Ketika SD dulu, banyak dari kita mungkin pernah dikenalkan pada motto Vini Vidi Vici (Terkuat, Tercepat, Juara). Motto ini cocok, tentu saja, untuk sebuah perlombaan olahraga yang mengandalkan otot. Tapi dalam perlombaan yang memerlukan otak, seperti persaingan kehidupan antar individu, antar kelompok, atau antar negara, motto yang lebih tepat adalah:
The strong takes from the weak. But the smart takes from the strong.
Yang kuat mengambil dari yang lemah. Tetapi yang cerdas mengambil dari yang kuat.
Saya jadi teringat dengan ucapan mendiang Jenderal LB Moerdani dalam sebuah wawancara di sebuah majalah. Ketika ditanya kegagalan dirinya menjadi calon presiden, padahal saat itu dia adalah orang yang sangat berkuasa sesudah Presiden Soeharto, dia menjawab, justru dia lebih suka memiliki kekuasaan yang luas di bawah Presiden Soeharto. Dalam kalimat pendek dia bertanya balik:
Jika bisa berkuasa tanpa harus bertanggungjawab (kepada rakyat/MPR maksudnya), kenapa tidak?
Sejak membaca kalimat itu sampai sekarang, mungkin sudah lebih dari 10 tahun, masih saja saya teringat. Ini adalah kalimat yang mungkin tidak akan pernah saya lupakan. Kalimat itu menunjukkan pilihan hidup seseorang yang sangat cerdas. Presiden Soeharto boleh jadi berkuasa dan menjadi orang terkuat, tetapi LB Moerdani, orang yang pernah sangat saya benci ketika dulu menjadi aktifis, menunjukkan dirinya sebagai orang yang lebih cerdas.
Maaf, berbeda dengan tokoh idolaku, Amien Rais, yang berusaha menjadi orang terkuat di Republik ini tetapi selalu gagal. Padahal, kalau ia cerdas, mestinya ia bisa menjadi penguasa tanpa harus memegang puncak kekuasaan secara formal. Sayangnya, ia hanyalah seseorang yang pintar (clever but not smart) dan berani, tidak lebih dari itu :) :)
The strong takes from the weak. But the smart takes from the strong.
Yang kuat mengambil dari yang lemah. Tetapi yang cerdas mengambil dari yang kuat.
Saya jadi teringat dengan ucapan mendiang Jenderal LB Moerdani dalam sebuah wawancara di sebuah majalah. Ketika ditanya kegagalan dirinya menjadi calon presiden, padahal saat itu dia adalah orang yang sangat berkuasa sesudah Presiden Soeharto, dia menjawab, justru dia lebih suka memiliki kekuasaan yang luas di bawah Presiden Soeharto. Dalam kalimat pendek dia bertanya balik:
Jika bisa berkuasa tanpa harus bertanggungjawab (kepada rakyat/MPR maksudnya), kenapa tidak?
Sejak membaca kalimat itu sampai sekarang, mungkin sudah lebih dari 10 tahun, masih saja saya teringat. Ini adalah kalimat yang mungkin tidak akan pernah saya lupakan. Kalimat itu menunjukkan pilihan hidup seseorang yang sangat cerdas. Presiden Soeharto boleh jadi berkuasa dan menjadi orang terkuat, tetapi LB Moerdani, orang yang pernah sangat saya benci ketika dulu menjadi aktifis, menunjukkan dirinya sebagai orang yang lebih cerdas.
Maaf, berbeda dengan tokoh idolaku, Amien Rais, yang berusaha menjadi orang terkuat di Republik ini tetapi selalu gagal. Padahal, kalau ia cerdas, mestinya ia bisa menjadi penguasa tanpa harus memegang puncak kekuasaan secara formal. Sayangnya, ia hanyalah seseorang yang pintar (clever but not smart) dan berani, tidak lebih dari itu :) :)
***
Dalam novel Brothers in Arms: the Raistlin Chronicles, Volume Two, Master Horkin memberi sebuah pelajaran berharga kepada penyihir (wizard) muda, Raistlin Majere, yang angkuh karena baru saja lulus dari the Test of the Tower of High Sorcery, satu-satunya ujian bagi para wizard untuk dapat mengenakan jubah kebesaran mereka secara sah: putih, hitam, atau merah, sesuai hasil kelulusan testnya. Raistlin menolak berada di bawah komando Master Horkin dalam Resimen Penyihir Langtree, karena Master Horkin bukanlah lulusan the Tower of High Sorcery, terlihat dari jubahnya yang berwarna coklat. Mungkin saja Master Horkin tidak lulus atau bahkan tidak pernah ikut test karena takut kehilangan nyawa dalam test yang taruhannya memang nyawa calon penyihir itu sendiri.
Ketika akhirnya Raistlin bersedia tunduk di bawah komando Master Horkin karena terpaksa, dalam sebuah dialog Raistlin bertanya, berapa jumlah penyihir yang pernah dimiliki resimen Langtree di bawah komando Mad Baron. Horkin menjawab ada 6 orang, dan tinggal dirinya yang masih hidup, meski dirinya adalah wizard dengan skill dan order yang terendah, sedang lainnya bahkan ada yang lulusan the Test of the Tower of High Sorcery. Sisanya sudah tewas dalam pertempuran. "Apa yang terjadi pada penyihir yang lain?" tanya Raistlin suatu saat. Dalam kesempatan lain, sesudah memberikan training yang sangat berharga kepada Raistlin bagaimana seorang wizard menghadapi pertempuran yang sesungguhnya, Horkin menjawab, "I'm not the last surviving mage in this god-forsaken regiment because I was the best. Just (because I was) the smartest!" (hal 154).
***
Mungkin, teori survival of the fittest hanya berlaku pada binatang dan other creatures yang tidak berotak. Sedang untuk human race, lebih kepada survival of the smartest.
No comments:
Post a Comment