dua tidak mengetahui cara mengetahui waktu tersebut. Kemudian orang pertama tadi mengingatkan bahwa jam 2 akan tiba apabila sebuah kendaraan lewat di depan jendela. Posisinya menjadi sulit manakalah orang ke-dua tadi ternyata tidak tahu kalau sebuah mobil sudah melewati jendela pada saat itu juga! Nah, kalau jam 2 siang tidak ada satu kendaraanpun yang lewat, bagaimana?Tidak apa-apa, yang penting intinya adalah menyelesaikan tugasnya itu dengan segala cara, tidak perlu menunggu kendaraan!

Karena itu, yang pertama kali dilakukan adalahpembentukan sebuah 'lajnah' atau badan khusus yang menangani keputusan atau kasus sederhana seperti ini. Dan yang kedua, menghindari ratusan juta muslimin dari permainan jampi-jampi yang mereka alami tiap tahun atas nama kebodohan dan kesalahpahaman mereka terhadap agama, khususnya kewajiban menggunakan alat bantu teleskop atau penggunaan teknologi mutakhir untuk mewujudkan tibanya bulan Ramadhan pada tiap tahunnya,agar hasilnya nanti dapat ditransper ke sebuah channel satelit yang disiarkan ke berbagai jutaan pemirsa Muslim ke berbagai belahan dunia. Dengan demikian, keseragaman awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri bisa terjadi.

7 Oktober 2005
# Taufik Munir

(Red.: Dimuat atas ijin penulis Akh. Taufik yang berdomisili di Tangerang, Jabar)

http://www.imsa.us/- Indonesian Muslim Society in America (IMSA)

Keinginan Menulis Etika Bisnis Islam

Aku prihatin dengan dunia bisnis di Indonesia. Sebagai bangsa dengan penduduk Muslim terbesar, praktek bisnisnya seperti tidak mengenal etika sama sekali. Praktek suap (rasuah) sudah menjadi kegiatan yang dianggap lumrah. Padahal Nabi saw sudah mengatakan "Laknat Allah untuk yang menyuap dan disuap". Lalu saya baca dalam salah satu kode etik karyawan Xerox Inc, yang berlaku bagi semua karyawannya di seluruh dunia, di sana disebut dengan jelas larangan bagi pegawai untuk memberikan suap kepada pihak lain.

Apa yang terjadi dengan ajaran Islam di Indonesia? Apakah kurangnya petunjuk-pelaksanaan bagi implementasi etika Islam untuk berbisnis? Kurang kampanye tentang pentingnya etika Islam dalam berbisnis?

Untuk mendalami persoalan ini, dengan harapan kelak bisa menulis tentang Etika Bisnis Islam, aku memesan sejumlah buku ke Amazon.com sebagai berikut:

Islamic Business Ethics
Rafik Issa Beekun
The International Institute of Islamic Thoughts, Herndon, Virginia
1997

Impact of Religion on Business Ethics in Europe and the Muslim World: Islamic versus Christian Tradition
Ingmar Weinen
Peter Lang GmbH, Frankfurt, Germany
1999

Eighty Exemplary Ethics Statements
Patrick E. Murphy
University of Notre Dame Press, Notre Dame, Indiana
1998

The Ethical Imperative: Why Moral Leadership Is Good Business
John Dalla Costa
Perseus Publishing, Cambridge, Massachusetts
1998


Global Code of Conduct: An Idea Whose Time Has Come
Oliver F. Williams, C. S. C., Editor
University of Notre Dame Press, Notre Dame, Indiana
2000
Minggu lalu buku-buku tersebut sudah tiba, melengkapi koleksi buku-buku etika bisnis yang sudah aku beli sebelumnya di Toko Buku Gramedia, Jakarta.

Entah kapan, suatu saat saya harus bisa menulis dan menghasilkan buku tentang Etika Bisnis Islam.

Semoga!

Friday, August 18, 2006

Skisma Dalam Islam Sebuah Telaah Ulang

Diambil dari Media Isnet, gabungan dari tiga tulisan (1/3), (2/3), dan (3/3)

SKISME DALAM ISLAM SEBUAH TELAAH ULANG
oleh Jalaluddin Rakhmat

Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat Kristianitas terbelah dua pola: Gereja Romawi dan Gereja Yunani. Mereka berpisah seperti "a biological species divided in space and diversified in time." Kristen Yunani berdoa sambil berdiri, Kristen Romawi sembahyang sambil berlutut. Pembaptisan di Yunani dilakukan dengan penyelaman, di Romawi dengan pemercikan. Pernikahan dilarang bagi pastor Romawi, tetapi diperbolehkan bagi pastor Yunani. "Kiai" Yunani memelihara janggut, sedangkan rekannya dari Roma mencukurnya. Pastor Romawi ahli politik, pastor Yunani ahli teologi. Terakhir, teolog Yunani menolak tambahan filioque pada syahadat sex patre filioque procedit hasil perumusan Gereja Romawi. Pada tahun 1043, Michael Cerularius, Patriarch Konstantinopel, menyebarkan tulisan yang mengkritik keras Paus di Roma. Sebagai balasan, Paus St. Leo mengekskomunikasikan Cerularius dan menggelari pengikut-pengikutnya sebagai "an assembly of heretics, a conventicle of schismatics, a synagogne of Satan." (Durant, 1950:544).

Peristiwa ini disebut sebagai skisma besar Gereja Timur. Lebih dari tiga abad kemudian, kardinal-kardinal Perancis berkumpul di Anagui, mengeluarkan manifesto yang mengatakan pemilihan Paus Urbanus VI tidak sah. Sebagai gantinya, mereka mengangkat Robert dari Genewa dengan gelar Clement VII. Dua Paus bertahta, masing-masing menyebut yang lain sebagai Judas. Pertentangan keduanya dan pengikutnya sampai kepada tingkat saling mengkafirkan. Menurut laporan Will Durant (Durant, 1953:362) "Each side claimed the sacraments administered by priests of the opposite obedience are invalid, and that the children so baptized, the penitents so shriven, the dying so anointed, remained in a state of mortal sin, doomed to hell or limbo if death should supervene."

Peristiwa ini pun disebut sebagai Skisma Besar. Skisma memang bukan istilah Islam. Sebuah kamus klasik, Encyclopedisch Woordenbock voor Groot-Nederland (Ter laan, 1937:648) menjelaskan makna skisme:

Schisma, (Gr.= shedding), de afscheiding van een deel van de Gr. Katholieke kerk van Rome, 1054; de sheuring in de. R.K. kerk, 1378-1407, toen er verschillende pausaen tegelijk waren.

Bila skisme adalah istilah Kristiani, mengapa kita tiba-tiba bicara tentang skisme dalam Islam. Pernahkan Islam mempunyai Paus dua dan di antara keduanya ada tuduhan saling mengkafirkan? Bukankah umat Islam adalah "ummatan wahidatan" (QS. 23:53; 21:92)? Bukanlah mereka seperti bangunan yang kokoh, yang saling menguatkan satu same lain; atau seperti tubuh yang satu, sehingga kalau satu anggota sakit, anggota-anggota lainnya ikut demam dan panas?

Mula-mula saya menganggap istilah skisme dalam Islam sebagai mengada-ada; sehingga begitu saya mendengarnya, saya segera berkomentar, "Ah, ada-ada saja!." Tetapi, setelah saya merenungkan pertanyaan-pertanyaan di atas terlintas dalam ingatan saya sebuah hadits, Nabi Muhammad berkata, "Kalian akan mengikuti tradisi umat sebelum kalian, sesiku demi sesiku, sehingga bila mereka memasuki gua serigala, kamu pun akan mengikutinya. Sahabat bertanya, "Ya Rasullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nashara." Nabi menjawab, "Siapa lagi." [1] Kata skisme tidak mengada-ada. Walaupun skisme berasal dari dunia Kristen, tradisi yang sama telah diikuti umat Islam juga. Ada tiga kesamaan antara skisma Kristiani dengan perpecahan dalam Islam.

Pertama, Will Durant melukiskan skisme besar tahun 1054, ia menulis, "...these galling political events, and not the slight diversities of creed, severed Christendom into East and West" (Durant, 1950:544). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal menulis, "Tidak pernah darah ditumpahkan dan pedang dihunus dalam Islam kecuali karena pertikaian masalah imamah (kepemimpinan)." Secara singkat, baik skisme dalam Kristen maupun skisme dalam Islam lebih banyak dilandasi pertikaian kepentingan politik daripada karena pertikaian aqidah.

Kedua, pertikaian politik sering dicarikan legitimasinya dengan pengembangan teologi yang berlainan. Tidak jarang, legitimasi ini diperoleh dengan memalsukan sumber-sumber ajaran agama atau memberikan penafsiran yang diselewengkan. Pertikaian dalam gereja Katolik, yang semula bersifat politis, kemudian diperluas ke dalam bidang liturgi dan doktrin: begitu pula, dalam Islam. Seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam pun kaum politisi memperbesar perbedaan doktrinal yang kecil untuk menyuburkan fanatisme --saling mengkafirkan dan saling membid'ahkan.

Ketiga, di dunia Katolik pernah muncul gerakan konsiliasi (cinciliar movement) yang dipelopori oleh kaum cendekiawan. William Occam menentang identifikasi Kristianitas dalam gereja tertentu. Heinrich von Langenstein, teolog dari Universitas Paris, menulis buku Concilium Pacis (1381); dan lain-lain. Dalam Islam, tokoh-tokoh cendekia seperti Syaikh Syaltut (dari ahl al-Sunnah), Kasyif Githa (dari Syi'ah), dan Jamaluddin al-Afgani (tidak jelas dari Sunnah atau Syi'ah), menggalakkan upaya-upaya taqrib. Sayang, seperti dalam dunia Kristiani, dalam Islam pun umat terbanyak lebih banyak mendengar suara politisi ketimbang cendekiawan.

Tulisan ini, terus terang saja, ingin mengikuti suara cendekiawan dan mengesampingkan suara politisi. Jadi, walaupun membicarakan skisme, tujuan akhirnya adalah menumbuhkan sikap persatuan --sikap nonskismatik, sikap nonsektarian. Walaupun --karena sifat ajarannya-- Islam tidak memisahkan aspek politik dan aspek intelektual, untuk mudahnya saja, di sini kedua aspek itu dipisahkan. Bagian pertama makalah ini akan membicarakan skisme politik, dan bagian kedua skisme intelektual. Pada bagian akhir, makalah ini akan mengajukan rekomendasi apa yang seharusnya kita lakukan.

Ada beberapa kali terjadi skisme politik besar dalam sejarah Islam: pemberontakan 'Aisyah terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib, pertentangan khalifah antara Mu'awiyah dan Ali bin Abi Thalib setelah perjanjian Shiffin, perlawanan Husayn bin Ali terhadap Yazid, atau penobatan Abdullah bin Zubair (681-692) sebagai Khalifah bersamaan dengan masa Khalifah Yazid, atau penobatan Syarif al-Husain sebagai Khalifah tandingan khalifah Utsmaniyah, yang baru saja dihapuskan tiga hari sebelumnya.

Di antara semua skisme tersebut, skisme yang tetap berpengaruh sampai sekarang adalah skisme-skisme yang melahirkan polarisasi Sunnah - Syi'ah (yaitu tiga skisme yang pertama). Karena itu, di sini kita akan meneliti perbedaan konsep politik di antara kedua madzhab besar itu dan melacak penyebab-penyebabnya.

ANTARA KHALIFAH DAN IMAMAH

Hamid Enayat menyebutkan tiga konsep kunci untuk pandangan politik Ahl al-Sunnah - yakni Khalifah, ijma' dan bay'ah. Ketiga konsep kunci untuk pandangan politik Syi'ah - yakni, imamah, wilayat, dan 'ishmah. Ijma' dan bay'ah diterima juga dalam Syi'ah walaupun dalam arti yang terbatas. Wilayah dan 'ishmah merupakan karakteristik tak terpisahkan dari imamah. Karena itu, abstraksi pandangan politik ahl al-Sunnah dapat disimpulkan hanya pada perbedaan konsep imamah dan khilafah yang dianut Syi'ah. [2]

Al-Syahrustani membedakan di antara kedua madzhab ini dalam hal kepemimpinan politik. Ahl al-Sunnah menetapkan pemimpin melalui kesepakatan (al-ittifaq) dan pemilihan (al-ikhtiyar). Sementara itu, Syi'ah menetapkan pemimpin lewat keterangan agama (nash) dan penunjukan (ta'yin). Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (450 H) dan Abu Ya'la dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyah (458 H) semuanya menulis, "Kepemimpinan ditetapkan dengan dua cara: pertama, pemilihan Ahl al-Hal wa al-'Aqd; dan kedua, penunjukan imam sebelumnya" (Perlu dicatat di sini bahwa penulis-penulis di atas adalah ulama ahl al-Sunnah, tetapi -anehnya menyebut kepemimpinan dengan istilah imamah).

Ahl al-Sunnah berpegang pada ketentuan syura sebagai landasan kepemimpinan dan menunjuk QS. al-Syura 38 dan Ali Imran 164 sebagai dalil. Jadi karena pemimpin adalah hasil syura, pemimpin tidak perlu ditunjuk oleh nash. Umat boleh memiliki (ikhtiyar) pemimpin yang disepakatinya (ittifaq) Dalam kenyataan, Ahl al-Sunnah tidak mempunyai konsepsi yang jelas tentang ketentuan-ketentuan syura, siapa yang memilih, dan berapa jumlah orang yang sepakat.

Menurut Al-Mawardi, syura, boleh dilakukan dalam jumlah terbatas dan ittifaq paling sedikit dilakukan lima orang. Pengangkatan Abu Bakar dipilih oleh Umar bin Khathab, Abu 'Ubaidah bin al-Jarah, Usaid bin Hudhair, Basyir bin Sa'ad, dan Salim Mawla Abi Hudzaifah. Begitu pula Umar mempercayakan Dewan Formatur yang terdiri dari enam orang untuk memilih satu di antaranya sebagai khalifah. Ini pendapat fuqaha Bashrah. Menurut fuqaha Kufah, syura cukup tiga orang dan satu di antara mereka disepakati oleh dua orang yang lain. Bukankah aqad nikah sah dengan dua saksi dan satu wali? Kata kelompok yang lain, syura dan ittifaq cukup dilakukan oleh seorang saja (sic!), seperti ketika 'Abbas mendatangi Ali untuk membai'atnya. Mawardi dalam bukunya, Al-Ahkam al-Sulthaniyah 6-7; dikutip lagi dari Al-Askari, 1406:147.

Akhirnya, menurut Ahl al-Sunnah, pemimpin bahkan dapat disahkan tidak lewat ittifaq tetapi lewat al-ghalabah (kemenangan perang). Empat imam mazhab Ahl al-Sunnah sepakat bahwa pemimpin sah dengan salah satu di antara empat cara (al-Yahfufi, 1406: 234-256), yaitu:

(1) sistem syura yang terbatas (seperti pemilihan Abu Bakar)

(2) sistem istikhlaf (penunjukan pengganti seperti yang dilakukan Abu Bakar terhadap 'Umar

(3) sistem syura dari dewan formatur yang ditunjuk khalifah sebelumnya (seperti pengangkatan Utsman bin Affan)

(4) sistem al-ghalabah bi al-saif (penaklukan dengan kekuatan militer seperti yang dilakukan Mu'awiyah)

Syi'ah berpendapat bahwa imamah hanya sah bila ditegaskan dalam nash. Mereka beryakinan bahwa Rasulullah SA.W. menunjuk pengganti-pengganti sesudahnya untuk memimpin umat Islam. "Sejak pertama kali ia mengajak orang pada Islam," kata Al-Askari (1406:202). "Ia telah memikirkan dan merencanakan pelanjutnya ... untuk menegakkan masyarakat Islam." Sayyid Muhammad Husayn Tabatabai (t.t.: 39) menulis:

From the Shi'ite point of view it appears as unlikely that the leader of a movement, during the first days of his activity, should introduce to strangers one of his associates as his successor and deputy, but not introduce him to his completely loyal and devout aides and friends. Nor does it appear likely that such a leader should accept someone as his deputy and successor and introduce him to others as such, but then throughout his life and religious call deprive his deputy of his duties as deputy, disregard the respect due to his position as successor, and refuse to make any distinctions.

