Wednesday, June 21, 2006

Pendidikan dan Masa Depan Bangsa

Perlu kita cermati berita Kompas Online edisi 20/6/2006. Seorang siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) di Unggaran, Semarang, Alex Arida, dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional (UN). Padahal, ia adalah juara olimpiade fisika se Jawa Tengah tahun 2005. Bahkan karena prestasinya itu, ia sempat ditawari oleh Universitas Diponegoro Semarang untuk masuk tanpa tes melalui jalur penerimaan siswa berprestasi. Kini, harapan tersebut sirna karena ia tidak lulus UN. Penyebabnya, nilai matematikanya hanya 3.00, kurang dari standar kelulusan, yaitu 4.6 dalam skala 10.00.

Meski prosentase UN tahun ini dianggap lebih baik dari tahun sebelumnya, dengan tingkat prosentase kelulusan lebih tinggi, akan tetapi tetap saja UN dianggap merugikan, khususnya bagi sekolah-sekolah pinggiran dengan tingkat ketidaklulusan mencapai 13-80%. Mereka rata-rata jeblok nilainya untuk pelajaran IPA. Sebabnya, mereka yang ada di sekolah pinggiran rata-rata dari keluarga tidak mampu. Kondisi ekonomi yang pas-pasan membuat perhatian keluarga terhadap tingkat pendidikan berkurang. Di samping itu, peserta didik di sekolah pinggiran memiliki kemampuan otak yang pas-pasan. Mereka yang memiliki nilai baik, biasanya memilih sekolah favorit atau sekolah unggulan (Kompas Online, 20/6/2006).

Itulah sebagian potret pendidikan Indonesia saat ini. Sebagian pihak beranggapan bahwa, rendahnya anggaran pendidikan berkorelasi terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Meskipun amandemen UUD 45 telah mengamanatkan 20% APBN untuk anggaran pendidikan dan Mahkamah Konstitusi juga sudah mengabulkan tuntutan PGRI agar pemerintah mematuhi konstitusi UUD 45 untuk meningkatkan anggaran pendidikannya sebanyak 20%, pada pelaksanaannya pemerintah masih belum mampu. Pemerintah bahkan bersilat lidah, bahwa sebenarnya mereka sudah menyediakan 20% anggaran pendidikan, jika semuanya dihitung dengan anggaran pendidikan kedinasan di semua departemen. Inilah sebuah pembodohan terhadap rakyat oleh negara yang sangat telanjang di muka publik.

Persoalan pendidikan tampaknya belum menjadi common issue di antara semua kelompok masyarakat, baik itu partai politik, pemerintah, maupun kalangan praktisi. Isu pendidikan menjadi sekedar alat politik untuk mendapatkan dukungan publik. Pendidikan belum menjadi kebutuhan prioritas dalam meningkatkan kemajuan dan kemakmuran negara. Saya termasuk orang yang optimis, bahwa pendidikan dan teknologi merupakan satu-satunya jalan untuk kemajuan sebuah negara. Pendidikan merupakan jalan keluar dari lubang kemiskinan dan kebodohan.

Ambillah contoh Malaysia dan India. Malaysia merupakan negara yang merdeka belakangan setelah Indonesia. Sejak tahun 1950 hingga 1970-an, Malaysia banyak belajar ke Indonesia. Aktifis pelajar dan mahasiswa Malaysia seringkali melakukan kunjungan ke Indonesia untuk tukar pikiran. Mereka mempelajari, bagaimana cara membangun negara dan pendidikan di Indonesia. Kini, setelah 50 tahun berlalu. kondisi pendidikan Malaysia lebih maju ketimbang Indonesia. Demikian juga dengan teknologinya, seperti teknologi perminyakan, di mana Petronas dulu banyak belajar dari Pertamina, tetapi sekarang Petronas justru jauh lebih maju meninggalkan Pertamina.

India, meskipun disebut sebagai negara yang miskin, panas, kumuh, dan kotor, akan tetapi dalam bidang pendidikan, merupakan negara paling maju untuk kategori negara dunia ketiga, jauh lebih maju ketimbang Indonesia. India memberikan pendidikan yang relatif murah namun berkualitas. Tiga tahun setelah kemerdekaan India, parlemen menetapkan tiga perguruan tinggi sebagai pusat keunggulan nasional (par excellence) dengan dukungan penuh biaya dari pemerintah.

Dalam bidang teknik, India memilik India Institute of Technology (IIT) yang tersebar di tujuh negara bagian. Semuanya memiliki reputasi internasional. Bahkan IIT di Roorkee masuk dalam peringkat tiga sampai delapan terbaik Asia versi Asiaweek 2000. Biaya kuliah di sana juga relatif murah. Hanya dengan sekitar 170.000 rupee atau sekitar 14 juta, sudah bisa digunakan untuk kuliah dan biaya hidup untuk dua tahun, meski angka itu sendiri termasuk kategori mahal untuk kelas menengah ke bawah di sana. Bagi orang miskin India, asal punya otak cemerlang, pasti bisa kuliah. Di India ada sistem pinjaman dari bank bagi mahasiswa, yang dapat dibayarkan ketika sudah lulus dan bekerja.

Keberadaan IIT di tujuh negara bagian, membuktikan pusat keungggulan nasional tidak hanya terpusat di satu wilayah, tapi merata dari utara hingga selatan. Hal ini berbeda dengan Indonesia, di mana univeristas berkualitas banyak berada di pulau Jawa sehingga menimbulkan gap dalam SDM dengan wilayah luar Jawa.

Komitmen dan visi para pejabat politik dan kalangan akademisi India sangat tinggi terhadap pendidikan. Professor Abdul Kalam, presiden India merupakan tokoh yang enak diajak untuk diskusi dan gampang ditemui oleh mahasiswa untuk bimbingan studinya. Dalam pidato hari kemerdekaan India 14 agustus 2004, Abdul Kalam memberikan prioritas khusus dalam bidang pendidikan. Demikian juga dengan professor India yang sekarang ini bekerja atau mengajar di luar negeri seperti Amerika dan Eropa. Mereka menyediakan waktunya 1-2 bulan, untuk kembali ke India dan mengajar. Sebuah komitmen nasionalisme yang sangat tinggi ketimbang hanya hormat bendera atau hafal lagu kebangsaan.

Bangunan infrastruktur pendidikan di India, memang tidak sebagus di Indonesia. Bahkan ruang belajarnya masih lebih bagus SD inpres di Indonesia. Tidak ada eskalator atau white board. Semuanya serba tradisional. Meski demikian, India mampu memberikan layanan kualitas pendidikan yang murah dan terjangkau. Pemerintah memberikan subsidi kertas untuk penerbitan buku-buku kuliah. Penerbit di India memilih lisensi dari penerbitan buku di Amerika dan Eropa, sehingga ia bisa mencetak sendiri buku tersebut dengan kertas yang sedikit lebih murah dan harga terjangkau. Kondisi ini membuat India mampu mengakses transformasi dan perkembangan ilmu dari luar dengan lebih cepat.

Hasil lainnya, banyak tokoh India mendapatkan hadiah nobel. Sebut saja misalnya; Amartya Sen dalam bidang ekonomi, Subrawinan Chandrasekar dan Chandrasekar Venkataraman dalam bidang fisika, bunda Theresa untuk perdamaian, Rabindranath Tagore untuk sastra, dan Hargobin Korana untuk kedokteran.

Dukungan terhadap pengembangan pendidikan, juga diperlihatkan oleh lembaga peradilan. Di mana mereka berhasil mengabulkan tuntutan sebagian warga masyarakat dan memerintahkan kepada sekolah-sekolah swasta untuk mengalokasikan 25% bangku sekolah kepada rakyat jelata secara cuma-cuma. Meski kontrovesial, tetapi pemerintah dan swasta patuh dan tunduk mengikuti keputusan tersebut.

Pendidikan menjadi sangat urgent, karena ia sangat berkorelasi dengan kemajuan sebuah bangsa. Persoalan anggaran memang bukan faktor tunggal dalam melihat permasalahan pendidikan. Yang lebih penting adanya komitmen dan political will semua pihak. Yang lebih penting lagi adalah visi pendidikan Indonesia itu sendiri. Ke mana dan bagaimana Indonesia tahun 2020, sangat ditentukan oleh realitas pendidikan. Dengan membangun visi pendidikan 2020 secara lebih baik, maka berarti kita sedang menyiapkan visi Indonesia untuk bisa lebih maju dan modern.

Ditulis oleh Abdul Aziz Muslim pada milis JSP_Mantan_PII@yahoogroups.com, diedit oleh Fami Fachrudin.

No comments: