Sunday, August 27, 2006

Haedar Nashir: Jalan Islam

Mon, 21 Aug 2006 23:11:02 -0700 (PDT)
[bacaan-islam-bermutu] Haedar Nashir: Jalan Islam

Republika, Minggu, 20 Agustus 2006

Jalan Islam
Oleh: Haedar Nashir


Banyak jalan orang menjadi Islam. Menjadi lebih Muslim. Meningkat lagi jadi mukmin. Amar bin Yasir sekeluarga pada awal masuk Islam sempat tak tahan oleh siksaan kaum Quraisy, sehingga seolah berubah akidah dan menimbulkan gunjingan di kalangan para sahabat kala itu. Tapi Nabi sangat memercayai dan memakluminya. Sahabat Nabi yang satu ini akhirnya menjadi sahabat akbar. Umar bin Khattab masuk Islam melalui proses yang kontoversial, tetapi akhirnya menjadi tokoh penting dalam barisan depan Islam. Menjadi Khalifah yang ternama, populis, jujur, dan egaliter.

Para Wali dan pendakwah generasi awal memiliki cara sendiri dalam menyebarkan Islam di Nusantara tercinta ini. Dengan pendekatan yang lentur dan penuh damai, penduduk negeri ini secara mayoritas kemudian menjadi Muslim. Tapi kisah sukses Islamisasi tersebut tak sekali jadi. Tidak linier. Islamisasi berlangsung secara kultural, bagai air mengalir. Menurut Benda Islamisasi itu berlangsung dalam dinamika persambungan sekaligus perubahan. Di Jawa prosesnya menurut Geertz melahirkan komunitas santri dan abangan, yang kini melakukan konvergensi. Sehingga menjadi Islam tidak berarti melucuti diri secara total dari akar kultural sebelumnya. Selalu hadir dialektika yang unik, kadang penuh mozaik.

Tapi di kemudian hari memang tumbuh kerigidan. Pola ortodoksi hadir dengan kuat hasil transmisi Islam Timur Tengah akhir abad ke-19. Mengalir deras arus pemurnian dalam gelombang yang cenderung keras. Islam kemudian menjadi kaku dan mudah memvonis. Islam harus identik dengan kesantrian dalam orientsi ortodoksi yang serba formalis. Sedangkan dunia abangan menjadi sesuatu yang diasingkan, seolah bukan Islam. Kendati kata Nakamura ada sisi lain, melahirkan sosok kesalehan khas orang Jawa. Atau menampilkan format lain, dalam sosok Kyai Dahlan yang mujadid (reformis), berorientasi amal-kemajuan, dan menampilkan warna kesalehan sufistik (ihsan).

Karena pola ortodoksi yang kuat, tabligh pun lantas kehilangan kearifan. Kehilangan hikmah. Kurang sentuhan edukasi. Kering dialog yang cerdas. Kurang pemahaman tentang proses menjadi Islam. Menjadi Muslim. Menjadi mukmin. Menjadi muhsin. Tabligh hanya mengenal satu jalan, serba memvonis. Sangat sensitif terhadap perbedaan. Mengasingkan keberislaman orang lain yang dianggap kurang Islami. Atas nama tabligh, dengan mudah memandang orang tak sepaham sebagai sesat, tidak Islami. Tabligh berarti kaku, serba keras. Menjadi penafsir tunggal dan otoritatif.

Padahal Tabligh sejatinya menyampaikan risalah Islam "bi al-hikmah, wa al-mauidhÆ’t al-hasanat, wa jadil-hum bi al-lati hiya ahsan (QS. An-Nahl: 125). Arus-utama tabligh ialah "mencegah kemunkaran dengan kekuasaan/tangan, lisan, dan hati" yang mendahulukan kekuatan karena hati adalah selemah-lemah iman. Atau memakai pandangan yang populer, "sampaikan kebenaran walaupun pahit", qul al-haqq wa law kana murran. Tabligh pun serba pahit seperti pil kina. Katanya, obat memang harus pahit. Menjadi Muslim dan juru dakwah pun lantas menjadi sulit untuk tersenyum. Menebar sukma kasih sayang.

Atas nama tabligh, di antara kita sering dengan mudah memandang orang lain sesat paham dan tidak Islami. Menganggap bengkok dalam ber-Islam. Lalu perlu diluruskan. Lahirlah pandangan Islam jalan lurus. Tabligh dalam praktik lebih mengedepankan tandhir sambil mengabaikan tabsyir. Akibatnya Islam yang ditampilkan dalam tabligh menjadi kehilangan hikmah. Telunjuk dengan mudah melihat orang lain serba salah, diri sendiri paling benar. Kadang kehilangan muhasabah diri, apakah kita telah benar-benar Islami lahir dan batin, lisan dan tindakan. Islam yang menjadi teladan.

Maka sungguh tak mudah menampilkan risalah Islam yang lentur, damai, dan berproses kultural. Islam warna kasih sayang, Islam rahmat bagi semesta alam. Islam yang hikmah, Islam yang maudhitaltul hasanah. Islam yang dialogis. Islam yang penuh tasamuh, toleran. Islam yang menampilkan suasana tuma'ninah. Islam tawashut, jalan tengah. Islam yang lemah-lembut. Islam moderat, tanpa harus kehilangan pondasi keyakinan Islami.

Kenapa tak mudah? Karena Islam rahmat pun akan didekonstruksi oleh pandangan lain yang kontras. Bahwa Islam mewajibkan umatnya untuk taat dan yakin total tentang kebenaran agamanya, tanpa kompromi. Bahwa toleransi dan damai ada batasnya. Bahwa umat Islam pun harus membela diri, tidak boleh berdiam diri dan menyerah. Bahwa pada kenyataannya, banyak musuh-musuh Islam. Islam damai dianggap tak mampu menghadang dunia serba keras terhadap Islam. Islam moderat pun dianggap mandul dan tak memberikan solusi. Tandingannya ialah Islam yang formalis dan keras, karena dari model seperti itulah Islam dan umat menemukan eksistensi dirinya. Itulah Islam yang tak "tercemar", Islam "murni".

Di sinilah dilema teologis Islam damai. Islam rahmat. Islam kultural. Pada akhirnya harus memiliki teologi yang kokoh, yang akan berhadapan dengan perspektif teologi yang lain, yang menampilkan Islam yang "haqq", Islam yang "murni", dan Islam "ideologis". Sekali bandul risalah Islam damai diayunkan, maka ayunan itu akan berputar-putar di lahan umat Islam sendiri yang beragam-macam pandangan-pandangan keislamannya. Pada titik inilah risalah Islam damai dan Islam rahmat tidak akan mampu menembus dinding dan tembok teologis Islam yang mengeras. Lebih-lebih ketika ideologi-politik Islam ikut masuk di dalamnya, maka Islam kian mengeras. Kehilangan daya lentur. Jalan Islam yang mengeras selalu punya dalih teologis hingga sosiologis.

Bahkan seolah menjadi solusi tunggal dari hingar-bingar liberalisme-sekulerisme yang naif dan dicemaskan. Dari politik global yang memusuhi Islam hingga beragam paham yang dipandang sesat. Lalu Islam yang mengeras tampil ke permukaan. Para tokoh atau aktivisnya pun menjadi idola baru, sebagai penjaga Islam garis lurus. Pemilik ghirah Islam garda depan. Penjaga Islam murni, Islam ideal. Lebih-lebih ketika kaum liberal-sekuler pun menampilkan radikalisme atau sikap fundamentalis yang tak kalah garangnya. Islam jalan "lurus" jadi pilihan.

Di sinilah dilema Islam damai. Islam moderat. Bagaimana Islam damai dan moderat hadir di tengah ketidakadilan dunia yang serba mengancam dan memporakporandakan tatanah kehidupan, termasuk yang menimpa umat Islam sedunia. Islam damai bahkan didekonstruksi karena ketakberdayaannya melawan kekerasan terhadap umat Islam. Islam moderat pun dipandang kehilangan karakter Islamnya yang murni. Begitulah logika teologis dan sosiologis yang memperlemah peran Islam damai, Islam rahmat, Islam moderat.

Di tengah perbenturan dunia kehidupan yang serba ekstrem itulah, tak mengherankan jika sementara aktor Islam pun harus menyerah terhadap keadaan yang serba dilematik. Setidak-tidaknya mencari cara yang lebih aman. Kadang menampilkan sisi lain, yakni berayun-ayun di banyak medan gerakan. Tentu ada nilai plusnya, untuk merawat keseimbangan. Tapi jika tanpa pencerahan, yang tinggal adalah pengawetan ortodoksi. Kekakuan tetap tak pernah beranjak dari tempatnya. Bahkan telah menjadi "true believers", yang bersikukuh menempuh jalan yang cenderung mengeras dalam klaim Islam jalan lurus.

Kita tak tahu persis corak jalan Islam yang dapat memberi harapan baru di masa depan. Akan seperti apakah wajah dan tampilan Islam di negeri tercinta ini. Alih-alih sambil menanti pergumulan yang tengah berlangsung, tak ada salahnya menengok pula dunia umat di akar bawah, juga di sebagian lingkungan elite dan aktivis. Benarkah kita sungguh-sungguh telah menjadi otentik dalam ber-Islam? Jawabannya harus faktual, bukan idealisasi.

Sementara di dunia nyata beragam masalah masih terus melilit umat ini. Dari perkara-perkara politik yang sarat dilema hingga ke masalah sosial-ekonomi yang terus mengalami marjinalisasi. Keduanya tak kalah krusial menyelimuti tubuh umat Islam saat ini. Padahal, kemarjinalan yang terawetkan, dengan mudah dapat menjadi katalisator bagi tampilan Islam yang serba mengeras. Lalu, --jangan sampai-- jalan Islam ke depan akhirnya bergerak ke ranah terjal di Republik ini.

No comments: