Novel The Da Vinci Code, selanjutnya ditulis TDVC, yang ditulis Dan Brown memang hebat. Buku ini diduga bisa mengguncang iman para pemeluk Kristen, terutama di dunia Barat. Seperti diakui dalam buku kontranya berjudul Cracking The Da Vinci Code, penulisnya mengeluhkan akibat buku TDVC muncul banyak keraguan di kalangan pemeluk Kristen, khususnya di kalangan generasi mudanya, sehingga penulis merasa perlu membuat buku bantahan TDVC.
Di Indonesia, tidak luput juga terjadi sedikit adu komentar. Adian Husaini, dianggap sebagai aktifis fundamentalis, menyambut buku TDVC seolah mendapat peluru tambahan untuk menembak kepalsuan ajaran Kristen dan membuat klaim kebenaran Islam. Sementara aktifis JIL Novriantoni mengomentari tulisan Adian di Harian Republika tentang buku TDVC, meski tidak face-to-face, dengan mengatakan kehebatan Islam bukan karena adanya kelemahan agama lain.
Padahal, hujatan terhadap ajaran Kristen sebelumnya, melalui tulisan-tulisan yang mempertanyakan ajaran Kristen, tidak memiliki pengaruh seperti tulisan Dan Brown. Kenapa ini bisa terjadi? Apa mungkin, kehebohan yang dibuat oleh Dan Brown karena hujatan ini datang dari kalangan mereka sendiri? Saya tidak tahu agama yang dipeluk Dan Brown, setidaknya kritikan itu datang dari sesama orang Barat. Tapi saya ragu dengan jawaban sederhana ini. Sebelumnya sudah terbit beberapa buku hujatan dari orang Barat juga.
Sebelum Dan Brown menghujat ajaran Kristen yang disisip-sisipkan dalam novelnya itu, Ahmad Deedat sudah sejak lama membuat buku-buku yang menghujat kebenaran Bible dengan argumen yang sangat rinci. Ia bisa merujuk ayat mana di Bible yang bertentangan dengan ayat lainnya dalam Bible yang sama. Seingat saya, ahir tahun 1990-an waktu saya masih kuliah di Amerika Serikat, Ahmad Deedat sudah terkenal dengan debatnya melawan sejumlah pendeta Kristen, dan perdebatannya disebarkan-luaskan dalam bentuk pamflet, buku-buku dan kaset-kaset.
Hujatan Ahmad Deedat atas berbagai pertentangan dalam diri ajaran Kristen memang tidak menggema, karena pusarannya hanya terjadi di kalangan ummat Islam. Ia tidak menglobal seperti novel TDVC sekarang ini. Apa yang dilakukan Ahmad Deedat waktu itu mungkin dianggap terlalu vulgar dan tidak popular, karena ia memilih jalan perdebatan terbuka dengan tokoh-tokoh Kristen dunia, sehingga tidak terlalu mendapat sambutan atau tanggapan dari mereka.
Tahun 1982, Henry Lincoln, Richard Leigh, dan Michael Baigent menulis novel Holy Blood Holy Grail, yang penulisannya berdasarkan penelitian selama lebih dari 10 tahun. Cerita ”cawan suci” yang berhubungan dengan cerita Maria Magdalena datangnya dari buku ini. Cerita tentang kode-kode yang ditingggalkan keluarga Maria Magdalena, Biarawan Sion, dan Ksatria Templar ada dalam buku ini. Karena itu, Dan Brown pernah digugat menjiplak buku ini, meski tuduhan penjiplakan akhirnya tidak terbukti, meski sejumlah nama, orang maupun organisasi, yang ada di novel TDVC jelas-jelas telah digunakan dalam buku ini.
Setelah buku ini terbit, penulisnya dihujat habis-habisan karena menulis sesuatu yang bertentangan dengan arus utama kepercayan Kristen, meski tidak setragis Salman Rushdie yang divonis mati oleh Imam Khomeini. Namun demikian kontroversi hanya terjadi di Eropa sana, tidak merambah ke belahan bumi lainnya. Mungkin karena tahun 1982 masih dalam suasana perang dingin. Perhatian orang tentu lebih suka kepada isu-isu seputar kedua blok yang sedang berhadap-hadapan. Karenanya, isu Holy Blood Holy Grail mungkin dianggap sebagai isu lokal saja, semacam isu NU versus Muhammadiyah di Indonesia yang tidak pernah menjadi isu internasional.
Tahun 1999, Richard F. Rubenstein menulis buku hasil penelitian dalam alur seperti novel, dengan judul When Jesus Becomes God: The Struggle to Define Christianity during the Last Days of Rome, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi buku Kala Yesus Jadi Tuhan. Karena penulisnya adalah seorang pakar konflik, buku ini ditulis sebagai halis penelitian atas konflik yang terjadi seputar penetapan Perjanjian Baru yang diwarnai oleh konflik dua kubu yang berbeda pendapat pada saat itu.
Dari judulnya saja sudah cukup jelas, bahwa ada masa di mana Yesus bukanlah Tuhan, kemudian dijadikan Tuhan oleh sekelompok orang pada suatu masa. Cerita seputar Konsili Nicea dan latar belakangnya diurai lengkap dalam buku ini. Namun demikian, tidak terdengar ada keberatan yang menghebohkan dari kalangan Kristen. Mungkin karena buku ini didedikasikan sebagai sebuah tulisan ilmiah tentang sejarah konflik manusia, dan penyebarannya tidak sepopuler buku TDVC.
Tahun 2001, Dr. Jerald F. Dirk, seorang mantan diaken di gereja Metodis Bersatu di Amerika Serikat, menulis buku The Cross & the Crescent yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Salib di Bulan Sabit. Buku ini didedikasikan sebagai buku dialog antariman Islam-Kristen. Pengungkapan berbagai kontradiksi dalam ajaran Kristen dalam buku ini sebenarnya mirip dengan cara-cara Ahmad Deedat, tetapi karena penulisnya adalah ”orang dalam”, ia bisa menceritakan dengan penuh empati dan secara lebih baik, terutama dalam soal latar belakang sejarah ajaran-ajaran Yahudi-Kristen yang dianggap tidak sesuai, menyimpang, atau bertentangan.
Buku ini juga mengungkap sejarah penyusunan Perjanjian Baru, yang sejalan dengan cerita bahwa Perjanjian Baru memang baru dibuat setelah beberapa abad kematian Yesus, yang awalnya melalui Konsili Nicea. Bahkan saya baru tahu, ada 44 kitab apokrif, kitab yang digunakan oleh pemeluk Kristen awal, yang tidak diakomodasi dalam Perjanjian Baru, tetapi masih disimpan oleh mereka. Cerita seputar ajaran Kristen yang terdapat dalam Al-Qur’an dan bertentangan dengan Perjanjian Baru yang ada sekarang, ternyata tidak bertentangan dengan kitab-kitab apokrif yang digunakan pemeluk Kristen awal. Dalam konteks membandingkan dengan TDVC, buku ini sekali lagi juga tidak menjadi buku yang menggemparkan dan tidak dianggap menghujat pemeluk Kristen.
Lalu apa yang menjadi penyebab kehebohan ini? Sementara saya hanya dapat mengatakan, ini adalah Dan Brown Recipe, resep Dan Brown, hasil olahan strategi bisnis novel dan berkah dari perang melawan terorisme. Momennya sedang tepat. The right book on the right time.
Barangkali, bagi pemeluk Kristen taat dan awam di Eropa terutama Inggris dan Amerika, deklarasi crussade abad ini oleh presiden Amerika Serikat George W. Bush telah menumbuhkan kebanggaan terhadap agama Kristen. Di tengah euforia kebanggaan itu, tiba-tiba novel Dan Brown muncul dengan membawa hujatan terhadap agamanya.
Juga, di Amerika Serikat terutama, sekarang ini banyak muncul klaim, bahwa perang melawan teror menjadi berkah tersendiri bagi ummat Islam. Banyak orang tergerak ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Sebaliknya, mungkin juga terjadi, yang ini belum saya dengar klaimnya, banyak pula orang ingin tahu ajaran Kristen yang menjadi pendorong semangat George W. Bush dalam mengobarkan perang melawan teror. Kemudian mereka mendapat cerita Dan Brown yang di luar pakem ke-Kristen-an itu. Maka hebohlah jadinya.
Terlepas dari itu semua, saya ingin mengatakan bahwa hujatan terhadap ajaran Kristen seperti ditemukan dalam buku-buku yang saya sebut di atas nampaknya terbukti tidak memberi pengaruh apapun untuk memalingkan pemeluk Kristen kepada ajaran lainnya. Setiap muncul hujatan, barangkali oleh mereka dianggap seperti badai saja. Mungkin menggelisahkan dan menyusahkan perasaan pemeluk Kristen, tetapi mereka tetap bisa bertahan. Dan ketika badai telah lewat, selesailah sudah kekisruhannya.
Memang benar, kelemahan ajaran Kristen yang terbuktikan tidak membuat Islam menjadi kuat. Namun demikian, sebagai pemeluk Islam, kita perlu membaca buku tersebut untuk mengetahui latar belakang ujaran-ujaran Al-Qur’an seputar kenabian Isa Putra Maryam, karena Al-Qur’an diwahyukan pada abad ke-7 Masehi, sementara sejarah pergulatan Kristen awal yang krusial terjadi sejak abad pertama hingga abad ke-4 Masehi. Jika ada beberapa cerita dalam Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan cerita dalam Bible, maka salah satu dari buku-buku yang disebut di atas bisa memberikan jawabannya.
No comments:
Post a Comment