Monday, October 30, 2006

Catatan Perjalanan Pulang Kampung

Kamis (19/10) pukul 7 pagi saya beserta keluarga pulang kampung dengan membawa 2 kendaraan. Kendaraan pertama membawa saya beserta istri dan tiga anak saya. Kendaraan kedua membawa ibu beserta adik-adik saya: Temi, Fitri, Amin, dan Fathi. Kami menuju ke Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Tahun ini saya giliran berlebaran di Pati, yang letaknya hampir di ujung timur Jawa Tengah, di tempat ibunda istri saya. Agar sopir tidak terlalu capai menempuh perjalanan Jakarta-Pati, saya siasati mampir dulu ke Bumiayu, baru besoknya perjalanan dilanjutkan ke Pati.

Sampai di Bumiayu siang pukul 13.00. Kami lalu beristirahat sambil menunggu berbuka. Kami semua tetap berpuasa, kecuali anak-anakku. Saya memberi kelonggaran kepada anak-anak untuk tidak berpuasa pada hari ini.

***

Jum'at (20/10) pagi saya membagikan sedekah kepada warga sekitar yang memiliki kesulitan ekonomi alias hidup susah. Saya sediakan Rp 1 juta untuk dibagikan kepada 50 orang: setiap orang mendapat Rp 20.000. Adik saya membuat daftar 50 orang yang berhak menerima sedekah. Sampai siang hari, yang datang ternyata lebih dari 50 orang, bahkan hampir lebih dari 70 orang. Ada yang lupa didaftar, ada juga di antara mereka yang langsung berdatangan ke rumah ibuku begitu mendengar ada pembagian sedekah di sana. Agar tidak ada yang kecewa, alokasi anggaran ditambah sesuai jumlah orang yang datang ke rumah ibuku.

Jum'at siang pukul 13.30 saya meluncur ke Pati. Menjelang berbuka, kendaraan kami baru sampai kota Kendal. Saya memutuskan berbuka di Restoran Ayam Goreng Suharti, yang letaknya persis sebelum pintu masuk tol Semarang dalam kota. Selesai berbuka kami melanjutkan perjalanan, tiba di Pati pukul 10 malam.

***

Sabtu (21/10) pagi, ibu mertua mengajak menengok saudara-saudara almarhum ayah mertua di Batangan, yang letaknya sekitar 30 KM dari Pati menuju arah Rembang. Udara di Batangan sangat panas karena daerahnya dekat pantai utara Jawa. Daerahnya nampak minus. Kebanyakan rumah di sana terbuat dari kayu dan berlantai tanah. Meski begitu, anak-anakku, terutama Raisa, sangat menikmati. Ia sangat menikmati bermain-main dengan sapi dan kambing yang di pelihara di samping rumah. Ia ikut ramai-ramai memberi makan kepada hewan-hewan itu bersama keponakanku lainnya.

Menjelang pulang, istriku meminta ijin untuk membagi-bagikan sejumlah uang buat adik-adik dan keponakan almarhum ayahnya. Saya tentu setuju saja. Apapun yang bisa dilakukan untuk membahagiakan orang dalam menghadapi lebaran, pasti saya setuju. Lalu istriku menyiapkan 14 amplop berisi masing-masing uang Rp 100.000.

Siang itu kami kembali ke Pati. Di perjalanan, seorang teman baikku, mantan ketua PB-HMI, sms bahwa ia belum siap berlebaran karena belum ada dana. Aku jadi ingat dengan senior di HMI yang juga belum sempat saya kirimi obat puyeng untuk berlebaran. Juga ingat pada sahabatku, seorang dokter, yang juga pusing tidak punya uang untuk berlebaran, dan meminta saya membagi kepadanya. Ibuku juga telepon ada beberapa saudara di Bumiayu yang belum mendapat pembagian. Pusing juga aku memikirkan semua itu.

Sekembali di Pati, sekitar pukul 14.30, sopirku, Danu, pulang ke Purwakarta. Ia ingin berlebaran bersama keluarga. Sudah 4 lebaran ia selalu ikut bersamaku di kampung. Padahal, pada lebaran sebelumnya, setiap aku menawarkan cuti ia selalu menolak. Ia selalu ingin berlebaran di Jawa bersama keluargaku. Kali ini, anaknya yang sudah masuk SMP tahun ini, kelihatannya merengek minta berlebaran bersama ayahnya. Aku tidak keberatan, bahkan mendukung.

***

Minggu (22/10) pagi, saya tanpa pikir panjang ke ATM BCA. Saya lihat di rekening tinggal Rp 8jt-an. Lalu saya bagikan Rp 4jt kepada kawan-kawan itu. Malamnya kami takbiran. Sebagai warga Muhammadiyah, jauh-jauh hari sudah saya putuskan ikut keputusan Muhammadiyah, yaitu berlebaran pada hari Senin, 23 Oktober 2006.

Ipar saya yang pengurus teras PD-PKS Pati berlebaran sesuai instruksi partai. Malamnya mereka mendengar ada instruksi PKS berlebaran hari Selasa ikut pemerintah. Esoknya, mertua saya memutuskan berlebaran ikut saya.

***

Senin (23/10) pukul 05.30 kami sudah bersiap ke Stadion Pati, tempat penyelenggaraan shalat Idhul Fitri. Shalat dimulai pukul 06.30. Karena aku tidak bisa membawa mobil, dan sopir tidak ada, iparku yang mengantar ke lokasi. Setengah menggoda, saya ajak ikut shalat ied bersama, ia tidak mau. Rupanya, ia sudah menerima tawaran menjadi khatib di masjid Pati yang ada di alun-alun, yang diselenggarakan pada 24 Oktober.

Hari ini total istirahat di rumah. Kami pesta mangga. Mertuaku memiliki 7 pohon mangga di kebun belakang rumah. Kebetulan, sudah banyak mangga yang masak di pohon. Kami memetik mangga hampir sebanyak 4 kardus aqua. Ketika Danu pulang, ia juga membawa 1 kardus penuh berisi mangga yang sudah masak.

Malamnya, kami sekeluarga menyaksikan acara takbir keliling di alun-alun Pati. Acaranya dibuka oleh Bupati Pati. Peserta takbir keliling dan masyarakat yang menonton tumpah ruah di alun-alun. Malam itu terlihat sangat meriah.

***

Selasa (24/10) kakak ipar dan keluarga besar mertua saya berlebaran. Pagi itu rumah mertua saya ramai. Kakak-kakak istriku berdatangan untuk meminta maaf kepada ibunya. Selesai open house di rumah, mertua mengajak mengunjungi adiknya, istriku memanggilnya Om Kar.

Maka, saya beserta istri dan anak-anak, mertua, dan kakak ipar pergi ke rumah Om Kar. Sampai di sana, sudah ramai saudara-saudara istri saya berkumpul. Ruang keluarga penuh sesak. Terdengar orang tertawa di sana-sini. Semua terlihat gembira. Alhamdulillah.

Wisit atau angpao buat para keponakan dibagi-bagikan oleh Om Kar. Setiap anak, termasuk anakku mendapat 10 lembar uang seribuan baru. Kakak iparku ada yang tertawa melihat anakku ikut ngantri berebut wisit dari Om Kar. Ia tertawa karena paginya, istriku baru saja membagikan wisit kepada para keponakan itu, sekarang anakku malah ikut ngatri minta wisit dari Om Kar.

Siangnya kami pulang ke rumah dan beristirahat. Kami kembali menikmati limpahan panen mangga.

***

Rabu (25/10) sore saya beserta istri dan anak-anak kembali ke Bumiayu. Berangkat dari Pati pukul 17.30, sampai di Bumiayu Kamis (26/10) pukul 00.20. Ibu sangat suka cita menyambut kedatanganku. Aku tahu, setiap aku giliran berlebaran di Pati, ibuku selalu sedih. Ia selalu ingin aku berlebaran di Bumiayu. Kalau tidak ada saya, katanya, lebaran terasa sepi dan hambar, meski kakakku dan 9 adikku menemaninya. Maka malam itu, aku melihat ibuku sangat bersuka cita begitu aku sampai di rumah. Itulah momen yang paling menggembirakan. Hati ini terasa sangat senang kalau melihat ibu bisa tersenyum bahagia.

Siang harinya, Kamis (26/10), seharian penuh aku di rumah berkumpul bersama ibu, adik-adik, dan keponakan. Nonton TV, makan, tidur 1-2 jam, makan, nonton TV, dan seputar itu kegiatan saya hari ini.

***

Selesai shalat Jum'at (27/10), saya beserta ibu, kakak, adik-adik, istri dan anak-anak saya, ziarah ke makan ayahku, yang meninggal pada 7 Syawal/15 Januari 2000. Sudah cukup lama aku tidak ziarah ke makam ayah. Sebagai keluarga Muhammadiyah, aku termasuk orang yang meyakini bahwa mendoakan orangtua bisa dari mana saja, dari rumah atau masjid, tidak harus datang ke kuburan. Tetapi, berkunjung langsung ke makam memberi nuansa lain. Dengan melihat kuburannya, aku bisa mengenang saat menguburkan ayahku dulu. Aku seperti melihat sosok ayahku sedang terbaring di makam itu. Aku juga bisa melihat makam nenek dan kakekku yang letaknya bersebelahan dengan makam ayahku. Juga makam lainnya dari orang-orang yang saya cintai dan hormati, seperti makam bude dan pakde dari pihak ayah. Ini semua mengingatkan, bahwa akupun kelak akan menyusul mereka.

***

Sabtu (28/10) pagi aku beserta rombongan kembali ke Jakarta. Karena sopirku yang membawa rombongan adik-adik, Nono, agak mengantuk, kami berjalan pelan-pelan. Sementara sopir yang membawaku beserta istri dan anak-anak, Danu, yang biasa ngebut kalau bawa mobil, seperti tidak sabar. Tapi saya memaksa Danu untuk terus bersama-sama dengan rombongan mobil satunya. Kami memasuki Jakarta hampir pukul 21.00. Perjalanan yang melelahkan, tapi menyenangkan dan selalu ingin diulang setiap tahunnya.

Tuesday, October 17, 2006

Lebaran yang Suram

Lebaran adalah momen kegembiraan. Lebaran adalah sebutan untuk hari raya ummat Islam yang disebut sebagai Idul Fitri. Hari itu jatuh setiap tanggal 1 Syawal dalam penanggalan kalender Hijriah, yang pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 2006. Hari itu jatuh tepat setelah berakhirnya Ramadhan, setelah ummat Islam berpuasa sebulan penuh.

Lebaran memang harus dirayakan dengan penuh kegembiraan. Namun, lebaran kali ini nampaknya agak suram. Istilah tepatnya mungkin agak memprihatinkan. Banyak kawan-kawan mengeluh menghadapi lebaran kali ini. Hingga hari ini, banyak kawan-kawan yang belum memiliki bekal untuk merayakan hari yang berbahagia itu. Untuk saya pribadi, anak-istri, ibu dan adik-adik, lebaran tidak masalah. THR (tunjangan hari raya) untuk sopir dan pembantu, guru-guru dan tukang kebun di sekolah anak-anak, juga tidak masalah. Alhamdulillah. Tetapi melihat kawan-kawan terkapar, dada saya turut sesak rasanya. Ingin saya membantu, tetapi saya sendiri tidak memiliki dana yang longgar atau berlebih pada lebaran kali ini.

Istri saya mengatakan, tidak perlu pusing memikirkan kawan-kawan kalau memang tidak ada. Istriku tentu tidak salah. Itu adalah ungkapan rasa sayang seorang istri kepada suami. Tapi saya tidak bisa bersikap seperti itu. Saya harus berusaha membantu meringankan beban kawan-kawan, terutama kawan-kawan yang dekat dengan saya.

Saya mungkin hanya bisa membantu beberapa kawan saja. Sementara, yang datang minta THR lebih dari itu. Ada kawan yang dulu sangat liquid, jika saya minta uang 100 atau 200 juta bisa ia sediakan dalam 1 atau 2 hari, kini seperti terbalik roda kehidupannya. Kali ini ia datang meminta bantuan. Ada yang langsung bertanya, kapan bagi-bagi THR. Ada senior yang sms:

"Mi, mau lebaran Abang pusing kepala, tolong kirimi Abang obat pusing. Ini nomor rekeningnya XXX-XXXXXXXXXX"



Ada yang meminta dengan halus melalui cerita , "Aku pulang dengan apa saja tidak masalah, yang penting sampai ke kampung halaman ketemu sanak saudara."

Memang, kegembiraan lebaran tidak hanya diukur dari materi, apalagi harus dengan materi yang berlebihan. Tetapi, untuk bisa berlebaran di kampung dengan naik kereta ekonomi serta bisa makan ketupat dan opor ayam, tentu tidak berlebihan. Bolehlah orang bersedih untuk kegagalan menyediakan yang mendasar seperti ini.