Walhasil, menurut Syi'ah, ada nash-nash yang jelas dari Rasulullah saw. yang menunjukkan Ali sebagai penggantinya dan sebelas orang imam dari keturunannya. [3]

Karena imam itu ditunjuk oleh nash, maka tentu imam adalah orang yang terbaik, bahkan terpelihara dari dosa. Ini melahirkan kontroversi al-fadhil dan al-mafdhul. Al-Hilli (dalam Al-Hasan, 1396: 27) menulis:

Imam mesti yang paling utama dari rakyatnya. Mazhab Imamiyah sepakat tentang hal itu. Al-Jumhur (yakni, Ahl al-Sunnah) membolehkan mendahulukan al-mafdhul di atas al-fadhil. Dengan begitu mereka menyalahi akal dan nash al-Kitab. Akan menganggap tidak baik mendahulukan al-mafdhul dan menghinakan al-fadhil. Al-Qur'an menentang hal itu dengan berkata, "Apakah orang yang memberi petunjuk kepada yang benar lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk, bahkan harus diberi petunjuk. Bagaimana kalian menetapkan keputusan?."

Karena Syi'ah menetapkan al-fadhil dan Ahl al-Sunnah membolehkan al-mafdhul sebagai imam, terjadilah kontroversi berikutnya. Syi'ah melarang dan Ahl al-Sunnah mengharuskan petaatan pada penguasa yang zalim. Al-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim-nya, "Berkata jumhur ahl al-Sunnah dari kalangan fuqaha, mahaddtsin, dan mutakallimun bahwa imam tidak boleh di dimakzulkan karena kefasikan, dan kedzaliman, atau pelanggaran hak. Ia tidak boleh diturunkan dan tidak boleh orang keluar menentangnya. Wajib bagi rakyat menasihati dan memperingatkannya." Sebelum itu ia menulis (Syarh Muslim 12: 229), "Keluar memerangi mereka haram berdasarkan ijma' kaum muslimin, walaupun mereka fasik dan zalim. Sudah jelas sekali hadits-hadits yang menunjukkan pengertian yang saya sebut. Ahl al-Sunnah ijma' bahwa sulthan tidak boleh dimakzulkan karena kefasikan."

Kontroversi selanjutnya adalah tindakan untuk menjawab pertanyaan manakah yang lebih utama, penguasa muslim yang dzalim atau penguasa kafir yang adil. Ahl al-Sunnah memilih yang pertama, dan Syi'ah mengikuti yang kedua. Syi'ah Jawad Mughnuyah (1406: 26) berpendapat, "Ketika Syi'ah menegaskan bahwa khilafah adalah hak ilahi bagi Ali dan keturunannya, mereka telah bersikap ekstrem dalam toleransinya terhadap penguasa yang adil. Mereka mengutamakan non-muslim jika ia adil daripada seorang penguasa Muslim yang dzalim. Ibn Thawus yang masyhur menegaskan, kafir yang adil lebih baik dari Muslim yang dzalim.

Kontroversi lain --yang justru sangat esensial—adalah hubungan antara kepemimpinan relegius dengan kepemimpinan politis. Bagi orang Syi'ah, pada kata imamah (yang secara khusus berarti kepemimpinan ruhaniah) juga terkandung makna wilayah (secara khusus berarti kepemimpinan politis). Dengan demikian, ahl al-bayt --di samping memegang hak kepemimpinan politis-- juga menjadi rujukan dalam masalah-masalah keagamaan. Orang Syi'ah sering mendefinisikan diri mereka sebagai madzhab ahl al-bayt. Sementara itu, sejak berakhirnya Khulafa al-Rasyidun, ahl al-Sunnah memisahkan kedua kepemimpinan itu. Pada bidang religius, misalnya, orang mengikuti Imam Malik, dan pada bidang politis, mereka mengikuti khalifah al-Manshur. Secara politis, ahl al-Sunnah berpegang pada kaidah yang diberikan Ibn Umar pada waktu ada pertikaian antara Ali dan para penentangnya, Nahnu ma'aman ghalab" (Kami bersama orang yang berkuasa).

Dari perbedaan pengangkatan pemimpin (ikhtiyar atau ta'yin), perbedaan kualifikasi pemimpin (al-fadhil atau al-mafdhul), perbedaan preferensi penguasa (kafir yang adil atau muslim yang dzalim), dan perbedaan dalam memandang hubungan kekuasann politis dengan kekuasaan religius (digabungkan atau dipisahkan), lahirlah skisme politik besar Islam yang berlangsung sampai kini.

Mengapa terjadi perbedaan itu, padahal kedua mazhab ini lahir dari Islam yang sama dan pengikut Nabi saw. yang sama? Ada beberapa teori yang menjawab pertanyaan ini. Kita hanya akan mengulas dua teori saja: teori sosioantropologis Bangsa Arab dan teori pendekatan doktrinal.

TEORI SOSIO-ANTROPOLOGIS BANGSA ARAB

Teori ini dikemukakan oleh Nicholson (1969), Wellhausen (1927), Goldziher (1967), dan secara terperinci dijelaskan kembali oleh Jafri (1967). Tidak mungkin dalam makalah ini, saya menguraikan teori ini secara lengkap. Secara singkat, teori ini berpijak pada dua asumsi: (1) Bangsa Arab adalah bangsa yang terorganisasi atas dasar kesukuan; kesetiaan pada suku dan ketergantungan kehormatan pada sukunya menjadi sangat penting; (2) Bangsa Arab yang membentuk umat Islam permulaan terdiri dari dua subkultur-subkultur Arab Selatan dan subkultur Arab Tengah-Utara.

Asumsi pertama menunjukkan bahwa status sosial seseorang sangat ditentukan oleh status marganya. Setiap anggota marga bangsa dalam menghitung-hitung prestasi nenek moyangnya. Karena itu, kehormatan seseorang dalam bahasa Arab disebut hasab (dari akar kata hasiba yang berarti menghitung). Orang Arab percaya bahwa selain karateristik fisikal, karakteristik perilaku juga herediter. Menarik untuk dicatat bahwa khalq (karakteristik fisik) dan khuluq (perilaku) ditulis sama dalam bahasa Arab.

Perilaku yang menjadi tradisi suatu kabilah, dan menjadi kebanggaan anggota kabilah, lazim disebut Sunnah. Di antara sunnah yang paling dihargai adalah mengurus dan memelihara tempat-tempat suci. Bagi bangsa Arab, khususnya Arab Selatan, pengurusan rumah suci (bayt) dan kehormatan (hasab) tidak dapat dipisahkan. Karena itu, sejak zaman jahiliyah orang Arab tidak mengenal pemisahan antara kepemimpinan temporal dan kepemimpinan sakral.

Ka'bah adalah rumah suci yang dihormati semua kabilah Arab. Kabilah yang mendapat tugas secara turun temurun memelihara Ka'bah disebut sebagai "keluarga al-bayt" atau ahl al-bayt. Sejak awal, kepemimpinan Arab dipegang oleh keturunan Qushayy. Dalam pertentangan memperebutkan kedudukan ahl al-bayt, Bani Hasyim menang dan menyisihkan lawannya dari Bani Abd al-Syams. Karena itu Bani Hasyim dikenal bangsa Arab sebagai Ahl al-Bayt. Pada masa Abu Thalib, Bani Abd al-Syams perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan politik dan bani Hasyim mulai melemah. Ketika keturunan Umayyah merasakan ada angin baru yang menguntungkan mereka, muncullah Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Muthalib. Ia mengembalikan lagi wibawa kepemimpinan Bani Hasyim sebagai Ahl al-Bayt.

Nabi saw menyadari betul aspek-aspek kultural dari kepemimpinan ahl al-bayt. Tema ahl al-bayt memiliki "appeal" yang kuat bagi bangsa Arab. Kepemimpinan ahl al-bayt menggabungkan dimensi temporal dan sakral sekaligus. Bani Umayyah tentu tidak rela dengan "return of power" dari Bani Hasyim. Perlawanan terhadap Islam, karena itu, datang paling banyak dari Bani Umayyah.

Ketika Nabi hijrah ke Madinah, menemoi suku Aws dan Khazraj yang berasal dari Arab Selatan. Mereka adalah suku Arab yang memiliki sensitivitas religius yang tinggi. Bila inskripsi pada monumen di Arab Utara memuja keberanian dan kepahlawanan, inskripsi pada monumen Arab Selatan menunjukkan perasaan syukur dan penyerahan diri pada Tuhan. Pada suku-suku Arab Utara, pemimpin umumnya dipilih berdasarkan usia atau senioritas; pada Arab Selatan, pemimpin dipilih berdasarkan kesucian keturunan (hereditary sanctity).

Dari kedua subkultur inilah, berkembang skisme Sunnah-Syi'ah. Ahl al-Sunnah, sejak Mu'awiyah merebut kekuasaan berupaya untuk menekan konsepsi kepemimpinan ahl al-bayt. Karena secara doktrinal, Islam menyuruh menghormati ahl al-bayt (yang sekarang didefinisikan lebih terbatas lagi sebagai keturunan Rasulullah saw), penguasa-penguasa yang bukan ahl al-bayt tidak menafikan kehormatan itu. Yang tidak mereka inginkan adalah gabungan antara kehormatan religius dengan kehormatan politik. Inilah, misalnya, argumentasi yang dikemukakan Umar bin Khathab kepada 'Abbas ketika bertengkar masalah kepemimpinan 'Ali, "Orang banyak tidak menginginkan nubuwwah dan khalifah bergabung pada Bani Hasyim" (Tarikh Thabari 1: 2769). Mungkin, karena itu pula, Ali pernah memindahkan ibu kota pemerintahan Islam dari Madinah --yang sudah dikuasai Bani Ummayah-- ke Kufah. [4]

TEORI PENDEKATAN DOKTRINAL

Sayyid Baqr Shadr (1982:73-96) mengemukakan apa yang kita sebut sebagai teori pendekatan doktrinal. Saya akan menerjemahkan sebagian argumentasi Shadr ini tanpa memberikan komentar sedikitpun:

Bila kita mengikuti periode permulaan dari kehidupan umat Islam di zaman Nabi saw. kita temukan dua aliran utama yang berbeda, yang menyertai perkembangan umat dalam permulaan eksperimen Islam, sejak dini. Keduanya hidup bersama dalam lingkungan umat yang dilahirkan oleh Rasul sang Pemimpin. Perbedaan di antara kedua aliran ini telah menimbulkan perbedaan doktrinal sesudah wafat Rasulullah saw, memisahkan umat dua kelompok besar. Salah satu kelompok berhasil berkuasa dan sanggup berkembang sehingga mencakup mayoritas kaum muslimin. Kelompok yang lain tidak berhasil memperoleh kekuasann dan berkembang sebagai kelompok minoritas menghadapi lingkungan Islam yang umum. Minoritas ini adalah Syi'ah.

Dua aliran utama yang menyertai pertumbuhan umat Islam di zaman Nabi sejak awal adalah:

(1) Aliran yang beriman sepenuhnya pada ta'abbud bi 'l-din berhukum dan berserah mutlak pada nash-nash agama dalam seluruh bidang kehidupan.

(2) Aliran yang hanya merasa tunduk pada agama pada bidang-bidang khusus seperti ibadah dan hal-hal yang ghaib. Aliran ini meyakini kemungkinan ijtihad; membolehkan memalingkan nash agama pada bidang-bidang kehidupan di luar bidang-bidang kehidupan di atas, sesuai dengan kemaslahatan masyarakat, dengan peralihan atau perubahan.

Sahabat adalah kelompok Mukmin yang cemerlang; benih yang paling utama pada saat pertumbuhan risalah, sehingga sejarah manusia tidak pernah menyaksikan generasi aqidah yang lebih mulia, lebih suci, dan tinggi dari generasi yang dilahirkan Rasulullah.

Walaupun demikian, karena harus tunduk pada adanya aliran yang luas pada bidang kehidupan, para sahabat cenderung mendahulukan ijtihad untuk memperkirakan dan memperoleh maslahat daripada ta'abbud secara harfiyah pada nash-nash agama. Rasul telah bertahan berkali-kali menghadapi aliran ini, sampai pada saat menjelang kematiannya (yang akan diuraikan nanti). Di samping itu, ada juga sahabat yang bertahkim dan bertaslim sepenuhnya pada nash-nash agama di semua bidang kehidupan.

Aliran kedua, aliran ijtihadi, tampaknya lebih menyebar di kalangan kaum muslimin karena kecenderungan manusia untuk tunduk pada kemaslahatan yang dapat difahami dan diperkirakannya, serta meninggalkan kecenderungan mengikuti kemaslahatan yang tidak dapat difahami tujuannya. Yang mengikuti aliran ini terdiri dari sahabat-sahabat besar. Umar bin Khathab pernah melawan Rasulullah saw dan berijtihad pada banyak kejadian, yang bertentangan dengan nash, dengan meyakini bahwa apa yang dilakukannya benar.

Pernah kedua aliran ini bertentangan di hadapan Rasul pada hari-hari terakhir kehidupannya. Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Ibn 'Abbas. Ia berkata: "Menjelang Rasulullah saw wafat, di rumahnya ada banyak orang, di antaranya Umar bin Khathab. Nabi berkata: Mari aku tuliskan untuk kamu tulisan sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Berkata Umar: Nabi saw sedang dicengkram sakit. Di hadapan kalian ada al-Qur'an. Cukuplah bagi kita Kitab Allah. Penghuni rumah itu pun bertikai. Sebagian berkata: Dekatkan supaya Nabi menulis (wasiat) kitab sehingga kamu tidak sesat sesudahnya. Sebagian lagi berkata seperti kata Umar. Ketika sudah ramai perbincangan dan pertikaian di hadapan Nabi, ia berkata: Pergilah kalian."

Peristiwa ini cukup menunjukkan dalamnya pertikaian dan pertentangan di antara kedua aliran ini.

SKISME INTELEKTUAL

Dari kedua aliran ini kemudian berkembang aliran-aliran lainnya, yang tidak mungkin semuanya dibahas di sini. Kebanyakan aliran-aliran itu muncul sebagai hasil refleksi intelektual. Skisme intelektual (mungkin malah tidak tepat disebut skisme) memang bisa menjadi solid, ketika para politisi mulai masuk. Skisme ini dapat terjadi pacla bidang ilmu kalam atau bidang fiqh. Abu Zuhrah (1987) menyebut yang pertama ikhtilaf 'aqaidi dan yang kedua ikhtilaf fiqhi. Saya tidak akan memperinci kedua ikhtilaf ini, tetapi hanya akan menunjukkan penyebab timbulnya ikhtilaf tersebut.

Sebab-sebab yang berkaitan dengan pemahaman al-Qur'an dan al-Sunnah. Banyak orang berpikir sederhana: pertikaian akan segera selesai bila kita kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah. Pertikaian justru terjadi ketika kaum Muslim berusaha memahami al-Qur'an dan al-Sunnah. Di dalam kedua sumber tasyri' ini terdapat kata-kata atau kalimat yang musytarak (mengandung makna ganda), lafazh yang 'am (berlaku umum) dan khash (berlaku khusus), yang muthlaq dan yang muqayyad (bersyarat).

Lihatlah perbedaan pemahaman ayat tayamum ini. "Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian, atau jika salah seorang di antara kamu datang dari jamban, atau setelah kamu menjamah wanita, atau kamu tak menemukan air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, dan sapulah muka kamu dan tangan kamu itu," (al-Qur'an 5: 6). Kalimat ini dipahami Abu Hanifah sebagai berikut: Orang yang tidak bepergian, tidak sakit, dan ada air, tidak berlaku tayammum baginya, dan tidak wajib shalat. Ayat tersebut hanya mewajibkan tayammum bila tidak ada air khusus pada yang sakit atau musafir. Madzhab yang lain berpendapat bahwa syarat sah tayammum adalah salah satu di antara tiga kondisi: tidak ada air, atau sakit, atau bepergian.

