Seiring dengan dimulainya kampanye terbuka Pemilu Legislatif 2014,
redaksi sengaja menghadirkan sepak terjang "tidak terhormat" wakil
rakyat sebagai pengingat bagi para pemilih agar lebih hati-hati memilih
wakilnya dan bagi para caleg agar lebih amanah menjalankan tugasnya bila
kelak terpilih.
Korupsi kadang menghadirkan kisah
lucu sekaligus menusuk kalbu, dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya
rakyat, yang semula diharapkan bisa memperjuangkan nasib bangsa. Kali
ini Redaksi ILUNI Online mengajak pembaca menyimak bagaimana para
Anggota DPR RI berusaha “memeras” Junino Jahja, alumnus UI yang ketika
itu menjabat Direktur Utama Perum Peruri.
Junino Jahja dikenal sebagai mantan aktivis militan yang pernah jadi
‘tahanan kampus’ dan nyaris dipecat sebagai mahasiswa UI karena dinilai
sebagai otak ‘provokator’ demo besar-besaran menolak NKK/BKK. Meskipun
kuliahnya sempat molor, setelah lulus kuliah, pria yang akrab disapa
Nino ini memiliki karir profesional yang cermerlang hingga sempat
menduduki jabatan Direktur PT Indosat. Meskipun bekerja di BUMN,
militansinya sebagai aktivis tidak pernah pudar. Sejak awal gejolak
gerakan Reformasi 1998, Nino aktif mendukung mahasiswa UI mendobrak
kebekuan politik Orde Baru.
Tahun 2004, Nino meninggalkan
Indosat dan malah terjun ke “zona berbahaya” ketika dirinya dipercaya
sebagai Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi anti rasuah yang baru berdiri ketika
itu dan harus berhadapan dengan para koruptor baik petinggi negara
maupun konglomerat.
Setelah mengabdi di KPK, Junino diminta menjadi Direktur Utama Perum
Peruri. Dari sinilah berawal kisah “lucu” yang membuat geram dari
tingkah polah anggota DPR RI. Untuk lebih lengkap, mari kita simak hasil
liputan Majalah GATRA edisi 19/01, terbit Kamis 8 Nopember 2012:
Ponsel Junino Jahja berdering. Setelah
diangkat, dari seberang, si penelepon menyampaikan pesan sederhana:
meminta kesediannya hadir dalam pertemuan dengan beberapa anggota
Panitia Khusus (Pansus) RUU Mata Uang yang sedang digodok di Komisi XI
DPR. Saat itu, hari Senin 21 Maret 2011. Junino adalah Direktur Utama
(Dirut) Perum Percetakan Uang RI (Peruri) ketika itu. Sejak 31 Oktober
2012, ia tidak lagi menjadi dirut.
Junino diajak makan malam di Restoran
Poke Sushi, Hotel Crowne Plaza, Jakarta. Junino mengiyakan ajakan itu.
Pada saat makan malam, ia ditemani Slamet Haryono, Sekretaris Perusahaan
Peruri. Menjelang senja, ia telah menunggu di tempat yang sudah diatur.
Pukul tujuh malam, datanglah lima anggota pansus. Mereka adalah
Achsanul Qosasi (Partai Demokrat), Mustofa Assegaf (Partai Persatuan
Pembangunan), Edison Betaubun (Partai Golkar), I Gusti Agung Rai
Wirajaya (PDI Perjuangan), dan Muhammad Hatta (Partai Amanat Nasional).
Sembari menunggu pesanan disajikan,
tim pansus mengutarakan ihwal masih adanya dua pasal dalam RUU itu yang
belum disepakati. Yaitu pasal yang berkaitan dengan kewenangan mencetak
uang dan membeli kertas. Tim pansus menjelaskan, ada kemungkinan pansus
menyetujui wewenang mencetak dan membeli kertas jatuh pada Peruri.
Selama ini, kewenangan Peruri hanyalah mencetak. Sedangkan hak membeli
kertas dan mengedarkan uang hasil cetakan Peruri ada pada Bank Indonesia
(BI).
Obrolan itu, menurut Junino, kemudian
berputar-putar tanpa arah yang jelas. Ia menjadi jengah. "Saya berterima
kasih kalau begitu, tetapi maksud kongkretnya apa, ya?" tanya Junino.
"Kalau pasal ini diloloskan, Peruri yang untung. Ya, share keuntungan
dengan kamilah," jawab salah satu anggota tim pansus, seperti ditirukan
Junino.
Junino berkilah tidak memiliki dana
untuk itu. Seorang di antara mereka menyarankan Peruri meminta duit ke
supplier-nya untuk menalangi pembayaran kepada tim pansus itu.
Tarik-menarik permintaan upeti ini berakhir saat Mustofa Assegaf, yang
tidak begitu mengenal Junino, bertanya. "Sebelum di Peruri, Anda di
mana?" Tanpa pikir panjang, Junino menjawab, "Saya sebelumnya Deputi
Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan
Korupsi, Pak."
Pembicaraan mengenai dua pasal di RUU
Mata Uang itu pun terhenti seketika. Achsanul yang pertama meminta izin
keluar dari ruangan dengan dalih ada panggilan telepon masuk. Edison dan
Mustofa menyusul keluar. Alasannya, ditunggu orang lain di tempat lain.
Tinggal Gusti Agung dan Hatta, yang mau tidak mau menemani Junino makan
malam karena pesanan keburu diantarkan.
Yang tidak diketahui anggota tim
pansus itu, pembicaraan mereka sedari awal direkam oleh KPK. Namun,
karena belum sampai menyebut harga dan belum terjadi tindak pemerasan,
persoalan ini tidak sampai bergulir ke muka hukum.
Tim Pansus RUU Mata Uang menampik
tudingan adanya upaya memperdagangkan pasal ke Peruri itu. "Nggak ada
gitu-gituan," kata Achsanul kepada GATRA. "Mau ngapain kami cari-cari
uang begitu. Ini kan menjelekkan nama baik kami. Apalagi menjelang
pemilu seperti ini. Mereka mencoba menjatuhkan kami aja," ia
menambahkan.
Meski begitu, Achsanul membenarkan
adanya pertemuan dengan Junino di Hotel Crowne Plaza itu. Pertemuan itu,
kata dia, hanya menanyakan kesiapan Peruri mencetak uang di dalam
negeri sendiri. "Masak kita mencetak uang di Australia, di mana-mana.
Makanya, kami tanya, mereka siap nggak mencetak di sini. Itu aja,"
katanya.
Selama Junino menjadi dirut BUMN,
permintaan upeti dari pihak luar, baik itu anggota DPR, pemerintah
daerah, supplier, maupun masyarakat, jamak terjadi. "Kalau DPR, umumnya
datang sendiri meminta sumbangan untuk dibagikan ke daerah asal
pemilihan mereka," kata Junino kepada Fitri Kumalasari dari GATRA. "Atau
membawa supplier agar dimenangkan dalam proses tender proyek Peruri,"
katanya. Mereka yang datang biasanya dari Komisi VI yang membidangi
BUMN.
Junino menyarankan kepada direksi BUMN
agar tak takut menghadapi upaya pemalakan itu. "Kalau mau ketemu, ya,
temui saja. Kalau merasa ada ancaman, lapor ke aparat penegak hukum
seperti KPK, polisi, atau kejaksaan," ujarnya.