Kalau lagi melihat garpu, kadang aku teringat pada kejadian yang sangat memalukan. Peristiwanya terjadi pada tahun pertamaku di Amerika Serikat, 1989, saat bekerja di restoran kampus yang dikelola oleh Student Union Memorial Center, the University of Arizona, Tucson, Arizona.
Restoran tersebut tidak melayani mahasiswa secara umum, seperti restoran-restoran yang ada di lantai 1 gedung Students Union Memorial Center, tetapi khusus melayani pesta-pesta, terutama lunch dan dinner, yang menggunakan auditorium gedung Students Union, atau melayani tamu-tamu di ruang VIP stadion bola basket dan football milik kampus.
Saya bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sebagai karyasiswa, saya mendapat kiriman biaya hidup dari negara sebesar US$ 550 setiap bulannya, di luar biaya buku sebesar US$ 150 per semester. Uang kiriman biaya hidup bisa dibilang cukup, kecuali uang buku yang dirasa terlalu kecil.
Jika harga sebuah textbook sekitar US$ 50, dan satu semester kita mengambil 6 mata pelajaran, maka sudah US$ 300 sendiri kebutuhan untuk membeli buku setiap semesternya. Belum lagi kalau harus mengambil sejumlah mata kuliah pada semester tambahan di luar semester reguler (Fall dan Spring Semester), yaitu semester musim panas (Summer Semester) serta semeser musim dingin (Winter Semester).
Maka aku merasa harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan, terutama untuk menutup biaya telepon yang sering membengkak kalau lagi rajin telepon sang pacar di tanah air :) dan kiriman tambahan buat orang tua di Bumiayu.
Karena bahasa Inggrisku untuk percakapan tidak terlalu bagus, dan Social Security Number (SSN) yang aku miliki tercantum not valid for employment, aku memilih pekerjaan kasar yang hanya diminati oleh warga asing, terutama Asia dan Amerika Latin. Pekerjaan itu adanya di restoran kampus, dan hanya dibuka pada semester reguler. Teman-teman kerjaku kebanyakan dari Singapura, China, Pakistan, Meksiko, dan Venezuela.
Hasil dari bekerja di restoran cukup lumayan. Dengan minimum wage (upah minimum) saat itu sebesar US$ 4.25 per jam dan setiap event biasanya membutuhkan waktu 6 jam, saya bisa mendapatkan US$ 25 per event. Jika per minggu ada 4 event (saya memilih bekerja untuk melayani dinner agar tidak mengganggu jam kuliah) maka saya bisa mendapatkan US$ 200 setiap hari pembayaran (2 minggu sekali).
Supervisorku di restoran itu adalah seorang wanita tua berambut putih, setinggi kurang lebih 155 cm. Mungkin ia keturunan Amerika Latin. Orangnya sangat baik kepadaku. Aku memanggilnya Opal.
Opal adalah supervisor bidang penyelenggaraan kegiatan (event supervisor), yang tugasnya meliputi pekerjaan menyiapkan dan menata meja, menghidangkan makanan, standby di tengah pesta untuk melayani kebutuhan minuman para tamu, hingga mencuci bersih semua peralatan yang digunakan dalam pesta dari piring, sendok, garpu, hingga tempat-tempat makanan lainnya.
Suatu hari, atasan Opal, lelaki tinggi kurus berkumis tebal, datang meninjau ke dapur, mengawasi secara langsung bagaimana kami bekerja menyiapkan sebuah pesta. Tiba-tiba saja pas aku lewat di depannya, ia memanggilku. "What is your name?" ia bertanya kepadaku. "My name is Fami, Sir", jawabku. "Get a fork for me!" pintanya. Sejenak aku bingung, karena bule itu ngomongnya sangat cepat. Aku langsung berpikir, apakah dia menyebut pork? Emangnye orang Sunda menyebut "f" dengan "p"? Atau dia menyebut fox? Apakah ada nama sebuah peralatan dapur yang bunyinya mirip-mirip itu dan saya belum tahu? Gobloknya, saya tidak bisa menduga bahwa dia minta sebuah fork, sebuah garpu :)
Saat berlari ke rak, aku sambil berpikir bertanya pada diriku sendiri, tuh bule minta apa yah kira-kira. Saat saya masih bengong, dia mengulangi permintaannya dengan nada yang cukup tinggi. Saya beranikan diri bertanya, apa yang dia minta. Sambil membentak dan mengeja, dia mengulangi, "get a fork!" Kali ini aku mendengar, kata terakhir yang ia ucapkan seperti berakhiran "g", sejenis fog atau forge. Aku makin bingung.
Bule itu langsung meledak kemarahannya. "Do you speak english!? How can you work here!?" bentaknya. Opal yang melihat aku dibentak-bentak langsung mendekatiku dan menuntunku menuju rak peralatan dapur. Ia mengambilkan garpu dan berkata dengan lembut kepadaku, "he needs this fork, Fami." Dengan wajah yang sangat malu aku menyerahkan benda itu kepada manajer itu. Setelah menerima garpu tadi, iapun langsung pergi sambil ngomel-ngomel.
