Monday, October 19, 2009

Nikmati Kopinya, Bukan Cangkirnya

Oleh: Agi Rahmat

Semangat PAGI!

Sekelompok alumni sebuah padepokan di jaman Mataram yang telah mapan dalam karir masing-masing, di Kerajaan Mataram, berkumpul dan mendatangi sang empu [guru] mereka yang telah tua. Percakapan segera terjadi dan mengarah pada komplain tentang stess di pekerjaan dan kehidupan mereka di Kerajaan Mataram.

Menawari tamu-tamunya kopi, sang empu pergi ke dapur dan kembali dengan poci besar berisi kopi dan cangkir berbagai jenis. Dari porselin, daun, kayu, bambu, tanah lempung, beberapa di antaranya cangkir porselin dari Cina yang sangat berharga dan beberapa lainnya terbuat dari bambu, kayu, dan tanah lempung sangat indah, dan mengatakan pada para mantan murid-murid-nya untuk menuang sendiri kopinya.

Setelah semua murid-murid-nya mendapat secangkir kopi di tangan, sang empu itu mengatakan: "Jika kalian perhatikan, semua cangkir yang indah dan mahal telah kalian ambil dan pilih sebagai wadah kopi ini, dan sisanya, yang tertinggal dan tidak kalian pilih, hanyalah cangkir biasa dan yang sederhana saja. Meskipun normal, dan sangat wajar bagi kalian, murid-muridku, memilih dan menginginkan cangkir-cangkir yang indah, bagus, dan berharga. Karena tentu kalian hanya menginginkan yang terbaik bagi diri kalian, tapi sebenarnya itulah yang menjadi sumber masalah dan stress yang kalian alami".

"Pastikan bahwa cangkir itu sendiri tidak mempengaruhi kualitas kopi yang kalian minum. Karena sesungguhnya, cangkir itu hanya wadah, meskipun mungkin indah, bagus dan berharga. Apalagi bila justru cangkir lebih menonjol daripada apa yang kita minum. Apa yang kalian inginkan sebenarnya adalah kopi. Betul? Bukan cangkirnya, namun kalian, murid-murid secara sadar memilih dan mengambil cangkir yang indah dan bagus, lalu secara sadar pula memilih untuk membanding-bandingkan dengan cangkir-cangkir yang dipilih orang lain."

"Murid-murid-ku, sekarang perhatikan baik-baik: Kehidupan bagai kopi, sedangkan jabatan, uang dan posisi dalam masyarakat adalah cangkirnya. Cangkir bagaikan alat untuk memegang dan mengisi kehidupan. Jenis cangkir yang kita miliki tidak mendefinisikan apapun, kecuali jabatan, status sosial, bahkan tidak bisa mengganti kualitas kehidupan yang kita jalani. Seringkali, karena berkonsentrasi hanya pada cangkir, kita gagal untuk menikmati kopi yang Tuhan sediakan bagi kita.

"Tuhan menciptakan dan menumbuhkan kopi, bukan cangkirnya. Jadi nikmatilah kopinya, bukan cangkirnya. Sadarilah jika pemaknaan hidup kita itu lebih penting dibanding posisi jabatan kita. Jika posisi membatasi diri dan mengendalikan hidup kita, kita menjadi orang yang mudah diserang dan rapuh akibat perubahan keadaan. Kita lebih mementingkan cangkir dibandingkan kopi.

Jabatan akan datang dan pergi, namun itu seharusnya tidak mengubah diri kita sebagai manusia. Pastikan kita membuat tabungan kesuksesan dalam kehidupan selain dari jabatan.
____________________________________________________
*) Business Team Leader - Partner Dunamis Consulting
Jl Bendungan Jatiluhur 56, Jakarta 10210 IPhone 62-21 572 0761 Fax 62-21 572 0762 agi@dunamis.co.id
“We Enable Greatness in People and Organizations Everywhere”

Tulisan ini diambil dari milis Kahmi-Pro, diriwayatkan kembali oleh Ahmad Mukhlis Yusuf (Emye) email: ahmadmukhlis.yusuf@gmail.com

Negara, untuk Apa Lagi?

oleh: Daoed Joesoef

Negara Indonesia adalah hasil perjuangan kemerdekaan yang panjang, revolusioner, dan berdarah. Wiracarita ini tersurat dan tersirat dalam alinea kedua Pembukaan UUD '45, yang berbunyi: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Jadi, negara di Indonesia adalah suatu gambaran epos dari sejarah kita, para warganya, Ia adalah warisan substansial, yang ditransfer dari generasi ke generasi. Kebutuhan bernegara tetap ada, namun bentuk kegiatannya yang diharapkan berubah-ubah. Berarti negara memerlukan pula perubahan agar tetap fungsional. Sayangnya, hal ini kurang dipedulikan oleh kebanyakan warga kita, karena aneka macam sebab, di antaranya berupa sepak terjang parpol dan politikus yang mengecewakan. Padahal, negara meminta dari pengabdi utamanya ini, yaitu kabinet, untuk memprogramkan adaptasinya. Karena permintaan itu tidak direspons selayaknya, negara lalu meminta pemprograman itu pada dirinya sendiri, yaitu pada administrasinya, terutama kepada korps pegawai negeri, yang kita tahu tidak efektif, kepada kaum terpelajar, yang kita tahu dijauhi oleh penguasa, kepada rakyat pada umumnya, yang kelihatan tidak tahu-menahu. Harus kita sadari bahwa negara sebenarnya sekaligus asuhan dan
pengasuh, pasien, dan penyembuh.

Ada kebijakan pemerintah (kabinet) yang merefleksikan kehendak politik memperbesar atau mengecilkan peran negara di bidang-bidang kehidupan tertentu. Setelah 64 tahun merdeka Indonesia ternyata masih kesulitan meredefinisikan negara ini. Secara kolektif kita belum terbiasa dengan ide bahwa pada zaman yang serba terbuka, pada taraf global dan lokal, negara tidak bisa hidup autarkis secara yuridis dan politis.

Negara sentral melemah. Negara desentralisasi belum berfungsi memuaskan. Negara yang berunsur tanah dan laut dengan dimensi 2:3 tidak disadari oleh setiap penguasa yang pernah memerintahnya. Negara makmur masih jauh panggang dari api. Harapan semula dari rakyat yang dipercayakan pada negara untuk mencari jalan penyempurnaan kesejahteraan, kelihatan semakin berlebihan. Kebutuhan bernegara tetap ada, namun berupa bentuk-bentuk baru.

Untuk Siapa?

Walaupun masih tersendat-sendat dalam melayani kebutuhan pokok rakyatnya, kini Negara Indonesia "memberanikan" diri bergabung dengan G-20, yang inti kekuatannya masih berpusat pada G-8 dan lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF, dan lainnya). Di Pittsburg, AS, kelompok ini menyatakan tekad berjuang bersama-sama mendorong pembangunan ekonomi global terbuka.

Untuk kepentingan siapa keterbukaan mengglobal ini? Secara implisit "keterbukaan" berarti mengakui asas equality of changes (ide liberal!). Walaupun di negara-negara industrial maju dan kaya masih semarak social inequality, ketidaksetaraan sosial ini toh dibenarkan, karena adanya "kesetaraan kesempatan" tadi. Padahal, bagaimana bisa memanfaatkan "kesetaraan kesempatan" kalau kemampuan menangkap kesempatan itu jauh daripada setara. Di kalangan negara-negara anggota Uni Eropa sendiri proteksi di bidang produksi nasional tertentu masih tetap dijalankan. Belum lagi dihitung kekecewaan OECD (organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan yang beranggotakan 30 negara) yang menilai G-20 tidak fokus hingga tidak menghasilkan solusi ideal bagi perbaikan ekonomi global.

Maka, tanpa persiapan yang relatif cukup, keikutsertaan negara Indonesia dalam G-20 hanya akan bermuara pada "kehormatan" turut menggotong beban perbaikan ekonomi dunia, tetapi tidak bisa ikut dalam meroyong secara proporsional manfaat perbaikan tersebut. Namun, Negara Indonesia sudah terlanjur ikut membunyikan genta pertanda kedatangan zaman baru bagi harapan baru umat manusia sedunia. Bagi negara di Indonesia, zaman baru ini kiranya baru dapat dimulai sesudah terjawab pertanyaan nasional: untuk apa lagi kegunaan negara? Pertanyaan semacam ini pernah diajukan oleh Laurent Fabius, mantan PM Prancis, kepada negaranya sendiri menjelang kedatangan milenium baru sembilan tahun yang lalu. Kini, ada baiknya ia diajukan kepada Negara Indonesia. Better too late than never.

Membentuk negara-minimum yang diniat oleh ideologi liberal, yang katanya demi mencegah keterpurukan kaum papa atau mengelakkan pemberontakannya, adalah suatu keinginan yang absurd. Yang dikritik dewasa ini adalah ketidakcukupan negara efektif, ketidakmampuannya memenuhi janji. Rakyat tidak menghendaki negara dihapus atau dihina. Rakyat menginginkannya mampu merespons kebutuhannya dan inisiatifnya. Berarti rakyat mendambakan adanya negara setiakawan, yang solider terhadap, tidak hanya kemiskinan dan aneka kepincangan sosial (ketidaksetaraan) tetapi juga terhadap aneka penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam dan kecerobohan kerja produktif perusahaan negara dan swasta, Negara yang mampu membina hubungan saling percaya dan membangun proyek bersama.

Penulis adalah alumnusUniversite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Diambil dari http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10841

2009-10-03

Indonesia Sejak Dulu: Semua Bisa Diatur!

Di negeri kita tercinta, pasti sering kita dengar istilah "semua bisa diatur". Di negeri kita tercinta, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin; yang sulit bisa dipermudah, yang mudah bisa dipersulit.

Saya pikir, istilah yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, karena sikap ini menjadi pangkal dari maraknya budaya KKN di negeri kita, berasal dari era Orde Baru. Saking populernya istilah ini pada era tersebut, sampai-sampai kumpulan ceramah Adam Malik, mantan Wakil Presiden RI periode 1978-1983, diberi judul Semua Bisa Diatur. Ternyata tidak, dugaan saya keliru.

Tabiat ini sudah ada sejak jaman dahulu. Setidaknya itu yang dicatat oleh buku Batavia Awal Abad 20, buku laporan perjalanan dari seorang serdadu kolonial tentang pengalamannya selama di Batavia, yang ditulis oleh H. C. C. Brousson. Dalam buku tersebut dikisahkan, sang serdadu ingin mengunjungi Masjid Luar Batang. Tapi karena menyadari ia bukanlah seorang muslim, kepada pemandunya yang bernama Abdullah, itu nama yang disebut dalam buku catatan tersebut, ia meragukan apakah dirinya bisa ziarah masuk ke dalam masjid Luar Batang. Dijawab oleh Abdulah, "Semua bisa diatur."

Luar biasa ya.... Batavia awal abad 20 sudah mengenal istilah "semua bisa diatur". Dan saya kira, jika ada sumber-sumber tercatat lainnya, bukan suatu hal yang mustahil kalau budaya ini ternyata sudah ada jauh lebih tua dari itu. Apakah ini memang budaya tanah jajahan? Atau ini memang khas Indonesia yang sangat toleran?