Dulu pernah ada dalam sebuah mailing list, menjelang lebaran Idul Fitri, himbauan untuk berbagi dengan kuli angkut atau porter yang, khususnya, ada di stasiun kereta api. Himbauan itu mengingatkan, bahwa Rp 20.000 bagi seorang porter sungguh sangat berarti. Syukur-syukur Anda bisa memberi lebih dari itu, untuk 2-3 koper yang Anda dan keluarga Anda bawa pulang ke kampung.
Meskipun barang bawaan Anda mungkin tidak berat, berikanlah pekerjaan itu kepada porter. Apalagi untuk bawaan yang berat. Bagi warga Jakarta yang sukses, 20 kg mungkin sudah terasa berat sekali. Daripada memaksa membawa barang bawaan yang berat, yang akan dibawa pulang ke kampung, lebih baik serahkan saja kepada porter. Dengan memberikan pekerjaan itu kepada porter, bukan saja membuat kita bisa lebih santai dan meringankan tenaga kita sendiri, tetapi kita juga bisa berbagi kepada porter, yang anak dan istrinya mungkin sedang menanti uang barang 10 atau 20 ribu sebagai hasil kerjanya di stasiun kereta api sebagai kuli angkut.
Menjelang Idul Adha kemarin, pada 29 Desember 2006, aku sekeluarga pulang ke Semarang dengan kereta Argo Muria. Anakku yang paling kecil, Raisa, berkali-kali meminta naik kereta api. Maka perjalanan pulang kali ini aku putuskan untuk menggunakan kereta api.
Saat sedang berjalan di stasiun Gambir, aku mendengar ada orang sedang tawar-menawar. ”Limabelas ribu pak, bawaannya banyak dan berat,” kata suara di belakang saya. ”Sepuluh ribu deh,” kata satunya. Aku langsung tahu, pasti seorang penumpang sedang tawar-menawar dengan seorang porter. Maka akupun menengok ke samping belakang untuk melihat orang yang sedang tawar-menawar itu. Kulihat seorang porter tua dengan badan yang cukup kurus. Lalu kulihat penumpang yang menawar, astaghfirullah, seorang pria parlente yang sedang menggenggam handphone Nokia 9500. Sekiranya pria itu menggenggam Nokia 510, handphone sejuta ummat pada lima tahun yang lalu, mungkin aku masih memakluminya. Tapi ini, pria dengan handphone seharga Rp 5 juta di tangan, masih tega menawar untuk lima ribu rupiah pada seorang porter tua yang kurus?
Kita ini kadang aneh, Rp 5.000 terasa besar sekali ketika sedang berhadapan dengan kotak amal di masjid, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika memasuki mall. Rp 5.000 terasa besar sekali ketika sedang berhadapan dengan seorang pengemis, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika mau memasuki restoran. Rp 5.000 terasa besar sekali ketika berhadapan dengan pengamen jalanan, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika akan membeli bensin.
Naudzubillahi min dzalika!
Meskipun barang bawaan Anda mungkin tidak berat, berikanlah pekerjaan itu kepada porter. Apalagi untuk bawaan yang berat. Bagi warga Jakarta yang sukses, 20 kg mungkin sudah terasa berat sekali. Daripada memaksa membawa barang bawaan yang berat, yang akan dibawa pulang ke kampung, lebih baik serahkan saja kepada porter. Dengan memberikan pekerjaan itu kepada porter, bukan saja membuat kita bisa lebih santai dan meringankan tenaga kita sendiri, tetapi kita juga bisa berbagi kepada porter, yang anak dan istrinya mungkin sedang menanti uang barang 10 atau 20 ribu sebagai hasil kerjanya di stasiun kereta api sebagai kuli angkut.
***
Menjelang Idul Adha kemarin, pada 29 Desember 2006, aku sekeluarga pulang ke Semarang dengan kereta Argo Muria. Anakku yang paling kecil, Raisa, berkali-kali meminta naik kereta api. Maka perjalanan pulang kali ini aku putuskan untuk menggunakan kereta api.
Saat sedang berjalan di stasiun Gambir, aku mendengar ada orang sedang tawar-menawar. ”Limabelas ribu pak, bawaannya banyak dan berat,” kata suara di belakang saya. ”Sepuluh ribu deh,” kata satunya. Aku langsung tahu, pasti seorang penumpang sedang tawar-menawar dengan seorang porter. Maka akupun menengok ke samping belakang untuk melihat orang yang sedang tawar-menawar itu. Kulihat seorang porter tua dengan badan yang cukup kurus. Lalu kulihat penumpang yang menawar, astaghfirullah, seorang pria parlente yang sedang menggenggam handphone Nokia 9500. Sekiranya pria itu menggenggam Nokia 510, handphone sejuta ummat pada lima tahun yang lalu, mungkin aku masih memakluminya. Tapi ini, pria dengan handphone seharga Rp 5 juta di tangan, masih tega menawar untuk lima ribu rupiah pada seorang porter tua yang kurus?
Kita ini kadang aneh, Rp 5.000 terasa besar sekali ketika sedang berhadapan dengan kotak amal di masjid, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika memasuki mall. Rp 5.000 terasa besar sekali ketika sedang berhadapan dengan seorang pengemis, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika mau memasuki restoran. Rp 5.000 terasa besar sekali ketika berhadapan dengan pengamen jalanan, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika akan membeli bensin.
Naudzubillahi min dzalika!
No comments:
Post a Comment