Apa yang dimaksud "air"? Kata mazhab Hanafi, air itu termasuk air mutlak (H2O), juga air mudhaf (seperti air jeruk, air teh). Kata mazhab yang lain, air mutlak saja. "Debu" meliputi pasir dan tanah, kata Syafi'i; tanah saja, kata Hambali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam, kata Maliki; tanah, pasir, dan batuan, kata Hanafi dan Hambali; sebagian wajah oleh Ja'fari (al-Jaziri, 1986; al-Mughniyah, 1960).

Dalam bidang ilmu kalam terjadi perbedaan pemahaman nash-nash yang berkenaan dengan qadha dan qadar; sehingga kita mengenal Jabbariyah dan Qadariyah. Perbedaan ini akan makin melebar, ketika kita memasuki pengkajian-pengkajian Islam yang lebih operasional seperti epistimologi Islam, teologi Islam, dan sebagainya.

SEBAB-SEBAB YANG BERKENAAN DENGAN SUNNAH

Masalah-masalah yang berkenaan dengan sunnah lebih musykil lagi. Kemusykilan pertama terjadi ketika kita mengambil pelajaran dari hadits: apakah yang diberitakan hadits itu Sunnah atau bukan. Manakah yang sunnah, mengampuni para tawanan (seperti yang dilakukan Rasulullah saw. pada Fath Makkah) atau membunuhnya (seperti yang dilakukan Nabi pada perang Khandaq). Jamaat Tabligh berpendapat makan di bawah, menjilati jari setelah makan, dan menggunakan siwak adalah sunnah; umat Islam yang lainnya tidak beranggapan begitu.

Kemusykilan kedua adalah sampai atau tidak sampainya hadits. Hadits dilaporkan oleh para sahabat, yang mempunyai lingkup pengalaman yang berlainan bersama Rasulullah saw. Ada yang menyertai Nabi hampir setiap saat, dan ada yang berjumpa dengan Nabi sesaat saja. Umar melaporkan bahwa mayit akan disiksa karena tangisan keluarganya. Karena itu, ia mencambuki orang yang menangisi mayat. 'Aisyah menolak hadits 'Umar ini. Ketika Ibnu Umar melaporkan lagi hadits dari ayahnya, 'Aisyah berkata, "Semoga Allah meyayangi Abu Abd al-Rahman (yakni, Ibn Umar). Ia mendengar sesuatu tetapi tidak menghafalnya. Pernah lewat jenazah Yahudi di depan Rasulullah saw. Mereka menangisi jenazah itu. Nabi berkata, kalian menangis, padahal ia sedang disiksa." [5]

SEBAB-SEBAB BERKENAAN DENGAN PERBEDAAN KAIDAH USHUL FIQH

Apabila ada rangkaian kalimat majemuk, lalu di ujunguya ada kata yang mengecualikan (istitsna), kemana pengecualian itu berlaku? Kepada semua kalimat atau kepada kalimat yang terakhir. Yang pertama dipilih oleh Syafi'i, Maliki, Hambali. Yang terakhir diambil oleh Hanafi. Ayat yang berkenaan dengan tuduhan berzinah (QS. 24:4) mengandung tiga kalimah: (1) "Deralah mereka 80 deraan," (2) "Jangan terima kesaksian mereka selama-lamanya," dan (3) "Mereka itulah orang-orang fasik." Istitsna datang sesudah kalimat-kalimat itu. Apakah deraan harus dihilangkan bila orang taubat, apakah kesaksian penuduh dapat diterima bila orang itu telah bertaubat? Semua mazhah --selain Hanafi-- memilih rnenjawab "ya" untuk pertanyaan-pertanyaan di atas.

Inilah salah satu contoh perbedaan penggunaan kaidah Ushul Fiqh. Di samping itu, terdapat juga beberapa metode ijtihad yang tidak disepakati. Misalnya, istishlah, qiyas, istihsan, qaul shahabat, dan sebagainya.

APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Saya ingin mengakhiri makalah ini dengan menuliskan kembali apa yang saya sampaikan pada tempat lain (Rahmat, 1986: 99-103).

1. Sepakat pada yang qath'i, siap berbeda pada yang dzhann-i: Kita dapat membagi hukum-hukum fiqh ke dalam dua bagian besar. Pertama, berkenaan dengan pokok-pokok akidah, dan muamalah yang disetujui bersama, apa pun mazhabnya. Kedua, bertalian dengan cabang-cabang (furu') dari pokok-pokok di atas yang memungkinkan terjadinya perbedaan. Seorang tidak dikatakan Muslim lagi bila berbeda pada bagian fiqh yang pertama. Adalah kenyataan yang menakjubkan walaupun sering lolos dari perhatian kita bahwa dalam bagian pertama seluruh mazhab mencapai kesepakatan. Dalam hal akidah --semuanya percaya kepada Allah yang Esa, Muhammad Rasulullah, dan Hari Kebangkitan. Tentang shalat, tidak ada perbedaan antara Ahl al-Sunnah dan Syi'ah dalam hal bilangan rakaat, jumlah ruku' dan sujud, jumlah shalat wajib, dan bagian-bagian shalat yang penting lainnya. Perbedaan mulai terjadi pada rincian dari pokok-pokok itu. Semua sepakat shalat dimulai dengan takbir, mereka berbeda dalam cara mengangkat tangan dalam takbir. Kita akan segera menemukan bahwa bagian pertama berdasarkan dalil-dalil qath'i dan bagian kedua berdasarkan dalil-dalil dzanni. Pada bagian yang kedua sepatutnya kita saling menghargai dan menggunakan perbedaan pendapat untuk pengembangan wawasan tentang Islam.

2. Berpikir dengan prinsip tarjih, beramal dengan prinsip silaturahim:

Bila terjadi perbedaan paham atau penafsiran pada hal-hal yang dzanni, kita harus menguji perbedaan paham itu lewat ukuran-ukuran naqli dan aqli. Dengan ukuran naqli, saya maksudkan, mencari dalil-dalil yang paling kuat lewat kritik hadits (yang secara konvensional telah disepakati oleh ulama ahli hadits) dan ilmu-ilmu al-Qur'an (kalau berkenaan dengan penafsiran al-Qur'an). Ukuran aqli --yang saya definisikan sebagai metode dialektik untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi-- hanya boleh dilakukan setelah pengujian naqli. Misalnya, bila dalil-dalil yang dipergunakan sama-sama kuat. Ini cara untuk menghindarkan "terburu-buru" menangkap ruh dari suatu nash. Orang yang menganggap bahwa setiap orang berhak ijtihad dan menafsirkan al-Qur'an karena ruh ajaran Islam itu egalitarian, terjebak dalam keterburu--buruan. Mencurigai hadits-hadits tentang wasiat Nabi kepada keluarganya, betapapun banyak dan sahihnya, sebagai pertentangan dengan prinsip egalitarian al-Qur'an [6] adalah mendahulukan kritik 'aqli daripada kritik naqli. Demikian pula halnya dengan keberatan sementara orang terhadap hadits-hadits tentang Imam Mahdi, misalnya.

Memilih pendapat yang paling kuat inilah tarjih. Tetapi betapapun kuatnya, pendapat itu tetap dzhanni. Di tengah-tengah umat, keyakinan kita harus diamalkan sejauh tidak merusak keutuhan umat atau tidak mendatangkan mudharat. Ini saya sebut prinsip shilaturrahim. Ibnu Mas'ud berpendapat shalat Dzuhur dan 'Ashar di Mina harus di qashar. Ketika Utsman shalat empat rakaat, Ibnu Mas'ud shalat juga empat rakaat. Ketika ditegur ia menjawab, "Perselisihan itu semua jelek" -(al-khilaf syarr kullah). Ibnu Umar shalat empat rakaat, tetapi mengulang lagi shalatnya di rumah (para ulama menyebutnya ihtiyath). Ali yakin ia paling berhak menjadi khalifah, tetapi ia menahan diri karena memikirkan kemaslahatan umat. Imam Syafi'i tidak membaca qunut pada shalat Shubuh karena menghormati makam Abu Hanifah yang tidak jauh dari situ.

Di Indonesia, banyak paham timbul --barangkali setelah melakukan tarjih. Sayang sekali, keyakinan kita terhadap paham kita terlalu tinggi sehingga kita cenderung eksklusivistis dan meninggalkan prinsip silaturrahim. Akibatnya, kita cenderung menerima informasi hanya lewat sumber-sumber yang kita setujui dan menutup diri dari informasi yang datang dari sumber lain. Ini mempertebal ketergantungan kepada paham fiqh kita. Dan seterusnya sehingga terbentuk lingkaran setan yang tidak berujung.

3. Ijtihad bagi Ulama dan taqlid bagi orang awam: Membedakan mana yang qath'i dan dzanni, mengkritik hadits, melakukan tarjih bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan setiap orang. Al-Qur'an yang mengajarkan persamaan dengan tegas mengatakan, "Katakan, apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Tidakkah kalian pikirkan itu?" (QS. al-Ra'd:16); "Tidak sama orang buta dan orang yang melihat. Tidak sama kegelapan dan cahaya" (QS. Fathir:19); "Katakan, apakah sama orang vang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan" (QS. al-Zumar:9) "Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan" (QS. Al-Mujadilah: 11). Mengizinkan setiap orang berijtihad --tanpa mempedulikan perbedaan mereka dalam pengetahuan agama-- dapat menimbulkan chaos. Seperti sangat beragamnya kemampuan dan pengetahuan orang, seperti itu pula beragamnya perbedaan pendapat. Ilmu mengurangi perbedaan, karena ilmu meletakkan konvensi-konvensi yang disetujui bersama, di samping membuat kendala-kendala yang berbentuk kriteria. "Berijtihad" tanpa ilmu berarti membuang seluruh konvensi dan kriteria, dan ini berarti anarkhi.

Salah satu penyebab perpecahan ialah pendekatan parsial yang pada gilirannya disebabkan kekurangan pengetahuan. Ijtihad sebetulnya secara inheren melibatkan banyak ilmu. Bukan ijtihad bila dilakukan tanpa ilmu. Ijtihad memerlukan pengetahuan yang komprehensif tentang Islam; dan ini berarti, hanya sekelompok kecil orang yang dapat melakukannya.

CATATAN

1) Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, al-Turmidzi al-Hakim, al-Thabrani, al-Bazzar. Berbagai matan hadits ini dan penjelasannya dapat dibaca pada Al-Sayyid Murtadha al-Askari, Khamsun wa Mi-ah Shahabi Mukhtalaq, Beirut: Dar al-Turats al-Islami, 1974.

2) Al-Sayyid Murtadha al-'Askari menulis studi perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah dalam Ma'alim al-Madrasatain (Teheran: Al-Bi'tsah, 1406). Ia menyebut Ahl al Sunnah sebagai madrasah al-khilafah dan Syi'ah sebagai madrasah al-imamah.

3) Hadits tentang dua belas imam ini diriwayatkan juga dalam kitab-kitab shahih di kalangan Ahl al-Sunnah. Lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Ahkam, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah; Musnad Ahmad 5:89, Shahih al-Turmudzi 2: 35: Mustadrak al-Shakihain 4: 501; Kanz al-Ummal 6: 201.

4) Mayoritas penduduk Kufah adalah orang Yaman dari Arab Selatan. Orang-orang Yaman adalah para pendukung Syi'ah. Karena mereka berasal dari kerajaan Saba, mereka kemudian dikenal sebagai Sabaiyyah. Begitu banyaknya Sabaiyyah yang mendukung Syi'ah, sehingga Syi'ah sering disebut sebagai Sabaiyyah.

5) Hadits ini diriwayatkan Muslim dalam Kitab al-Jana-iz. Hadits-hadits yang melaporkan bolehnya menangisi mayat cukup banyak. Nabi menangisi putranya (Ibrahim), pamannya (Hamzah), dan ibunya (Aminah). Dalam sunan al-Nasai dan Al-Turmudzi ada bab yang berjudul: Bab bolehnya menangisi mayit.

6) Padahal dalam banyak ayat al-Qur'an, prinsip pewarisan kepemimpinan pada keturunan atau keluarga nabi-nabi sering ditegaskan. Lihat 3:33; 2:124; 14:37; 19:58; 4:54; 20:30; 6:84; 27:16; 19:6. Kita tidak bermaksud menunjukkan bahwa pendapat wasiat Nabi pada Ali adalah satu-satunya paham yang benar. Kita hanya ingin menunjukkan bahwa prinsip egalitarian hendaknya ditafsirkan dengan merujuk pada dalil-dalil yang sahih.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zuhrah, 1987, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi.

Al-Askari, S. Murtadha, 1406, Ma'alim at-Madrasatain, Teheran: Bittsah.

Al-Hasan, Muhammad, 1396, Dalail al-Shidq; Mobtadiyah: Dar al-Mu'alim.

Al-Jaziri, Abd al-Rahman, 1986, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Al-Mughniyah, Jawad, 1405, Al-Syi'ah wa al-Hakimun, Beirut: Dar al-Jawad.

-------------, 1982, Al-fiqh 'ala al-Madzahib al-Khaumsah, tidak diketahui penerbitnya.

Al-Yahfufi, Musthafa. 1405, "Ulu al-Amr 'inda Madzahib al-Islamiyah," dalam Al-Maqalat wa al-Dirasat. Teheran: Wizarat al-Irsyad al-Islamiyah.

Durant, Will, 1950, The story of Civilization, Vol.IV, New York: Simon and Schuster.

-------------, 1953, The story of Civilization, Vol.V. New York: Simon and Schuster.

Goldziher, I. 1967-1972. Muhammedanische Studien, Terjemahan Inggris oleh S.M. Stern dan C.R. Barber, Muslim Studies, London.

Jafri, S.H.M., 1976, The Origins and Early Development of Shi'a Islam. Beirut: American University.

Nicholson, RA. 1956, A Literary History of The Arabs,Cambridge.

Rahmat, J., 1986, "Ukhuwah Islamiyah: Perspektif al-Qur'an dan Sejarah" dalam Haidar Bagir (ed.). Satu Islam, Sebuah Dilemma, Bandung: Mizan.

Shadr, S. Baqr, 1982, Baths Hawl al-Wilayah, Teheran: Maktabah al-Najah.

Tabatabai, Husayn, Tanpa Tahun, Shi'a, Tidak diketahui penerbitnya.

Thabari, Ibn Jarir, 1979, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr.

Wellhausen, Julius, 1927, The Arab Kingdom and Its Fall,Trans. M. Weir. Calcutta.

Penentuan Awal Bulan Hijriyah

Diksusi tentang penentuan awal bulan hijriyah selalu menarik untuk diikuti. Berikut adalah ringkasan yang saya buat dalam diskusi di milis Muhammadiyah Society:

Syariat:
1/ Jika pada hari ke 29 hilal tdk nampak dengan mata bugil, maka genapkanlah.
Mungkin bisa dipahami begini:
Secara astronomi, umur hilal masih terlalu muda (di bawah 8 jam?), sehingga sulit dilihat, maka digenapkan menjadi 30 hari.

2/ Jika terhalang awan atau debu angkasa dan tidak nampak dengan mata bugil, maka kira-kirakanlah.
Mungkin bisa dipahami begini:
Secara astronomi, umur hilal sudah cukup tua (di atas 8 jam?), tetapi sulit dilihat karena adanya awan (debu angkasa) tadi, maka diperintahkan untuk dikira-kira.

Persoalan-persoalan:
1/ Ada orang sanggup melihat hilal meski secara falaq umur hilal masih sangat muda. Apakah orang ini kesaksiannya dapat dipercaya meski dia dikenal jujur dan adil? Ini berkenaan dengan seringnya kesalahan orang melihat hilal.

2/ Apakah penggunaan rukyat dengan teropong (atau produk hitech lainnya) tidak menyalahi perintah syariat untuk melihat hilal dengan mata bugil? Jika menilik pada perintah syariat sesuai tafsir masyarakat ”Ummiyun” yg tidak perlu matematika dan kerumitan astronomi lainnya, maka penggunaan teropong (atau produk hitech lainnya) jelas menyalahi kaidah ”ummiyun” itu sendiri.

3/ Apakah penggunaan hisab tanpa rukyatul hilal bisa diterima secara syariat atau sebaliknya termasuk bid’ah?

Fakta:
Saudi Arabia dan Indonesia tidak lagi menggunakan mata bugil tetapi dibantu dengan teropong rukyat (teropong bulan).

Jalan tengah:
1/ Ada konvensi umur bulan yang bisa diterima sebagai pertanda bulan baru, dalam hal ini Indonesia menetapkan umur hilal 8 jam:
a/ Jika umur hilal lebih dari 8 jam, maka ditetapkan sudah masuk bulan baru.
b/ Jika umur hilal masih muda atau kurang dari 8 jam, maka digenapkan menjadi 30 hari.

2/ Diperbolehkannya menggunakan teropong atau alat bantu hitech lainnya untuk membantu rukyatul hilal.

Keputusan Muhammadiyah:
Jika dengan hisab umur hilal sudah memasuki bulan baru sesuai yang ditetapkan konvensi, maka bisa langsung ditetapkan tanpa harus melakukan rukyat.

-> Saya ngikut di sini :)

Konsep-Konsep Kosmologis (1/2)

Artikel ini diambil dari: Media Isnet

KONSEP-KONSEP KOSMOLOGIS (1/2)
oleh Achmad Baiquni

Telah banyak kitab yang ditulis ulama masyhur untuk menafsirkan ayat-ayat suci al-Qur'an --yang merupakan garis-garis besar ajaran Islam itu-- dengan menggunakan ayat-ayat lain di dalam kitab suci tersebut, sebagai bandingan, dan dengan Sunnah Rasul sebagai penjelasan. Namun, dalam al-Qur'an sendiri, ciptaan Tuhan di seluruh jagad raya ini secara jelas disebutkan sebagai "ayat-ayat Allah", misalnya dalam surah 'Ali Imran 190 disebut, Sesungguhnya dalam ciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar). Karenanya, maka sebagai padanan untuk mendapatkan arti ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut al-Kaun dapat digunakan juga ayat-ayat Allah yang berada di dalam alam semesta ini.

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah mengherankan apabila ketetapan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur'an yang berisi konsep-konsep Kauniyah sangat bervariasi, tergantung pada pengetahuan mufassir tentang alam semesta itu sendiri. Untuk memberikan contoh yang nyata, kita dapat menelaah ayat-ayat berikut, Dan tidakkah orang-orang kafir itu mengetahui bahwa agama sama, [1] dan ardh [2] itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduanya (QS. al-Anbiya': 30. Dan sama' itu kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya kamilah yang meluaskannya (QS. al-Dzariyat: 47).

Seseorang yang hidup dalam abad 9 M akan mengatakan bahwa kata sama' artinya langit; pengertiannya ialah bahwa langit itu adalah sebuah bola super raksasa yang panjang radiusnya tertentu, yang berputar mengelilingi sumbunya. Dan pada dindingnya tampak menempel bintang-bintang yang gemerlapan di malam hari. Bola ini dikatakan mewadahi seluruh ruang alam dan segala sesuatu yang berada di dalamnya. Ia merasa yakin bahwa persepsinya mengenai langit itulah yang sesuai dengan apa yang dapat diamati setiap hari, kapan pun juga. Bintang-bintang tampak tidak berubah posisinya yang satu terhadap yang lain, dan seluruh langit itu berputar-putar dalam satu hari (siang dan malam).

Apa yang kiranya dapat kita harapkan dari orang ini andaikata ia diminta memberikan penafsiran (bukan sekadar salinan kata-kata) ayat-ayat tersebut? Tentu saja ia akan memberikan interpretasi yang sesuai dengan persepsinya tentang langit, serta ardh yaitu bumi yang datar yang dikurung oleh bola langit. Dan mungkin sekali ia akan mengatakan bahwa ayat 30 surah al-Anbiya' itu melukiskan peristiwa ketika Tuhan menyebutkan langit menjadi bola, setelah ia sekian lama terhampar di permukaan bumi seperti layaknya sebuah tenda yang belum dipasang. Dapat kita lihat dalam kasus ini bahwa konsep kosmologis dalam al-Qur'an, mengenai penciptaan alam semesta, yang dikemukakan orang itu sangatlah sederhana. Dan itu tidaklah benar, karena konsepsinya tidak mampu mengakomodasikan gejala yang dinyatakan ayat 4 surah al-Dzariyat.

Sebuah langit yang berbentuk bola dengan jari-jari tertentu bukanlah langit yang bertambah luas. Apalagi kalau ia melingkupi seluruh ruang kosmos beserta isinya; tidak ada lagi sesuatu yang lebih besar daripadanya. Pada hemat saya, sesuatu konsepsi mengenai alam semesta yang benar harus dapat dipergunakan untuk menerangkan semua peristiwa yang dilukiskan ayat-ayat dalam kitab suci; ia harus sesuai dengan konsep-konsep kosmologis dalam al-Qur'an. Untuk mendapatkan konsepsi yang benar itu pada hakekatnya telah diberikan petunjuk sang pencipta misalnya dalam ayat 101 surah Yunus, Katakanlah (wahai Muhammad), Perhatikanlah dalam intighon apa yang ada di sama' dan di ardh (QS. Yunus: 101). Dalam teguran ayat 1 dan 18 dalam surah al-Ghasyiyah, Maka apakah mereka itu tak memperhatikan onta-dalam intighon, bagaimana ia diciptakan. Dan sama', bagaimana ia ditinggikan. (QS. al-Ghasyiyah: 1 dan 18). Serta dalam ayat 190 dan 191 surah Ali Imran, Sesungguhnya dalam penciptaan sama' dan ardh, serta silih bergantinya siang dan malam, terdapat ayat-ayat bagi orang-orang yang berakal (dapat menalar). Yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan pikirkan tentang penciptaan sama' dan ardh, wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia; Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa azab neraka. (QS. Ali Imran: 190 dan 191).

Dengan diikutinya perintah dan petunjuk ini, maka muncullah di lingkungan umat Islam suatu kegiatan observasional yang disertai dengan pengukuran, sehingga ilmu tidak lagi bersifat kontemplatif belaka, seperti yang berkembang di lingkungan Yunani, tapi mempunyai ciri empiris sehingga tersusunlah dasar-dasar sains. Penerapan metode ilmiah ini, yang terdiri atas pengukuran teliti pada observasi dan penggunaan pertimbangan yang rasional, telah mengubah astrologi menjadi astronomi. Karena telah menjadi kebiasaan para pakar menulis hasil penelitian orang lain, maka tersusunlah himpunan rasionalitas kolektif insani yang kita kenal sebagai sains. Jelaslah di sini bahwa sains adalah hasil konsensus di antara para pakar.

Kita ingat ayat 3, 4 dan 5 surah al-'Alaq, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. yang mengajar dengan qalam. [3] Dia mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. Penalaran tentang "bagaimana" dan "mengapa", yang menyangkut proses-proses alamiah di langit itu, menyebabkan timbulnya cabang baru dalam sains yang dinamakan astrofisika, yang bersama-sama astronomi membentuk konsep-konsep kosmologi. Meskipun ilmu pengetahuan keislaman ini tumbuh sebagai akibat dari pelaksanaan salah satu perintah agama, kiranya perlu kita pertanyakan apakah benar konsep kosmologi yang berkembang dalam sains itu sejalan dengan apa yang terdapat dalam al-Qur'an. Sebab obor pengembangan ilmu telah mulai berpindah tangan dari umat Islam kepada para cendekiawan bukan Islam sejak pertengahan abad ke 13 sampai selesai dalam abad 17, sehingga sejak itu sains tumbuh dalam kerangka acuan budaya, mental dan spiritual yang bukan Islam, dan yang memiliki nilai-nilai tak Islami.

Mari kita kaji sambil menelusuri perkembangan ilmu kealaman sejak akhir abad 19 hingga akhir abad 20, ketika ia berjalan sangat cepat, jauh melampaui kelajuannya dalam abad-abad sebelumnya, sejalan dengan kecanggihan instrumentasi yang dipergunakan dalam observasi dan matematika sebagai sarana komputasi. Kita akan menemukan bahwa pada tahap-tahap tertentu ia tampak tidak sesuai dengan ajaran agama kita, sedangkan dalam fase-fase lain menghasilkan kesimpulan yang sehaluan dengannya.

Seseorang yang hidup pada akhir abad 19, yang telah mengetahui melalui kegiatan sainsnya, bahwa bintang-bintang di langit jaraknya dari bumi tidak sama, dan bahkan mampu mengukur jarak itu dan mengatakan berapa massanya, tak lagi akan mengatakan, langit itu sebuah bola super raksasa. Ia akan mengatakan, langit adalah ruang jagad-raya, yang di dalamnya terdapat bintang-bintang, sebagian diikuti satelitnya, dan ada bintang-bintang kembar dan gerombolan-gerombolan bintang dalam galaksi kita yang disebut Bimasakti. Karena konsep kosmologi yang berlaku waktu itu berasal dari Newton, ia akan mengatakan juga bahwa bola super besar yang mewadahi seluruh ruang kosmos itu tidak ada sebab baginya ruang jagad-raya ini tak berhingga besarnya dan tidak mempunyai batas.

Sudah tentu konsep kosmologi sains abad yang lalu ini tidak sesuai dengan konsep al-Qur'an, karena tak dapat mengakomodasi peristiwa yang: dilukiskan ayat 30 surah al-Anbiya' dan ayat 47 surah al-Dzariyat. Lebih dari itu bahkan bertentangan dengan ajaran agama kita; sebab alam semesta yang tak terbatas dan tak berhingga besarnya, dianggap tak berawal dan tidak berakhir. Dan kita akan melihat sepanjang pertumbuhan sains selanjutnya bahwa ide-ide semacam ini, yang mengandung konsepsi tentang alam yang langgeng, ada sejak dulu dan akan ada seterusnya, selalu timbul-tenggelam. (Karena itu, maka saya selalu menganjurkan agar umat Islam yang ingin mengejar ketinggalan mereka dalam sains dan teknologi akhir-akhir ini bersiap-siap mengadakan langkah-langkah pengamanan dengan meng-Islamkan sains, sehingga sains kembali dapat berkembang dalam kerangka sistem nilai yang Islami).

Dari uraian di atas bahwa konsep kosmologi sains pada abad ke 19 gagal total dan sama sekali tak mampu menerangkan apa yang terkandung dalam dua ayat tersebut di atas. Padahal mereka baru merupakan sebagian saja dari ayat-ayat al-Qur'an yang berisi konsep-konsep kosmologi. Kita dapat juga mengemukakan beberapa ayat lainnya sebagai berikut,

Dalam pada itu Dia mengarah pada penciptaan sama', dan ia penuh dukhon [4], lalu Dia berkata kepadanya dan kepada ardh, Datanglah kalian mematuhi-Ku dengan suka atau terpaksa; keduanya menjawab: kami datang dengan taat (QS. Fushshilat: 11)

Maka Dia menjadikannya tujuh sama' dalam dua hari, dan Dia mewahyukan kepada tiap sama' peraturannya masing-masing; dan kami hiasi langit dunia dengan pelita-pelita, dan Kami memeliharanya; demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat: 12)

Allah-lah yang telah menciptakan tujuh sama' dan ardh seperti itu pula (QS. al-Thalaq: 12)

Allah-lah yang menciptakan sama' dan ardh dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, dan pada waktu itu pula bersemayam di arsy-Nya [5] (QS. al-Sajadah:4)

Dan Dialah yang telah menciptakan sama' dan ardh dalam enam hari, ada pun Arsy-Nya telah tegak pada ma' [6] untuk menguji siapakah di antara kalian yang lebih baik amalnya (QS. Hud: 7)

Sesungguhnya Allah menahan sama' dan ardh agar jangan lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap dan tak ada siapa pun yang dapat menahan keduanya itu selain Allah; Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun dan Maha Pengampun (QS. Fathir: 41)

Pada hari Kami gulung sama' seperti menggulung lembaran tulis; sebagaimana Kami telah mulai awal penciptaan, begitulah Kami akan mengembalikannya; itulah janji yang akan kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya (QS. al-Anbiya': 104)

Sekarang mari kira cari pengertian yang terdapat dalam ayat itu. Kita telah melihat dari contoh-contoh yang diberikan, bahwa dengan bekal pengetahuan abad 19 saja seseorang tak mungkin memahaminya; meski ia seorang pakar yang ulung sekali pun. Sebab konsepsinya tentang alam semesta memang salah hingga tidak cocok dengan apa yang ada dalam al-Qur'an.

Apa yang akan dikatakan oleh seorang kosmolog atau seorang fisikawan abad 20, jika ia ditanya tentang konsep kosmologi sains yang mutakhir yang dihasilkan penelitian para pakar? Secara garis besar, jawabnya kira-kira sebagai berikut: Konsepsi mengenai alam semesta ini sebenarnya mulai mengalami perubahan sejak tahun 1929 ketika Hubble melihat dan yakin bahwa galaksi-galaksi di sekitar Bimasakti menjauhi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jarak dari bumi; yang lebih jauh kecepatannya lebih besar, sehingga dalam sains terdapat istilah alam yang mengembang (expanding universe). Hal ini mengingatkan orang pada pacuan kuda; kuda yang paling laju akan berlari paling depan. Karena kelajuan dan jarak masing-masing galaksi dari bumi diketahui, tidak sulit untuk menghitung kapan mereka itu mulai berlari.

Pada tahun 1952 Gamow berkesimpulan bahwa galaksi-galaksi di seluruh jagad-raya yang cacahnya kira-kira 100 milyar dan masing-masing rata-rata berisi 100 milyar bintang itu pada mulanya berada di satu tempat bersama-sama dengan bumi, sekitar 15 milyar tahun yang lalu. Materi yang sekian banyaknya itu terkumpul sebagai suatu gumpalan yang terdiri dari neotron; sebab elektron-elektron yang berasal dari masing-masing atom telah menyatu dengan protonnya dan membentuk neotron sehingga tak ada gaya tolak listrik antara masing-masing elektron dan antara masing-masing proton. Gumpalan ini berada dalam ruang alam dan tanpa diketahui sebab musababnya meledak dengan sangat dahsyat sehingga terhamburlah materi itu ke seluruh ruang jagad-raya; peristiwa inilah yang kemudian terkenal sebagai "dentuman besar" (big bang).

Sudah barang tentu gumpalan sebesar itu tak pernah bergelimpangan di ruang kosmos; sebab gaya gravitasi gumpalan itu akan begitu besar sehingga ia akan teremas menjadi sangat kecil. Lebih kecil dari bintang pulsar yang jari-jarinya hanya sebesar 2 sampai 3 kilometer dan massanya kira-kira 2 sampai 3 kali massa sang surya, dan bahkan lebih kecil dari lobang hitam (black hole) yang massanya jauh melebihi pulsar dan jari-jarinya menyusut mendekati ukuran titik. Gambarkan saja dalam angan-angan, berapa besar kepadatan materi dalam titik yang volumenya nol itu jika seluruh massa 100 milyar kali 100 milyar bintang sebesar matahari dipaksakan masuk di dalamnya! Inilah yang biasa disebut sebagai singularitas. Jadi konsep dentuman besar terpaksa dikoreksi yaitu bahwa keberadaan alam semesta ini diawali oleh ledakan maha dahsyat ketika tercipta ruang-waktu dan energi yang keluar dari singularitas dengan suhu yang tak terkirakan tingginya. (bersambung ke bagian 2/2)