Ini salah satu peristiwa getir dalam hidup saya. Peristiwanya terjadi pada tahun 1987, saat masih duduk di bangku SMA kelas 3 semester 6, menjelang EBTANAS.
Waktu itu, pak Khamami, guru bahasa Inggris, sedang menerangkan pelajarannya. Saat yang sama, karena merasa sudah menguasai materinya, saya mengerjakan soal-soal matematika dan fisika. Pikir saya, boring dan mubazir mendengarkan materi pelajaran yang sudah kita ketahui.
Dari depan ruang kelas, perilaku saya tentu terlihat jelas. Murid yang lain dengan tertib mengarahkan wajah ke depan, saya menunduk ke meja sambil coret-coret menjawab soal-soal matematika dan fisika dari kumpulan soal-soal masuk perguruan tinggi dari 1960-an sampai 1985/1986.
Setelah pelajaran berjalan sekitar 30 menit, tiba-tiba ada kapur melayang ke badan saya diiringi teriakan marah dari almarhum pak Khamami. Kata-kata kotor keluar dari mulutnya. Saya lupa persis makiannya, yang saya tidak lupa, adalah ucapannya mengenai "anak gambret" karena selama sekolah di SMA tunggakan SPP saya mencapai lebih dari 24 bulan pada saat itu. Gambret adalah istilah untuk orang yang tidak bisa membayar hutang. Akhir dari kemarahan itu, saya diusir dari ruang kelas, dan sejak itu tidak boleh hadir dalam mata pelajarannya. Saya keluar ruangan dengan perasaan bingung, kaget, dan terhina.
Keributan ini berakhir setelah 2 hari kemudian, saya mendatangi rumahnya dan meminta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Hari ini, saya menyadari, kemarahan beliau wajar, karena mungkin merasa disepelekan. Kata kuncinya adalah "merasa disepelekan". Dalam situasi belajar-mengajar dengan budaya yang masih feodal, tindakan saya jelas salah. Dalam tradisi kita, murid wajib mendengarkan guru, terlepas apakah dia paham atau tidak, bosan atau tidak. Apapun kondisinya, murid wajib menyimak apa yang disampaikan oleh guru pengajar.
Namun demikian, kalau boleh saya memberi saran kepada bapak-bapak guru, hendaklah memahami, bahwa ada di antara muridnya yang memiliki bakat yang lebih dari lainnya. Saya bukan membela diri apalagi memuji diri sebagai anak yang lebih. Anak-anak dengan bakat lebih itu memiliki kecerdasan, emosi, dan kemampuan di atas rata-rata. Jangan samakan semua murid dengan perlakuan yang sama. Jika saya dengan 5 menit sudah bisa memahami pelajaran, kenapa selama sisa 55 menit saya harus pura-pura jadi anak baik mendengarkan pelajaran? Bukankah lebih efektif jika waktunya saya pergunakan untuk memecahkan soal-soal yang menjadi minat saya, yang kebetulan membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak?
Mudah-mudahan pengalaman saya ini bisa menjadi pelajaran buat siswa dan guru-guru yang mangajar di sekolah atau bahkan universitas.
Waktu itu, pak Khamami, guru bahasa Inggris, sedang menerangkan pelajarannya. Saat yang sama, karena merasa sudah menguasai materinya, saya mengerjakan soal-soal matematika dan fisika. Pikir saya, boring dan mubazir mendengarkan materi pelajaran yang sudah kita ketahui.
Dari depan ruang kelas, perilaku saya tentu terlihat jelas. Murid yang lain dengan tertib mengarahkan wajah ke depan, saya menunduk ke meja sambil coret-coret menjawab soal-soal matematika dan fisika dari kumpulan soal-soal masuk perguruan tinggi dari 1960-an sampai 1985/1986.
Setelah pelajaran berjalan sekitar 30 menit, tiba-tiba ada kapur melayang ke badan saya diiringi teriakan marah dari almarhum pak Khamami. Kata-kata kotor keluar dari mulutnya. Saya lupa persis makiannya, yang saya tidak lupa, adalah ucapannya mengenai "anak gambret" karena selama sekolah di SMA tunggakan SPP saya mencapai lebih dari 24 bulan pada saat itu. Gambret adalah istilah untuk orang yang tidak bisa membayar hutang. Akhir dari kemarahan itu, saya diusir dari ruang kelas, dan sejak itu tidak boleh hadir dalam mata pelajarannya. Saya keluar ruangan dengan perasaan bingung, kaget, dan terhina.
Keributan ini berakhir setelah 2 hari kemudian, saya mendatangi rumahnya dan meminta maaf. Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Hari ini, saya menyadari, kemarahan beliau wajar, karena mungkin merasa disepelekan. Kata kuncinya adalah "merasa disepelekan". Dalam situasi belajar-mengajar dengan budaya yang masih feodal, tindakan saya jelas salah. Dalam tradisi kita, murid wajib mendengarkan guru, terlepas apakah dia paham atau tidak, bosan atau tidak. Apapun kondisinya, murid wajib menyimak apa yang disampaikan oleh guru pengajar.
Namun demikian, kalau boleh saya memberi saran kepada bapak-bapak guru, hendaklah memahami, bahwa ada di antara muridnya yang memiliki bakat yang lebih dari lainnya. Saya bukan membela diri apalagi memuji diri sebagai anak yang lebih. Anak-anak dengan bakat lebih itu memiliki kecerdasan, emosi, dan kemampuan di atas rata-rata. Jangan samakan semua murid dengan perlakuan yang sama. Jika saya dengan 5 menit sudah bisa memahami pelajaran, kenapa selama sisa 55 menit saya harus pura-pura jadi anak baik mendengarkan pelajaran? Bukankah lebih efektif jika waktunya saya pergunakan untuk memecahkan soal-soal yang menjadi minat saya, yang kebetulan membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak?
Mudah-mudahan pengalaman saya ini bisa menjadi pelajaran buat siswa dan guru-guru yang mangajar di sekolah atau bahkan universitas.
1 comment:
Mungkin karena itu diadakan kelas unggul untuk anak-anak unggul pula..
Post a Comment