Rasanya sudah cukup lama, aku tidak menikmati shalat maghrib berjamaah di masjid. Setiap Senen-Jumat, pada jam-jam itu, kesibukanku sedang pada kondisi peak. Maklum, jam kerjaku baru dimulai setelah orang kantoran pulang. Pada hari libur, Sabtu-Minggu, pada jam-jam itu aku sedang bersama anak-anak jalan ke mal, Ancol, Taman Mini, Taman Safari, atau ke mana saja tempat di mana aku bisa menemani anak-anakku bermain.
Dua hari ini, karena anak-anak akan menghadapi ujian kenaikan kelas, mereka sibuk belajar di rumah. Dua hari ini, tidak ada kegiatan jalan-jalan. Hari ini, begitu mendengar suara adzan maghrib, aku langsung lari ke masjid. Dalam perjalanan dari rumah ke masjid, yang berjarak sekitar 100 meter, pikiranku melayang, teringat masa kecilku di desa Dukuhturi, Bumiayu, di mana aku dulu tinggal bersama nenek, yang rumahnya berjarak tidak lebih dari 50 dari masjid Agung Baiturrahim. Rumahku sekarang, dengan rumah nenek dulu, kebetulan sama-sama berada di sebelah timur masjid. Dalam perjalanan dari rumah ke masjid, menuju ke arah barat, saya bisa menyaksikan perubahan warna langit yang sangat indah.
Warna langit di atas kubah masjid yang memerah, benar-benar mengingatkanku pada pemandangan yang sama dengan masa-masa kecilku dulu. Mungkin banyak dari kita, yang tidak bisa lagi menikmati pemandangan langit memerah seperti itu. Pemandangan alam yang sebenarnya terjadi setiap hari, tetapi mungkin tidak banyak yang bisa menikmati keindahannya. Mungkin juga malah banyak dari kita, yang tidak memiliki memori semacam itu di masa kecil. Apalagi sekarang, ketika orang-orang banyak yang disibukkan dengan urusan membangun kesuksesan hidup. Pada hari kerja mereka terkurung di dalam gedung-gedung perkantoran, atau sedang terperangkap di dalam mobil atau bus kota atau kendaraan umum lainnya dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Sementara pada hari libur, mereka terkurung di mal-mal atau di rumah-rumah dan vila-vila untuk menikmati waktu istirahat yang terasa begitu mahal di kota metropolitan ini.
Saat aku kecil dulu, bersama anak-anak lainnya, yang tinggal di sekitar masjid dalam radius hingga 300 meter, akan lari ke masjid setiap mendengar suara adzan maghrib. Masjid menjadi tempat berkumpul bagi sebagian besar anak-anak, karena saat itu mungkin belum terlalu banyak orang memiliki TV seperti sekarang ini, di mana TV ada di hampir setiap rumah dan benar-benar telah merubah pola hidup masyarakat. Kala itu, bisa dikatakan tidak banyak hiburan yang bisa ditonton selepas maghrib. Berkahnya, kita menjadi lebih guyub, tidak individualis seperti saat ini.
Selepas shalat maghrib, dahulu, sebagian anak-anak bergerombol dan bermain bersama-sama dengan aneka permainan tradisional yang ada pada saat itu. Di kampung saya, ada banyak permainan tradisional seperti petak umpet (rok cithut), baren, sodor, dan jeketheng. Ada juga permainan yang muncul di setiap bulan Ramadhan, yaitu bermain gledhegan, sebuah mobil-mobilan dengan body mobil terbuat dari bambu sepanjang 50 cm atau lebih, yang diberi 4 atau 6 roda made in Kaliwadas, dan pada ujung depan atasnya diberi obor kecil dari botol bekas kayu putih. Mobil-mobilan ini diberi pendorong sepanjang sekitar 1 meter sehingga bisa didorong anak-anak sambil berjalan mengelilingi jalan-jalan di kampung.
Untuk melukiskan keindahan masa kecil itu, aku sering menyebutnya sebagai "kemewahan dalam kesederhanaan". Ya, kebahagiaan dan keceriaan bisa dinikmati oleh hampir setiap penduduk kampung, tanpa terkecuali, baik yang kaya maupun yang miskin. Suasana makin semarak, keceriaan makin bertambah, di kala bulan sedang purnama.
Berbeda dengan jaman sekarang, keceriaan anak-anak bermain Play Station harus ditebus dengan uang yang tidak sedikit. Belum lagi efek individualisme yang mempengaruhi cara hidup anak-anak sekarang akibat permainan yang tidak bisa dinikmati secara berramai-ramai itu. Tidak seperti permainan baren yang bisa dinikmati sekaligus oleh 20 anak-anak.
*** Begitu aku memasuki masjid, sungguh luar biasa, suasananya benar-benar terasa seperti masa kecil dulu. Aku seperti menemukan kembali suasana batin yang sudah lama sekali hilang dari dalam diriku. Tak jemu-jemu aku memandang suasana di dalam masjid. Aku juga melihat lampu gantungnya, mengingatkanku pada lampu gantung yang sama di masjid kampungku dulu. Aku kembali membayangkan saat diriku masih kecil dulu, ketika shalat maghrib berjamaah di masjid Baiturrahim. Aku benar-benar merasa tenteram. Hatiku benar-benar merasa damai.
Mudah-mudahan kehidupanku tidak dijauhkan dari masjid. Mudah-mudahan aku tidak dilalaikan oleh kehidupan yang fana ini. Amin.
Dua hari ini, karena anak-anak akan menghadapi ujian kenaikan kelas, mereka sibuk belajar di rumah. Dua hari ini, tidak ada kegiatan jalan-jalan. Hari ini, begitu mendengar suara adzan maghrib, aku langsung lari ke masjid. Dalam perjalanan dari rumah ke masjid, yang berjarak sekitar 100 meter, pikiranku melayang, teringat masa kecilku di desa Dukuhturi, Bumiayu, di mana aku dulu tinggal bersama nenek, yang rumahnya berjarak tidak lebih dari 50 dari masjid Agung Baiturrahim. Rumahku sekarang, dengan rumah nenek dulu, kebetulan sama-sama berada di sebelah timur masjid. Dalam perjalanan dari rumah ke masjid, menuju ke arah barat, saya bisa menyaksikan perubahan warna langit yang sangat indah.
Warna langit di atas kubah masjid yang memerah, benar-benar mengingatkanku pada pemandangan yang sama dengan masa-masa kecilku dulu. Mungkin banyak dari kita, yang tidak bisa lagi menikmati pemandangan langit memerah seperti itu. Pemandangan alam yang sebenarnya terjadi setiap hari, tetapi mungkin tidak banyak yang bisa menikmati keindahannya. Mungkin juga malah banyak dari kita, yang tidak memiliki memori semacam itu di masa kecil. Apalagi sekarang, ketika orang-orang banyak yang disibukkan dengan urusan membangun kesuksesan hidup. Pada hari kerja mereka terkurung di dalam gedung-gedung perkantoran, atau sedang terperangkap di dalam mobil atau bus kota atau kendaraan umum lainnya dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Sementara pada hari libur, mereka terkurung di mal-mal atau di rumah-rumah dan vila-vila untuk menikmati waktu istirahat yang terasa begitu mahal di kota metropolitan ini.
Saat aku kecil dulu, bersama anak-anak lainnya, yang tinggal di sekitar masjid dalam radius hingga 300 meter, akan lari ke masjid setiap mendengar suara adzan maghrib. Masjid menjadi tempat berkumpul bagi sebagian besar anak-anak, karena saat itu mungkin belum terlalu banyak orang memiliki TV seperti sekarang ini, di mana TV ada di hampir setiap rumah dan benar-benar telah merubah pola hidup masyarakat. Kala itu, bisa dikatakan tidak banyak hiburan yang bisa ditonton selepas maghrib. Berkahnya, kita menjadi lebih guyub, tidak individualis seperti saat ini.
Selepas shalat maghrib, dahulu, sebagian anak-anak bergerombol dan bermain bersama-sama dengan aneka permainan tradisional yang ada pada saat itu. Di kampung saya, ada banyak permainan tradisional seperti petak umpet (rok cithut), baren, sodor, dan jeketheng. Ada juga permainan yang muncul di setiap bulan Ramadhan, yaitu bermain gledhegan, sebuah mobil-mobilan dengan body mobil terbuat dari bambu sepanjang 50 cm atau lebih, yang diberi 4 atau 6 roda made in Kaliwadas, dan pada ujung depan atasnya diberi obor kecil dari botol bekas kayu putih. Mobil-mobilan ini diberi pendorong sepanjang sekitar 1 meter sehingga bisa didorong anak-anak sambil berjalan mengelilingi jalan-jalan di kampung.
Untuk melukiskan keindahan masa kecil itu, aku sering menyebutnya sebagai "kemewahan dalam kesederhanaan". Ya, kebahagiaan dan keceriaan bisa dinikmati oleh hampir setiap penduduk kampung, tanpa terkecuali, baik yang kaya maupun yang miskin. Suasana makin semarak, keceriaan makin bertambah, di kala bulan sedang purnama.
Berbeda dengan jaman sekarang, keceriaan anak-anak bermain Play Station harus ditebus dengan uang yang tidak sedikit. Belum lagi efek individualisme yang mempengaruhi cara hidup anak-anak sekarang akibat permainan yang tidak bisa dinikmati secara berramai-ramai itu. Tidak seperti permainan baren yang bisa dinikmati sekaligus oleh 20 anak-anak.
Mudah-mudahan kehidupanku tidak dijauhkan dari masjid. Mudah-mudahan aku tidak dilalaikan oleh kehidupan yang fana ini. Amin.
2 comments:
Mas fami, tadi pagi jam 6.30 wita aku liat sampeyan di TVRI. Semoga tambah barakah syiar Islamnya. Rika keliatan kurus lho.. tapi dikit aja sih, banyak keliatan montoknya :D
mas fami, kalaua foto masjid agung liat aja di flickr ku.Ada di folder Bumiayu.Alamatnya di http://www.flickr.com/photos/firmansyah_afandi/
Post a Comment