Wednesday, December 05, 2007

Salah Kaprah Yang Muda Yang Memimpin

Ketika membaca undangan perhelatan deklarasi kaum muda untuk merebut kepemimpinan di sebuah milis pada Oktober lalu, saya termasuk yang mencibir.

Bukan karena saya tidak respek terhadap kegiatan tersebut, tetapi karena kepemimpinan telah dipersempit hanya pada lingkup kepemimpinan politik. Seolah-olah, segala carut-marut bangsa ini timbul karena ada masalah dalam kepemimpinan politik. Lalu masalah itu direduksi menjadi lebih sempit lagi, bahwa masalahnya karena kepemimpinan politik dipegang oleh kaum tua dan permasalahan bangsa ini akan selesai kalau anak muda diberi kesempatan mengambil alih kepemimpinan politik.

Bagaimana saya tidak mencibir, saya serta merta teringat pada sejumlah anak muda, terutama kawan-kawan saya, orang-orang yang saya kenal dengan baik sejak masih miskinnya. Meski mereka kawan-kawan baik saya, saya tetap harus jujur bahwa apa yang mereka lakukan di dunia politik tidaklah memberi harapan pada perbaikan nasib bangsa ini. Mereka sibuk dengan dirinya --bahkan keluarganya-- dan partainya. Mereka tidak sibuk oleh urusan-urusan besar bangsa ini yang harus ditangani secara tulus, jujur, dan sungguh-sungguh.

Saya selalu mengatakan kepada kawan-kawan, kalau masih punya hasrat "mencangkul" untuk memperkaya diri, janganlah maju ke dunia politik, apalagi bagi mereka yang terjun ke dunia politik dengan legitimasi "baju takwa" atau baju Muhammadiyah --lingkungan darimana saya berasal. Jangan pertontonkan kepada publik, bahwa kita bisa kaya kalau terjun ke dunia politik.

Berikut ini adalah tulisan yang sepertinya menampung seluruh uneg-uneg saya soal keinginan sejumlah anak muda tampil "meminta" jatah kursi kepemimpinan politik.


Anak Muda
Mohamad Sobary

Kompas, Minggu, 02 Desember 2007

Anak-anak muda menuntut hak untuk memperoleh giliran memimpin. Sayang tak ada penjelasan mengenai memimpin apa. Sesudah deklarasi yang disiarkan Metro TV malam itu, suasana senyap kembali, seperti tak pernah terjadi apa pun.

Ada tanggapan ala kadarnya dari Wapres Jusuf Kalla yang tak bergema secara luas. Kemudian muncul sebuah tulisan di media, yang tak cukup meyakinkan, bahwa kaum muda memang bersungguh-sungguh. Generasi muda, harapan bangsa, ternyata juga tak punya konsep tentang kepemimpinan, terobosan terhadap krisis, dan jawaban tentang ke-Indonesia-an masa depan.

Apa yang mereka maksud memimpin? Sudah begitu banyak anak muda menjadi anggota DPR, tetapi kekuasaan membuat mereka terbius dan kesudahannya hanya sibuk memperkaya diri.

Ada pula di antara mereka yang menjadi menteri, tetapi tak tampak hal yang mencolok mata. Misalnya, minimal, hidup sederhana, memahami kesusahan rakyat, memiliki empati dan sikap populis, serta tidak memewahkan diri.

Pekerjaan semudah ini saja tak bisa dipenuhi. Apalagi diminta berprestasi. Lalu, siapa anak muda yang merasa siap dan menganggap sudah tiba waktunya memimpin ini?

Kalau mereka datang dari kalangan yang sudah disebut di atas, daya tarik apa yang hendak ditawarkan kepada publik? Rakyat sudah bosan melihat "wayang" politik yang pemain-pemainnya sudah kehilangan inspirasi dan daya juang. Kita tak lagi memiliki tokoh politik yang agak sedikit otentik. Kita tak punya tokoh yang patut disebut pejuang atau patriot.

Kualitas tokoh politik kita hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan kepada pegawai negeri: seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, dan gigih menjaga "tradisi" tak bertanggung jawab.

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh lembaga swadaya masyarakat, tokoh politik kita jauh tertinggal. Di dalam bidang-bidang tadi mereka berjuang dengan segala risiko dan lebih dari layak disebut pemimpin.

Maka, tak ada di antara mereka yang ikut merengek minta kesempatan memimpin karena mereka sudah menjadi pemimpin. Mereka tumbuh dari pergulatan nyata, sedang para tokoh politik kita direkrut partai-partai politik yang agak busuk bagian dalamnya dan tak punya visi besar yang tampak segar di luarnya.

Pada zaman gerakan mahasiswa tahun 1977/78 dulu ada seruan dari salah seorang mahasiswa Universitas Indonesia, minta agar di DPR/MPR ada wakil mahasiswa. Dulu saya juga mahasiswa, tetapi saya tidak tertarik sama sekali mengikuti pandangan politik macam ini.

Kepemimpinan datang tidak dari kesempatan yang "diberikan" secara bergantian, seperti dalam suatu arisan, melainkan dari prestasi yang tampak oleh publik dan mendapat pengakuan publik. Alam memang mengatur yang tua otomatis lengser. Tetapi, tak semua yang muda dengan sendirinya boleh nangkring begitu saja. Kecuali, sekali lagi, bila kita bicara tentang mekanisme politik yang tak pernah, atau jarang sekali, bicara tentang kompetensi.

Dalam sebuah seminar di IAIN Sunan Kalijaga di Yogya sekitar tahun 1993, ada mahasiswa yang meminta agar saya tak menulis resensi buku.

"Biarkan resensi buku itu menjadi bagian teman-teman mahasiswa. Sampean menulis esei saja," kata dia. Saya pun menuruti "nasihat" itu.

Menulis esei tidak mudah. Pada zaman saya belajar menulis sudah banyak nama-nama beken yang sangat mapan. Tetapi, saya tak pernah meminta kepada, misalnya Emha Ainun Nadjib atau Goenawan Mohamad, untuk tidak lagi menulis supaya tulisan-tulisan saya yang dimuat media.

Jurang antargenerasi memang sering menganga lebar. Dalam sejarah, ketegangan antargenerasi muncul dalam pergolakan pemikiran antara yang muda —maju, dinamis, progresif-revolusioner— berhadapan dengan golongan tua —konservatif, lamban, memuja masa lalu, dan memelihara adat— seperti, misalnya, pergolakan kaum muda dan kaum tua di Minangkabau.

Namun, itu pergolakan pemikiran. Sumpah Pemuda lahir dari pemikiran, diteriakkan dalam perjuangan pemikiran dalam memandang masa depan. Cipto Mangunkusumo melawan Sutatmo Suryo Kusumo pada tahun 1918 dalam perdebatan ide dan aspirasi kultural yang jelas dalam memandang masa depan bangsa.

Polemik kebudayaan lahir dari ketegangan pemikiran. Ahmad Wahid bergolak pada zaman tenang lewat pemikiran. Mengapa pada abad kegelapan dan zaman penuh kebuntuan sekarang tak lahir percikan pikiran? Mengapa yang lahir hanya kehendak berkuasa yang dibangun di atas asumsi bahwa kekuasaan bisa diatur bergiliran?

Berkali-kali saya hadir, bahkan diminta pidato, dan agak berapi-api, dalam deklarasi partai milik anak-anak muda yang segar wawasannya, jernih naluri politiknya, dan berani gigih bekerja. Di tengah-tengah mereka, saya membayangkan generasi Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Tan Melaka.

Saya tak peduli dianggap muda apa tua, saya berpihak kepada mereka yang muda dan bergolak. Tetapi, terhadap anak muda yang hanya meminta—tanpa konsep, tanpa kesiapan—saya merasa betapa jauh jarak kita sekarang dengan generasi Bung Karno dan Bung Hatta.

Kita merosot di titik mengenaskan. Zaman memang sudah berubah. Tetapi, dalam perubahan itu haruskah kita tak berpikir melainkan hanya mengharap sambil menunggu kemurahan alam yang akan memberi yang muda momentum emas untuk memimpin?

Apa yang mau dipimpin kalau anak muda hanya siap untuk membacakan sebuah deklarasi?

No comments: