Pada 18 Januari 2007 saya mendatangi sendiri sebuah kantor pelayanan PLN di Jakarta Selatan untuk mengajukan penambahan daya dari 3500VA ke 5500VA. Sebelumnya, saya selalu meminta bantuan orang lain untuk berurusan dengan PLN. Tapi kali ini, karena saya ingin mengetahui secara persis manajemen PLN, maka saya putuskan untuk mendaftar sendiri tanpa bantuan pihak ketiga. Klisenya, sebagai warga negara yang baik, saya ingin melihat republik ini semakin tertib.
Setelah mengisi formulir dan lampiran yang disyaratkan, saya mendapat selembar kertas bukti pendaftaran. Dalam bukti itu disebutkan bahwa pada tanggal 24 Januari PLN akan memberikan jawaban. Ketika saya tanyakan maksudnya memberikan jawaban, dijawab bahwa berdasarkan permohonan tersebut PLN akan melakukan survei. Jika disetujui, maka sebagai pelanggan saya diminta membayar sejumlah uang sesuai ketentuan, lalu menunggu 10 hari untuk pelaksanaan pekerjaannya.
Karena sampai dengan tanggal 24 Januari belum juga disurvei, saya kembali mendatangi kantor PLN. Baru kemudian PLN mengirim orang untuk mensurvei hari itu juga. Setelah survei tersebut saya diminta membayar sejumlah uang sesuai fotokopi tabel tarip yang mereka berikan. Yang harus dibayar adalah biaya pemasangan dan uang jaminan toevoer. Sesuai tabel, biaya pemasangan adalah Rp 1.321.500 dan uang jaminan toevoer sebesar Rp 650.000.
Saya lalu teringat, dua tahun lalu ketika menambah daya dari 2200 ke 3500 saya sudah membayar pula uang jaminan toevoer sebesar Rp 400.000. Namanya uang jaminan, logikanya uang tersebut harus dikembalikan. Ketika saya persoalkan masalah ini, akhirnya petugas bersedia mengurangi biaya jaminan toevoer, sehingga saya hanya membayar Rp 250.000. Lalu saya membayar uang sejumlah Rp 1.571.500 untuk biaya pemasangan dan biaya jaminan toevoer. Di luar biaya resmi ini, saya masih harus membayar Rp 250.000 agar instalasinya bisa dikerjakan hari itu juga.
Ketika saya cek kwitansinya, itu bukan kwitansi resmi PLN. Kwitansi tanpa logo atau nama perusahaan apapun hanya memuat stempel perusahaan PT XXX, yang katanya mitra PLN. Lalu saya memaksa, bahwa saya harus menerima kwitansi resmi dari PLN, saya tidak mau menerima kwitansi dari PT XXX. Kemudian saya dijanjikan esok harinya. Esoknya saya diberi kwitansi resmi dari PLN dengan rincian biaya pemasangan Rp 700.000 dan uang Jaminan Langganan Pola A sebesar Rp 226.000. Selisih uang antara kwitansi PT XXX dan kwitansi PT PLN kemudian dikembalikan lagi kepada saya Rp 300.000, tidak sepenuhnya sesuai selisih yang seharusnya ada, yaitu Rp 395.500.
Ada dua permasalahan penting di sini, pertama, apa bedanya jaminan langganan ini dengan jaminan toevoer? Tidak ada petugas yang bisa menjelaskan. Buat apa sebenarnya uang jaminan toevoer itu? Kenapa bisa ditawar padahal sudah ada tabelnya dan sebelumnya dibilang itu tarip resmi PLN? Bagaimana dengan masyarakat lain yang mungkin tidak sempat mengurus sendiri atau mengurus sendiri tapi tidak tahu dan tidak bisa protes?
Kedua, jika memang tarip dalam tabel adalah tarip resmi, kenapa selisih antara biaya pemasangan sesuai tabel (Rp 1.321.500) dengan kwitansi resmi dari PLN (Rp 700.000) kemudian dikembalikan kepada saya? Jika ini tidak dapat dijelaskan, dapat dikatakan di sini, bahwa PLN telah melakukan penipuan atau manipulasi biaya kepada masyarakat.
