Thursday, June 01, 2006

Hegemoni Asing di Indonesia

Hegemoni Asing di Indonesia:
Skenario yang Belum (Akan) Berakhir /1
Oleh:Budi Santosa /2




Sekedar Pengantar

Tahun lalu sebuah buku berjudul Confessions of Economic Hit Man (CEHM) telah terbit di Indonesia dalam edisi yang sudah diterjemahkan. Dalam hemat saya, buku ini sungguh menggelitik dan menarik untuk disimak, terutama berkaitan dengan pembicaraan perihal hegemoni asing di Indonesia pada malam hari ini.

Mengapa? Setidaknya dua alasan penting dapat dikemukakan. Pertama, buku tersebut mengungkap sepak terjang dan modus operandi negara-negara barat dalam mengeruk keuntungan dari negara-negara dunia ketiga khususnya Indonesia. Proses pengerukan itu dalam realitasnya bisa secara mudah dan langgeng dijalankan karena bersembunyi di balik dalih bantuan dan pinjaman luar negeri yang dipagari dengan rambu-rambu hukum di negara penerima utang.

Kedua, buku itu ditulis oleh orang yang melakukan secara langsung modus operandi proses tersebut. John Perkins, nama Si Aktor, resminya adalah ekonom Bank Dunia yang bertugas meracik proyeksi-proyeksi ekonomi negara-negara penerima pinjaman sebagai landasan bagi kebijakan-kebijakan lembaganya. Akan tetapi, di luar itu, menurut pengakuannya, dia juga berfungsi sebagai agen rahasia. Melalui angka-angka ekonomi yang disulapnya itulah ia mengemban misi agar kucuran utang itu terus berlangsung. Dengan begitu, negara debitur akan semakin terperangkap utang sehingga kepentingan negara-negara yang tergabung ke dalam Bank Dunia akan terus bisa terpenuhi.

Setahun sebelum CEHM, buku "pertobatan" serupa juga telah diluncurkan. Globalization and its Discontents, judul buku itu,dikarang oleh Joseph E. Stiglitz. Stiglitz bukanlah orang sembarangan. Selain penerima Nobel Ekonomi 2001, ia adalah mantan Ketua DewanPenasehat Ekonomi Presiden Clinton dan pernah menjabat Wakil PresidenSenior dan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia.

Agak berbeda dengan Perkins yang lebih banyak berkisah pengalaman pribadinya, Stiglitz secara panjang lebar menyoroti segi-segikegagalan IMF dan Bank Dunia dalam menjalankan kegiatannya dinegara-negara dunia ketiga hingga mengantarkan negara-negara itu ke ambang kebangkrutannya dewasa ini. Dalam kaitannya dengan IMF, Stiglitz merumuskan kekeliruan IMF itu ke dalam "Daftar Dosa IMF".


Dosa-dosa IMF

Dalam konteks Indonesia, dosa-dosa itu setidaknya dapat dijabarkan dalam lima hal. Pertama, IMF telah mengabaikan dan melanggar kaidah demokrasi dalam proses pengambilan kebijakan baik ditingkat lembaga itu sendiri maupun pada level rekomendasi yang diberikan di suatu negara. Di tingkat IMF pengambilan keputusan dilakukan atas dasar besarnya sumbangan modal yang diberikan oleh negara anggotanya. Artinya semakin besar sumbangan modal yang diberikan oleh suatu negara, maka semakin besar pula hak suara yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan. Dalam posisi yang demikian, negara tersebut dengan mudah menitipkan kepentingan-kepentingannya kepada IMF. Di tingkat rekomendasi, hal ini tampak pada pengalaman ketika lembaga ini memaksakan pencabutan subsidi BBM di tengah-tengah maraknya kemiskinan dan pengangguran sehingga bermuara pada kerusuhan massal. Selain itu, pemaksaan kebijakan privatisasi BUMN ditengah-tengah situasi birokrasi politik yang korup, terbukti bukan saja membuat kebijakan itu tidak menunjukkan efektivitasnya, tetapi juga semakin menyuburkan praktik politik uang di dalam kehidupan politik Indonesia.

Kedua, IMF telah mengkhianati komitmen semula sebagai lembaga yang bertindak netral untuk melakukan stabilisasi ekonomi suatu negara. Dalam kenyataannya sekarang, menurut Stiglitz, IMF telah menjadi kepanjangan tangan kepentingan komunitas keuangan di AS (Washington Consensus).

