Wednesday, June 28, 2006

Bisnis dan Hutang

Yuslam Fauzi, sekarang Direktur Utama Bank Syariah Mandiri, pernah mengatakan kepada saya, salah satu penyebab terhambatnya kemajuan ekonomi orang Islam adalah karena mereka tidak mau berhutang. Ini akibat ajaran agama yang nampaknya menyudutkan pengambil hutang pada posisi yang setengahnya kurang terhormat.

Waktu itu saya tidak bisa berkomentar apa-apa. Saya hanya memahami, Mas Yuslam, demikian saya biasa memanggil, adalah seorang banker, pegawai pada Bank Bumi Daya waktu itu. Saya memahami, seorang banker berkepentingan uangnya dipinjam orang atau nasabah. Kalau benar ajaran Islam memberi kesan sebaiknya ummat Islam jangan berurusan dengan hutang, tentu akan merugikan bank.

Lalu saya teringat pesan keras mertua, agar saya beserta istri dan anak-anak tidak berurusan dengan bank. Harta mertua saya boleh dibilang ludes karena berurusan dengan bank untuk sebuah usaha, meski tidak habis total. Nasehatnya cukup ampuh dan betul-betul membuat saya sungkan berurusan dengan pinjaman bank, selain lewat kartu kredit yang ada limitnya. Itupun hanya digunakan sebatas untuk konsumsi, yang dalam satu dua bulan sudah harus ditutup.

Belakangan, ketika mulai tumbuh keinginan-keinginan untuk menjalankan usaha sendiri, pandangan itu mulai sirna, meski belum mewujud dalam keberanian. Berulangkali, Mas Chaizi Nasucha memberikan dorongan agar saya punya usaha sendiri. "Usaha yang baik jangan memakai uang sendiri, pakai uang bank. Tirulah orang Cina!" katanya dalam berbagai kesempatan. Ia sudah mempraktekkan. Dengan berbekal pada deposito yang dijaminkan kepada Bank Muammalat, Mas Chaizi kini telah memiliki 9 outlet restoran Sederhana bersama Haji Bustaman, pendiri rumah makan Padang Sederhana. Proyeksinya, tahun 2009 lunas semua hutang, deposito tetap aman, dari restoran akan terus mengalir keuntungan.

Dua hari lalu aku membeli tiga buku (i) Cara Mudah menjadi Kaya Tanpa Gajian, dan (ii) Bisnis & Tasawuf; yang membahas etika bisnis dalam Islam, dan (iii) Kalau Mau Kaya Ngapain Takut Ngutang. Saya ingin menambah peluru untuk meyakinkan diri sendiri agar berani dan mau mengambil resiko untuk berbisnis.

Yang terlintas dalam benak saya adalah, bisnis pada sektor pengolahan informasi. Mungkin menghidupkan kembali berpolitik.com dengan modal sendiri; kalau dulu di sana saya sebagai karyawan yang dapat saham. Mungkin juga mencari bentuk lain seperti penerbitan buku, bisnis sms (short messaging sevices), atau menerbitkan majalah khusus. Ada juga kawan, mantan direktur keuangan perusahaan 911, mengajak bisnis Security Management System.

Saya sedang kagum pada penerbit Serambi, penerbit yang muncul belakangan, tapi sudah mampu bersaing dengan Mizan dan Gramedia. Menurut pemiliknya, salah satu berkah yang mereka nikmati adalah menerbitkan The Da Vinci Code. Sedianya buku itu ditawarkan ke penerbit Gramedia, tetapi karena isinya mengandung kontroversi ajaran Katolik, Gramedia menawarkan kepada Serambi, dan ternyata buku ini laris manis. Terlepas dari itu, buku-buku terbitan Serambi punya kekhasan sendiri. Nampak kecerdasan pengelola penerbit itu dari pilihan buku-buku yang diterbitkan. Sangat menginspirasikan!

Wednesday, June 21, 2006

Pendidikan dan Masa Depan Bangsa

Perlu kita cermati berita Kompas Online edisi 20/6/2006. Seorang siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Unggaran, Semarang, Alex Arida, dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional (UN). Padahal, ia adalah juara olimpiade fisika se Jawa Tengah tahun 2005. Bahkan karena prestasinya itu, ia sempat ditawari oleh Universitas Diponegoro Semarang untuk masuk tanpa tes melalui jalur penerimaan siswa berprestasi. Kini, harapan tersebut sirna karena ia tidak lulus UN. Penyebabnya, nilai matematikanya hanya 3.00, kurang dari standar kelulusan, yaitu 4.6 dalam skala 10.00.

Meski prosentase UN tahun ini dianggap lebih baik dari tahun sebelumnya, dengan tingkat prosentase kelulusan lebih tinggi, akan tetapi tetap saja UN dianggap merugikan, khususnya bagi sekolah-sekolah pinggiran dengan tingkat ketidaklulusan mencapai 13-80%. Mereka rata-rata jeblok nilainya untuk pelajaran IPA. Sebabnya, mereka yang ada di sekolah pinggiran rata-rata dari keluarga tidak mampu. Kondisi ekonomi yang pas-pasan membuat perhatian keluarga terhadap tingkat pendidikan berkurang. Di samping itu, peserta didik di sekolah pinggiran memiliki kemampuan otak yang pas-pasan. Mereka yang memiliki nilai baik, biasanya memilih sekolah favorit atau sekolah unggulan (Kompas Online, 20/6/2006).

Itulah sebagian potret pendidikan Indonesia saat ini. Sebagian pihak beranggapan bahwa, rendahnya anggaran pendidikan berkorelasi terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Meskipun amandemen UUD 45 telah mengamanatkan 20% APBN untuk anggaran pendidikan dan Mahkamah Konstitusi juga sudah mengabulkan tuntutan PGRI agar pemerintah mematuhi konstitusi UUD 45 untuk meningkatkan anggaran pendidikannya sebanyak 20%, pada pelaksanaannya pemerintah masih belum mampu. Pemerintah bahkan bersilat lidah, bahwa sebenarnya mereka sudah menyediakan 20% anggaran pendidikan, jika semuanya dihitung dengan anggaran pendidikan kedinasan di semua departemen. Inilah sebuah pembodohan terhadap rakyat oleh negara yang sangat telanjang di muka publik.

Persoalan pendidikan tampaknya belum menjadi common issue di antara semua kelompok masyarakat, baik itu partai politik, pemerintah, maupun kalangan praktisi. Isu pendidikan menjadi sekedar alat politik untuk mendapatkan dukungan publik. Pendidikan belum menjadi kebutuhan prioritas dalam meningkatkan kemajuan dan kemakmuran negara. Saya termasuk orang yang optimis, bahwa pendidikan dan teknologi merupakan satu-satunya jalan untuk kemajuan sebuah negara. Pendidikan merupakan jalan keluar dari lubang kemiskinan dan kebodohan.

Ambillah contoh Malaysia dan India. Malaysia merupakan negara yang merdeka belakangan setelah Indonesia. Sejak tahun 1950 hingga 1970-an, Malaysia banyak belajar ke Indonesia. Aktifis pelajar dan mahasiswa Malaysia seringkali melakukan kunjungan ke Indonesia untuk tukar pikiran. Mereka mempelajari, bagaimana cara membangun negara dan pendidikan di Indonesia. Kini, setelah 50 tahun berlalu. kondisi pendidikan Malaysia lebih maju ketimbang Indonesia. Demikian juga dengan teknologinya, seperti teknologi perminyakan, di mana Petronas dulu banyak belajar dari Pertamina, tetapi sekarang Petronas justru jauh lebih maju meninggalkan Pertamina.

India, meskipun disebut sebagai negara yang miskin, panas, kumuh, dan kotor, akan tetapi dalam bidang pendidikan, merupakan negara paling maju untuk kategori negara dunia ketiga, jauh lebih maju ketimbang Indonesia. India memberikan pendidikan yang relatif murah namun berkualitas. Tiga tahun setelah kemerdekaan India, parlemen menetapkan tiga perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan nasional (par excellence) dengan dukungan penuh biaya dari pemerintah.

Dalam bidang teknik, India memilik India Institute of Technology (IIT) yang tersebar di tujuh negara bagian. Semuanya memiliki reputasi internasional. Bahkan IIT di Roorkee masuk dalam peringkat tiga sampai delapan terbaik Asia versi Asiaweek 2000. Biaya kuliah di sana juga relatif murah. Hanya dengan sekitar 170.000 rupee atau sekitar 14 juta, sudah bisa digunakan untuk kuliah dan biaya hidup untuk dua tahun, meski angka itu sendiri termasuk kategori mahal untuk kelas menengah ke bawah di sana. Bagi orang miskin India, asal punya otak cemerlang, pasti bisa kuliah. Di India ada sistem pinjaman dari bank bagi mahasiswa, yang dapat dibayarkan ketika sudah lulus dan bekerja.

Keberadaan IIT di tujuh negara bagian, membuktikan pusat keungggulan nasional tidak hanya terpusat di satu wilayah, tapi merata dari utara hingga selatan. Hal ini berbeda dengan Indonesia, di mana univeristas berkualitas banyak berada di pulau Jawa sehingga menimbulkan gap dalam SDM dengan wilayah luar Jawa.

Komitmen dan visi para pejabat politik dan kalangan akademisi India sangat tinggi terhadap pendidikan. Professor Abdul Kalam, presiden India merupakan tokoh yang enak diajak untuk diskusi dan gampang ditemui oleh mahasiswa untuk bimbingan studinya. Dalam pidato hari kemerdekaan India 14 agustus 2004, Abdul Kalam memberikan prioritas khusus dalam bidang pendidikan. Demikian juga dengan professor India yang sekarang ini bekerja atau mengajar di luar negeri seperti Amerika dan Eropa. Mereka menyediakan waktunya 1-2 bulan, untuk kembali ke India dan mengajar. Sebuah komitmen nasionalisme yang sangat tinggi ketimbang hanya hormat bendera atau hafal lagu kebangsaan.

Bangunan infrastruktur pendidikan di India, memang tidak sebagus di Indonesia. Bahkan ruang belajarnya masih lebih bagus SD inpres di Indonesia. Tidak ada eskalator atau white board. Semuanya serba tradisional. Meski demikian, India mampu memberikan layanan kualitas pendidikan yang murah dan terjangkau. Pemerintah memberikan subsidi kertas untuk penerbitan buku-buku kuliah. Penerbit di India memilih lisensi dari penerbitan buku di Amerika dan Eropa, sehingga ia bisa mencetak sendiri buku tersebut dengan kertas yang sedikit lebih murah dan harga terjangkau. Kondisi ini membuat India mampu mengakses transformasi dan perkembangan ilmu dari luar dengan lebih cepat.

Hasil lainnya, banyak tokoh India mendapatkan hadiah nobel. Sebut saja misalnya; Amartya Sen dalam bidang ekonomi, Subrawinan Chandrasekar dan Chandrasekar Venkataraman dalam bidang fisika, bunda Theresa untuk perdamaian, Rabindranath Tagore untuk sastra, dan Hargobin Korana untuk kedokteran.

Dukungan terhadap pengembangan pendidikan, juga diperlihatkan oleh lembaga peradilan. Di mana mereka berhasil mengabulkan tuntutan sebagian warga masyarakat dan memerintahkan kepada sekolah-sekolah swasta untuk mengalokasikan 25% bangku sekolah kepada rakyat jelata secara cuma-cuma. Meski kontrovesial, tetapi pemerintah dan swasta patuh dan tunduk mengikuti keputusan tersebut.

Pendidikan menjadi sangat urgent, karena ia sangat berkorelasi dengan kemajuan sebuah bangsa. Persoalan anggaran memang bukan faktor tunggal dalam melihat permasalahan pendidikan. Yang lebih penting adanya komitmen dan political will semua pihak. Yang lebih penting lagi adalah visi pendidikan Indonesia itu sendiri. Ke mana dan bagaimana Indonesia tahun 2020, sangat ditentukan oleh realitas pendidikan. Dengan membangun visi pendidikan 2020 secara lebih baik, maka berarti kita sedang menyiapkan visi Indonesia untuk bisa lebih maju dan modern.

Ditulis oleh Abdul Aziz Muslim pada milis JSP_Mantan_PII@yahoogroups.com, diedit oleh Fami Fachrudin.

Friday, June 16, 2006

Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan

Meskipun bulan Ramadhan masih 3 bulan lagi, tetapi nasehat yang terkandung dalam khutbah Rasulullah menyambut bulan suci Ramadhan selalu relevan untuk dibaca setiap saat. Berikut khutbah Rasulullah menyambut bulan suci itu:

***
Wahai manusia! Sungguh telah datang kepada kalian bulan Allah dengan membawa berkah, rakhmat, dan maghfirah. Bulan yang paling mulia di sisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan-Nya. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu adalah ibadah, dan doa-doamu diijabah.

Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untukmelakukan puasa dan membaca kitab-Nya. Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan kahausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan orang tuamu. Sayangi yang muda. Sambunglah tali persaudaraan. Jaga lidahmu. Tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya, dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya.

Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah azza wa jalla memandang hamba-hambanya dengan penuh kasih. Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya, dan mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada Nya.

Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa)mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya, bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabbal ’Alamin.

Wahai manusia! Barangsiapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas dosa-dosanya yang lalu.

(Sahabat-sahabat bertanya: ”Ya Rasulullah, tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.” Rasulullah meneruskan:)

Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini, ia akan berhasil melewati sirath pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.

Barangsiapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakannya pada hari ia berjumpa denganNya.

Barangsiapa menyambung tali silaturahmi di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa melakukan shalat sunnah di bulan ini, Allah akan menuliskan, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardhu baginya adalah ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardhu di bulan lainnya.

Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa pada bulan ini membaca satu ayat Al-Qur’an, ganjarannnya sama seperti mengkhatam Al-Qur’an pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu.

Ali bin Abi Thalib berkata: Aku berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: ”Ya abal Hasan, amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah.”
***
Dikutip dari: ”Puasa bersama Rasulullah” karangan Ibnu Muhammad, Pustaka Al-Bayan Mizan.

Wednesday, June 14, 2006

Dan Brown Recipe

Novel The Da Vinci Code, selanjutnya ditulis TDVC, yang ditulis Dan Brown memang hebat. Buku ini diduga bisa mengguncang iman para pemeluk Kristen, terutama di dunia Barat. Seperti diakui dalam buku kontranya berjudul Cracking The Da Vinci Code, penulisnya mengeluhkan akibat buku TDVC muncul banyak keraguan di kalangan pemeluk Kristen, khususnya di kalangan generasi mudanya, sehingga penulis merasa perlu membuat buku bantahan TDVC.

Di Indonesia, tidak luput juga terjadi sedikit adu komentar. Adian Husaini, dianggap sebagai aktifis fundamentalis, menyambut buku TDVC seolah mendapat peluru tambahan untuk menembak kepalsuan ajaran Kristen dan membuat klaim kebenaran Islam. Sementara aktifis JIL Novriantoni mengomentari tulisan Adian di Harian Republika tentang buku TDVC, meski tidak face-to-face, dengan mengatakan kehebatan Islam bukan karena adanya kelemahan agama lain.

Padahal, hujatan terhadap ajaran Kristen sebelumnya, melalui tulisan-tulisan yang mempertanyakan ajaran Kristen, tidak memiliki pengaruh seperti tulisan Dan Brown. Kenapa ini bisa terjadi? Apa mungkin, kehebohan yang dibuat oleh Dan Brown karena hujatan ini datang dari kalangan mereka sendiri? Saya tidak tahu agama yang dipeluk Dan Brown, setidaknya kritikan itu datang dari sesama orang Barat. Tapi saya ragu dengan jawaban sederhana ini. Sebelumnya sudah terbit beberapa buku hujatan dari orang Barat juga.

Sebelum Dan Brown menghujat ajaran Kristen yang disisip-sisipkan dalam novelnya itu, Ahmad Deedat sudah sejak lama membuat buku-buku yang menghujat kebenaran Bible dengan argumen yang sangat rinci. Ia bisa merujuk ayat mana di Bible yang bertentangan dengan ayat lainnya dalam Bible yang sama. Seingat saya, ahir tahun 1990-an waktu saya masih kuliah di Amerika Serikat, Ahmad Deedat sudah terkenal dengan debatnya melawan sejumlah pendeta Kristen, dan perdebatannya disebarkan-luaskan dalam bentuk pamflet, buku-buku dan kaset-kaset.

Hujatan Ahmad Deedat atas berbagai pertentangan dalam diri ajaran Kristen memang tidak menggema, karena pusarannya hanya terjadi di kalangan ummat Islam. Ia tidak menglobal seperti novel TDVC sekarang ini. Apa yang dilakukan Ahmad Deedat waktu itu mungkin dianggap terlalu vulgar dan tidak popular, karena ia memilih jalan perdebatan terbuka dengan tokoh-tokoh Kristen dunia, sehingga tidak terlalu mendapat sambutan atau tanggapan dari mereka.

Tahun 1982, Henry Lincoln, Richard Leigh, dan Michael Baigent menulis novel Holy Blood Holy Grail, yang penulisannya berdasarkan penelitian selama lebih dari 10 tahun. Cerita ”cawan suci” yang berhubungan dengan cerita Maria Magdalena datangnya dari buku ini. Cerita tentang kode-kode yang ditingggalkan keluarga Maria Magdalena, Biarawan Sion, dan Ksatria Templar ada dalam buku ini. Karena itu, Dan Brown pernah digugat menjiplak buku ini, meski tuduhan penjiplakan akhirnya tidak terbukti, meski sejumlah nama, orang maupun organisasi, yang ada di novel TDVC jelas-jelas telah digunakan dalam buku ini.

Setelah buku ini terbit, penulisnya dihujat habis-habisan karena menulis sesuatu yang bertentangan dengan arus utama kepercayan Kristen, meski tidak setragis Salman Rushdie yang divonis mati oleh Imam Khomeini. Namun demikian kontroversi hanya terjadi di Eropa sana, tidak merambah ke belahan bumi lainnya. Mungkin karena tahun 1982 masih dalam suasana perang dingin. Perhatian orang tentu lebih suka kepada isu-isu seputar kedua blok yang sedang berhadap-hadapan. Karenanya, isu Holy Blood Holy Grail mungkin dianggap sebagai isu lokal saja, semacam isu NU versus Muhammadiyah di Indonesia yang tidak pernah menjadi isu internasional.

Tahun 1999, Richard F. Rubenstein menulis buku hasil penelitian dalam alur seperti novel, dengan judul When Jesus Becomes God: The Struggle to Define Christianity during the Last Days of Rome, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi buku Kala Yesus Jadi Tuhan. Karena penulisnya adalah seorang pakar konflik, buku ini ditulis sebagai halis penelitian atas konflik yang terjadi seputar penetapan Perjanjian Baru yang diwarnai oleh konflik dua kubu yang berbeda pendapat pada saat itu.

Dari judulnya saja sudah cukup jelas, bahwa ada masa di mana Yesus bukanlah Tuhan, kemudian dijadikan Tuhan oleh sekelompok orang pada suatu masa. Cerita seputar Konsili Nicea dan latar belakangnya diurai lengkap dalam buku ini. Namun demikian, tidak terdengar ada keberatan yang menghebohkan dari kalangan Kristen. Mungkin karena buku ini didedikasikan sebagai sebuah tulisan ilmiah tentang sejarah konflik manusia, dan penyebarannya tidak sepopuler buku TDVC.

Tahun 2001, Dr. Jerald F. Dirk, seorang mantan diaken di gereja Metodis Bersatu di Amerika Serikat, menulis buku The Cross & the Crescent yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Salib di Bulan Sabit. Buku ini didedikasikan sebagai buku dialog antariman Islam-Kristen. Pengungkapan berbagai kontradiksi dalam ajaran Kristen dalam buku ini sebenarnya mirip dengan cara-cara Ahmad Deedat, tetapi karena penulisnya adalah ”orang dalam”, ia bisa menceritakan dengan penuh empati dan secara lebih baik, terutama dalam soal latar belakang sejarah ajaran-ajaran Yahudi-Kristen yang dianggap tidak sesuai, menyimpang, atau bertentangan.

Buku ini juga mengungkap sejarah penyusunan Perjanjian Baru, yang sejalan dengan cerita bahwa Perjanjian Baru memang baru dibuat setelah beberapa abad kematian Yesus, yang awalnya melalui Konsili Nicea. Bahkan saya baru tahu, ada 44 kitab apokrif, kitab yang digunakan oleh pemeluk Kristen awal, yang tidak diakomodasi dalam Perjanjian Baru, tetapi masih disimpan oleh mereka. Cerita seputar ajaran Kristen yang terdapat dalam Al-Qur’an dan bertentangan dengan Perjanjian Baru yang ada sekarang, ternyata tidak bertentangan dengan kitab-kitab apokrif yang digunakan pemeluk Kristen awal. Dalam konteks membandingkan dengan TDVC, buku ini sekali lagi juga tidak menjadi buku yang menggemparkan dan tidak dianggap menghujat pemeluk Kristen.

Lalu apa yang menjadi penyebab kehebohan ini? Sementara saya hanya dapat mengatakan, ini adalah Dan Brown Recipe, resep Dan Brown, hasil olahan strategi bisnis novel dan berkah dari perang melawan terorisme. Momennya sedang tepat. The right book on the right time.

Barangkali, bagi pemeluk Kristen taat dan awam di Eropa terutama Inggris dan Amerika, deklarasi crussade abad ini oleh presiden Amerika Serikat George W. Bush telah menumbuhkan kebanggaan terhadap agama Kristen. Di tengah euforia kebanggaan itu, tiba-tiba novel Dan Brown muncul dengan membawa hujatan terhadap agamanya.

Juga, di Amerika Serikat terutama, sekarang ini banyak muncul klaim, bahwa perang melawan teror menjadi berkah tersendiri bagi ummat Islam. Banyak orang tergerak ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Sebaliknya, mungkin juga terjadi, yang ini belum saya dengar klaimnya, banyak pula orang ingin tahu ajaran Kristen yang menjadi pendorong semangat George W. Bush dalam mengobarkan perang melawan teror. Kemudian mereka mendapat cerita Dan Brown yang di luar pakem ke-Kristen-an itu. Maka hebohlah jadinya.

Terlepas dari itu semua, saya ingin mengatakan bahwa hujatan terhadap ajaran Kristen seperti ditemukan dalam buku-buku yang saya sebut di atas nampaknya terbukti tidak memberi pengaruh apapun untuk memalingkan pemeluk Kristen kepada ajaran lainnya. Setiap muncul hujatan, barangkali oleh mereka dianggap seperti badai saja. Mungkin menggelisahkan dan menyusahkan perasaan pemeluk Kristen, tetapi mereka tetap bisa bertahan. Dan ketika badai telah lewat, selesailah sudah kekisruhannya.

Memang benar, kelemahan ajaran Kristen yang terbuktikan tidak membuat Islam menjadi kuat. Namun demikian, sebagai pemeluk Islam, kita perlu membaca buku tersebut untuk mengetahui latar belakang ujaran-ujaran Al-Qur’an seputar kenabian Isa Putra Maryam, karena Al-Qur’an diwahyukan pada abad ke-7 Masehi, sementara sejarah pergulatan Kristen awal yang krusial terjadi sejak abad pertama hingga abad ke-4 Masehi. Jika ada beberapa cerita dalam Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan cerita dalam Bible, maka salah satu dari buku-buku yang disebut di atas bisa memberikan jawabannya.

Thursday, June 08, 2006

Arti Namaku

Dulu aku pernah bertanya kepada ayahku, kenapa namaku bukan Fahmi, tapi Fami? Hal ini aku tanyakan karena lazimnya, nama yang banyak dipakai orang adalah Fahmi: Fahmi Idris, Husni Fahmi, Fahmi Jafar, Fahmi Shahab, dan lain-lain.

Ayahku menjelaskan, namaku adalah gabungan dari nama yang diambil dari sebuah buku, dan nama pemberian K. H. Nasucha, ulama Muhammadiyah di Bumiayu yang sangat disegani pada saat itu dan dikenal dari Tegal hingga Wonosobo.

Fami diambil dari bahasa Arab, artinya "mulutku". Fachrudin juga dari bahasa Arab fachr dan ad-din yang masing-masing artinya "kebanggaan" dan "agama". Jadi, Fami Fachrudin mengandung makna "mulut yang membanggakan agama".

Namun demikian, ayahku tidak pernah bercerita kepadaku, apa harapannya kelak terhadap diriku setelah dewasa. Apakah ia berharap aku jadi ustadz atau juru dakwah? Kalau itu yang dimaui, nampaknya sekarang sulit, karena saya bukan tipe orang yang suka berbicara di depan banyak orang. Entah mengapa, dalam 10 tahun terakhir semangatku menggunakan mulutku untuk berbicara di depan banyak orang semakin menyusut. Padahal dulu, aku adalah juara pertama pidato antar SMA Muhammadiyah se Karesidenan Pekalongan pada tahun 1985.

Baru belakangan saya ketahui, kepada adiknya, Abdullah Badri, ayahku pernah berkata sambil mengangkat aku ketika masih bayi: "Lihat Abdullah, setelah besar nanti, anak ini akan jadi orang terkenal!" Penuturan dari pamanku ini aku dengar menjelang aku berangkat ke Amerika Serikat untuk mengikuti tugas belajar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Yang pasti, aku bersyukur, ayahku telah memberi nama dan harapan yang baik kepadaku. Aku hanya bisa membalas dengan doa kepada ayahku yang kini sudah almarhum:

"Robbighfirlii wa lii walidayya warkhamhumaa kamaa robbayaani shoghiiroo"
Wahai Rabb-ku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku,
dan sayangilah mereka sebagaimana mereka melindungiku
di masa aku masih kecil.

Nama-nama Anakku

Memberi nama yang baik adalah salah satu anjuran Kanjeng Nabi Muhammad saw. Nama yang baik juga merupakan doa, seperti apa anaknya kelak diharapkan tumbuh dan besar jadi manusia. Yang paling utama tentu menjadi manusia yang bermanfaat buat manusia lainnya. "Khairu an-naas tanfa'u li an-naas" sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat buat manusia lainnya.

Shemissa Shita Fachrudin. Lahir di Pati, 18 Oktober 1993. Nama ini ditemukan dalam buku Islamic Names karangan Annemarie Schimmel. Shemissa berasal dari kata syams, dari bahasa Arab, artinya "matahari". Penulisan tersebut biasa digunakan oleh masyarakat Tunisia. Sedang Shita, berasal dari bahasa Arab juga, artinya "musim dingin". Jadi, Shemissa Shita artinya "matahari di musim dingin". Saya berharap agar anakku dapat menjadi matahari di musim dingin: memberi kehangatan bagi manusia yang sedang diselimuti kebekuan mental maupun spiritual. Aku ingin dia kelak besar menjadi seorang ilmuwan, yang bisa memberikan pandangan-pandangan yang menyegarkan dan menghangatkan masyarakat. Sedang nama Fachrudin adalah nama belakangku, jika ditulis lengkap menjadi Shemissa Shita binti Fachrudin.

Shadra Shiraz Fachrudin. Lahir di Pati, 30 April 1995. Nama ini ditentukan dari keinginanku terlebih dulu. Mau apa setelah anakku besar nanti? Aku ingin ia jadi pemikir. Ya, jadi pemikir besar jika mungkin, kenapa tidak? Maka aku cari nama-nama pemikir muslim. Lalu aku temukan nama Shadr Al-Din Al-Syirazi atau dikenal dengan nama Mulla Shadra, seorang filosof yang cukup berpengaruh. Dari nama itu aku ambil nama Shadra Shiraz. Tapi aku tidak sekedar mengambil nama itu, aku juga melakukan studi akan makna nama tersebut.

Dalam bahasa Arab, shadra sendiri artinya "dada", misalnya dari kata Al-Quran fii dzaati ash-shuduur yang artinya "zat yang ada di dalam dada". Shudur di sini juga bisa bermakna hati, batin, atau jiwa. Shiraz berasal dari bahasa Arab, siraaj, yang artinya sinar, sebagaimana digunakan dalam ungkapan Al-Quran siraaja muniira (sinar yang menerangi). Bedanya dengan nur, nur dikeluarkan oleh rembulan, siraaj dikeluarkan oleh matahari, sebagaimana disebut dalam Surat Nuh ayat 16:

wa ja'alal-qamara fiihinna nuuraw wa ja'ala-asy-syamsa siraaja.
Dan diciptakan rembulan yang mengeluarkan nuur dan diciptakan matahari yang mengeluarkan siraaj. (QS 71:16)

Secara fisika, siraaj adalah sinar matahari yang mengandung gelombang energi panas dengan suhu permukaan pada sumbernya mencapai 5.500 °C dan suhu pada intinya 15 juta °C dan merupakan sumber penerangan dalam tata surya galaksi kita ini, sedang nuur adalah sinar matahari yang dipantulkan oleh rembulan dengan sifat yang lembut karena tidak memiliki gelombang energi panas yang membakar. Agar kata siraaj senafas dengan nama shadra yang berbau Persia, maka saya ubah penulisannya menjadi shiraz. Kebetulan, kata shiraz sendiri ada dan merupakan nama daerah di wilayah Persia, asal daerah Mulla Shadra itu sendiri.

Jadi, nama Shadra Shiraz adalah sebuah doa, agar anakku kelak menjadi seorang pemikir yang dari dadanya memancarkan sinar kebenaran dan mampu memberikan pencerahan kepada jiwa-jiwa yang ada di dalam kegelapan. Sedang nama Fachrudin adalah nama belakangku, jika ditulis lengkap menjadi Shadra Shiraz bin Fachrudin.

Raisa Munira Fachrudin. Lahir di Jakarta, 7 Juni 2004. Ketika lahir, aku ingin ia menjadi pemimpin. Ternyata ia seorang perempuan. Tapi perempuan tidak terhalang untuk menjadi pemimpin. Nama itu juga terkait dengan kekagumanku pada tokoh reformasi di Indonesia, Amin Rais. RaisA adalah kebalikan dari A Rais. Dalam bahasa Arab, rais artinya pemimpin (laki-laki) dan raisatun adalah pemimpin (wanita). Kata raisa berasal dari: raisatun-->raisah-->raisa. Tokoh dunia yang menggunakan nama ini antara lain Raisa Gorbachev, istri dari pemimpin Uni Soviet Michael Gorbachev..

Munira juga dari bahasa Arab, artinya "yang menerangi". Kebetulan, nama tersebut juga nama nenekku tercinta, orang yang telah berjasa besar dalam mendidik kedisiplinan kepadaku dalam mendirikan shalat: Munira binti Haji Nur. Maka, dengan nama Raisa Munira, aku berharap anak ini kelak bisa menjadi pemimpin yang mampu memberikan penerangan kepada rakyatnya, membawa rakyatnya dari kegelapan menuju kepada cahaya yang terang benderang, mina-dz-dzulumaati ilaa an-nuur. Sedang nama Fachrudin adalah nama belakangku, jika ditulis lengkap menjadi Raisa Munira binti Fachrudin.

Raisa Ulang Tahun

Kemarin, 7 Juni, anakku yang ke-3, Raisa Munira Fachrudin, berulang-tahun yang ke-2. Istriku mengadakan acara perayaan di rumah kami dengan mengundang anak-anak di sekitar rumah, 38 anak. Saya sendiri pada dasarnya kurang antusias dengan perayaan-perayaan semacam itu. Terlalu berbau kebarat-baratan. Tapi istriku membela, acara seperti itu perlu untuk sosialisasi anak dengan lingkungannya. Raisa juga sudah bisa meminta, "Papah, Raisa mau ulang tahun.." Akupun tidak bisa menolak permintaan malaikat kecilku yang sangat lucu itu.

Acara ini sekaligus jadi momen ketemu keluarga. Kami mengundang keluarga bulek Zaitun beserta anak dan cucunya dari Poncol dan beberapa sepupu beserta keluarganya. Acaranya sangat meriah. Anakku kelihatan sudah memahami acara tersebut. Ketika lagu "tiup lilinnya" dinyanyikan, dia turut bernyanyi, lalu dia meniup lilin angka dua hingga apinya padam. Anak-anak bersorak dan tepuk tangan dari sekitar 60 tamu undangan bergelora di ruangan keluarga.

Wednesday, June 07, 2006

Wasiat Terakhir Imam Ali

Kufah menjelang subuh, hari itu dipercaya sebagai 17 Ramadhan, saat hendak memasuki ruangan masjid untuk membangunkan orang-orang yang tidur di dalamnya, Imam Ali bin Abi Thalib didekati oleh dua orang yang membawa pedang. Salah satunya, Abdurrahman bin Muljam atau Ibnu Muljam, berhasil menghantam kening sang Imam dengan pedang yang telah dilumuri racun sebelumnya.

Pagi harinya (ada yang berpendapat 3 hari setelah kejadian di atas), menjelang wafat, Imam Ali memberi wasiat kepada Hasan dan Husain yang duduk dekat kepala sang Imam:

”Aku berpesan kepada kalian berdua, bertakwalah kepada Allah. Jangan mencintai dunia, walau ia menggodamu. Jangan menangisi sesuatu yang menyusahkanmu. Sampaikan kebenaran. Sayangilah anak yatim. Beri petunjuk orang yang sesat. Berbuatlah untuk akhirat. Jadilah musuh orang zalim, dan pembela orang yang dizalimi. Berbuatlah sesuai dengan Kitab Allah. Dan jangan jadikan Allah sebagai sasaran caci maki.”



Kemudian ia menatap Muhammad bin Hanafiah sambil berkata: ”Apakah engkau hafal semua wasiatku pada kedua saudaramu?” Muhammad bin Hanafiah mengiyakannya. ”Itu juga pesanku padamu. Aku berwasiat padamu, hormatilah kedua saudaramu dan bantulah urusannya. Jangan putuskan sesuatu tanpa keduanya.”

Kemudian Imam Ali berkata kepada Hasan dan Husain, ”Aku berpesan pada kalian mengenai dia. Dia adalah saudaramu dan anak ayahmu. Kalian tahu ayah kalian mencintainya.”

Lalu ia berkata kepada Husain:

”Aku berpesan padamu, Nak. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah, mendirikan shalat tepat waktu, menunaikan zakat pada yang berhak, menyempurnakan wudhu karena tidak sah shalat tanpa bersuci. Aku berpesan padamu agar memaafkan dosa, menahan amarah, bersilaturahim, bijaksana pada orang bodoh, mendalami ilmu agama, tabah dalam menghadapi masalah, menjaga Al-Quran, bertetangga dengan baik, menyeru kepada kebajikan, melarang kemungkaran dan menghindari perbuatan keji.”



Lalu Imam Ali, sosok yang dikenal sangat cerdas dan sangat menghargai kemanusiaan, meminta wasiatnya dituliskan untuk Hasan. Imam Ali tidak lagi berucap kecuali, ”Laa ilaaha illa Allah.” Lalu sang Imam menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Sumber: novel sejarah ”Mendung di Atas Kufah”, Jurji Zaidan, hal 257-259.

Tuesday, June 06, 2006

Meraih Hakikat Melalui Syariat

Berikut adalah sinopsis buku Meraih Hakikat Melalui Syariat yang ditulis oleh Nurasiah FaqihSutan Hrp--yang aslinya merupakan tesis penulis di Department of Islamic Studies, McGill University, Montreal Canada. Sinopsis ini dapat ditemui di sampul belakang buku tersebut:

***
Betapa banyak umat Muslim yang terjebak melaksanakan ritual-formal syariat tanpa memahami dan menghayati hakikat dan esensi yang dikandungnya. Di lain pihak, betapa banyak pula yang meremehkan, bahkan sampai berani meninggalkan, ritual-formal syariat dengan beralasan bahwa pengamalan ritual-formal syariat tidak diperlukan lagi setelah hakikat dan esensinya dipahami. Dua titik ekstrem ini senantiasa menghiasi wajah umat Islam, mulai dari zaman-zaman awal hingga zaman modern kini. Karena itu, sejumlah ulama telah melakukan berbagai upaya untuk menjembataninya.

Kita mungkin sudah mengenal Imam Al-Ghazali yang, dengan kitab Ihya ’Ulumuddin-nya, sudah berupaya mengawinkan kembali sisi ritual-formal syariat dengan esensi dan hakikatnya. Namun, belum banyak yang mengetahui bahwa Ibn ’Arabi (1165-1240 M) –tokoh sufi Andalusia yang masyhur dengan doktrin wihdah al-wujud-nya ini—juga memiliki perhatian yang besar terhadap isu dikotomi antara syariat dan hakikat ini. Bahkan, ia senantiasa menekankan pentingnya mengamalkan syariat dengan benar seraya memahami dan menghayati tujuan batin dan hakikat yang dikandungnya.

Memang tidak dapat disangkal bahwa secara umum, karakter pemikiran dan tulisan-tulisan Ibn ’Arabi bersifat multinilai, global, dan bahkan terkesan bermakna ganda, sehingga tidak heran jika memancing kontroversi. Namun, ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari upayanya untuk senantiasa mempertahankan keseimbangan dan mengambil jalan tengah dari dua aspek yang berbeda dan kadang bertentangan.

Dalam buku ini, kita akan melihat bagaimana sang sufi memahami dan mendefinisikan syariat sebagai suatu nilai dan sebagai suatu hukum, tanpa terjebak mengorbankansisi ritual-formal dan tujuan esensial-hakikinya. Kita juga akan melihat bahwa, berbeda dengan pemikir-pemikir sufi biasanya, Ibn ’Arabi tidak membedakan antara syariah –yang dikatakannya merupakan redaksi materi hukum—dan haqiqah, yaitu rahasia dan makna spiritual hukum tersebut. Menurutnya, syariah seutuhnya sejalan dengan haqiqah dan keduanya merupakan wujud yang hakiki.
***

Monday, June 05, 2006

Musik Terindah

Musik terindah bagiku adalah keheningan
--Jilly Amstrong, seorang muallaf--
sebagaimana dituturkan dalam buku Santri-santri Bule

Sunday, June 04, 2006

Minum Teh Selagi Panas

Manfaat Teh: Melawan Kanker

Seduh teh yang sudah dikemas dalam kantung dengan air panas dan aduk selama 3 – 5 menit. Semakin lama dibiarkan teh akan semakin kental.