Pada akhirnya, perlu juga menggunakan pepatah dalam ujaran agama Budha, "Kalau kau tidak mampu menyelesaikan masalah, biarkan waktu yang akan menyelesaikannya." Memang, segala kegundahan ini akan berakhir dengan sendirinya begitu hari H lebaran tiba.

Wednesday, October 11, 2006

Peluang Bisnis Baru

Senin 9/10 pagi pukul 11, Budi Uang telepon. Nampaknya dari pagi ia sudah mencoba menghubungi saya. Telepon rumah dua-duanya silih berganti berdering-dering sejak pagi, tapi tidak saya angkat karena saya pikir, kalau mau menghubungi saya kenapa tidak lewat handphone?

Budi kembali meminta perusahaan yang mau mengajukan kredit. Saya menjawab, tidak kurang-kurang saya halo-halo kepada beberapa kawan lainnya, tapi belum ada yang respons.

Ya bagaimana, mencari perusahaan yang membutuhkan kredit puluhan miliar tentu tidak mudah. Tempo hari ada kawan di Medan mengajukan kredit untuk perluasan kebun sawit, tapi hitungannya sedikit ngawur. Dia mengajukan biaya Rp 37 juta per hektar, sementara lazimnya hanya berkisar antara Rp 20 hingga 25 juta per hektar. Kalau mulanya sudah ngawur, orang menjadi takut untuk membantu. Sekarang ini lebih baik prudent, daripada nanti terseret-seret perkara di kemudian hari.

***

Kawanku yang mantan Dirut Bapindo Sekuritas, Koko, bulan lalu telepon mencari investor jalan tol. Proyek itu membutuhkan investor dalam negeri yang mau menyetor modal tunai sebesar Rp 600 miliar dengan porsi share 60% minus konsesi untuk konsultan yang akan dibicarakan kemudian. Pihak asing sudah ada yang siap menyetor Rp 400 miliar dengan porsi share 40%. Jatah share untuk konsultan (timnya Koko) berkisar antara 10% hingga 20% yang diambil dari investor dalam negeri, dengan kewajiban mereka akan mendatangkan modal kerja hingga sebesar Rp 1 triliun.

Bulan lalu pula, kawanku, Mas Herman, telepon meminta dicarikan proyek yang bonafide untuk dibiayai oleh bosnya. Seperti pucuk dicinta ulam tiba, begitu ada proyek tol lingkar luar-luar Jakarta (outer outer ringroad) ditawarkan, segera saya teruskan kepada kawanku yang satu ini. Prinsipnya minat, hanya ada kendala pada porsi share yang harus dibagi pada konsultan. Kalau bossnya Mas Herman bisa menyediakan modal kerja sendiri, tidak perlu bantuan konsultan, apa bisa investor dalam negeri ini mendapatkan full 60%? Bossnya Mas Herman juga menanyakan kemungkinan kepemilikan share lebih dari 60%.

Memang agak sulit. Kawanku yang eks Dirut Bapindo Sekuritas ini tidak sedang mencari fee, tapi mencari share dalam proyek ini. Kalau saya, frankly speaking, tingkatnya masih mencari fee :)

Minggu lalu ada kabar, proyek tol ini ditunda, jadi pembicaraan juga ditunda. Selama masa penundaan, masing-masing pihak, baik konsultan maupun investor dalam negeri, bisa memikirkan bentuk kompromi yang mungkin bisa dicapai.

***

Selasa 10/10, Yogi memberi kabar, menantu bosnya mau muterin duit Rp 100 miliar untuk proyek plantation, terutama sawit. Koko, yang sejak keluar dari bank pemerintah menggeluti usaha perkebunan, terutama pada usaha pembelian perusahaan sawit yang dalam kondisi sakit, kemudian diperbaiki lalu dijual, segera saya hubungi. Hari ini dia akan menawarkan satu lokasi kebun sawit yang mungkin bisa ditawarkan lewat Yogi. Siapa tahu barcok, alis barang cocok. Who knows?

Friday, October 06, 2006

Detik-Detik yang Menentukan

Kesaksianku

Buku berjudul Detik-Detik yang Menentukan yang ditulis oleh mantan presiden BJ Habibie menuai protes, terutama pada kesaksiannya soal Letjen (Purn) Prabowo dan kesan kudeta yang akan dilancarkan oleh Prabowo. Letjen Syafrie Syamsuddin yang kini menjabat sebagai Sekjen Dephankam sudah membantah adanya pasukan liar di sekitar istana dan Patra Kuningan tempat kediaman pribadi BJ Habibie, karena sebagai Pangdam Jaya waktu itu ia adalah pengendali pasukan di Jakarta. Dien Syamsuddin sudah memberi komentar bahwa tuduhan kudeta adalah sebuah fitnah, karena saya tahu hari-hari terakhir kekuasaan Soeharto Dien punya hubungan yang cukup intensif dengan Prabowo. Dan semalam dalam acara KickAndy di MetroTV giliran Amien Rais turut membantah adanya kesan rencana kudeta oleh Prabowo. Saya pun ingin turut memberi kesaksian, karena saya termasuk saksi sejarah malam yang sangat bersejarah itu.

Jika dikatakan atau diduga Prabowo ingin melakukan kudeta menurut saya tidak benar. Saya ingat betul pada peristiwa malam tanggal 20 Mei 1998. Saat itu sudah lewat pukul 12 malam. Saya sedang menemani seorang kawan yang menjadi ”orang dalam” di kelompok Prabowo yang berkumpul di Jl. Suwiryo, Menteng, Jakarta Pusat. Kawan saya ini sahabat dari Fadli Zon, sejak Fadli masih duduk di bangku SMA.

Saya di kelompok itu bukan siapa-siapa. Tidak masuk dalam ring 1 atau ring 2, istilah untuk orang-orang dekat yang bisa mengakses kepada tokoh politik utama. Saya hanya teman dari seseorang yang masuk dalam ring di situ. Saya sendiri tidak terlalu suka dengan politik. Alasan saya keluar dari Center for Information and Development Studies (CIDES) yang dipimpin oleh Mas Adi Sasono (1995) dan bergabung dengan Yayasan Wakaf Paramadina Mulya, membantu Mas Tom (Utomo Dananjaya) dan Yudi Latief menyusun rencana pendirian Universitas Paramadina, karena faktor saya tidak terlalu suka dengan politik. Saat itu CIDES sedang sangat kental nuansa politiknya. Harapan membangun lembaga kajian milik ummat Islam yang berwibawa menyaingi CSIS sirna karena para pengelola utamanya lebih tertarik pada karier politik individu. Sejak keluar dari CIDES, aku sulit bahkan cenderung tidak percaya dengan orang yang dari mulutnya keluar kalimat ”membela kepentingan ummat” atau ”membela kepentingan rakyat”.

Saya juga termasuk orang yang sangat tidak suka membangga-banggakan pada senior yang sudah sukses menjadi orang di republik ini. Pada ahirnya, kesuksesan seseorang tidak bisa ditentukan oleh seniornya yang sudah sukses itu, tetapi oleh kemampuan individu yang ia miliki sendiri. Tanpa kemampuan dan kecerdasan individu yang baik, seseorang tidak mungkin menuai sukses, karena kesuksesan tidak bisa ditiru. Saya percaya betul dengan prinsip itu.

Malam itu tiba-tiba Prabowo datang bersama Danjen Kopassus Muchdi PR. Suasana di rumah Jl. Suwiryo sangat ramai, banyak tokoh berkumpul di situ. Prabowo kemudian memberi kabar bahwa mertuanya, Soeharto, besok pagi pukul 10.00 dipastikan akan mengundurkan diri dan wakil presiden BJ Habibie akan diambil sumpah menjadi presiden. Dia meminta ada seseorang yang bisa menyampaikan pesan kepada Amien Rais. Malam itu Amien Rais sedang berkumpul di rumah dinas Malik Fadjar di Jl. Indramayu. Tidak ada nomor telephone yang bisa dikontak.

Karena sekretaris pribadi dan pengawal utama Amien Rais, Muhammad Yunus, adalah sahabat kawanku di Jl Suwiryo ini, maka kawanku diminta menemui Amien Rais membawa 2 pesan: (1) memberi kabar soal rencana mundurnya Soeharto, dan (2) memberitahukan bahwa Prabowo dan kawan-kawan siap mendukung kepemimpinan BJ Habibie. Entah mengapa kawanku tidak mau. Lantas kawanku meminta saya menemui Habib Yunus, pangilan akrabnya, karena saya juga kenal baik dengan pengawal Amien Rais itu. Tahun-tahun sebelum dia menjadi pengawal Amien Rais kami sering ngumpul bareng di rumah kontrakan kawanku di Rawamangun. Kami juga sudah beberapa kali bertemu dalam komunitas Tamsil Linrung di Orwil ICMI DKI. Pertimbangan lainnya, saya juga kenal baik dengan Amien Rais sewaktu dulu bekerja di CIDES dan sewaktu merencanakan membuat pabrik air minum di Pemalang untuk diekspor ke Saudi Arabia pada tahun 1997.

Maka malam itu aku didampingi Abdul Qadir langsung menuju Jl. Indramayu menemui Habib Yunus. Amien Rais sedang berkumpul dengan sejumlah tokoh nasional dalam sebuah ruang seukuran garasi mobil yang ada di belakang-samping bangunan rumah utama. Lalu Yunus mengatur saya bertemu dengan Amien Rais di ruangan kecil ukuran sekitar 2x2 di sebelah ruang pertemuan para tokoh nasional tersebut. Saya ingat, kusen bangunan kecil itu bercat hijau, mungkin karena ini rumah dinas pejabat Departemen Agama. Setelah saya menyampaikan pesan dari Prabowo, segera Amien Rais kembali ke ruangan pertemuan dan memberitahu seluruh peserta pertemuan mengenai ”kepastian” bahwa Soeharto besok akan turun. Saat itu waktu sudah menunjukkan lewat pukul 1 dini hari.

Saya sebut ”kepastian” karena mungkin Amien Rais sudah mendengar rumor itu. Wakil Presiden BJ Habibie dan 4 Menko sudah mengetahui rencana mundurnya Soeharto sebelum pukul 12 malam seperti diceritakan dalam buku Detik-Detik yang Menentukan itu. Tapi Amien Rais mungkin masih menunggu konfirmasi agar tidak salah mengambil keputusan. Dengan ”kepastian” yang dikirim oleh Prabowo, ia menjadi yakin bahwa rumor itu benar adanya.

Suasana seketika jadi meriah. Perasaan telah memenangkan sebuah perjuangan seperti muncul dalam perasaan setiap orang yang hadir. Amien Rais langsung memanggil semua wartawan untuk jumpa pers dan mengumumkan apa yang akan terjadi besok pada pukul 10.00. Setelah jumpa pers itu aku kembali ke Jl. Suwiryo sebentar untuk kemudian pulang ke rumah di Kalibata. Esoknya Harian Kompas membuat headline menyambut fajar baru berisi pengunduran diri Soeharto.

Jika melihat apa yang telah dilakukan Prabowo dengan mengirim pesan kepada Amien Rais, nampaknya mustahil jika Prabowo diduga akan melakukan kudeta dan mengirim pasukan gelap mengepung istana dan kediaman pribadi BJ Habibie.

Thursday, October 05, 2006

Mbah Ning

Wanita tua itu duduk di atas kasur. Umurnya mungkin sekitar 85 tahun. Mataku berkaca-kaca saat melihat wanita tua itu. Aku langsung teringat nenekku, Mbah Nirah, yang saat meninggal pada tahun 1985 juga berumur sekitar 85 tahun. Aku teringat saat-saat aku mendampingi nenekku di hari-hari terakhirnya.

Aku teringat saat pukul 3 dini hari mengantar nenekku ke kamar mandi seperti biasanya. Saat itu nenek sudah mulai susah berjalan. Karena malam itu aku sangat mengantuk, aku langsung balik lari ke tempat tidur, begitu nenek masuk bilik kamar mandi. Waktu itu umurku baru 16 tahun, kemanjaan dan kemalasan sebagai anak-anak masih melekat. Tidak lama kemudian, nenekku berteriak-teriak memanggil namaku. Aku berlari ke kamar mandi, dan aku dapati nenek sudah jatuh terduduk di lantai. Beberapa hari kemudian, nenekku meninggal dunia. Aku sering menyesal jika mengingat peristiwa itu. Seandainya aku tidak balik lari ke tempat tidur dan menungguinya seperti malam-malam sebelumnya, mungkin nenek tidak akan pernah terjatuh.

Mataku berkaca-kaca melihat wanita tua yang sedang duduk di atas tempat tidur itu. Namanya Mbah Ning. Umurnya mungkin 85 tahun, atau lebih. Aku tidak tahu persisnya, apa hubungan pesaudaraannya dengan nenekku. Mungkin ia adalah adik sepupu nenekku. Tempat tinggalnya di Bumiayu hanya berjarak 20-an meter dari rumah nenekku, rumanya di sebelah timur mengahadap selatan, rumah nenekku di sebelah barat menghadap utara, keduanya dipisahkan jalan selebar 5 meter. Bahkan, ujung kebunnya yang di sebelah barat persis ada di depan rumah nenekku. Di dalam kebunnya yang cukup luas, sekitar 500 meter persegi, dikelilingi pagar anyaman bambu setinggi 2 meter, terdapat 3 pohon mangga besar, sebuah pohon rambutan, sebuah pohon nangka, serta berbagai pohon lainnya.

Mbah Ning adalah orang yang sangat penyabar dan sangat menyayangi cucu-cucunya, termasuk diriku yang dianggap bagai cucu sendiri. Sejak aku bisa mengingat, ia sudah hidup menjanda dan tidak pernah menikah lagi. Kebetulan ia hanya punya seorang putera yang bekerja dan tinggal di Jakarta. Di rumah ia hanya tinggal bersama pembantu dan adik iparnya di rumah tua berkebun luas itu.

Kalau pagi-pagi ia menengok ke kebun dan melihat buah-buahan yang ada di pohon hilang atau bahkan habis dicuri cucu-cucunya yang nakal seperti saya ini, ia tidak pernah marah. Saya yakin ia tahu, kamilah pencuri buah-buahan yang ada di kebunnya. Satu kali pernah, kami mencuri rambutan yang sudah siap panen, hampir seluruhnya hingga mencapai 2 kantong terigu. Yang paling spektakuler, kami pernah mencuri mangga hampir sebanyak 2 karung beras isi 100kg. Tapi tidak pernah saya mendengar ia marah-marah, meski ia tahu bahwa pencurinya adalah cucu-cucunya yang nakal ini. Senyumnya sangat khas dan selalu mengembang ketika melihat cucu-cucunya.

Jika lebaran tiba, rumah Mbah Ning adalah salah satu favorit yang harus dikunjungi. Tradisi dalam keluarga kami di Bumiayu, kami yang muda harus mengunjungi rumah para tetua atau sesepuh. Para tetua atau sesepuh adalah kakak/adik atau sepupu nenek kami, di antaranya adalah Mbah Ning. Mereka ada dalam urutan pertama prioritas kunjungan, baru disusul kakak kandung maupun kakak sepupu dari orang tua kami sendiri. Di rumah Mbah Ning, kami akan menemui jajanan yang tidak ada di tempat lainnya. Di banyak rumah, akan mudah kita dapati kue basah dan kue kering berbahan tepung. Di rumah Mbah Ning, kami mendapati manisan buah dan keramahan yang tulus tiada tara.

Wanita yang sangat baik itu kini terduduk di atas tempat tidur, saat aku menengoknya sesudah buka puasa kemarin Rabu 4/10, di rumah menantunya di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Ia ikut menantunya di Jakarta setelah putra satu-satunya, Mas Brohim, meninggal beberapa minggu yang lalu. Di Bumiayu, ia tinggal sendirian, hanya ditemani seorang pembantu, di rumah tua yang sudah tidak ada lagi kebunnya karena dijual dan di atasnya kini sudah berdiri sebuah rumah.

Ketika aku menyalami dan mencium tangannya, ia menanyakan siapa aku. Ingatannya sudah kurang baik. Begitu disebut nama ayahku, ia berkata ”Sekarang kamu gemuk sekali. Tapi nenek kamu sudah tidak ada...”. Lalu ia mengatakan, orang-orang yang seangkatan dengan dirinya semua sudah pergi, tinggal dirinya seorang. Ia juga mengatakan, dirinya sudah siap pergi meningalkan dunia yang fana ini, digantikan oleh yang muda-muda. Aku sangat terenyuh, menyaksikan Mbahku yang sudah pasrah dalam hidup ini.

Saya mendoakan dengan setulusnya:
Ya Allah, berilah kesehatan yang baik (tamamal afiah, wa dawamal afiah, wa syukro ’alal afiah) kepada Mbahku, dan berilah pula kesabaran yang baik (shobron jamiila) kepada Mbahku.

Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, dan sayangilah ia sebagaimana ia dulu menyayangi cucu-cucunya di waktu kecil.

Ya Allah, jadikanlah setiap butiran mangga dan rambutan yang kami curi dulu, dan dia ikhlaskan buat cucu-cucunya, butiran kebaikan yang mendapat balasan dari-Mu ya Robbi.

Amien ya robbal ’alamiin...