Anda tentu akan bangga, ketika orang tua Anda yang sudah almarhum dipuji-puji sebagai orang yang baik oleh orang lain, dan kebaikan itu adalah sesuatu yang tidak pernah Anda ketahui sebelumnya.
Lebih 7 tahun sudah ayahku meninggalkan dunia yang fana ini. Sudah beberapa kali aku, ibuku, atau adikku, mendengar pujian terhadap kebaikan ayahku dari orang lain. Umumnya orang memuji ayahku sebagai orang yang rajin shalat dan rajin bersedekah meski hidupnya pas-pasan bahkan bisa disebut kekurangan.
Kesaksian sebagai ahli sedekah terutama datang dari beberapa tukang becak, yang mengaku kadangkala diberi uang oleh ayahku kalau mereka mengeluh belum narik atau belum mendapat penghasilan.
Kenapa masih banyak manusia yang enggan untuk bersedekah? Karena mereka tidak memiliki rasa simpati kepada orang-orang yang lemah. Rasa simpati kepada orang yang lemah menumbuhkan rasa untuk berbagi. Keinginan untuk berbagi memunculkan keinginan untuk bersedekah.
Keinginan saja tentu tidak cukup. Banyak gangguan menghadang pelaksanaan dari keinginan itu. Pikiran-pikiran yang dapat mengganggu niat baik itu antara lain (1) anggapan bahwa sedekah tidak mendidik; sedekah dianggap membuat orang miskin menjadi semakin malas, (2) tidak merasa cukup; berapapun uang yang ia miliki seolah masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya, dan (3) takut miskin; sedekah mengurangi kekayaannya.
Kadang pula ada orang yang memang ignorance. Dia sebenarnya orang baik, tetapi tidak punya perhatian secara khusus pada masalah ini. Bisa jadi karena ia tidak mengetahui keutamaan sedekah.
Tetapi, ada juga orang yang mengerti agama dan tahu pentingnya sedekah, tetapi orang tersebut sama sekali tidak memiliki rasa simpati kepada orang yang lemah, kepada saudaranya atau teman-temannya yang miskin. Itulah orang-orang bakhil, yang hatinya tidak pernah tergerak untuk membantu orang-orang yang lemah.
Secara agama, melalui puluhan ayat Al-Quran, Allah sudah menjanjikan banyak insentif bagi mereka yang mau bersedekah: dari balasan sebanyak 700 kali lipat hingga surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Secara psikologis dan medis, saya tidak tahu apakah sudah ada penelitiannya atau belum, kata Nabi saw: sedekah bisa mengobati penyakit.
Meski demikian, tetap saja masih ada orang yang tidak mau bersedekah. Menurut saya, keinginan untuk berbagi itu ibarat pisau, dan setiap manusia memiliki pisau itu. Sebagaimana pisau, ada yang tumpul, ada pula yang tajam.
Pisau bawaan manusia pada dasarnya tumpul. Al-Quran menyebut, salah satu sifat manusia adalah kikir. Untuk bisa menjadi tajam, pisau tersebut harus diasah. Tanpa diasah, pisau itu akan tetap tumpul, manusia akan tetap menjadi orang yang bakhil. Bagaimana cara mengasahnya? Harus banyak berlatih untuk membangun tradisi bersedekah.
Kisah yang paling berkesan di hati saya adalah kisah kakek saya, Badri bin Abdul Gani, ketika memelihara kambing. Dulu, tahun 1950-1960-an, kakek saya memelihara kambing dalam jumlah yang cukup banyak. Caranya, ia menitipkan kambing-kambing itu kepada orang-orang desa. Itu adalah cara untuk membantu perekonomian orang-orang desa. Hingga suatu hari datang orang-orang yang dititipi kambing mengatakan bahwa kambingnya habis karena mati dan dicuri. Kata ayahku yang menceritakan hal ini, kakek saya tidak marah, bahkan kembali membelikan beberapa kambing untuk dipelihara kembali oleh mereka.
Kisah ini sungguh telah meresap begitu mendalam dalam hati saya. Sifat menolong dan pemaaf dari kakek adalah sifat yang sangat ingin saya tiru.
Kedua, pendidikan secara langsung untuk memberi perhatian kepada orang-orang yang lemah. Ayahku sering menyodorkan daftar anak yang tidak mampu agar dibantu biaya sekolahnya. Padahal waktu itu, biaya tambahan dari saya untuk ayah masih belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi ayah masih saja meminta saya untuk memperhatikan orang lain yang lebih kekurangan dari keluarga. Atau, kalau ada saudara ayah datang meminta beras karena seharian belum menanak nasi, maka beras yang ada di rumah dikasihkan kepada saudaranya tersebut, meski untuk esok hari ayah masih harus mencarinya kembali.
Dengan cara-cara itu, ayah telah mendidik kami mengenai pentingnya membantu orang-orang yang lebih lemah dari kita. Kita mungkin lemah, tetapi selalu ada orang yang jauh lebih lemah dari kita. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas, agar kita bisa bersyukur.
Melalui dua cara itu, aku ingin membangun tradisi bersedekah dalam keluargaku sendiri. Dengan dibantu istriku, yang juga memiliki perhatian kepada orang miskin, insya Allah aku bisa meneruskan tradisi keluarga yang baik ini. Semoga!
Lebih 7 tahun sudah ayahku meninggalkan dunia yang fana ini. Sudah beberapa kali aku, ibuku, atau adikku, mendengar pujian terhadap kebaikan ayahku dari orang lain. Umumnya orang memuji ayahku sebagai orang yang rajin shalat dan rajin bersedekah meski hidupnya pas-pasan bahkan bisa disebut kekurangan.