Atas peristiwa itu, saya menghimbau kepada Direksi PLN atau Kementerian BUMN untuk segera memperhatikan biaya-biaya yang tidak jelas ini. Masyarakat dibebani biaya yang cukup tinggi tapi tidak jelas aturan mainnya, terutama (1) jaminan toevoer yang larinya kepada pihak ketiga; buat apa masyarakat membayar uang jaminan dua kali, kepada PLN sebagai Jaminan Langganan Pola A dan kepada pihak ketiga sebagai Jaminan Toevoer? Dan (2) selisih biaya pemasangan antara tabel resmi PLN dengan kwitansi resmi PLN.
Saya mengusulkan, ketika masyarakat sebagai pelanggan mendatangi kantor pelayanan PLN, maka yang melayani seharusnya petugas-petugas resmi dari PLN, bukan petugas dari pihak ketiga seperti saya alami, petugas dari PT XXX. Jangan sampai pula terjadi, karena ini lebih parah, sebenarnya itu petugas resmi PLN tetapi mereka merangkap bekerja sebagai pegawai PT XXX, karena mereka mengeluarkan kwitansi atas nama PT XXX padahal mereka duduk di kursi petugas pelayanan PLN.
Bahwa kemudian PLN mau memberikan pekerjaan pemasangannya kepada pihak ketiga, maka seharusnya itu menjadi urusan internal PLN yang tidak ada kaitannya dengan masyarakat. Jangan pula masyarakat diminta membayar biaya pemasangan dan jaminan dua kali, kepada PLN juga kepada mitranya. Tidak baik kalau PLN bersembunyi di balik pihak ketiga untuk menghadapi masyarakat pelanggan hanya untuk memelihara sumber pendanaan yang tidak jelas yang selama ini mereka nikmati.
Bagaimana PLN tidak merugi setiap tahun kalau manajemen pelayanan yang sederhana saja seperti ini? Untuk penambahan daya seperti saya ini, banyak masyarakat rela membayar hingga Rp 2juta untuk kemudahan dan kepraktisan layanan. Jika PLN bisa menjawab tantangan ini, Rp 2juta tidak akan lari kepada calo-calo atau mitra PLN, tetapi masuk ke kas PLN sendiri.
Setelah mengisi formulir dan lampiran yang disyaratkan, saya mendapat selembar kertas bukti pendaftaran. Dalam bukti itu disebutkan bahwa pada tanggal 24 Januari PLN akan memberikan jawaban. Ketika saya tanyakan maksudnya memberikan jawaban, dijawab bahwa berdasarkan permohonan tersebut PLN akan melakukan survei. Jika disetujui, maka sebagai pelanggan saya diminta membayar sejumlah uang sesuai ketentuan, lalu menunggu 10 hari untuk pelaksanaan pekerjaannya.
Karena sampai dengan tanggal 24 Januari belum juga disurvei, saya kembali mendatangi kantor PLN. Baru kemudian PLN mengirim orang untuk mensurvei hari itu juga. Setelah survei tersebut saya diminta membayar sejumlah uang sesuai fotokopi tabel tarip yang mereka berikan. Yang harus dibayar adalah biaya pemasangan dan uang jaminan toevoer. Sesuai tabel, biaya pemasangan adalah Rp 1.321.500 dan uang jaminan toevoer sebesar Rp 650.000.
Saya lalu teringat, dua tahun lalu ketika menambah daya dari 2200 ke 3500 saya sudah membayar pula uang jaminan toevoer sebesar Rp 400.000. Namanya uang jaminan, logikanya uang tersebut harus dikembalikan. Ketika saya persoalkan masalah ini, akhirnya petugas bersedia mengurangi biaya jaminan toevoer, sehingga saya hanya membayar Rp 250.000. Lalu saya membayar uang sejumlah Rp 1.571.500 untuk biaya pemasangan dan biaya jaminan toevoer. Di luar biaya resmi ini, saya masih harus membayar Rp 250.000 agar instalasinya bisa dikerjakan hari itu juga.
Ketika saya cek kwitansinya, itu bukan kwitansi resmi PLN. Kwitansi tanpa logo atau nama perusahaan apapun hanya memuat stempel perusahaan PT XXX, yang katanya mitra PLN. Lalu saya memaksa, bahwa saya harus menerima kwitansi resmi dari PLN, saya tidak mau menerima kwitansi dari PT XXX. Kemudian saya dijanjikan esok harinya. Esoknya saya diberi kwitansi resmi dari PLN dengan rincian biaya pemasangan Rp 700.000 dan uang Jaminan Langganan Pola A sebesar Rp 226.000. Selisih uang antara kwitansi PT XXX dan kwitansi PT PLN kemudian dikembalikan lagi kepada saya Rp 300.000, tidak sepenuhnya sesuai selisih yang seharusnya ada, yaitu Rp 395.500.
Ada dua permasalahan penting di sini, pertama, apa bedanya jaminan langganan ini dengan jaminan toevoer? Tidak ada petugas yang bisa menjelaskan. Buat apa sebenarnya uang jaminan toevoer itu? Kenapa bisa ditawar padahal sudah ada tabelnya dan sebelumnya dibilang itu tarip resmi PLN? Bagaimana dengan masyarakat lain yang mungkin tidak sempat mengurus sendiri atau mengurus sendiri tapi tidak tahu dan tidak bisa protes?
Kedua, jika memang tarip dalam tabel adalah tarip resmi, kenapa selisih antara biaya pemasangan sesuai tabel (Rp 1.321.500) dengan kwitansi resmi dari PLN (Rp 700.000) kemudian dikembalikan kepada saya? Jika ini tidak dapat dijelaskan, dapat dikatakan di sini, bahwa PLN telah melakukan penipuan atau manipulasi biaya kepada masyarakat.
Atas peristiwa itu, saya menghimbau kepada Direksi PLN atau Kementerian BUMN untuk segera memperhatikan biaya-biaya yang tidak jelas ini. Masyarakat dibebani biaya yang cukup tinggi tapi tidak jelas aturan mainnya, terutama (1) jaminan toevoer yang larinya kepada pihak ketiga; buat apa masyarakat membayar uang jaminan dua kali, kepada PLN sebagai Jaminan Langganan Pola A dan kepada pihak ketiga sebagai Jaminan Toevoer? Dan (2) selisih biaya pemasangan antara tabel resmi PLN dengan kwitansi resmi PLN.
Saya mengusulkan, ketika masyarakat sebagai pelanggan mendatangi kantor pelayanan PLN, maka yang melayani seharusnya petugas-petugas resmi dari PLN, bukan petugas dari pihak ketiga seperti saya alami, petugas dari PT XXX. Jangan sampai pula terjadi, karena ini lebih parah, sebenarnya itu petugas resmi PLN tetapi mereka merangkap bekerja sebagai pegawai PT XXX, karena mereka mengeluarkan kwitansi atas nama PT XXX padahal mereka duduk di kursi petugas pelayanan PLN.
Bahwa kemudian PLN mau memberikan pekerjaan pemasangannya kepada pihak ketiga, maka seharusnya itu menjadi urusan internal PLN yang tidak ada kaitannya dengan masyarakat. Jangan pula masyarakat diminta membayar biaya pemasangan dan jaminan dua kali, kepada PLN juga kepada mitranya. Tidak baik kalau PLN bersembunyi di balik pihak ketiga untuk menghadapi masyarakat pelanggan hanya untuk memelihara sumber pendanaan yang tidak jelas yang selama ini mereka nikmati.
Bagaimana PLN tidak merugi setiap tahun kalau manajemen pelayanan yang sederhana saja seperti ini? Untuk penambahan daya seperti saya ini, banyak masyarakat rela membayar hingga Rp 2juta untuk kemudahan dan kepraktisan layanan. Jika PLN bisa menjawab tantangan ini, Rp 2juta tidak akan lari kepada calo-calo atau mitra PLN, tetapi masuk ke kas PLN sendiri.
No comments:
Post a Comment