Penyeduhan dengan air panas akan merangsang catechin keluar dari daun teh. Karena kandungan ini mudah menguap, segeralah minum selagi masih panas atau hangat agar khasiatnya dapat terserap tubuh.

Apa khasiat catechin? Zat ini dipercaya mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan melawan sel kanker. Catechin berfungsi sebagai antioksidan yang penting untuk melawan radikal bebas. Zat ini mengurangi penumpukan lemak dalam darah sehingga membuat aliran darah lancar. Catechin bekerja efektif karena mudah menempel pada protein, memblok dan menghancurkan virus.

Semakin muda usia daun teh, kandungan catechin semakin tinggi. Zat ini terdiri dari bioflavonoids, polyphenols, dan antioksidan yang sangat kuat. Catechin pada teh ada empat substansi, yaitu EC, ECg, EGC, dan EGCG (Epigallocatechin Gallate). EGCG mengandung antioksidan yang terkuat, lebih hebat daripada yang terdapat pada brokoli, bayam, wortel, strawberri, apel, dan coklat hitam.

Kandungan daun teh terdiri dari 75-80% moisture dan 20-25% solid. Dalam kandungan yang solid, terdapat (1) zat-zat yang larut dalam air (Catechin, Amino Acid, Caffeine, Saccharides, Mineral, Pectin, Saporin, Fluoride, Flavonoids, dan Vitamin b1, b2, C, P, dan U), (2) zat-zat yang larut dalam minyak (Carotene, Vitamin E, dan Clorophyl), serta (3) zat-zat yang tidak larut dalam air maupun minyak (Cellulose (fibrin) dan Protein).

Kelebihan penggunaan ekstrak teh hijau atau teh putih dalam memerangi kanker adalah tidak ditemukannya kerusakan pada sel sehat. Berbeda dengan karakter obat antikanker, merusak semua sel kanker sekaligus sel tubuh yang sehat dan mudah tumbuh seperti kuku, kulit, dan rambut.


Berbagai Jenis Teh

Berbagai ragam teh yang ada di pasaran:


  • Teh Hitam & Teh Oolong. Dibuat melalui proses fermentasi sehingga mengakibatkan banyak kadar catechin yang hilang. Meski demikian, teh ini mengandung theaflavin (bentuk catechin yang teroksidasi) dalam jumlah besar sehingga dapat melawan virus influenza. Teh hitam dan oolong juga sering dipakai untuk mengatasi sakit perut. Kandungan kafeinnya 40 mg/gelas.


  • Teh Hijau. Kandungan EGCG yang terdapat dalam teh ini dua kali lipat lebih bermanfaat dibanding resveratrol yang ditemukan pada anggur merah. EGCG juga bekerja lebih kuat, sedikitnya 100 kali daripada vitamin C dan 25 kali lebih efektif dibandingkan dengan vitamin E, pada sel pelindung dan DNA dari kerusakan yang mungkin diakibatkan oleh kanker, penyakit jantung, dan penyakit serius lainnya. Teh hijau juga mampu meningkatkan metabolisme tubuh dan membakar 266 kalori per hari. Teh ini mampu menurunkan kadar kolesterol, hipertensi, dan kemungkinan terkena serangan jantung berkurang. Teh ini juga sering dipakai sebagai obat pelangsing tubuh. Efek sampingnya terkadang menimbulkan pusing bagi penderita hipertensi, dan menimbulkan masalah bagi yang pencernaannya sensitif. Kandungan kafeinnya 20 mg/gelas.


  • Teh Putih. Ini adalah teh termahal. Kualitasnya tergantung pada musim panen atau petik. Teh ini, berdasarkan penelitian, bekerja lebih baik dari teh hijau dalam melawan mikroba patogenik manusia, seperti virus, bakteri, dan jamur. Ektrak teh putih memiliki antiviral pada virus patogenik manusia. Menambahkan ekstraknya pada pasta gigi juga meningkatkan efek anti mikroba pada mulut. Ektrak teh putih juga berfungsi sebagai anti jamur pada penicillium chrysogenum dan saccharomyces cerevisiae. Teh ini terbukti tidak mampu meningkatkan metabolisme sehingga tidak bisa digunakan untuk pelangsing tubuh. Kandungan kafeinnya 15 mg/gelas.

Diringkas dari: AstraWorld News, Edisi Juni 2006

Rejeki

Kata rejeki diadopsi dari bahasa Arab —ro za qo—yang artinya pemberian Allah:

Wa mimma rozaqnahum yunfiquun.
Dan dari apa-apa yang direjekikan kepada mereka, dibelanjakan. (Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 3)
Rejeki adalah pemberian Allah, diberikan kepada siapa saja yang dia kehendaki:
Allahu yabsuthu rizqo limaa yasaa’u wa yaqdir.
Allah yang melapangkan rejeki kepada siapa saja (yang dikehendaki) dan menyempitkannya. (Al-Qur’an)

Innallaha yarzuqu maa yasaa’u bighairi hisaab.
Sesungguhnya Allah memberi rejeki kepada siapa saja (yang dikehendaki) tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan. (Al-Qur’an)

Ya, rejeki diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah tanpa pertimbangan apapun. Siapa saja, orang beriman-orang kafir, bekerja-tidak bekerja, semua mendapat rejeki dari Allah. Jumlah rejeki yang diterima, sedikit-banyaknya, juga sepenuhnya kekuasaan Allah.

Tanpa kecuali, tanpa pertimbangan. Ekstremnya, lihatlah, berapa banyak orang bekerja keras: siang malam bekerja sebagai kuli di pelabuhan, sepanjang hari berjalan keliling kampung sebagai pengemis, mereka tetap saja hidup dalam kekurangan meski keringat sudah diperas seharian. Lalu coba lihat orang yang hanya duduk di belakang meja, kongkow-kongkow di lobi hotel, mereka bisa mendapatkan hasil yang jauh lebih berlimpah dengan keringat yang sangat sedikit.

Lalu, di mana peran manusia? Menyiapkan tempat. Ibaratnya, rejeki adalah sebuah siraman air hujan, dan manusia yang menerima ini hanyalah sebuah tempayan. Tempayan kecil dapat menampung air yang sedikit. Tempayan besar dapat menampung air yang banyak. Tempayan yang lebih besar, tentu dapat menampung air yang lebih banyak lagi.

Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk memperbesar tempayan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Berbakti kepada orangtua. Saya mengamati, di antara banyak orang sukses yang saya kenal di Jakarta, mereka adalah orang-orang yang sangat memuliakan orangtua, terutama ibunya. Al-jannatu tahta aqdaamil ummahaat: surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Termasuk surga dunia tentunya; ini yang orang seringkali lupa.

    Awalnya aku tidak menyadari hubungan tersebut. Setelah aku banyak merenung, atas kemudahan saya mencari rejeki di Jakarta ini, mau-tidak-mau aku harus meyakini, bahwa hubungan baik dengan orangtua ada hubungannya dengan kemudahan mencari rejeki.

    Ada seorang kawan, yang begitu mudah diberi jalan oleh Allah dalam mencari rejeki, meski ia cenderung angkuh. Tapi rejekinya lancar mengalir, laksana memiliki pohon uang. Begitu saya perhatikan, subhanallah, hormatnya terhadap orangtua sangat luar biasa. Bukan sekedar hormat sebagaimana lazimnya anak kepada orangtua, tetapi lebih pada pengorbanan untuk orangtua. Ia mengutamakan orangtua lebih dari yang lainnya, terutama sekali dalam hal memberi materi kepada mereka. Bila perlu hidup lebih menderita asal orangtua bisa tersenyum, tercukupi sandang dan pangannya.

    Ketika saya berumur 27 tahun pada tahun 1995, baru saja memiliki anak yang kedua, aku mendapatkan rejeki cukup besar, hampir 40 juta. Ada dua pilihan terhadap uang tersebut: (1) membeli rumah di Depok mengingat saya masih ngontrak di sebuah gang sempit di Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, atau (2) membangun rumah orangtua, yang saat itu masih dibuat dari gedek atau anyaman bambu dan berlantaikan tanah, serta sudah mau roboh karena sudah tua. Setelah meminta ijin dari istri seraya berjanji pada umur 30 sudah punya rumah untuk anak dan istri, aku serahkan uang tersebut pada orangtua untuk membangun rumah beliau di kampung. Ketika saya berjanji kepada istri, tidak ada gambaran sama sekali dari mana kelak mendapatkan uang untuk membeli rumah tersebut. Yang terbersit, saya akan bekerja lebih giat lagi, terutama dalam memanfaatkan jaringan yang sudah lama aku bentuk, baik dengan kawan-kawan alumni luar negeri, dengan sesama aktifis Islam, maupun kawan-kawan baru yang ketemu di Jakarta.

    Ajaib, subhanallah! Dua bulan setelah ulang tahun yang ke-28, aku membeli rumah di daerah Rawajati juga (beda RT dengan rumah kontrakan), seharga Rp 76 juta: Uang itu didapat dari simpanan sebesar Rp 18 juta dari hasil proyek membuat website sebuah lembaga di Jakarta, 50 juta pinjaman dari bos di kantor Berpolitik.com, dan 30 juta pinjaman dari kakak ipar yang sedang belajar di New Zaeland. Sisa uang untuk merehab rumah. Sejak itu, aku merasakan, pintu-pintu rejeki dibukakan lebar-lebar kepadaku dan keluargaku.

  2. Memperbanyak silaturahmi. Dalam dunia modern, membangun networking atau jaringan. Saya adalah orang yang percaya, setiap menambah kenalan baru, pasti ada suatu urusan yang kelak membutuhkan kenalan baru tersebut, entah kapan waktunya. Allah tidak pernah membuat keputusan yang sia-sia bagi seluruh perjalanan hidup makhluk-Nya. Di antara jutaan bahkan miliaran manusia, kenapa si fulan yang didatangkan Allah kepadaku? Demikian aku sering bertanya pada diri sendiri. Tentu ada maksud dan manfaatnya kelak. Maka, kepada orang tersebut aku harus menjalin hubungan dengan baik, dan aku harus menjaga hubungan tersebut dengan baik pula. Kalau kita tidak menjaganya, maka hubungan itu akan putus atau layu. Akibatnya, jaringan ke arah fulan tersebut menjadi rusak. Demikian aku menghayati ujaran Nabi Muhammad saw, bahwa silaturahmi mendatangkan rejeki.

  3. Rajin bersedekah. Sebagai orang Islam yang percaya dengan ujaran Al-Quran, setiap nafkah (infaq) yang kita keluarkan akan dibalas 700 kali lipat. Amal yang satu ini merupakan salah satu alat untuk memperbesar daya tampung rejeki kita.

    Seorang kawan baik, Tabrani Sabirin, pengurus majelis Tabligh PP Muhammadiyah pada periode Ahmad Syafii Maarif, menceritakan adanya seorang warga Muhammadiyah yang menabung untuk biaya berobat anaknya ke China. Lama menabung tidak juga mencukupi. Akhirnya diputuskan, uang yang ada disedekahkan. Setiap datang rejeki baru, dia bersedekah lagi. Terus ia lakukan berulang-ulang, dengan satu kepercayaan bahwa bersedekah justru memperkaya diri. Akhirnya, pada suatu hari, datang telepon dari seseorang yang menawarkan pengobatan anaknya ke China: gratis!! Seluruh biaya perjalanan dan pengobatan ditanggung oleh orang tersebut. Subhanallah.

Ketiga amal baik di atas merupakan ajaran semua agama, baik agama-agama langit atau samawi seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, maupun agama bumi seperti Hindu, Budha, atau Khong Hu Chu. Itu kenapa, rejeki diberikan kepada siapa saja, kepada seluruh manusia dan makhluk lainnya, tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan suku, agama, mapun ras, dengan jumlah yang bervariasi sesuai dengan daya tampung manusia itu sendiri dalam menerimanya.

Thursday, June 01, 2006

Hegemoni Asing di Indonesia

Hegemoni Asing di Indonesia:
Skenario yang Belum (Akan) Berakhir /1
Oleh:Budi Santosa /2




Sekedar Pengantar

Tahun lalu sebuah buku berjudul Confessions of Economic Hit Man (CEHM) telah terbit di Indonesia dalam edisi yang sudah diterjemahkan. Dalam hemat saya, buku ini sungguh menggelitik dan menarik untuk disimak, terutama berkaitan dengan pembicaraan perihal hegemoni asing di Indonesia pada malam hari ini.

Mengapa? Setidaknya dua alasan penting dapat dikemukakan. Pertama, buku tersebut mengungkap sepak terjang dan modus operandi negara-negara barat dalam mengeruk keuntungan dari negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia. Proses pengerukan itu dalam realitasnya bisa secara mudah dan langgeng dijalankan karena bersembunyi di balik dalih bantuan dan pinjaman luar negeri yang dipagari dengan rambu-rambu hukum di negara penerima utang.

Kedua, buku itu ditulis oleh orang yang melakukan secara langsung modus operandi proses tersebut. John Perkins, nama Si Aktor, resminya adalah ekonom Bank Dunia yang bertugas meracik proyeksi-proyeksi ekonomi negara-negara penerima pinjaman sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lembaganya. Akan tetapi, di luar itu, menurut pengakuannya, dia juga berfungsi sebagai agen rahasia. Melalui angka-angka ekonomi yang disulapnya itulah ia mengemban misi agar kucuran utang itu terus berlangsung. Dengan begitu, negara debitur akan semakin terperangkap utang sehingga kepentingan negara-negara yang tergabung ke dalam Bank Dunia akan terus bisa terpenuhi.

Setahun sebelum CEHM, buku "pertobatan" serupa juga telah diluncurkan. Globalization and its Discontents, judul buku itu,dikarang oleh Joseph E. Stiglitz. Stiglitz bukanlah orang sembarangan. Selain penerima Nobel Ekonomi 2001, ia adalah mantan Ketua DewanPenasehat Ekonomi Presiden Clinton dan pernah menjabat Wakil PresidenSenior dan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia.

Agak berbeda dengan Perkins yang lebih banyak berkisah pengalaman pribadinya, Stiglitz secara panjang lebar menyoroti segi-segikegagalan IMF dan Bank Dunia dalam menjalankan kegiatannya dinegara-negara dunia ketiga hingga mengantarkan negara-negara itu ke ambang kebangkrutannya dewasa ini. Dalam kaitannya dengan IMF, Stiglitz merumuskan kekeliruan IMF itu ke dalam "Daftar Dosa IMF".


Dosa-dosa IMF

Dalam konteks Indonesia, dosa-dosa itu setidaknya dapat dijabarkan dalam lima hal. Pertama, IMF telah mengabaikan dan melanggar kaidah demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan baik ditingkat lembaga itu sendiri maupun pada level rekomendasi yang diberikan di suatu negara. Di tingkat IMF pengambilan keputusan dilakukan atas dasar besarnya sumbangan modal yang diberikan oleh negara anggotanya. Artinya semakin besar sumbangan modal yang diberikan oleh suatu negara, maka semakin besar pula hak suara yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan. Dalam posisi yang demikian, negara tersebut dengan mudah menitipkan kepentingan-kepentingannya kepada IMF. Di tingkat rekomendasi, hal ini tampak pada pengalaman ketika lembaga ini memaksakan pencabutan subsidi BBM di tengah-tengah maraknya kemiskinan dan pengangguran sehingga bermuara pada kerusuhan massal. Selain itu, pemaksaan kebijakan privatisasi BUMN ditengah-tengah situasi birokrasi politik yang korup, terbukti bukan saja membuat kebijakan itu tidak menunjukkan efektivitasnya, tetapi juga semakin menyuburkan praktik politik uang di dalam kehidupan politik Indonesia.

Kedua, IMF telah mengkhianati komitmen semula sebagai lembaga yang bertindak netral untuk melakukan stabilisasi ekonomi suatu negara. Dalam kenyataannya sekarang, menurut Stiglitz, IMF telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan komunitas keuangan di AS (Washington Consensus).

Ketiga, sangat kentalnya watak kolonial IMF dengan mengarahkan perekonomian negara-negara yang ditanganinya kepada penjualanaset-aset negara strategis kepada pihak asing dengan kedok pemulihan ekonomi. Praktik ini tampak jelas dari kebijakan yang direkomendasikan kepada Argentina, Mexico dan Indonesia.

Keempat, kedangkalan pemahaman IMF akan bekerjanya pasar uang. diulangi lagi dengan pemaksaan untuk melikuidasi 16 bank. Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan itu dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap perilaku paradeposan. Di tengah-tengah ancaman penutupan bank-bank, nasib para deposan dibiarkan begitu saja untuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Dampaknya seperti telah pernah kita rasakan adalah kejatuhan dan kelumpuhan sistem finansial di Indonesia.

Kelima, kegagalan badan ini dalam memahami arti penting transformasi sosial sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Dampak dari kebijakan ekonomi yang direkomendasikan nyaris tak pernah diperhitungkan oleh IMF. Maka tak mengherankan jika kerusuhan dan kekerasan selalu menyertai setiap pelaksanaan kebijakan IMF.


Siapakah Mereka?

Bank Dunia dan IMF bisa diamsalkan sebagai saudara kembar karenalahir pada waktu, tempat, dan dari rahim yang yang sama. /3 Kendatipun sekandung, keduanya memiliki peran yang berbeda. Bank Dunia yang mulaiberoperasi pada 1946 berfungsi sebagai lembaga keuangan yang menghutangi uang bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai negara untuk memajukan ekonominya. Bunga yang diberikan relatif lebih rendah ketimbang bila negara-negara tersebut meminjam dari bank komersial. Sementara itu peran Utama IMF adalah mengatur neraca pembayaran luarnegeri berbagai negara, dengan menyediakan hutang (pinjaman), dengan memaksakan disiplin finansial (keuangan) tertentu terhadap negara-negara yang menghadapi masalah neraca pembayaran. /4

Sistem pengambilan keputusan lembaga-lembaga tersebut didasarkanpada jumlah saham yang disetorkan anggota. Semakin besar saham berikan, semakin besar suara (vote) negara yang bersangkutan. Pemegang saham terbesar umumnya dipegang oleh negara-negara maju. IMF, misalnya, pemegang hak suara terbesarnya adalah Amerika Serikat(17,5%), Jepang (6,3%), dan Jerman (6,2%). Dalam pada itu, supaya apat memperoleh akses ke sumber-sumber keuangan yang dapat digunakan untuk dipinjamkan kembali, Bank Dunia memiliki dasar modal yang terdiri dari kesepakatan pendanaan, atau saham dari negara-negara anggotanya. /5 Negara-negara tersebut hanya membayar bagian dari saham mereka, yang disebut sebagai " modal yang dibayarkan". Bagian yang belum dibayar oleh sebuah negara atas sahamnya disebut sebagai "modal tertunda" yang kurang lebih akan dipakai sebagai dana cadangan bila kreditor Bank Dunia tak dapat membayar kembali pinjamannya.

Awal dekade 80-an, Bank Dunia dan IMF mulai berubah haluan. Perubahan ini dipicu oleh merebaknya kekhawatiran negara-negara kapitalis terhadap kemungkinan "gagal bayarnya" utang-utang yang telah mereka salurkan. Probabilitas semacam itu merupakan keniscayaan oleh karena krisis yang memang mendera hampir di seluruh kawasan. Merosotnya harga minyak di pasaran dunia yang diikuti melonjaknya tingkat bunga riil di pasar kapital dunia merupakan pukulan telak bagi perekonomian negara-negara sedang berkembang.

Kerumitan negara-negara sedang berkembang berarti pula persoalan bagi negara-negara maju. Utang yang tak terbayar menjadi ancaman serius bagi neraca modal mereka. Di sisi lain, merosotnya impor negara berkembang akibat krisis juga sangat mengkhawatirkan neraca perdagangan mereka. Maka tiada jalan lain untuk terus menghidupkan perekonomian negara-negara debitur demi hidup mereka sendiri.

Pinjaman merupakan instrumen efektif demi maksud tersebut. Caranya, utang yang dikucurkan disertai dengan persyaratan-persyaratan(conditionality) tertentu. Conditionality itu berupa langkah-langkah dan kebijakan yang harus diambil oleh debitor sesuai dengan instruksi Bank Dunia. Misalnya, pinjaman penyesuian Bank Dunia seringkali berisi persyaratan yang meminta pemerintah untuk mengambil tindakan pro pasar seperti misalnya devaluasi suku bunga, mengurangi hambatan-hambatan perdagangan atau swastanisasi badan usaha milik negara. Kadang-kadang, bila pemerintah negara peminjam tidak melakukan tindakan yang disebut tadi atau tidak memenuhi ketentuan/persyaratan tersebut, maka BankDunia akan menahan sisa pinjaman. Pinjaman pada kenyataannya digunakan sebagai insentif untuk mendorong pemerintah melaksanakan persyaratan tertentu atas landasan faham teori kapitalis. Dari sudut pandang peminjam, persyaratan dapat dianggap sebagai hambatan potensial dalam memperoleh sumber-sumber dana. /6

Upaya-upaya semacam itu kian getol dilakukan seiring dengan meningkatnya tekanan perusahaan-perusahaan transnasional terhadap pemerintah di dalam negeri pemberi utang untuk menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih liberal di negara-negara penerima pinjaman. Tekanan-tekanan tersebut terkait erat dengan keinginan kelompok korporasi itu untuk memperluas hegemoni bisnisnyadi negara-negara dunia ketiga yang nota bene adalah pasar potensial bagi mereka.

Realitas semacam itu tampak nyata terutama di Amerika Serikat. Di negara ini bukanlah suatu rahasia lagi bila dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar itu telah memegang kendali-kendali politik. Kepentingan-kepentingan mereka inilah yang kemudian terwadahi dalam Konsensus Washington (Washington Consensus) bersama-sama dengan agenda Departemen Keuangan AS dan Gedung putih yang memiliki haluan serupa./7 Bagi pemerintah AS mengabulkan desakan korporasi-korporasi besar itu bukan saja karena adanya kesamaan pandangan dan ideologi, akan tetapi secara tak terelakkan oleh adanya kenyataan bahwa defisit kronis yang dialami neraca transaksi berjalan AS terselamatkan oleh hasil operasi bisnis institusi-institusi bisnis tersebut di negara-negara dunia ketiga./8

Di bawah payung neo liberalisme dan panji Washington Consensus, memberi utang kepada negara terbelakang bukan lagi tindakan kedermawanan seperti pada masa lalu. Sebaliknya utang adalah usaha yang menguntungkan dengan tingkat pengembalian yang lebih pasti karena dijamin negara dan pemerintahnya pasti membayar. Selain itu kegiatan pinjam-meminjam ini adalah bisnis yang stabil. Semakin lama jangka aktu peminjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama.

Utang juga menghidupkan perekonomian mereka sendiri, karena berarti terbuka luas order untuk perusahaan-perusahaan di negara maju. Ini karena utang tidak berbentuk tunai dan juga tidak bebas digunakan. Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini berarti supplier-nya harus dari negara pemberi utang, barang-barangnya juga sama, harus dibeli dari negeri si pemberi utang. Begitu pulad engan konsultan-konsultannya, harus dari mereka juga.

Di luar mekanisme utang terdapat pula bantuan yang dikenal dengan hibah (grant). Hibah ini jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai "pancingan" atau gula-gula pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk memastikan bahwa si penghutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga tutup mata mengenai korupsi, yang penting "business must go on". Jadi pada dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang, meskipun tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. /9


Skenario untuk Indonesia

Utang Indonesia telah menggelembung lebih dari lima kalilipat pada awal 80-an dibandingkan dengan jumlah di awal 70-an. Di samping faktor jatuh tempo dan habisnya grace period, devaluasi yang dipaksakan IMF secara beruntun pada tahun 1971 dan 1978 memberikan andil signifikan terhadap membengkaknya utang tersebut. Di sisi lain devaluasi itu juga melambungkan jumlah cicilan pokok dan bunga yang harus dibayarkan. Di tengah-tengah jatuhnya harga minyak dan kian langkanya sumber-sumber pendapatan pemerintah, beban utang itu muncul sebagai ancaman serius. /10

Bagi negara-negara kreditur dan kroni-kroninya, Indonesia terlampau sayang untuk tidak "diselamatkan". Jaminan kepastian politikoleh rezim otoriter dan kepatuhan Soeharto terhadap"petunjuk-petunjuk" mereka, serta kekayaan alam Indonesia yang berlimpah adalah prasyarat penting bagi kelangsungan bisnis-bisnis mereka di tanah air.

Melalui skenario bridge loan, Bank Dunia dan IMF "berhasil menyelamatkan" Indonesia dari kebangkrutan. Bridge loan tidak lain adalah pinjaman-pinjaman baru yang diberikan secara collusive untuk menghindarkan Indonesia dari default. Akan tetapi, karena jumlah cicilan utang yang begitu besarnya, pinjaman baru itupun tidak cukupuntuk itu. Maka dengan resep deregulasi dan debirokratisasi yang direkomendasikan IMF dan Bank Dunia, Indonesia mulai meliberalisasikan sektor keuangannya pada 1988 (Pakto 88). Di sektor riil, pajak dan ekspor digenjot sedemikian rupa sehingga penerimaan negara terdongkrak.

Hasilnya, penerimaan dari lini non-migas memang kemudian meningkat tajam. Untuk pertama kalinya dalam sejarah ekspor non migas melampaui pangsa migas. Ke manakah pendapatan itu disalurkan? Tidak lain adalah untuk membayar utang! Karena seperti disinggung di atas, utang baru yang dikucurkan tidaklah mencukupi jumlah cicilan pokok dan bunga yang harus dibayarkan. Praktis dalam kurun waktu 1984-1997, uang untuk pengembalian utang kepada negara kreditur diperoleh dari utang baru yang diberikan mereka ditambah dengan pendapatan-pendapatan dalam (pajak) dan luar negeri (ekspor) yang telah diupayakan dengan sangat susah payah dan membebani kehidupan rakyat.

Keuntungan yang ditangguk oleh negara kreditur tidak hanya berasal dari pembayaran piutang-piutangnya. Di dalam utang itu sendiri terdapat komponen yang disebut dengan technical assistance. Komponentersebut adalah pelatihan-pelatihan dan asistensi yang diberikan olehtenaga-tenaga ahli yang mereka datangkan dari negaranya (tergantung siapa pemenang tendernya). Para bule ini bekerja di Indonesia dalam waktu cukup lama, paralel dengan umur proyek yang didanai dengan utang. Gaji mereka yang begitu besarnya dan ditentukan oleh mereka sendiri dibiayai dari utang yang mereka berikan sendiri. Kadang-kadang para ekspert ini masih menuntut fasilitas yang macam-macam demi kenyamanan hidup mereka selama di Indonesia. Dan parahnya, mereka juga mendapatkan kehormatan dan privilege yang luar biasa dari teknokrat-teknokrat Indonesia.

Gaji-gaji mereka tercatat sebagai pembayaran jasa-jasa asing dineraca transaksi berjalan. Bersama-sama dengan jasa-jasa alih teknologi, repatriasi keuntungan-keuntungan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, nilai transfer pos ini secara kumulatif telah membangkrutkan neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam kurun waktu1984-1996 neraca ini terus mengalami tekor, dimana pos pembayaran jasa-jasa neto yang terus menggelembung dari tahun ke tahun.

Pada titik itu sesungguhnya nyaris sempurnalah hegemoni asing di Indonesia. Pada tataran ekonomi telah tercipta suatu pola dari asinguntuk asing! Sedangkan pada aspek politik gambarannya kurang lebih seperti budak yang memberikan upeti kepada tuan-tuannya! Kendatipun sebenarnya budak-budak itu sebagian besar sudah kepayahan, namun selalu saja ada budak-budak yang menikmati model relasi seperti itu. Budak-budak inilah yang senantiasa memperoleh keuntungan dari keberadaan asing di Indonesia. Mereka ini siapa lagi kalau bukan para teknokrat yang tiap tahun menjalankan ritual berutang. Utang seolah telah menjadi kewajiban dan akan berdosa besar jika tidak dijalankan!


Belum (Akan) Berakhir

Apakah itu akhir dari segala skenario? Jawabannya tidak. Kekayaan alam: air, minyak, tambang dan aset-aset strategis di bawah penguasaan BUMN tampaknya amat menggiurkan. Dan ini belum dikuasai sepenuhnya oleh mereka. Di sisi lain bisnis utang pun must going on!

Realitas awal 90-an menggambarkan bahwa sebenarnya sektor pemerintah telah menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan. Utang luarnegeri kumulatif yang telah mencapai US$ 65.697 juta dan cicilan sebesar Rp 12.598,0 milyar (1991) telah menimbulkan efek inflatoir sedemikian rupa sehingga perekonomian memanas (overheating). Sementara langkah nasionalistis Soeharto yang membubarkan IGGI dan menggantikannya dengan CGI pada 22 maret 1992 sungguh mengkhawatirkan dunia barat.

Kenyataan ekonomi politik semacam itu sungguh menjadi batu sandungan yang berarti bagi barat untuk melanjutkan skenarionya. Untuk menghadapi situasi itu tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali terus mendesakkan agenda-agenda neo liberalisme. Melalui IMF dan Bank Dunia mulailah diintrodusir kebijakan-kebijakan privatisasi dan good governance di segala lini. Jika dicermati laporan-laporan tahunan IMFdan Bank Dunia sejak awal 90-an semuanya merekomendasikan agenda tersebut.

Melalui privatisasi sejumlah tujuan dapat diwujudkan. Pertama, privatisasi berarti pemberian perluasan hak kepada pihak swasta untuk mulai merambah ke sektor-sektor publik yang selama ini menjadi tanggungjawab pemerintah seperti jalan tol dan pembangunan infrastruktur lainnya. Kedua, terkait dengan tujuan yang pertama, implikasinya swasta tentu akan membutuhkan modal yang begitu besar untuk pembiayaannya. Dan ini bukanlah persoalan, sebab para kreditur dengan senang hati akan memberikan pinjamannya. Tentu berbeda dengan kepada pemerintah, utang ini bersifat komersial (berjangka pendek danbunga yang lebih tinggi). Dengan swasta berutang, maka bisnis simpan-meminjam pun tidak terputus. Ketiga, privatisasi pada dasarnya adalah perkuatan sektor swasta, berarti pula pelemahan kekuatan pemerintah. Dan inilah yang diharapkan. Kendatipun dalam kenyataannya proyek-proyek swasta itu kemudian jatuh ke tangan keluarga Cendana dankroni-kroninya melalui KKN namun bukan soal benar bagi barat. Justru dengan begitu benih-benih ketidak percayaan rakyat akan muncul dari situ. Dan itu, menjadi investasi politik bagi barat untuk melancarkan agenda pergantian kepemimpinan, sebagai hukuman bagi Soeharto yang telah melakukan tindakan "perlawanan" kepada tuannya!

Maka agenda besar itu pun digelar. Sekali lagi, untuk pertama kalinya dalam sejarah, utang swasta melambung melampaui jumlah utang pemerintah pada tahun 1997 dan 1998. di tahun 1997 misalnya, utang swasta telah mencapai US$ 78.228 juta (setahun sebelumnya yakni pada1996 nilainya masih US$ 51.126 juta). Kemudian pada 1998 jumlah itu meningkat menjadi US$ 79.418 juta. Pada kedua tahun yang sama, utang pemerintah senilai US$ 53.865 juta dan US$ 67.315 juta. Berbeda dengan utang pemerintah yang dipinjam secara langsung, utang-utang swasta ini ditempuh melalui mekanisme penerbitan obligasi, bond dan commercial paper yang diperdagangkan di pasar modal internasional. Dengan model ini perusahaan-perusahaan barat bisa melakukan penetrasi langsung kedalam perusahaan-perusahaan swasta domestik dan mempengaruhi keputusan-keputusan manajemennya.

Beban utang swasta yang demikian besar rupanya cukup efektif untuk menggentingkan suasana baik di dalam negeri maupun persepsi dunia internasional terhadap Indonesia. Kekhawatiran akan gagal-bayarnya utang swasta ini, bersama-sama dengan faktor berlanjutnya defisit neraca transaksi berjalan seperti dijelaskan diatas menjadi triger yang manjur bagi kejatuhan Rupiah. Dan ketika kondisi ini tercium oleh para spekulan, maka sesungguhnya episodekrisis dan skenario pembangkrutan tengah dimulai!


Bukan Penutup

Apabila dicermati secara seksama berbagai uraian di muka, maka hegemoni asing di Indonesia secara sederhana bisa dipetakan dalam empat gelombang. Gelombang pertama adalah dekade 70-an yang bisa disebut fase adobsi kebijakan. Di era ini, adobsi kebijakan defisit anggaran, utang luar negeri, dan devaluasi oleh pemerintah atas petunjuk IMF dan Bank Dunia sebenarnya adalah awal mula masuknya hegemoni asing di Indonesia. Gelombang kedua yakni dekade 80-an bisa dikatakan sebagai fase dari asing untuk asing. Gelombang ketiga adalah fase pembangkrutan yang berlangsung pada dekade 90-an. Kedua fase terakhir ini sedikit banyak sudah dibahas terdahulu. Dan kini kita sedang berada di gelombang keempat hegemoni asing di Indonesia. Untuk sederhananya, bolehlah kita sebut sebagai fase penguasaan aset dan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia oleh asing.

Butir-butir kesepakatan dengan IMF yang lebih dikenaldengan Letter of Intent (LOI) adalah ikon penting gelombang keempat. Kesepakatan yang berisi lebih dari 50 butir ini dipaksakan kepada Indonesia pada penghujung 90-an atau ketika krisis masih mendera. Jika diringkas setidaknya terdapat lima ruh yang terkandung dalam dokumen tersebut yaitu: (1) memotong pengeluaran publik untuk pelayanan sosial, seperti terhadap pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk jaring pengaman sosial bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jembatan, jalan, air bersih. (2) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan. (3) Privatisasi, dengan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Ini termasuk juga menjual usaha pemerintah di bidang perbankan, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air. (4) Menghapus konsep "barang-barang publik", dan menggantinya dengan "tanggungjawab individual", seperti menyalahkan kaum miskin yang tidak mempunyai pendidikan, jaminan sosial, kesehatan dan lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana butir-butir itu diimplementasikan. Kiranya pertanyaan itu tak perlu dijawab dan diuraikan secara panjang lebar di sini. Sebab, seperti halnya sinetron, pelaksanaan item demi item LOI itu kini telah menjadi tontonan kita sehari-hari. Seperti dapat kita saksikan pula, ruh LOI itu juga telah merasuki setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah SBY-JK. Sebut misalnya pengesahan UU Migas, UU Sumber Daya Air, pemotongan subsidi BBM dan pertanian, penandatanganan MoU blok Cepu, liberalisasi perdagangan, penjualan Indosat, BCA, dan lain sebagainya.

Kini, segalanya terserah Anda semua. Mau melawan, cuek saja, atau berkolaborasi dan mendukung agenda-agenda mereka. Yang jelas Neoimperialisme dan Neoliberalisme kini merasa aman dan nyaman bersemayam di bumi Indonesia. Karena, mereka sekarang sudah mempunyai"anak manis" yang memimpin negeri ini. "Anak manis" yang siap meladeni apapun yang mereka mau dan inginkan. "Anak manis" yang kalem, tenang dan tidak impulsif. Tidak seperti Evo Moralez di Bolivia atau HugoChaves di Venezuela, atau Ahmadinejad di Iran. "Anak manis" yang ternyata pengagum dan penganut Friedrich von Hayek, bapak Neoliberalisme. Sudahlah! Indonesia memang kekecualian.......**


/1 Disampaikan pada Diskusi tentang "Hegemoni Asing di Indonesia", diselenggarakan oleh Mantan PII Muda, Jum'at, 19 Mei 2006, di Hotel Le Meridien, Jakarta

/2 Buruh Riset, tinggal di Tangerang

/3 Bank Dunia (World Bank) yang aslinya bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD, bersama-sama dengan IMF, didirikan di Bretton Woods, sebuah kota kecil di negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat, pada bulan Juli 1944. Ia dibentuk oleh 44 negara yang pada waktu itu bermaksud untuk menciptakan sebuah dunia yang damai dengan ekonominya yang makmur dan merata, akibat trauma dua perang dunia. Pertemuan Bretton Woods yang berlangsung dalam suasana untuk menciptakan sebuah tatanan dunia yang damai dan makmur tersebut, selain membentuk Bank Dunia juga menyepakati berdirinya IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional). Kedua lembaga ini pada mulanya didirikan dengan tujuan membantu membangun kembali ekonomi Eropa setelah kehancuran Perang Dunia II, yang kemudian diperluas dengan memberi pinjaman pembangunan kepada negara-negara Dunia Ketiga.

/4 Erpan Faryadi, "WTO, Bank Dunia dan IMF: Konspirasi Penyebab Kebangkrutan Negara Dunia Ketiga", www.google.com.

/5 Negara-negara yang menjadi anggota Bank Dunia terutama adalah negara-negara yang kini tergabung dalam kelompok G7.

/6 Bank Information Center, "Tanya dan Jawab Tentang Pinjaman Bank Dunia", Panduan untuk Aktivis, Nomor 5.

/7 Haluan kebijakan pemerintah AS ini dapat dicermati dari dokumen resmi mereka yang bertajuk "The National Security Strategy of The USA" yang diterbitkan pada September 2002.

/8 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialsime Abad 21, Kreasi Wacana, Yogakarta, 2002.

/9 Bonnie Setiawan, "At The End of Globalization, We are All Dead", dalam www.google.com.

/10 Selama periode 1970 hingga 1980 tercatat dua kali pemerintah mengambil kebijakan devaluasi. Yang pertama pada Agustus 1971 di mana rupiah diturunkan nilainya dari 378/US$1 menjadi 415/US$1 (9,8%). Dan kedua pada Nopember 1978, Rupiah kembali didenominasi dari 415/US$1 menjadi 625/US$1 (33%).