Sekitar April 1987, menjelang peringatan Maulid Nabi saw. Saya masih duduk di bangku kelas 3 SMA Muhammadiyah Bumiayu. Saya beserta jajaran Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia (PD PII) Bumiayu mendatangi Keluarga Besar, istilah untuk alumni PII. Ia bernama Drs Qusoyyin, kepala sekolah SMA Islam Ta’allumul Huda Bumiayu, sekolah yang kini yayasannya diketuai mantan Mendiknas Dr Yahya Muhaimin. Di mata kami, sosok Qusoyyin cukup mengagumkan. Ia mengaku sebagai mantan warga NU sebelum menjadi aktifis PII dan akhirnya ”bertobat” serta beralih menjadi warga Muhammadiyah.
Dalam perbincangan tersebut, ia menceritakan keprihatinannya atas kebiasaan warga NU yang suka membaca Barzanji dalam setiap peringatan maulid Nabi saw. Menurut Qusoyyin, Barzanji hanyalah kitab puji-pujian kepada nabi Muhammad, tapi isinya ia anggap banyak menyesatkan dan menempatkan sosok Nabi tidak pada tempatnya. ”Ini adalah bid’ah” katanya dengan nada keras. Ia menawarkan kepada kami untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan menjelang peringatan Maulid kali ini.
Entah siapa yang mengusulkan, saya lupa persisnya, akhirnya kami bersepakat untuk menyebarkan sebuah tulisan yang judulnya ”Muhammad Manusia Biasa”, yang ditulis oleh Qusoyyin sendiri. Isinya sudah barang tentu kritik Qusoyyin atas praktek pembacaan Barzanji dan berbagai praktek keagamaan yang biasa dilakukan oleh warga NU yang dianggap menyimpang.
Karena hampir semua aktifis PII di Bumiayu adalah warga Muhammadiyah, sudah barang tentu tulisan Qusoyyin tidak menemui kritik apapun. Bahkan sepertinya kami semua sepakat bulat untuk ”menghajar” tradisi yang kami anggap bid’ah tersebut.
Tulisan sepanjang sekitar 3 halaman ukuran folio itupun lalu kami perbanyak. Kami menggunakan kertas kuning tanpa disengaja, karena kertas itu merupakan kertas sumbangan dari Keluarga Besar yang memiliki percetakan. Karena itulah, kami menyebutnya ”selebaran kuning”, merujuk pada istilah ”selebaran gelap”. Lalu tulisan itu kami bagikan di jalan-jalan, di pasar, dan di sekolah-sekolah di mana anggota PII bersekolah.
Di luar perhitungan kami, tulisan itu menyebabkan kemarahan besar kalangan NU Bumiayu. Konon, tulisan itu sampai dirapatkan pengurus NU Bumiayu, dan dilaporkan ke kantor Polisi Sektor Bumiayu.
Kegemparan ini bertepatan pula menjelang kegiatan Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), yang secara kebetulan ketua panitia Ebtanas untuk Kecamatan Bumiayu adalah seorang warga NU, karena tahun tersebut jatuh gilirannya kepala sekolah SMA Bustanul Ulum Bumiayu. Maka beredar rumor, aktifis PII akan dilarang mengikuti kegiatan Ebtanas sampai kami semua bisa menjelaskan kegiatan penyebaran selebaran kuning tersebut. Apakah ada motif tertentu untuk membuat keresahan di kalangan warga Nahdliyin, atau ada motif lainnya?
Yang menambah runyam situasi, tahun itu PII sedang berurusan dengan pemerintah karena menolak Azas Tunggal Pancasila, sesuai ketetapan UU Keormasan No8/1985. Situasi memanas. Dalam hitungan bulan, tepatnya tanggal 17 Juni 1987 sebagai batas akhir, semua ormas harus merubah azas organisasinya menjadi Pancasila. PII saat itu bersikukuh tetap menolak UU Keormasan dan tidak mau merubah azasnya dari Islam kepada Pancasila. Dan saat itu, saya adalah Ketua Umum PD-PII Bumiayu.
Sangat beruntung, Camat Bumiayu saat itu, Jazuli BA, adalah Keluarga Besar PII. Dan ia adalah pejabat yang tidak pernah takut dengan identitasnya sebagai Keluarga Besar PII, sesuatu yang jarang pada situasi saat itu. Ia selalu bangga dengan keberaniannya itu. Ia selalu mengatakan, ”Saya tidak takut jika dicopot dari jabatan saya sebagai Camat.”
Pak Jazuli turun tangan dengan mengadakan rapat Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) yang terdiri dari unsur Kecamatan, Polsek, dan Koramil. Konon, ia juga mengundang pengurus NU untuk meredakan situasi.
Suasana memang kemudian mereda. Semua anak PII yang kelas 3 bisa mengikuti Ebtanas dengan baik. Dan Alhamdulillah, saya bisa menjadi peserta Ebtanas terbaik untuk wilayah Brebes Selatan yang mencakup kecamatan Bumiayu, Tonjong, Paguyangan, Bantarkawung, Salem, dan Sirampog. Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang saya peroleh tertinggi di wilayah tersebut.
Drs Qusoyyin sendiri kemudian dicopot dari jabatannya sebagai kepala sekolah di SMA Islam Ta’allumul Huda Bumiayu. Ia kemudian pindah ke Solo menjadi dosen disebuah perguruan tinggi. Itu berita yang belakangan kami dengar.
Itulah sedikit cerita kenangan atas ”kenakalan” saya saat remaja.
1 comment:
Saya bangga dengan 'ketokohan' saudara 'saat itu' dan beberapa kawan lain dari HMI dan lain2. tapi sekarang. sedikitpun tidak ada apresiasi kepada PII, HMI apalagi yang 'merah-merah'. sungguh disayangkan semangat yang luar biasa itu hancur oleh mereka juga yang 'terbuai' politik sehingga garis perjuangan bisa tergadai ... semoga anda tidak!
Post a Comment