Restoran tersebut tidak melayani mahasiswa secara umum, seperti restoran-restoran yang ada di lantai 1 gedung Students Union Memorial Center, tetapi khusus melayani pesta-pesta, terutama lunch dan dinner, yang menggunakan auditorium gedung Students Union, atau melayani tamu-tamu di ruang VIP stadion bola basket dan football milik kampus.
Saya bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Sebagai karyasiswa, saya mendapat kiriman biaya hidup dari negara sebesar US$ 550 setiap bulannya, di luar biaya buku sebesar US$ 150 per semester. Uang kiriman biaya hidup bisa dibilang cukup, kecuali uang buku yang dirasa terlalu kecil.
Jika harga sebuah textbook sekitar US$ 50, dan satu semester kita mengambil 6 mata pelajaran, maka sudah US$ 300 sendiri kebutuhan untuk membeli buku setiap semesternya. Belum lagi kalau harus mengambil sejumlah mata kuliah pada semester tambahan di luar semester reguler (Fall dan Spring Semester), yaitu semester musim panas (Summer Semester) serta semeser musim dingin (Winter Semester).
Maka aku merasa harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan tambahan, terutama untuk menutup biaya telepon yang sering membengkak kalau lagi rajin telepon sang pacar di tanah air :) dan kiriman tambahan buat orang tua di Bumiayu.
Karena bahasa Inggrisku untuk percakapan tidak terlalu bagus, dan Social Security Number (SSN) yang aku miliki tercantum not valid for employment, aku memilih pekerjaan kasar yang hanya diminati oleh warga asing, terutama Asia dan Amerika Latin. Pekerjaan itu adanya di restoran kampus, dan hanya dibuka pada semester reguler. Teman-teman kerjaku kebanyakan dari Singapura, China, Pakistan, Meksiko, dan Venezuela.
Hasil dari bekerja di restoran cukup lumayan. Dengan minimum wage (upah minimum) saat itu sebesar US$ 4.25 per jam dan setiap event biasanya membutuhkan waktu 6 jam, saya bisa mendapatkan US$ 25 per event. Jika per minggu ada 4 event (saya memilih bekerja untuk melayani dinner agar tidak mengganggu jam kuliah) maka saya bisa mendapatkan US$ 200 setiap hari pembayaran (2 minggu sekali).
Supervisorku di restoran itu adalah seorang wanita tua berambut putih, setinggi kurang lebih 155 cm. Mungkin ia keturunan Amerika Latin. Orangnya sangat baik kepadaku. Aku memanggilnya Opal.
Opal adalah supervisor bidang penyelenggaraan kegiatan (event supervisor), yang tugasnya meliputi pekerjaan menyiapkan dan menata meja, menghidangkan makanan, standby di tengah pesta untuk melayani kebutuhan minuman para tamu, hingga mencuci bersih semua peralatan yang digunakan dalam pesta dari piring, sendok, garpu, hingga tempat-tempat makanan lainnya.
Suatu hari, atasan Opal, lelaki tinggi kurus berkumis tebal, datang meninjau ke dapur, mengawasi secara langsung bagaimana kami bekerja menyiapkan sebuah pesta. Tiba-tiba saja pas aku lewat di depannya, ia memanggilku. "What is your name?" ia bertanya kepadaku. "My name is Fami, Sir", jawabku. "Get a fork for me!" pintanya. Sejenak aku bingung, karena bule itu ngomongnya sangat cepat. Aku langsung berpikir, apakah dia menyebut pork? Emangnye orang Sunda menyebut "f" dengan "p"? Atau dia menyebut fox? Apakah ada nama sebuah peralatan dapur yang bunyinya mirip-mirip itu dan saya belum tahu? Gobloknya, saya tidak bisa menduga bahwa dia minta sebuah fork, sebuah garpu :)
Saat berlari ke rak, aku sambil berpikir bertanya pada diriku sendiri, tuh bule minta apa yah kira-kira. Saat saya masih bengong, dia mengulangi permintaannya dengan nada yang cukup tinggi. Saya beranikan diri bertanya, apa yang dia minta. Sambil membentak dan mengeja, dia mengulangi, "get a fork!" Kali ini aku mendengar, kata terakhir yang ia ucapkan seperti berakhiran "g", sejenis fog atau forge. Aku makin bingung.
Bule itu langsung meledak kemarahannya. "Do you speak english!? How can you work here!?" bentaknya. Opal yang melihat aku dibentak-bentak langsung mendekatiku dan menuntunku menuju rak peralatan dapur. Ia mengambilkan garpu dan berkata dengan lembut kepadaku, "he needs this fork, Fami." Dengan wajah yang sangat malu aku menyerahkan benda itu kepada manajer itu. Setelah menerima garpu tadi, iapun langsung pergi sambil ngomel-ngomel.
***
Saat kembali ke apartemen dan saya ceritakan kepada kawan-kawan, mereka semua tertawa. Untuk pelajaran yang oleh orang bule dianggap berat, seperti matematika, fisika, dan kimia, boleh jadi saya mendapatkan A atau B. Bahkan untuk matematika, seringkali dapat 100 kalau lagi ulangan. Tapi, saya dibentak-bentak orang untuk urusan sepele, hanya gara-gara kata fork.
No comments:
Post a Comment