Kesaksian sebagai ahli sedekah terutama datang dari beberapa tukang becak, yang mengaku kadangkala diberi uang oleh ayahku kalau mereka mengeluh belum narik atau belum mendapat penghasilan.
***
Perintah dan anjuran untuk bersedekah sebagaimana tertulis dalam Al-Quran dan as-Sunnah tidak kurang-kurang. Seperti kata Bimbo dalam lagunya, Rasul menyuruh kita mencintai anak yatim dan mengasihi orang miskin. Sementara, Al-Quran menganjurkan manusia untuk bersedekah baik di kala lapang maupun di kala sempit.Kenapa masih banyak manusia yang enggan untuk bersedekah? Karena mereka tidak memiliki rasa simpati kepada orang-orang yang lemah. Rasa simpati kepada orang yang lemah menumbuhkan rasa untuk berbagi. Keinginan untuk berbagi memunculkan keinginan untuk bersedekah.
Keinginan saja tentu tidak cukup. Banyak gangguan menghadang pelaksanaan dari keinginan itu. Pikiran-pikiran yang dapat mengganggu niat baik itu antara lain (1) anggapan bahwa sedekah tidak mendidik; sedekah dianggap membuat orang miskin menjadi semakin malas, (2) tidak merasa cukup; berapapun uang yang ia miliki seolah masih belum cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya, dan (3) takut miskin; sedekah mengurangi kekayaannya.
Kadang pula ada orang yang memang ignorance. Dia sebenarnya orang baik, tetapi tidak punya perhatian secara khusus pada masalah ini. Bisa jadi karena ia tidak mengetahui keutamaan sedekah.
Tetapi, ada juga orang yang mengerti agama dan tahu pentingnya sedekah, tetapi orang tersebut sama sekali tidak memiliki rasa simpati kepada orang yang lemah, kepada saudaranya atau teman-temannya yang miskin. Itulah orang-orang bakhil, yang hatinya tidak pernah tergerak untuk membantu orang-orang yang lemah.
Secara agama, melalui puluhan ayat Al-Quran, Allah sudah menjanjikan banyak insentif bagi mereka yang mau bersedekah: dari balasan sebanyak 700 kali lipat hingga surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Secara psikologis dan medis, saya tidak tahu apakah sudah ada penelitiannya atau belum, kata Nabi saw: sedekah bisa mengobati penyakit.
Meski demikian, tetap saja masih ada orang yang tidak mau bersedekah. Menurut saya, keinginan untuk berbagi itu ibarat pisau, dan setiap manusia memiliki pisau itu. Sebagaimana pisau, ada yang tumpul, ada pula yang tajam.
Pisau bawaan manusia pada dasarnya tumpul. Al-Quran menyebut, salah satu sifat manusia adalah kikir. Untuk bisa menjadi tajam, pisau tersebut harus diasah. Tanpa diasah, pisau itu akan tetap tumpul, manusia akan tetap menjadi orang yang bakhil. Bagaimana cara mengasahnya? Harus banyak berlatih untuk membangun tradisi bersedekah.
***
Bagaimana keluargaku membangun tradisi itu? Pertama dengan menceritakan kisah-kisah kebaikan keluarga yang perlu diperlihara dan diteruskan tradisinya. Jika kita perhatikan Al-Quran, maka kisah-kisah (al-qashash) menempati ruang yang cukup banyak di sana. Kisah-kisah adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk membangun karakter manusia. Melalui kisah-kisah manusia dapat mengambil pelajaran (ibrah) dan suri tauladan yang patut ditiru.Kisah yang paling berkesan di hati saya adalah kisah kakek saya, Badri bin Abdul Gani, ketika memelihara kambing. Dulu, tahun 1950-1960-an, kakek saya memelihara kambing dalam jumlah yang cukup banyak. Caranya, ia menitipkan kambing-kambing itu kepada orang-orang desa. Itu adalah cara untuk membantu perekonomian orang-orang desa. Hingga suatu hari datang orang-orang yang dititipi kambing mengatakan bahwa kambingnya habis karena mati dan dicuri. Kata ayahku yang menceritakan hal ini, kakek saya tidak marah, bahkan kembali membelikan beberapa kambing untuk dipelihara kembali oleh mereka.
Kisah ini sungguh telah meresap begitu mendalam dalam hati saya. Sifat menolong dan pemaaf dari kakek adalah sifat yang sangat ingin saya tiru.
Kedua, pendidikan secara langsung untuk memberi perhatian kepada orang-orang yang lemah. Ayahku sering menyodorkan daftar anak yang tidak mampu agar dibantu biaya sekolahnya. Padahal waktu itu, biaya tambahan dari saya untuk ayah masih belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi ayah masih saja meminta saya untuk memperhatikan orang lain yang lebih kekurangan dari keluarga. Atau, kalau ada saudara ayah datang meminta beras karena seharian belum menanak nasi, maka beras yang ada di rumah dikasihkan kepada saudaranya tersebut, meski untuk esok hari ayah masih harus mencarinya kembali.
Dengan cara-cara itu, ayah telah mendidik kami mengenai pentingnya membantu orang-orang yang lebih lemah dari kita. Kita mungkin lemah, tetapi selalu ada orang yang jauh lebih lemah dari kita. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas, agar kita bisa bersyukur.
Melalui dua cara itu, aku ingin membangun tradisi bersedekah dalam keluargaku sendiri. Dengan dibantu istriku, yang juga memiliki perhatian kepada orang miskin, insya Allah aku bisa meneruskan tradisi keluarga yang baik ini. Semoga!
No comments:
Post a Comment