Jum’at, 2/2/07, sekitar pukul 7 malam istriku mengajak pergi menemani belanja ke Giant, hypermarket yang ada di Kalibata Mall. Istriku bilang, ”Gak usah ganti pakaian deh, biar cepet.. Pakai sarung juga gak apa-apa.”
Kalau di rumah, aku suka memakai sarung tenun katun yang biasa disebut di kampungku sebagai sarung kabel. Sedang orang Tegal bilang, sarung toldem yang kepanjangannya (maaf) ”xxxtol adem”. Selain di daerah yang memproduksi, sekitar Brebes, Tegal, Pemalang, sarung ini memang susah dicari. Orientasi produksi sarung ini adalah ekspor ke Timur Tengah. Di Indonesia pun, pengguna sarung ini kebanyakan orang Arab.
Dibanding sarung tenun semacam Atlas atau Gajah Duduk, harganya relatif mahal, antara 100 hingga 200 ribu di tempat produksinya. Kalau sudah masuk Jakarta, bisa mencapai 300 ribu (Tanah Abang) bahkan mencapai 700 ribu (Pasaraya Manggarai). Satu kali pernah saya membeli di Pasaraya Manggarai dengan harga tersebut. Ketika pulang kampung, aku beli merk yang sama dengan harga hanya 150 ribu di tempat produksinya.
Sarung dan kaos adalah seragamku sehari-hari di rumah, termasuk pada saat tidur. Kalau keluar rumah, jalan-jalan pagi seputar kampung di Kalibata, mencari makanan bersama keluarga seperti sop Irwan di Melawai atau nasi goreng kambing di Kebon Sirih, atau bahkan belanja ke Hero Kalibata Mall, aku suka tetap memakai sarung. Istri dan dua anakku yang pertama tidak pernah mempermasalahkan karena setiap hari sudah terbiasa melihat aku memakai sarung di rumah.
Tapi malam itu, anakku yang terkecil, Raisa, yang sudah berumur 31 bulan dan lancar berbicara, langsung protes. ”Papa tidak boleh memakai sarung, Raisa malu,” begitu katanya. Kaget juga aku. ”Kok malu, kenapa?” tanyaku padanya. Dia lalu menjawab pokoknya malu dan aku harus memakai pakaian ”keluar”, pakaian yang biasa aku pakai kalau mau keluar rumah untuk bekerja; celana panjang dengan baju lengan pendek atau celana panjang dengan kaos berkerah atau tanpa kerah.
Aku sungguh heran... Aku jadi ingat, dulu tahun 1987, tahun pertama memasuki Jakarta, setiap pulang kursus di BPPT malamnya aku selalu pakai sarung. Ketika jalan-jalan keluar rumah memakai sarung, sepupuku bilang kalau ke luar rumah jangan pakai sarung, malu katanya.
Sebagai orang yang sejak kecil dibesarkan di daerah yang terbiasa memakai sarung, sampai sekarang masih heran dan tidak bisa memahami kenapa ada orang merasa malu keluar rumah memakai sarung. Apakah ini budaya orang kota? Menurutku, memakai sarung jauh lebih sopan dibanding memakai celana pendek, yang biasa dipakai anak-anak Ibukota kalau jalan-jalan atau nongkrong di seputar rumah. Lagipula, sarung yang aku pakai sarung yang harganya bisa untuk membeli 3 hingga 5 celana pendek itu. Mungkin memakai sarung, biarpun mahal, dianggap udik atau kampungan.
Padahal, memakai sarung itu sangat nikmat, perasaan menjadi santai, hidup terasa simpel dan merdeka: tidak dijajah oleh budaya orang kota :)
Kalau di rumah, aku suka memakai sarung tenun katun yang biasa disebut di kampungku sebagai sarung kabel. Sedang orang Tegal bilang, sarung toldem yang kepanjangannya (maaf) ”xxxtol adem”. Selain di daerah yang memproduksi, sekitar Brebes, Tegal, Pemalang, sarung ini memang susah dicari. Orientasi produksi sarung ini adalah ekspor ke Timur Tengah. Di Indonesia pun, pengguna sarung ini kebanyakan orang Arab.
Dibanding sarung tenun semacam Atlas atau Gajah Duduk, harganya relatif mahal, antara 100 hingga 200 ribu di tempat produksinya. Kalau sudah masuk Jakarta, bisa mencapai 300 ribu (Tanah Abang) bahkan mencapai 700 ribu (Pasaraya Manggarai). Satu kali pernah saya membeli di Pasaraya Manggarai dengan harga tersebut. Ketika pulang kampung, aku beli merk yang sama dengan harga hanya 150 ribu di tempat produksinya.
Sarung dan kaos adalah seragamku sehari-hari di rumah, termasuk pada saat tidur. Kalau keluar rumah, jalan-jalan pagi seputar kampung di Kalibata, mencari makanan bersama keluarga seperti sop Irwan di Melawai atau nasi goreng kambing di Kebon Sirih, atau bahkan belanja ke Hero Kalibata Mall, aku suka tetap memakai sarung. Istri dan dua anakku yang pertama tidak pernah mempermasalahkan karena setiap hari sudah terbiasa melihat aku memakai sarung di rumah.
Tapi malam itu, anakku yang terkecil, Raisa, yang sudah berumur 31 bulan dan lancar berbicara, langsung protes. ”Papa tidak boleh memakai sarung, Raisa malu,” begitu katanya. Kaget juga aku. ”Kok malu, kenapa?” tanyaku padanya. Dia lalu menjawab pokoknya malu dan aku harus memakai pakaian ”keluar”, pakaian yang biasa aku pakai kalau mau keluar rumah untuk bekerja; celana panjang dengan baju lengan pendek atau celana panjang dengan kaos berkerah atau tanpa kerah.
Aku sungguh heran... Aku jadi ingat, dulu tahun 1987, tahun pertama memasuki Jakarta, setiap pulang kursus di BPPT malamnya aku selalu pakai sarung. Ketika jalan-jalan keluar rumah memakai sarung, sepupuku bilang kalau ke luar rumah jangan pakai sarung, malu katanya.
Sebagai orang yang sejak kecil dibesarkan di daerah yang terbiasa memakai sarung, sampai sekarang masih heran dan tidak bisa memahami kenapa ada orang merasa malu keluar rumah memakai sarung. Apakah ini budaya orang kota? Menurutku, memakai sarung jauh lebih sopan dibanding memakai celana pendek, yang biasa dipakai anak-anak Ibukota kalau jalan-jalan atau nongkrong di seputar rumah. Lagipula, sarung yang aku pakai sarung yang harganya bisa untuk membeli 3 hingga 5 celana pendek itu. Mungkin memakai sarung, biarpun mahal, dianggap udik atau kampungan.
Padahal, memakai sarung itu sangat nikmat, perasaan menjadi santai, hidup terasa simpel dan merdeka: tidak dijajah oleh budaya orang kota :)
No comments:
Post a Comment