Di negeri kita tercinta, pasti sering kita dengar istilah "semua bisa diatur". Di negeri kita tercinta, yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin, yang mungkin bisa menjadi tidak mungkin; yang sulit bisa dipermudah, yang mudah bisa dipersulit.
Saya pikir, istilah yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, karena sikap ini menjadi pangkal dari maraknya budaya KKN di negeri kita, berasal dari era Orde Baru. Saking populernya istilah ini pada era tersebut, sampai-sampai kumpulan ceramah Adam Malik, mantan Wakil Presiden RI periode 1978-1983, diberi judul Semua Bisa Diatur. Ternyata tidak, dugaan saya keliru.
Tabiat ini sudah ada sejak jaman dahulu. Setidaknya itu yang dicatat oleh buku Batavia Awal Abad 20, buku laporan perjalanan dari seorang serdadu kolonial tentang pengalamannya selama di Batavia, yang ditulis oleh H. C. C. Brousson. Dalam buku tersebut dikisahkan, sang serdadu ingin mengunjungi Masjid Luar Batang. Tapi karena menyadari ia bukanlah seorang muslim, kepada pemandunya yang bernama Abdullah, itu nama yang disebut dalam buku catatan tersebut, ia meragukan apakah dirinya bisa ziarah masuk ke dalam masjid Luar Batang. Dijawab oleh Abdulah, "Semua bisa diatur."
Luar biasa ya.... Batavia awal abad 20 sudah mengenal istilah "semua bisa diatur". Dan saya kira, jika ada sumber-sumber tercatat lainnya, bukan suatu hal yang mustahil kalau budaya ini ternyata sudah ada jauh lebih tua dari itu. Apakah ini memang budaya tanah jajahan? Atau ini memang khas Indonesia yang sangat toleran?
Saya pikir, istilah yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, karena sikap ini menjadi pangkal dari maraknya budaya KKN di negeri kita, berasal dari era Orde Baru. Saking populernya istilah ini pada era tersebut, sampai-sampai kumpulan ceramah Adam Malik, mantan Wakil Presiden RI periode 1978-1983, diberi judul Semua Bisa Diatur. Ternyata tidak, dugaan saya keliru.
Tabiat ini sudah ada sejak jaman dahulu. Setidaknya itu yang dicatat oleh buku Batavia Awal Abad 20, buku laporan perjalanan dari seorang serdadu kolonial tentang pengalamannya selama di Batavia, yang ditulis oleh H. C. C. Brousson. Dalam buku tersebut dikisahkan, sang serdadu ingin mengunjungi Masjid Luar Batang. Tapi karena menyadari ia bukanlah seorang muslim, kepada pemandunya yang bernama Abdullah, itu nama yang disebut dalam buku catatan tersebut, ia meragukan apakah dirinya bisa ziarah masuk ke dalam masjid Luar Batang. Dijawab oleh Abdulah, "Semua bisa diatur."
Luar biasa ya.... Batavia awal abad 20 sudah mengenal istilah "semua bisa diatur". Dan saya kira, jika ada sumber-sumber tercatat lainnya, bukan suatu hal yang mustahil kalau budaya ini ternyata sudah ada jauh lebih tua dari itu. Apakah ini memang budaya tanah jajahan? Atau ini memang khas Indonesia yang sangat toleran?
No comments:
Post a Comment