Monday, October 19, 2009

Negara, untuk Apa Lagi?

oleh: Daoed Joesoef

Negara Indonesia adalah hasil perjuangan kemerdekaan yang panjang, revolusioner, dan berdarah. Wiracarita ini tersurat dan tersirat dalam alinea kedua Pembukaan UUD '45, yang berbunyi: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Jadi, negara di Indonesia adalah suatu gambaran epos dari sejarah kita, para warganya, Ia adalah warisan substansial, yang ditransfer dari generasi ke generasi. Kebutuhan bernegara tetap ada, namun bentuk kegiatannya yang diharapkan berubah-ubah. Berarti negara memerlukan pula perubahan agar tetap fungsional. Sayangnya, hal ini kurang dipedulikan oleh kebanyakan warga kita, karena aneka macam sebab, di antaranya berupa sepak terjang parpol dan politikus yang mengecewakan. Padahal, negara meminta dari pengabdi utamanya ini, yaitu kabinet, untuk memprogramkan adaptasinya. Karena permintaan itu tidak direspons selayaknya, negara lalu meminta pemprograman itu pada dirinya sendiri, yaitu pada administrasinya, terutama kepada korps pegawai negeri, yang kita tahu tidak efektif, kepada kaum terpelajar, yang kita tahu dijauhi oleh penguasa, kepada rakyat pada umumnya, yang kelihatan tidak tahu-menahu. Harus kita sadari bahwa negara sebenarnya sekaligus asuhan dan
pengasuh, pasien, dan penyembuh.

Ada kebijakan pemerintah (kabinet) yang merefleksikan kehendak politik memperbesar atau mengecilkan peran negara di bidang-bidang kehidupan tertentu. Setelah 64 tahun merdeka Indonesia ternyata masih kesulitan meredefinisikan negara ini. Secara kolektif kita belum terbiasa dengan ide bahwa pada zaman yang serba terbuka, pada taraf global dan lokal, negara tidak bisa hidup autarkis secara yuridis dan politis.

Negara sentral melemah. Negara desentralisasi belum berfungsi memuaskan. Negara yang berunsur tanah dan laut dengan dimensi 2:3 tidak disadari oleh setiap penguasa yang pernah memerintahnya. Negara makmur masih jauh panggang dari api. Harapan semula dari rakyat yang dipercayakan pada negara untuk mencari jalan penyempurnaan kesejahteraan, kelihatan semakin berlebihan. Kebutuhan bernegara tetap ada, namun berupa bentuk-bentuk baru.

Untuk Siapa?

Walaupun masih tersendat-sendat dalam melayani kebutuhan pokok rakyatnya, kini Negara Indonesia "memberanikan" diri bergabung dengan G-20, yang inti kekuatannya masih berpusat pada G-8 dan lembaga-lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, IMF, dan lainnya). Di Pittsburg, AS, kelompok ini menyatakan tekad berjuang bersama-sama mendorong pembangunan ekonomi global terbuka.

Untuk kepentingan siapa keterbukaan mengglobal ini? Secara implisit "keterbukaan" berarti mengakui asas equality of changes (ide liberal!). Walaupun di negara-negara industrial maju dan kaya masih semarak social inequality, ketidaksetaraan sosial ini toh dibenarkan, karena adanya "kesetaraan kesempatan" tadi. Padahal, bagaimana bisa memanfaatkan "kesetaraan kesempatan" kalau kemampuan menangkap kesempatan itu jauh daripada setara. Di kalangan negara-negara anggota Uni Eropa sendiri proteksi di bidang produksi nasional tertentu masih tetap dijalankan. Belum lagi dihitung kekecewaan OECD (organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan yang beranggotakan 30 negara) yang menilai G-20 tidak fokus hingga tidak menghasilkan solusi ideal bagi perbaikan ekonomi global.

Maka, tanpa persiapan yang relatif cukup, keikutsertaan negara Indonesia dalam G-20 hanya akan bermuara pada "kehormatan" turut menggotong beban perbaikan ekonomi dunia, tetapi tidak bisa ikut dalam meroyong secara proporsional manfaat perbaikan tersebut. Namun, Negara Indonesia sudah terlanjur ikut membunyikan genta pertanda kedatangan zaman baru bagi harapan baru umat manusia sedunia. Bagi negara di Indonesia, zaman baru ini kiranya baru dapat dimulai sesudah terjawab pertanyaan nasional: untuk apa lagi kegunaan negara? Pertanyaan semacam ini pernah diajukan oleh Laurent Fabius, mantan PM Prancis, kepada negaranya sendiri menjelang kedatangan milenium baru sembilan tahun yang lalu. Kini, ada baiknya ia diajukan kepada Negara Indonesia. Better too late than never.

Membentuk negara-minimum yang diniat oleh ideologi liberal, yang katanya demi mencegah keterpurukan kaum papa atau mengelakkan pemberontakannya, adalah suatu keinginan yang absurd. Yang dikritik dewasa ini adalah ketidakcukupan negara efektif, ketidakmampuannya memenuhi janji. Rakyat tidak menghendaki negara dihapus atau dihina. Rakyat menginginkannya mampu merespons kebutuhannya dan inisiatifnya. Berarti rakyat mendambakan adanya negara setiakawan, yang solider terhadap, tidak hanya kemiskinan dan aneka kepincangan sosial (ketidaksetaraan) tetapi juga terhadap aneka penderitaan yang disebabkan oleh bencana alam dan kecerobohan kerja produktif perusahaan negara dan swasta, Negara yang mampu membina hubungan saling percaya dan membangun proyek bersama.

Penulis adalah alumnusUniversite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Diambil dari http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10841

2009-10-03

No comments: