Kamis depan, 13 September 2007, insya Allah kita akan mamasuki bulan Ramadhan. Nampaknya tidak ada pihak-pihak yang berselisih dalam penentuan awal Ramadhan tahun ini, semua menentukan tanggal tersebut sebagai awal Ramadhan.
Seperti kebanyakan orang Islam, saya menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan perasaan yang penuh dengan rasa suka cita. Kegembiraan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu saat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sepanjang yang saya ingat, perasaan seperti ini sudah muncul sejak saya masih kecil.
Satu hal yang selalu terkenang menjelang Ramadhan seperti ini adalah suasana di rumah Mbah Nirah, nenekku, rumah di mana aku tinggal selama hampir 12 tahun, sejak umur 5 tahun sampai SMA kelas 1. Masa lalu memang selalu indah untuk dikenang. Everything was better at the old days.
Saat-saat menjelang Ramadhan seperti sekarang ini, sewaktu kecil dulu, kami keluarga besar Mbah Nirah menantikan kedatangan anak-cucu Mbah Nirah yang ada di Jakarta, terutama keluarga Bulek Zaitun, yang selalu pulang dan berpuasa di Bumiayu bersama seluruh anak-anaknya. Kebetulan, pada jaman itu, pemerintah selalu meliburkan anak sekolah selama kira-kira 40 hari sejak menjelang bulan puasa hingga seminggu setelah lebaran Idhul Fitri.
Suasana kekerabatannya sangat terasa. Rasa saling mencintai, saling mengasihi, saling merindukan, semua berkumpul dan bersatu di rumah Mbah Nirah. Pakde, Bude, dan saudara-saudara lainnya datang silih berganti untuk bertemu dengan Bulek Zaitun, anak perempuan terkecil dan kakaknya si bungsu Ami Dullah, yang sejak menikah pergi ke Jakarta ikut suaminya. Terasa betul nikmatnya persaudaraan pada saat itu. Kenikmatan yang tidak terlukiskan dan tidak bisa ditandingi dengan kenikmatan material yang saya miliki sekarang ini.
Pada bulan Ramadhan inilah, kita berkesempatan untuk mengurangi makanan jasmani dan sebaliknya, memperbanyak makanan rohani; makanan batiniah. Dengan cara itu, badan menjadi lebih sehat, spirit menjadi lebih kuat. Persaudaraan, rasa cinta, saling memberi, saling menghibur menghilangkan rasa rindu, bersendau-gurau dengan sanak famili, adalah makanan batin yang sangat lezat. Makanan yang sangat berharga laksana tetesan air di padang pasir untuk menjadi obat penawar rasa dahaga.
Selama 11 bulan kita disibukkan dengan urusan masing-masing. Sibuk bekerja bagi orang tua untuk menghidupi dan menjaga anak-anaknya, sibuk bersekolah bagi anak-anak untuk bekal di hari tua. Kesibukan itu sepertinya menenggelamkan kita semua, dan melupakan sementara bahwa kita memiliki saudara di tempat lain. Saudara yang bisa menjadi tempat untuk berbagi, setidaknya untuk berbagi cerita, melepas duka, dan meringankan segala beban hidup.
Maka pada bulan Ramadhan itulah, waktu yang sangat tepat bagi manusia untuk kembali mempererat dan mengukuhkan tali persaudaraan, saling meringankan beban hidup saudaranya, untuk kemudian bersama-sama kembali kepada fitrah. Kembali kepada fitrah manusia, yang salah satunya adalah perasaan untuk dekat dan saling membantu dengan kerabatnya.
Saat ini banyak orang lupa dengan kerabat. Banyak orang bersedekah tetapi tidak kepada kerabat dekatnya. Padahal Al-Quran menganjurkan untuk memperhatikan kerabat dekat, akrobin, terlebih dahulu ketimbang orang jauh. Akrobin adalah kerabat dekat secara darah, secara garis keturunan. Bahkan Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, banyak ahli sedekah yang akan menyesal di akhirat kelak, karena mereka tidak memberi kepada yang lebih berhak, yaitu kepada kerabat dekatnya.
Melalui Ramadhan inilah, kita dipersiapkan untuk kembali kepada fitrah. Kembali tidaknya kita kepada fitrah ditentukan pada bulan ini. Sementara itu, Idul Fitri hanyalah semacam graduation, wisuda, atau pengukuhan, akan kembalinya kita kepada fitrah.
Itulah kenapa, orang yang masih memiliki iman di hatinya, masih memiliki bibit-bibit fitrah, akan menyambut Ramadhan ini dengan gembira, dengan penuh rasa suka cita.
Marhaban yaa Ramadhan!
Seperti kebanyakan orang Islam, saya menyambut datangnya bulan Ramadhan dengan perasaan yang penuh dengan rasa suka cita. Kegembiraan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu saat menyambut datangnya bulan Ramadhan. Sepanjang yang saya ingat, perasaan seperti ini sudah muncul sejak saya masih kecil.
Satu hal yang selalu terkenang menjelang Ramadhan seperti ini adalah suasana di rumah Mbah Nirah, nenekku, rumah di mana aku tinggal selama hampir 12 tahun, sejak umur 5 tahun sampai SMA kelas 1. Masa lalu memang selalu indah untuk dikenang. Everything was better at the old days.
Saat-saat menjelang Ramadhan seperti sekarang ini, sewaktu kecil dulu, kami keluarga besar Mbah Nirah menantikan kedatangan anak-cucu Mbah Nirah yang ada di Jakarta, terutama keluarga Bulek Zaitun, yang selalu pulang dan berpuasa di Bumiayu bersama seluruh anak-anaknya. Kebetulan, pada jaman itu, pemerintah selalu meliburkan anak sekolah selama kira-kira 40 hari sejak menjelang bulan puasa hingga seminggu setelah lebaran Idhul Fitri.
Suasana kekerabatannya sangat terasa. Rasa saling mencintai, saling mengasihi, saling merindukan, semua berkumpul dan bersatu di rumah Mbah Nirah. Pakde, Bude, dan saudara-saudara lainnya datang silih berganti untuk bertemu dengan Bulek Zaitun, anak perempuan terkecil dan kakaknya si bungsu Ami Dullah, yang sejak menikah pergi ke Jakarta ikut suaminya. Terasa betul nikmatnya persaudaraan pada saat itu. Kenikmatan yang tidak terlukiskan dan tidak bisa ditandingi dengan kenikmatan material yang saya miliki sekarang ini.
Pada bulan Ramadhan inilah, kita berkesempatan untuk mengurangi makanan jasmani dan sebaliknya, memperbanyak makanan rohani; makanan batiniah. Dengan cara itu, badan menjadi lebih sehat, spirit menjadi lebih kuat. Persaudaraan, rasa cinta, saling memberi, saling menghibur menghilangkan rasa rindu, bersendau-gurau dengan sanak famili, adalah makanan batin yang sangat lezat. Makanan yang sangat berharga laksana tetesan air di padang pasir untuk menjadi obat penawar rasa dahaga.
Selama 11 bulan kita disibukkan dengan urusan masing-masing. Sibuk bekerja bagi orang tua untuk menghidupi dan menjaga anak-anaknya, sibuk bersekolah bagi anak-anak untuk bekal di hari tua. Kesibukan itu sepertinya menenggelamkan kita semua, dan melupakan sementara bahwa kita memiliki saudara di tempat lain. Saudara yang bisa menjadi tempat untuk berbagi, setidaknya untuk berbagi cerita, melepas duka, dan meringankan segala beban hidup.
Maka pada bulan Ramadhan itulah, waktu yang sangat tepat bagi manusia untuk kembali mempererat dan mengukuhkan tali persaudaraan, saling meringankan beban hidup saudaranya, untuk kemudian bersama-sama kembali kepada fitrah. Kembali kepada fitrah manusia, yang salah satunya adalah perasaan untuk dekat dan saling membantu dengan kerabatnya.
Saat ini banyak orang lupa dengan kerabat. Banyak orang bersedekah tetapi tidak kepada kerabat dekatnya. Padahal Al-Quran menganjurkan untuk memperhatikan kerabat dekat, akrobin, terlebih dahulu ketimbang orang jauh. Akrobin adalah kerabat dekat secara darah, secara garis keturunan. Bahkan Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, banyak ahli sedekah yang akan menyesal di akhirat kelak, karena mereka tidak memberi kepada yang lebih berhak, yaitu kepada kerabat dekatnya.
Melalui Ramadhan inilah, kita dipersiapkan untuk kembali kepada fitrah. Kembali tidaknya kita kepada fitrah ditentukan pada bulan ini. Sementara itu, Idul Fitri hanyalah semacam graduation, wisuda, atau pengukuhan, akan kembalinya kita kepada fitrah.
Itulah kenapa, orang yang masih memiliki iman di hatinya, masih memiliki bibit-bibit fitrah, akan menyambut Ramadhan ini dengan gembira, dengan penuh rasa suka cita.
Marhaban yaa Ramadhan!
No comments:
Post a Comment