Ketiga, sangat kentalnya watak kolonial IMF dengan mengarahkan perekonomian negara-negara yang ditanganinya kepada penjualanaset-aset negara strategis kepada pihak asing dengan kedok pemulihan ekonomi. Praktik ini tampak jelas dari kebijakan yang direkomendasikan kepada Argentina, Mexico dan Indonesia.

Keempat, kedangkalan pemahaman IMF akan bekerjanya pasar uang. diulangi lagi dengan pemaksaan untuk melikuidasi 16 bank. Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan itu dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap perilaku paradeposan. Di tengah-tengah ancaman penutupan bank-bank, nasib para deposan dibiarkan begitu saja untuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Dampaknya seperti telah pernah kita rasakan adalah kejatuhan dan kelumpuhan sistem finansial di Indonesia.

Kelima, kegagalan badan ini dalam memahami arti penting transformasi sosial sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Dampak dari kebijakan ekonomi yang direkomendasikan nyaris tak pernah diperhitungkan oleh IMF. Maka tak mengherankan jika kerusuhan dan kekerasan selalu menyertai setiap pelaksanaan kebijakan IMF.


Siapakah Mereka?

Bank Dunia dan IMF bisa diamsalkan sebagai saudara kembar karenalahir pada waktu, tempat, dan dari rahim yang yang sama. /3 Kendatipun sekandung, keduanya memiliki peran yang berbeda. Bank Dunia yang mulaiberoperasi pada 1946 berfungsi sebagai lembaga keuangan yang menghutangi uang bagi proyek-proyek pembangunan di berbagai negara untuk memajukan ekonominya. Bunga yang diberikan relatif lebih rendah ketimbang bila negara-negara tersebut meminjam dari bank komersial. Sementara itu peran Utama IMF adalah mengatur neraca pembayaran luarnegeri berbagai negara, dengan menyediakan hutang (pinjaman), dengan memaksakan disiplin finansial (keuangan) tertentu terhadap negara-negara yang menghadapi masalah neraca pembayaran. /4

Sistem pengambilan keputusan lembaga-lembaga tersebut didasarkanpada jumlah saham yang disetorkan anggota. Semakin besar saham berikan, semakin besar suara (vote) negara yang bersangkutan. Pemegang saham terbesar umumnya dipegang oleh negara-negara maju. IMF, misalnya, pemegang hak suara terbesarnya adalah Amerika Serikat(17,5%), Jepang (6,3%), dan Jerman (6,2%). Dalam pada itu, supaya apat memperoleh akses ke sumber-sumber keuangan yang dapat digunakan untuk dipinjamkan kembali, Bank Dunia memiliki dasar modal yang terdiri dari kesepakatan pendanaan, atau saham dari negara-negara anggotanya. /5 Negara-negara tersebut hanya membayar bagian dari saham mereka, yang disebut sebagai " modal yang dibayarkan". Bagian yang belum dibayar oleh sebuah negara atas sahamnya disebut sebagai "modal tertunda" yang kurang lebih akan dipakai sebagai dana cadangan bila kreditor Bank Dunia tak dapat membayar kembali pinjamannya.

Awal dekade 80-an, Bank Dunia dan IMF mulai berubah haluan. Perubahan ini dipicu oleh merebaknya kekhawatiran negara-negara kapitalis terhadap kemungkinan "gagal bayarnya" utang-utang yang telah mereka salurkan. Probabilitas semacam itu merupakan keniscayaan oleh karena krisis yang memang mendera hampir di seluruh kawasan. Merosotnya harga minyak di pasaran dunia yang diikuti melonjaknya tingkat bunga riil di pasar kapital dunia merupakan pukulan telak bagi perekonomian negara-negara sedang berkembang.

Kerumitan negara-negara sedang berkembang berarti pula persoalan bagi negara-negara maju. Utang yang tak terbayar menjadi ancaman serius bagi neraca modal mereka. Di sisi lain, merosotnya impor negara berkembang akibat krisis juga sangat mengkhawatirkan neraca perdagangan mereka. Maka tiada jalan lain untuk terus menghidupkan perekonomian negara-negara debitur demi hidup mereka sendiri.

Pinjaman merupakan instrumen efektif demi maksud tersebut. Caranya, utang yang dikucurkan disertai dengan persyaratan-persyaratan(conditionality) tertentu. Conditionality itu berupa langkah-langkah dan kebijakan yang harus diambil oleh debitor sesuai dengan instruksi Bank Dunia. Misalnya, pinjaman penyesuian Bank Dunia seringkali berisi persyaratan yang meminta pemerintah untuk mengambil tindakan pro pasar seperti misalnya devaluasi suku bunga, mengurangi hambatan-hambatan perdagangan atau swastanisasi badan usaha milik negara. Kadang-kadang, bila pemerintah negara peminjam tidak melakukan tindakan yang disebut tadi atau tidak memenuhi ketentuan/persyaratan tersebut, maka BankDunia akan menahan sisa pinjaman. Pinjaman pada kenyataannya digunakan sebagai insentif untuk mendorong pemerintah melaksanakan persyaratan tertentu atas landasan faham teori kapitalis. Dari sudut pandang peminjam, persyaratan dapat dianggap sebagai hambatan potensial dalam memperoleh sumber-sumber dana. /6

Upaya-upaya semacam itu kian getol dilakukan seiring dengan meningkatnya tekanan perusahaan-perusahaan transnasional terhadap pemerintah di dalam negeri pemberi utang untuk menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih liberal di negara-negara penerima pinjaman. Tekanan-tekanan tersebut terkait erat dengan keinginan kelompok korporasi itu untuk memperluas hegemoni bisnisnyadi negara-negara dunia ketiga yang nota bene adalah pasar potensial bagi mereka.

Realitas semacam itu tampak nyata terutama di Amerika Serikat. Di negara ini bukanlah suatu rahasia lagi bila dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan besar itu telah memegang kendali-kendali politik. Kepentingan-kepentingan mereka inilah yang kemudian terwadahi dalam Konsensus Washington (Washington Consensus) bersama-sama dengan agenda Departemen Keuangan AS dan Gedung putih yang memiliki haluan serupa./7 Bagi pemerintah AS mengabulkan desakan korporasi-korporasi besar itu bukan saja karena adanya kesamaan pandangan dan ideologi, akan tetapi secara tak terelakkan oleh adanya kenyataan bahwa defisit kronis yang dialami neraca transaksi berjalan AS terselamatkan oleh hasil operasi bisnis institusi-institusi bisnis tersebut di negara-negara dunia ketiga./8

Di bawah payung neo liberalisme dan panji Washington Consensus, memberi utang kepada negara terbelakang bukan lagi tindakan kedermawanan seperti pada masa lalu. Sebaliknya utang adalah usaha yang menguntungkan dengan tingkat pengembalian yang lebih pasti karena dijamin negara dan pemerintahnya pasti membayar. Selain itu kegiatan pinjam-meminjam ini adalah bisnis yang stabil. Semakin lama jangka aktu peminjamannya, maka semakin menguntungkan, karena berarti pokok dan bunganya akan berlipat-lipat dalam jangka waktu lama.

Utang juga menghidupkan perekonomian mereka sendiri, karena berarti terbuka luas order untuk perusahaan-perusahaan di negara maju. Ini karena utang tidak berbentuk tunai dan juga tidak bebas digunakan. Utang adalah in-natura (barang) dan mengikat (tied-aid) dalam arti penggunaannya harus sesuai dengan kepentingan si pemberi pinjaman. Ini berarti supplier-nya harus dari negara pemberi utang, barang-barangnya juga sama, harus dibeli dari negeri si pemberi utang. Begitu pulad engan konsultan-konsultannya, harus dari mereka juga.

Di luar mekanisme utang terdapat pula bantuan yang dikenal dengan hibah (grant). Hibah ini jumlahnya sangat kecil, dan hanya dipakai sebagai "pancingan" atau gula-gula pemikat untuk proyek utang yang lebih besar. Grant juga dipakai untuk memastikan bahwa si penghutang betul-betul akan membayar utangnya. Utang juga tutup mata mengenai korupsi, yang penting "business must go on". Jadi pada dasarnya korupsi direstui, karena mereka terus saja mengucurkan utang, meskipun tahu bahwa setiap tahun uang pinjaman tersebut bocor. /9


