Wanita tua itu duduk di atas kasur. Umurnya mungkin sekitar 85 tahun. Mataku berkaca-kaca saat melihat wanita tua itu. Aku langsung teringat nenekku, Mbah Nirah, yang saat meninggal pada tahun 1985 juga berumur sekitar 85 tahun. Aku teringat saat-saat aku mendampingi nenekku di hari-hari terakhirnya.
Aku teringat saat pukul 3 dini hari mengantar nenekku ke kamar mandi seperti biasanya. Saat itu nenek sudah mulai susah berjalan. Karena malam itu aku sangat mengantuk, aku langsung balik lari ke tempat tidur, begitu nenek masuk bilik kamar mandi. Waktu itu umurku baru 16 tahun, kemanjaan dan kemalasan sebagai anak-anak masih melekat. Tidak lama kemudian, nenekku berteriak-teriak memanggil namaku. Aku berlari ke kamar mandi, dan aku dapati nenek sudah jatuh terduduk di lantai. Beberapa hari kemudian, nenekku meninggal dunia. Aku sering menyesal jika mengingat peristiwa itu. Seandainya aku tidak balik lari ke tempat tidur dan menungguinya seperti malam-malam sebelumnya, mungkin nenek tidak akan pernah terjatuh.
Mataku berkaca-kaca melihat wanita tua yang sedang duduk di atas tempat tidur itu. Namanya Mbah Ning. Umurnya mungkin 85 tahun, atau lebih. Aku tidak tahu persisnya, apa hubungan pesaudaraannya dengan nenekku. Mungkin ia adalah adik sepupu nenekku. Tempat tinggalnya di Bumiayu hanya berjarak 20-an meter dari rumah nenekku, rumanya di sebelah timur mengahadap selatan, rumah nenekku di sebelah barat menghadap utara, keduanya dipisahkan jalan selebar 5 meter. Bahkan, ujung kebunnya yang di sebelah barat persis ada di depan rumah nenekku. Di dalam kebunnya yang cukup luas, sekitar 500 meter persegi, dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi 2 meter, terdapat 3 pohon mangga besar, sebuah pohon rambutan, sebuah pohon nangka, serta berbagai pohon lainnya.
Mbah Ning adalah orang yang sangat penyabar dan sangat menyayangi cucu-cucunya, termasuk diriku yang dianggap bagai cucu sendiri. Sejak aku bisa mengingat, ia sudah hidup menjanda dan tidak pernah menikah lagi. Kebetulan ia hanya punya seorang putera yang bekerja dan tinggal di Jakarta. Di rumah ia hanya tinggal bersama pembantu dan adik iparnya di rumah tua berkebun luas itu.
Kalau pagi-pagi ia menengok ke kebun dan melihat buah-buahan yang ada di pohon hilang atau bahkan habis dicuri cucu-cucunya yang nakal seperti saya ini, ia tidak pernah marah. Saya yakin ia tahu, kamilah pencuri buah-buahan yang ada di kebunnya. Satu kali pernah, kami mencuri rambutan yang sudah siap panen, hampir seluruhnya hingga mencapai 2 kantong terigu. Yang paling spektakuler, kami pernah mencuri mangga hampir sebanyak 2 karung beras isi 100kg. Tapi tidak pernah saya mendengar ia marah-marah, meski ia tahu bahwa pencurinya adalah cucu-cucunya yang nakal ini. Senyumnya sangat khas dan selalu mengembang ketika melihat cucu-cucunya.
Jika lebaran tiba, rumah Mbah Ning adalah salah satu favorit yang harus dikunjungi. Tradisi dalam keluarga kami di Bumiayu, kami yang muda harus mengunjungi rumah para tetua atau sesepuh. Para tetua atau sesepuh adalah kakak/adik atau sepupu nenek kami, di antaranya adalah Mbah Ning. Mereka ada dalam urutan pertama prioritas kunjungan, baru disusul kakak kandung maupun kakak sepupu dari orang tua kami sendiri. Di rumah Mbah Ning, kami akan menemui jajanan yang tidak ada di tempat lainnya. Di banyak rumah, akan mudah kita dapati kue basah dan kue kering berbahan tepung. Di rumah Mbah Ning, kami mendapati manisan buah dan keramahan yang tulus tiada tara.
Wanita yang sangat baik itu kini terduduk di atas tempat tidur, saat aku menengoknya sesudah buka puasa kemarin Rabu 4/10, di rumah menantunya di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Ia ikut menantunya di Jakarta setelah putra satu-satunya, Mas Brohim, meninggal beberapa minggu yang lalu. Di Bumiayu, ia tinggal sendirian, hanya ditemani seorang pembantu, di rumah tua yang sudah tidak ada lagi kebunnya karena dijual dan di atasnya kini sudah berdiri sebuah rumah.
Ketika aku menyalami dan mencium tangannya, ia menanyakan siapa aku. Ingatannya sudah kurang baik. Begitu disebut nama ayahku, ia berkata ”Sekarang kamu gemuk sekali. Tapi nenek kamu sudah tidak ada...”. Lalu ia mengatakan, orang-orang yang seangkatan dengan dirinya semua sudah pergi, tinggal dirinya seorang. Ia juga mengatakan, dirinya sudah siap pergi meningalkan dunia yang fana ini, digantikan oleh yang muda-muda. Aku sangat terenyuh, menyaksikan Mbahku yang sudah pasrah dalam hidup ini.
Saya mendoakan dengan setulusnya:
Ya Allah, berilah kesehatan yang baik (tamamal afiah, wa dawamal afiah, wa syukro ’alal afiah) kepada Mbahku, dan berilah pula kesabaran yang baik (shobron jamiila) kepada Mbahku.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, dan sayangilah ia sebagaimana ia dulu menyayangi cucu-cucunya di waktu kecil.
Ya Allah, jadikanlah setiap butiran mangga dan rambutan yang kami curi dulu, dan dia ikhlaskan buat cucu-cucunya, butiran kebaikan yang mendapat balasan dari-Mu ya Robbi.
Amien ya robbal ’alamiin...
No comments:
Post a Comment