Senin (16/7), istri saya telpon-telponan dengan kawannya sesama orangtua murid di SD Santi Rama. Saat ngobrol itu, kawannya memberitahu bahwa anaknya pindah ke SD Negeri 12 Cipete, Jakarta Selatan. Ia menyarankan agar Shadra datang ke SD 12 menemui kepala sekolahnya. Maka esoknya, Selasa (17/7) pagi, istri saya langsung membawa Shadra ke SD tersebut dan menemui kepala sekolahnya. Lalu Shadra dites. Tidak sampai satu jam Shadra sudah keluar dari ruang tes. Kepala sekolah langsung memutuskan, Shadra dinyatakan mampu mengikuti pelajaran di sekolah umum. Jumlah pelajaran di sekolah umum dengan sekolah khusus tunarungu memang berbeda. Di SD umum diajarkan 10 mata pelajaran, di SD khusus tunarungu diajarkan hanya 4 mata pelajaran.
Lalu kepala sekolah mengatakan, jika mau masuk ke SD 12, harus segera mengurus surat pindah dari SD yang lama. Setengah tidak percaya istriku bertanya, "Benar Shadra diterima? Nanti sudah minta surat pindah tidak bisa masuk ke sekolah ini?" Dengan sabar kepala sekolah mengulangi, "Shadra akan kami terima di sekolah ini dan kami akan membimbingnya." Alhamdulillah, puji Tuhan.
Setelah yakin, istriku buru-buru ke SD Santi Rama untuk mengurus surat pindah. Ia menemui kepala sekolah SD Santi Rama. Guru-guru di SD Santi Rama yang mendengar Shadra bisa diterima di SD 12 turut bergembira. Kawan-kawan sesama orangtua murid turut bergembira mendengar Shadra diterima di sekolah umum, sekaligus sedih karena itu berarti mereka harus segera berpisah. Persahabatan dalam suka dan duka mendampingi anak tunarungu selama 5 tahun di SD Santi Rama seperti telah mengikat mereka dalam sebuah keluarga.
Setelah selesai mengurus surat pindah, istriku telepon memberi kabar kalau Shadra sudah pindah ke SD 12. Saya hanya bertanya, "Bagaimana dengan Shadra, suka tidak?" Menurut saya ini yang terpenting. Jangan sampai pindah ke SD umum itu hanya keinginan orangtua tapi beban buat anak. Memang ada sedikit kebanggaan bagi orangtua murid tunarungu kalau anaknya bisa diterima di sekolah umum. Saya tidak ingin hal itu menjadi kebanggaan kami selaku orangtua, tetapi justru menjadi belenggu bagi anak kami. Istriku menjawab, "Shadra sangat suka. Ia langsung bermain dengan teman-teman sekelasnya. Pas jam istirahat, Shadra ikut bermain bola bersama teman-teman."
Sepulang sekolah, aku menemui Shadra dan menanyakan langsung kepadanya. "Kamu sekolah di mana sekarang," tanyaku. "SD 12," jawabnya. "Suka tidak?" tanyaku lagi. "Suka," jawabnya singkat. Syukurlah.
Keinginan memindahkan Shadra ke SD umum sebenarnya sudah cukup lama, terutama 3 bulan terakhir ini. Sebab, kalau terus di SD Santi Rama, Shadra harus menempuh 8 tahun, sampai kelas 8, sebelum bisa mengikuti ujian nasional kelulusan SD. Jika Shadra harus 8 tahun di sana, maka menjelang umur 15 tahun baru masuk kelas 1 SMP. Saya dan istri merasa prihatin kalau umur Shadra sudah terlalu tua saat memasuki bangku sekolah berikutnya. Tapi yang menjadi perhatian saya, dan ini selalu saya tekankan kepada istri, keputusan pindah adalah keputusan anak, bukan keputusan orangtua. Orangtua hanya boleh memberi jalan saja, jangan sampai orangtua memutuskan sepihak sesuai keinginan sendiri tanpa memperhatikan kemauan dan kemampuan anak.
Alhamdulillah, akhirnya Tuhan membukakan jalan. Puji syukur ya Allah!
Lalu kepala sekolah mengatakan, jika mau masuk ke SD 12, harus segera mengurus surat pindah dari SD yang lama. Setengah tidak percaya istriku bertanya, "Benar Shadra diterima? Nanti sudah minta surat pindah tidak bisa masuk ke sekolah ini?" Dengan sabar kepala sekolah mengulangi, "Shadra akan kami terima di sekolah ini dan kami akan membimbingnya." Alhamdulillah, puji Tuhan.
Setelah yakin, istriku buru-buru ke SD Santi Rama untuk mengurus surat pindah. Ia menemui kepala sekolah SD Santi Rama. Guru-guru di SD Santi Rama yang mendengar Shadra bisa diterima di SD 12 turut bergembira. Kawan-kawan sesama orangtua murid turut bergembira mendengar Shadra diterima di sekolah umum, sekaligus sedih karena itu berarti mereka harus segera berpisah. Persahabatan dalam suka dan duka mendampingi anak tunarungu selama 5 tahun di SD Santi Rama seperti telah mengikat mereka dalam sebuah keluarga.
Setelah selesai mengurus surat pindah, istriku telepon memberi kabar kalau Shadra sudah pindah ke SD 12. Saya hanya bertanya, "Bagaimana dengan Shadra, suka tidak?" Menurut saya ini yang terpenting. Jangan sampai pindah ke SD umum itu hanya keinginan orangtua tapi beban buat anak. Memang ada sedikit kebanggaan bagi orangtua murid tunarungu kalau anaknya bisa diterima di sekolah umum. Saya tidak ingin hal itu menjadi kebanggaan kami selaku orangtua, tetapi justru menjadi belenggu bagi anak kami. Istriku menjawab, "Shadra sangat suka. Ia langsung bermain dengan teman-teman sekelasnya. Pas jam istirahat, Shadra ikut bermain bola bersama teman-teman."
Sepulang sekolah, aku menemui Shadra dan menanyakan langsung kepadanya. "Kamu sekolah di mana sekarang," tanyaku. "SD 12," jawabnya. "Suka tidak?" tanyaku lagi. "Suka," jawabnya singkat. Syukurlah.
Keinginan memindahkan Shadra ke SD umum sebenarnya sudah cukup lama, terutama 3 bulan terakhir ini. Sebab, kalau terus di SD Santi Rama, Shadra harus menempuh 8 tahun, sampai kelas 8, sebelum bisa mengikuti ujian nasional kelulusan SD. Jika Shadra harus 8 tahun di sana, maka menjelang umur 15 tahun baru masuk kelas 1 SMP. Saya dan istri merasa prihatin kalau umur Shadra sudah terlalu tua saat memasuki bangku sekolah berikutnya. Tapi yang menjadi perhatian saya, dan ini selalu saya tekankan kepada istri, keputusan pindah adalah keputusan anak, bukan keputusan orangtua. Orangtua hanya boleh memberi jalan saja, jangan sampai orangtua memutuskan sepihak sesuai keinginan sendiri tanpa memperhatikan kemauan dan kemampuan anak.
Alhamdulillah, akhirnya Tuhan membukakan jalan. Puji syukur ya Allah!