Skenario untuk Indonesia

Utang Indonesia telah menggelembung lebih dari lima kalilipat pada awal 80-an dibandingkan dengan jumlah di awal 70-an. Di samping faktor jatuh tempo dan habisnya grace period, devaluasi yang dipaksakan IMF secara beruntun pada tahun 1971 dan 1978 memberikan andil signifikan terhadap membengkaknya utang tersebut. Di sisi lain devaluasi itu juga melambungkan jumlah cicilan pokok dan bunga yang harus dibayarkan. Di tengah-tengah jatuhnya harga minyak dan kian langkanya sumber-sumber pendapatan pemerintah, beban utang itu muncul sebagai ancaman serius. /10

Bagi negara-negara kreditur dan kroni-kroninya, Indonesia terlampau sayang untuk tidak "diselamatkan". Jaminan kepastian politikoleh rezim otoriter dan kepatuhan Soeharto terhadap"petunjuk-petunjuk" mereka, serta kekayaan alam Indonesia yang berlimpah adalah prasyarat penting bagi kelangsungan bisnis-bisnis mereka di tanah air.

Melalui skenario bridge loan, Bank Dunia dan IMF "berhasil menyelamatkan" Indonesia dari kebangkrutan. Bridge loan tidak lain adalah pinjaman-pinjaman baru yang diberikan secara collusive untuk menghindarkan Indonesia dari default. Akan tetapi, karena jumlah cicilan utang yang begitu besarnya, pinjaman baru itupun tidak cukupuntuk itu. Maka dengan resep deregulasi dan debirokratisasi yang direkomendasikan IMF dan Bank Dunia, Indonesia mulai meliberalisasikan sektor keuangannya pada 1988 (Pakto 88). Di sektor riil, pajak dan ekspor digenjot sedemikian rupa sehingga penerimaan negara terdongkrak.

Hasilnya, penerimaan dari lini non-migas memang kemudian meningkat tajam. Untuk pertama kalinya dalam sejarah ekspor non migas melampaui pangsa migas. Ke manakah pendapatan itu disalurkan? Tidak lain adalah untuk membayar utang! Karena seperti disinggung di atas, utang baru yang dikucurkan tidaklah mencukupi jumlah cicilan pokok dan bunga yang harus dibayarkan. Praktis dalam kurun waktu 1984-1997, uang untuk pengembalian utang kepada negara kreditur diperoleh dari utang baru yang diberikan mereka ditambah dengan pendapatan-pendapatan dalam (pajak) dan luar negeri (ekspor) yang telah diupayakan dengan sangat susah payah dan membebani kehidupan rakyat.

Keuntungan yang ditangguk oleh negara kreditur tidak hanya berasal dari pembayaran piutang-piutangnya. Di dalam utang itu sendiri terdapat komponen yang disebut dengan technical assistance. Komponentersebut adalah pelatihan-pelatihan dan asistensi yang diberikan olehtenaga-tenaga ahli yang mereka datangkan dari negaranya (tergantung siapa pemenang tendernya). Para bule ini bekerja di Indonesia dalam waktu cukup lama, paralel dengan umur proyek yang didanai dengan utang. Gaji mereka yang begitu besarnya dan ditentukan oleh mereka sendiri dibiayai dari utang yang mereka berikan sendiri. Kadang-kadang para ekspert ini masih menuntut fasilitas yang macam-macam demi kenyamanan hidup mereka selama di Indonesia. Dan parahnya, mereka juga mendapatkan kehormatan dan privilege yang luar biasa dari teknokrat-teknokrat Indonesia.

Gaji-gaji mereka tercatat sebagai pembayaran jasa-jasa asing dineraca transaksi berjalan. Bersama-sama dengan jasa-jasa alih teknologi, repatriasi keuntungan-keuntungan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia, nilai transfer pos ini secara kumulatif telah membangkrutkan neraca transaksi berjalan Indonesia. Dalam kurun waktu1984-1996 neraca ini terus mengalami tekor, dimana pos pembayaran jasa-jasa neto yang terus menggelembung dari tahun ke tahun.

Pada titik itu sesungguhnya nyaris sempurnalah hegemoni asing di Indonesia. Pada tataran ekonomi telah tercipta suatu pola dari asinguntuk asing! Sedangkan pada aspek politik gambarannya kurang lebih seperti budak yang memberikan upeti kepada tuan-tuannya! Kendatipun sebenarnya budak-budak itu sebagian besar sudah kepayahan, namun selalu saja ada budak-budak yang menikmati model relasi seperti itu. Budak-budak inilah yang senantiasa memperoleh keuntungan dari keberadaan asing di Indonesia. Mereka ini siapa lagi kalau bukan para teknokrat yang tiap tahun menjalankan ritual berutang. Utang seolah telah menjadi kewajiban dan akan berdosa besar jika tidak dijalankan!


Belum (Akan) Berakhir

Apakah itu akhir dari segala skenario? Jawabannya tidak. Kekayaan alam: air, minyak, tambang dan aset-aset strategis di bawah penguasaan BUMN tampaknya amat menggiurkan. Dan ini belum dikuasai sepenuhnya oleh mereka. Di sisi lain bisnis utang pun must going on!

Realitas awal 90-an menggambarkan bahwa sebenarnya sektor pemerintah telah menunjukkan tanda-tanda kebangkrutan. Utang luarnegeri kumulatif yang telah mencapai US$ 65.697 juta dan cicilan sebesar Rp 12.598,0 milyar (1991) telah menimbulkan efek inflatoir sedemikian rupa sehingga perekonomian memanas (overheating). Sementara langkah nasionalistis Soeharto yang membubarkan IGGI dan menggantikannya dengan CGI pada 22 maret 1992 sungguh mengkhawatirkan dunia barat.

Kenyataan ekonomi politik semacam itu sungguh menjadi batu sandungan yang berarti bagi barat untuk melanjutkan skenarionya. Untuk menghadapi situasi itu tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali terus mendesakkan agenda-agenda neo liberalisme. Melalui IMF dan Bank Dunia mulailah diintrodusir kebijakan-kebijakan privatisasi dan good governance di segala lini. Jika dicermati laporan-laporan tahunan IMFdan Bank Dunia sejak awal 90-an semuanya merekomendasikan agenda tersebut.

Melalui privatisasi sejumlah tujuan dapat diwujudkan. Pertama, privatisasi berarti pemberian perluasan hak kepada pihak swasta untuk mulai merambah ke sektor-sektor publik yang selama ini menjadi tanggungjawab pemerintah seperti jalan tol dan pembangunan infrastruktur lainnya. Kedua, terkait dengan tujuan yang pertama, implikasinya swasta tentu akan membutuhkan modal yang begitu besar untuk pembiayaannya. Dan ini bukanlah persoalan, sebab para kreditur dengan senang hati akan memberikan pinjamannya. Tentu berbeda dengan kepada pemerintah, utang ini bersifat komersial (berjangka pendek danbunga yang lebih tinggi). Dengan swasta berutang, maka bisnis simpan-meminjam pun tidak terputus. Ketiga, privatisasi pada dasarnya adalah perkuatan sektor swasta, berarti pula pelemahan kekuatan pemerintah. Dan inilah yang diharapkan. Kendatipun dalam kenyataannya proyek-proyek swasta itu kemudian jatuh ke tangan keluarga Cendana dankroni-kroninya melalui KKN namun bukan soal benar bagi barat. Justru dengan begitu benih-benih ketidak percayaan rakyat akan muncul dari situ. Dan itu, menjadi investasi politik bagi barat untuk melancarkan agenda pergantian kepemimpinan, sebagai hukuman bagi Soeharto yang telah melakukan tindakan "perlawanan" kepada tuannya!

Maka agenda besar itu pun digelar. Sekali lagi, untuk pertama kalinya dalam sejarah, utang swasta melambung melampaui jumlah utang pemerintah pada tahun 1997 dan 1998. di tahun 1997 misalnya, utang swasta telah mencapai US$ 78.228 juta (setahun sebelumnya yakni pada1996 nilainya masih US$ 51.126 juta). Kemudian pada 1998 jumlah itu meningkat menjadi US$ 79.418 juta. Pada kedua tahun yang sama, utang pemerintah senilai US$ 53.865 juta dan US$ 67.315 juta. Berbeda dengan utang pemerintah yang dipinjam secara langsung, utang-utang swasta ini ditempuh melalui mekanisme penerbitan obligasi, bond dan commercial paper yang diperdagangkan di pasar modal internasional. Dengan model ini perusahaan-perusahaan barat bisa melakukan penetrasi langsung kedalam perusahaan-perusahaan swasta domestik dan mempengaruhi keputusan-keputusan manajemennya.

Beban utang swasta yang demikian besar rupanya cukup efektif untuk menggentingkan suasana baik di dalam negeri maupun persepsi dunia internasional terhadap Indonesia. Kekhawatiran akan gagal-bayarnya utang swasta ini, bersama-sama dengan faktor berlanjutnya defisit neraca transaksi berjalan seperti dijelaskan diatas menjadi triger yang manjur bagi kejatuhan Rupiah. Dan ketika kondisi ini tercium oleh para spekulan, maka sesungguhnya episodekrisis dan skenario pembangkrutan tengah dimulai!


Bukan Penutup

Apabila dicermati secara seksama berbagai uraian di muka, maka hegemoni asing di Indonesia secara sederhana bisa dipetakan dalam empat gelombang. Gelombang pertama adalah dekade 70-an yang bisa disebut fase adobsi kebijakan. Di era ini, adobsi kebijakan defisit anggaran, utang luar negeri, dan devaluasi oleh pemerintah atas petunjuk IMF dan Bank Dunia sebenarnya adalah awal mula masuknya hegemoni asing di Indonesia. Gelombang kedua yakni dekade 80-an bisa dikatakan sebagai fase dari asing untuk asing. Gelombang ketiga adalah fase pembangkrutan yang berlangsung pada dekade 90-an. Kedua fase terakhir ini sedikit banyak sudah dibahas terdahulu. Dan kini kita sedang berada di gelombang keempat hegemoni asing di Indonesia. Untuk sederhananya, bolehlah kita sebut sebagai fase penguasaan aset dan sumber-sumber kekayaan alam Indonesia oleh asing.

Butir-butir kesepakatan dengan IMF yang lebih dikenaldengan Letter of Intent (LOI) adalah ikon penting gelombang keempat. Kesepakatan yang berisi lebih dari 50 butir ini dipaksakan kepada Indonesia pada penghujung 90-an atau ketika krisis masih mendera. Jika diringkas setidaknya terdapat lima ruh yang terkandung dalam dokumen tersebut yaitu: (1) memotong pengeluaran publik untuk pelayanan sosial, seperti terhadap pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk jaring pengaman sosial bagi orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jembatan, jalan, air bersih. (2) Deregulasi, yang berarti mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan. (3) Privatisasi, dengan cara menjual BUMN-BUMN kepada investor swasta. Ini termasuk juga menjual usaha pemerintah di bidang perbankan, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit, bahkan juga air. (4) Menghapus konsep "barang-barang publik", dan menggantinya dengan "tanggungjawab individual", seperti menyalahkan kaum miskin yang tidak mempunyai pendidikan, jaminan sosial, kesehatan dan lainnya, sebagai kesalahan mereka sendiri.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana butir-butir itu diimplementasikan. Kiranya pertanyaan itu tak perlu dijawab dan diuraikan secara panjang lebar di sini. Sebab, seperti halnya sinetron, pelaksanaan item demi item LOI itu kini telah menjadi tontonan kita sehari-hari. Seperti dapat kita saksikan pula, ruh LOI itu juga telah merasuki setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah SBY-JK. Sebut misalnya pengesahan UU Migas, UU Sumber Daya Air, pemotongan subsidi BBM dan pertanian, penandatanganan MoU blok Cepu, liberalisasi perdagangan, penjualan Indosat, BCA, dan lain sebagainya.

Kini, segalanya terserah Anda semua. Mau melawan, cuek saja, atau berkolaborasi dan mendukung agenda-agenda mereka. Yang jelas Neoimperialisme dan Neoliberalisme kini merasa aman dan nyaman bersemayam di bumi Indonesia. Karena, mereka sekarang sudah mempunyai"anak manis" yang memimpin negeri ini. "Anak manis" yang siap meladeni apapun yang mereka mau dan inginkan. "Anak manis" yang kalem, tenang dan tidak impulsif. Tidak seperti Evo Moralez di Bolivia atau HugoChaves di Venezuela, atau Ahmadinejad di Iran. "Anak manis" yang ternyata pengagum dan penganut Friedrich von Hayek, bapak Neoliberalisme. Sudahlah! Indonesia memang kekecualian.......**


/1 Disampaikan pada Diskusi tentang "Hegemoni Asing di Indonesia", diselenggarakan oleh Mantan PII Muda, Jum'at, 19 Mei 2006, di Hotel Le Meridien, Jakarta

/2 Buruh Riset, tinggal di Tangerang

/3 Bank Dunia (World Bank) yang aslinya bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD, bersama-sama dengan IMF, didirikan di Bretton Woods, sebuah kota kecil di negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat, pada bulan Juli 1944. Ia dibentuk oleh 44 negara yang pada waktu itu bermaksud untuk menciptakan sebuah dunia yang damai dengan ekonominya yang makmur dan merata, akibat trauma dua perang dunia. Pertemuan Bretton Woods yang berlangsung dalam suasana untuk menciptakan sebuah tatanan dunia yang damai dan makmur tersebut, selain membentuk Bank Dunia juga menyepakati berdirinya IMF (International Monetary Fund/Dana Moneter Internasional). Kedua lembaga ini pada mulanya didirikan dengan tujuan membantu membangun kembali ekonomi Eropa setelah kehancuran Perang Dunia II, yang kemudian diperluas dengan memberi pinjaman pembangunan kepada negara-negara Dunia Ketiga.

/4 Erpan Faryadi, "WTO, Bank Dunia dan IMF: Konspirasi Penyebab Kebangkrutan Negara Dunia Ketiga", www.google.com.

/5 Negara-negara yang menjadi anggota Bank Dunia terutama adalah negara-negara yang kini tergabung dalam kelompok G7.

/6 Bank Information Center, "Tanya dan Jawab Tentang Pinjaman Bank Dunia", Panduan untuk Aktivis, Nomor 5.

/7 Haluan kebijakan pemerintah AS ini dapat dicermati dari dokumen resmi mereka yang bertajuk "The National Security Strategy of The USA" yang diterbitkan pada September 2002.

/8 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialsime Abad 21, Kreasi Wacana, Yogakarta, 2002.

/9 Bonnie Setiawan, "At The End of Globalization, We are All Dead", dalam www.google.com.

/10 Selama periode 1970 hingga 1980 tercatat dua kali pemerintah mengambil kebijakan devaluasi. Yang pertama pada Agustus 1971 di mana rupiah diturunkan nilainya dari 378/US$1 menjadi 415/US$1 (9,8%). Dan kedua pada Nopember 1978, Rupiah kembali didenominasi dari 415/US$1 menjadi 625/US$1 (33%).

1 comment:

Herman Kamil said...

Assalamu'alaikum wr wb,

Jika Bank anda mengatakan tidak untuk anda untuk pinjaman, di sana adalah tempat asli di mana anda bisa mendapatkan pinjaman asli. Saya ingin merekomendasikan sebuah organisasi pinjaman islam saya menemukan online untuk semua saudara-saudara muslim dan saudari yang sedang mencari pinjaman cepat untuk cepat menyelesaikan masalah yang mendesak. Saya mendapat pinjaman sebesar Rp800.000.000.00 aku digunakan untuk merenovasi sekolah saya dan yang lainnya onece aku digunakan untuk memperluas pabrik pengolahan makanan. Saya mendapat pinjaman dari mereka beberapa bulan yang lalu. Saya merekomendasikan mereka karena ada begitu banyak palsu pinjaman perusahaan online. Saya diarahkan kepada mereka oleh kakak saya yang juga mendapat pinjaman dari mereka. Sebelum saya menghubungi mereka untuk pinjaman, saya juga melakukan banyak penelitian tentang mereka dan menemukan bahwa mereka benar-benar asli. Mereka tidak seperti kebanyakan western pinjaman perusahaan itu adalah palsu. Jadi saya mengajukan pinjaman tanpa jaminan agunan dengan mereka. Mereka memberikan pinjaman sesuai dengan hukum Islam dan peraturan yang berlaku. Tidak ada jaminan yang dibutuhkan. Tidak ada biaya tersembunyi. Mereka pinjaman proses cepat dan sederhana. Tapi Anda harus bisa meyakinkan mereka bahwa anda akan membayar kembali pinjaman. Saya ingin menyarankan semua muslim sejati ke kontak Email mereka: (islamicloanempowerment@gmail.com)

Wassalamu alaikum wr wb.