Wa mimma rozaqnahum yunfiquun.Rejeki adalah pemberian Allah, diberikan kepada siapa saja yang dia kehendaki:
Dan dari apa-apa yang direjekikan kepada mereka, dibelanjakan. (Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 3)
Allahu yabsuthu rizqo limaa yasaa’u wa yaqdir.
Allah yang melapangkan rejeki kepada siapa saja (yang dikehendaki) dan menyempitkannya. (Al-Qur’an)
Innallaha yarzuqu maa yasaa’u bighairi hisaab.
Sesungguhnya Allah memberi rejeki kepada siapa saja (yang dikehendaki) tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan. (Al-Qur’an)
Ya, rejeki diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki oleh Allah tanpa pertimbangan apapun. Siapa saja, orang beriman-orang kafir, bekerja-tidak bekerja, semua mendapat rejeki dari Allah. Jumlah rejeki yang diterima, sedikit-banyaknya, juga sepenuhnya kekuasaan Allah.
Tanpa kecuali, tanpa pertimbangan. Ekstremnya, lihatlah, berapa banyak orang bekerja keras: siang malam bekerja sebagai kuli di pelabuhan, sepanjang hari berjalan keliling kampung sebagai pengemis, mereka tetap saja hidup dalam kekurangan meski keringat sudah diperas seharian. Lalu coba lihat orang yang hanya duduk di belakang meja, kongkow-kongkow di lobi hotel, mereka bisa mendapatkan hasil yang jauh lebih berlimpah dengan keringat yang sangat sedikit.
Lalu, di mana peran manusia? Menyiapkan tempat. Ibaratnya, rejeki adalah sebuah siraman air hujan, dan manusia yang menerima ini hanyalah sebuah tempayan. Tempayan kecil dapat menampung air yang sedikit. Tempayan besar dapat menampung air yang banyak. Tempayan yang lebih besar, tentu dapat menampung air yang lebih banyak lagi.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk memperbesar tempayan tersebut adalah sebagai berikut:
- Berbakti kepada orangtua. Saya mengamati, di antara banyak orang sukses yang saya kenal di Jakarta, mereka adalah orang-orang yang sangat memuliakan orangtua, terutama ibunya. Al-jannatu tahta aqdaamil ummahaat: surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Termasuk surga dunia tentunya; ini yang orang seringkali lupa.
Awalnya aku tidak menyadari hubungan tersebut. Setelah aku banyak merenung, atas kemudahan saya mencari rejeki di Jakarta ini, mau-tidak-mau aku harus meyakini, bahwa hubungan baik dengan orangtua ada hubungannya dengan kemudahan mencari rejeki.
Ada seorang kawan, yang begitu mudah diberi jalan oleh Allah dalam mencari rejeki, meski ia cenderung angkuh. Tapi rejekinya lancar mengalir, laksana memiliki pohon uang. Begitu saya perhatikan, subhanallah, hormatnya terhadap orangtua sangat luar biasa. Bukan sekedar hormat sebagaimana lazimnya anak kepada orangtua, tetapi lebih pada pengorbanan untuk orangtua. Ia mengutamakan orangtua lebih dari yang lainnya, terutama sekali dalam hal memberi materi kepada mereka. Bila perlu hidup lebih menderita asal orangtua bisa tersenyum, tercukupi sandang dan pangannya.
Ketika saya berumur 27 tahun pada tahun 1995, baru saja memiliki anak yang kedua, aku mendapatkan rejeki cukup besar, hampir 40 juta. Ada dua pilihan terhadap uang tersebut: (1) membeli rumah di Depok mengingat saya masih ngontrak di sebuah gang sempit di Rawajati, Pancoran, Jakarta Selatan, atau (2) membangun rumah orangtua, yang saat itu masih dibuat dari gedek atau anyaman bambu dan berlantaikan tanah, serta sudah mau roboh karena sudah tua. Setelah meminta ijin dari istri seraya berjanji pada umur 30 sudah punya rumah untuk anak dan istri, aku serahkan uang tersebut pada orangtua untuk membangun rumah beliau di kampung. Ketika saya berjanji kepada istri, tidak ada gambaran sama sekali dari mana kelak mendapatkan uang untuk membeli rumah tersebut. Yang terbersit, saya akan bekerja lebih giat lagi, terutama dalam memanfaatkan jaringan yang sudah lama aku bentuk, baik dengan kawan-kawan alumni luar negeri, dengan sesama aktifis Islam, maupun kawan-kawan baru yang ketemu di Jakarta.
Ajaib, subhanallah! Dua bulan setelah ulang tahun yang ke-28, aku membeli rumah di daerah Rawajati juga (beda RT dengan rumah kontrakan), seharga Rp 76 juta: Uang itu didapat dari simpanan sebesar Rp 18 juta dari hasil proyek membuat website sebuah lembaga di Jakarta, 50 juta pinjaman dari bos di kantor Berpolitik.com, dan 30 juta pinjaman dari kakak ipar yang sedang belajar di New Zaeland. Sisa uang untuk merehab rumah. Sejak itu, aku merasakan, pintu-pintu rejeki dibukakan lebar-lebar kepadaku dan keluargaku. - Memperbanyak silaturahmi. Dalam dunia modern, membangun networking atau jaringan. Saya adalah orang yang percaya, setiap menambah kenalan baru, pasti ada suatu urusan yang kelak membutuhkan kenalan baru tersebut, entah kapan waktunya. Allah tidak pernah membuat keputusan yang sia-sia bagi seluruh perjalanan hidup makhluk-Nya. Di antara jutaan bahkan miliaran manusia, kenapa si fulan yang didatangkan Allah kepadaku? Demikian aku sering bertanya pada diri sendiri. Tentu ada maksud dan manfaatnya kelak. Maka, kepada orang tersebut aku harus menjalin hubungan dengan baik, dan aku harus menjaga hubungan tersebut dengan baik pula. Kalau kita tidak menjaganya, maka hubungan itu akan putus atau layu. Akibatnya, jaringan ke arah fulan tersebut menjadi rusak. Demikian aku menghayati ujaran Nabi Muhammad saw, bahwa silaturahmi mendatangkan rejeki.
- Rajin bersedekah. Sebagai orang Islam yang percaya dengan ujaran Al-Quran, setiap nafkah (infaq) yang kita keluarkan akan dibalas 700 kali lipat. Amal yang satu ini merupakan salah satu alat untuk memperbesar daya tampung rejeki kita.
Seorang kawan baik, Tabrani Sabirin, pengurus majelis Tabligh PP Muhammadiyah pada periode Ahmad Syafii Maarif, menceritakan adanya seorang warga Muhammadiyah yang menabung untuk biaya berobat anaknya ke China. Lama menabung tidak juga mencukupi. Akhirnya diputuskan, uang yang ada disedekahkan. Setiap datang rejeki baru, dia bersedekah lagi. Terus ia lakukan berulang-ulang, dengan satu kepercayaan bahwa bersedekah justru memperkaya diri. Akhirnya, pada suatu hari, datang telepon dari seseorang yang menawarkan pengobatan anaknya ke China: gratis!! Seluruh biaya perjalanan dan pengobatan ditanggung oleh orang tersebut. Subhanallah.
Ketiga amal baik di atas merupakan ajaran semua agama, baik agama-agama langit atau samawi seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, maupun agama bumi seperti Hindu, Budha, atau Khong Hu Chu. Itu kenapa, rejeki diberikan kepada siapa saja, kepada seluruh manusia dan makhluk lainnya, tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan suku, agama, mapun ras, dengan jumlah yang bervariasi sesuai dengan daya tampung manusia itu sendiri dalam menerimanya.
1 comment:
anda rrruuuarrrrbiassssaaa .....mang Fami.......semoga semakin bertambah bijaknya dari hari ke hari sampai ke Harry Djadie nye.......He..he....
Post a Comment