Friday, October 06, 2006

Detik-Detik yang Menentukan

Kesaksianku

Buku berjudul Detik-Detik yang Menentukan yang ditulis oleh mantan presiden BJ Habibie menuai protes, terutama pada kesaksiannya soal Letjen (Purn) Prabowo dan kesan kudeta yang akan dilancarkan oleh Prabowo. Letjen Syafrie Syamsuddin yang kini menjabat sebagai Sekjen Dephankam sudah membantah adanya pasukan liar di sekitar istana dan Patra Kuningan tempat kediaman pribadi BJ Habibie, karena sebagai Pangdam Jaya waktu itu ia adalah pengendali pasukan di Jakarta. Dien Syamsuddin sudah memberi komentar bahwa tuduhan kudeta adalah sebuah fitnah, karena saya tahu hari-hari terakhir kekuasaan Soeharto Dien punya hubungan yang cukup intensif dengan Prabowo. Dan semalam dalam acara KickAndy di MetroTV giliran Amien Rais turut membantah adanya kesan rencana kudeta oleh Prabowo. Saya pun ingin turut memberi kesaksian, karena saya termasuk saksi sejarah malam yang sangat bersejarah itu.

Jika dikatakan atau diduga Prabowo ingin melakukan kudeta menurut saya tidak benar. Saya ingat betul pada peristiwa malam tanggal 20 Mei 1998. Saat itu sudah lewat pukul 12 malam. Saya sedang menemani seorang kawan yang menjadi ”orang dalam” di kelompok Prabowo yang berkumpul di Jl. Suwiryo, Menteng, Jakarta Pusat. Kawan saya ini sahabat dari Fadli Zon, sejak Fadli masih duduk di bangku SMA.

Saya di kelompok itu bukan siapa-siapa. Tidak masuk dalam ring 1 atau ring 2, istilah untuk orang-orang dekat yang bisa mengakses kepada tokoh politik utama. Saya hanya teman dari seseorang yang masuk dalam ring di situ. Saya sendiri tidak terlalu suka dengan politik. Alasan saya keluar dari Center for Information and Development Studies (CIDES) yang dipimpin oleh Mas Adi Sasono (1995) dan bergabung dengan Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, membantu Mas Tom (Utomo Dananjaya) dan Yudi Latief menyusun rencana pendirian Universitas Paramadina, karena faktor saya tidak terlalu suka dengan politik. Saat itu CIDES sedang sangat kental nuansa politiknya. Harapan membangun lembaga kajian milik ummat Islam yang berwibawa menyaingi CSIS sirna karena para pengelola utamanya lebih tertarik pada karier politik individu. Sejak keluar dari CIDES, aku sulit bahkan cenderung tidak percaya dengan orang yang dari mulutnya keluar kalimat ”membela kepentingan ummat” atau ”membela kepentingan rakyat”.

Saya juga termasuk orang yang sangat tidak suka membangga-banggakan pada senior yang sudah sukses menjadi orang di republik ini. Pada ahirnya, kesuksesan seseorang tidak bisa ditentukan oleh seniornya yang sudah sukses itu, tetapi oleh kemampuan individu yang ia miliki sendiri. Tanpa kemampuan dan kecerdasan individu yang baik, seseorang tidak mungkin menuai sukses, karena kesuksesan tidak bisa ditiru. Saya percaya betul dengan prinsip itu.

Malam itu tiba-tiba Prabowo datang bersama Danjen Kopassus Muchdi PR. Suasana di rumah Jl. Suwiryo sangat ramai, banyak tokoh berkumpul di situ. Prabowo kemudian memberi kabar bahwa mertuanya, Soeharto, besok pagi pukul 10.00 dipastikan akan mengundurkan diri dan wakil presiden BJ Habibie akan diambil sumpah menjadi presiden. Dia meminta ada seseorang yang bisa menyampaikan pesan kepada Amien Rais. Malam itu Amien Rais sedang berkumpul di rumah dinas Malik Fadjar di Jl. Indramayu. Tidak ada nomor telephone yang bisa dikontak.

Karena sekretaris pribadi dan pengawal utama Amien Rais, Muhammad Yunus, adalah sahabat kawanku di Jl Suwiryo ini, maka kawanku diminta menemui Amien Rais membawa 2 pesan: (1) memberi kabar soal rencana mundurnya Soeharto, dan (2) memberitahukan bahwa Prabowo dan kawan-kawan siap mendukung kepemimpinan BJ Habibie. Entah mengapa kawanku tidak mau. Lantas kawanku meminta saya menemui Habib Yunus, pangilan akrabnya, karena saya juga kenal baik dengan pengawal Amien Rais itu. Tahun-tahun sebelum dia menjadi pengawal Amien Rais kami sering ngumpul bareng di rumah kontrakan kawanku di Rawamangun. Kami juga sudah beberapa kali bertemu dalam komunitas Tamsil Linrung di Orwil ICMI DKI. Pertimbangan lainnya, saya juga kenal baik dengan Amien Rais sewaktu dulu bekerja di CIDES dan sewaktu merencanakan membuat pabrik air minum di Pemalang untuk diekspor ke Saudi Arabia pada tahun 1997.

Maka malam itu aku didampingi Abdul Qadir langsung menuju Jl. Indramayu menemui Habib Yunus. Amien Rais sedang berkumpul dengan sejumlah tokoh nasional dalam sebuah ruang seukuran garasi mobil yang ada di belakang-samping bangunan rumah utama. Lalu Yunus mengatur saya bertemu dengan Amien Rais di ruangan kecil ukuran sekitar 2x2 di sebelah ruang pertemuan para tokoh nasional tersebut. Saya ingat, kusen bangunan kecil itu bercat hijau, mungkin karena ini rumah dinas pejabat Departemen Agama. Setelah saya menyampaikan pesan dari Prabowo, segera Amien Rais kembali ke ruangan pertemuan dan memberitahu seluruh peserta pertemuan mengenai ”kepastian” bahwa Soeharto besok akan turun. Saat itu waktu sudah menunjukkan lewat pukul 1 dini hari.

Saya sebut ”kepastian” karena mungkin Amien Rais sudah mendengar rumor itu. Wakil Presiden BJ Habibie dan 4 Menko sudah mengetahui rencana mundurnya Soeharto sebelum pukul 12 malam seperti diceritakan dalam buku Detik-Detik yang Menentukan itu. Tapi Amien Rais mungkin masih menunggu konfirmasi agar tidak salah mengambil keputusan. Dengan ”kepastian” yang dikirim oleh Prabowo, ia menjadi yakin bahwa rumor itu benar adanya.

Suasana seketika jadi meriah. Perasaan telah memenangkan sebuah perjuangan seperti muncul dalam perasaan setiap orang yang hadir. Amien Rais langsung memanggil semua wartawan untuk jumpa pers dan mengumumkan apa yang akan terjadi besok pada pukul 10.00. Setelah jumpa pers itu aku kembali ke Jl. Suwiryo sebentar untuk kemudian pulang ke rumah di Kalibata. Esoknya Harian Kompas membuat headline menyambut fajar baru berisi pengunduran diri Soeharto.

Jika melihat apa yang telah dilakukan Prabowo dengan mengirim pesan kepada Amien Rais, nampaknya mustahil jika Prabowo diduga akan melakukan kudeta dan mengirim pasukan gelap mengepung istana dan kediaman pribadi BJ Habibie.

No comments: