Pagi ini mas Ikhsan Modjo menanyakan kepada saya, mau masuk komisi berapa? Pertanyaan itu muncul di bawah foto saya bersama Prabowo Subianto yang saya beri judul "Capres dan Caleg 2009". Sambil sedikit bercerita, jawaban itu saya sampaikan lewat notes ini.
Jawaban saya adalah: Saya ingin memasuki komisi yang mengurusi ristek, UKM, dan paten; yang menurut anggota Dewan sekarang ini termasuk dalam kategori Komisi Air Mata, bukan Komisi Surga yg bertaburan travelers cheque itu. Setidaknya, itu adalah dunia yang sedikit banyak telah saya ketahui dan saya rasakan denyutnya. Persoalan seputar ristek, UKM, dan paten nampaknya merupakan inti persoalan hubungan antara ristek dan dunia usaha yang tidak berjalan dengan baik selama ini di Indonesia. Ristek seolah menjadi urusan paling akhir (pelengkap penderita) di negeri ini karena memang belum memperlihatkan hasilnya yang memuaskan, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa seperti di China dan India. Di negara kita, pandangan umum masih melihat, hasil penelitian kita lebih banyak yang masuk rak laporan.
Persoalan-persoalan ini terus terang saya dapatkan dari diskusi yang ada di milis OFP (overseas fellowship program) angkatan IV/1987, kumpulan alumni anak-anak yang dulu dikirim oleh BJ Habibie ke mancanegara untuk belajar sains dan enjinering. Di milis tersebut ada LT Handoko yang masih setia bekerja di LIPI, peraih Achmad Bakrie Award bidang Sains tahun 2008, dan kawan-kawan lainnya yang sudah duduk di middle and top management pada sejumlah perusahaan nasional dan multinasional.
Sebagai benchmarking, kita bisa melihat kemajuan China dan India. Dari pengamatan sederhana, kita bisa menyaksikan pertumbuhan jumlah paten yang ada dinegara-negara tersebut, yang kini mungkin sudah masuk deretan papan atas dunia. Pertumbuhan paten itu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri kecil dan menengah (UKM) yang memanfaatkan temuan teknologi, yang pada akhirnya mampu menggerakkan roda perekonomian bangsa tersebut. Teknologi yang dikembangkan tentu saja tidak harus yang hitech, tetapi teknologi yang sebenarnya sudah mampu dikuasai oleh putra-putri bangsa ini dan hasilnya bisa digunakan oleh orang banyak (consumer goods).
Sebagai misal, pabrik pembuat bola lampu di China, dikerjakan oleh UKM, bukan oleh industri besar semisal Philips. Juga dengan penjahit software di India yang dipesan oleh Amerika, dikerjakan oleh perakit-perakit piranti lunak yang termasuk ke dalam golongan UKM. Kalau di Jakarta Anda sering menyaksikan spanduk atau tempelan kertas di dinding-dinding jalan tol untuk pemesanan spanduk dan cetakan, maka di India Anda akan dapat menyaksikan spanduk pemesanan piranti lunak.
Menurut saya, semua masalah itu sumbernya adalah mindset, koordinasi dan kebijakan. Saya ingin memasuki komisi yang --jika mampu-- dapat merubah itu semua. Semoga.
Doain yee .. :)
Jawaban saya adalah: Saya ingin memasuki komisi yang mengurusi ristek, UKM, dan paten; yang menurut anggota Dewan sekarang ini termasuk dalam kategori Komisi Air Mata, bukan Komisi Surga yg bertaburan travelers cheque itu. Setidaknya, itu adalah dunia yang sedikit banyak telah saya ketahui dan saya rasakan denyutnya. Persoalan seputar ristek, UKM, dan paten nampaknya merupakan inti persoalan hubungan antara ristek dan dunia usaha yang tidak berjalan dengan baik selama ini di Indonesia. Ristek seolah menjadi urusan paling akhir (pelengkap penderita) di negeri ini karena memang belum memperlihatkan hasilnya yang memuaskan, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian bangsa seperti di China dan India. Di negara kita, pandangan umum masih melihat, hasil penelitian kita lebih banyak yang masuk rak laporan.
Persoalan-persoalan ini terus terang saya dapatkan dari diskusi yang ada di milis OFP (overseas fellowship program) angkatan IV/1987, kumpulan alumni anak-anak yang dulu dikirim oleh BJ Habibie ke mancanegara untuk belajar sains dan enjinering. Di milis tersebut ada LT Handoko yang masih setia bekerja di LIPI, peraih Achmad Bakrie Award bidang Sains tahun 2008, dan kawan-kawan lainnya yang sudah duduk di middle and top management pada sejumlah perusahaan nasional dan multinasional.
Sebagai benchmarking, kita bisa melihat kemajuan China dan India. Dari pengamatan sederhana, kita bisa menyaksikan pertumbuhan jumlah paten yang ada dinegara-negara tersebut, yang kini mungkin sudah masuk deretan papan atas dunia. Pertumbuhan paten itu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri kecil dan menengah (UKM) yang memanfaatkan temuan teknologi, yang pada akhirnya mampu menggerakkan roda perekonomian bangsa tersebut. Teknologi yang dikembangkan tentu saja tidak harus yang hitech, tetapi teknologi yang sebenarnya sudah mampu dikuasai oleh putra-putri bangsa ini dan hasilnya bisa digunakan oleh orang banyak (consumer goods).
Sebagai misal, pabrik pembuat bola lampu di China, dikerjakan oleh UKM, bukan oleh industri besar semisal Philips. Juga dengan penjahit software di India yang dipesan oleh Amerika, dikerjakan oleh perakit-perakit piranti lunak yang termasuk ke dalam golongan UKM. Kalau di Jakarta Anda sering menyaksikan spanduk atau tempelan kertas di dinding-dinding jalan tol untuk pemesanan spanduk dan cetakan, maka di India Anda akan dapat menyaksikan spanduk pemesanan piranti lunak.
Menurut saya, semua masalah itu sumbernya adalah mindset, koordinasi dan kebijakan. Saya ingin memasuki komisi yang --jika mampu-- dapat merubah itu semua. Semoga.
Doain yee .. :)
1 comment:
Setuju mas. UKM kita terkendala dengan masalah paten. Udah jadipenemu tahu tahu patennya di daftarin orng dari negara lain.
Goodluck mas, semoga terpilih dan bisa jadi pejuang UKM.
Post a Comment